Banyak masyarakat yang masih buta dengan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam. Hal-hal apa saja yang secara fundamental (dan makro) mendasari kehidupan ekonomi masyarakat Islam?
Islam adalah ajaran yang sempurna. Di dalamnya mencakup persoalan akidah maupun syariat. Tidak ada satu perkara pun yang ‘lolos’ dari perhatian Islam. Ini menggambarkan kesempurnaan Islam sebagai sebuah sistem hukum dan kehidupan. Firman Allah Swt:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (TQS. an-Nahl [16]: 89)
Ayat ini menegaskan bahwasanya Islam memiliki kemampuan untuk menjawab segala hal yang dihadapi oleh umat manusia, dimana pun dan pada masa apa pun. Ayat ini juga mengeliminir pandangan sempit sebagian orang yang menganggap bahwa ajaran Islam itu hanya membicarakan aspek ubudiyah saja. Padahal universalitas dan kesempurnaan Islam mencakup juga dasar-dasar maupun rincian kehidupan ekonomi.
Penerapan sistem dan hukum Islam dijalankan oleh masyarakat dan negara secara bersama-sama. Negara dalam hal ini memiliki pandangan politik ekonomi Islam, yang dijadikan sebagai arah dari seluruh kebijakan ekonomi. Yaitu cara yang ditempuh agar seluruh kebutuhan hidup pokok masyarakat terpenuhi secara sempurna, hingga mencakup masing-masing individu masyarakat, serta diberikannya kesempatan yang luas kepada seluruh lapisan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya1.
Untuk dapat menjalankan politik ekonomi Islam ini, Allah Swt telah menjelaskan dalam banyak ayat al-Quran kaidah-kaidah yang wajib diterapkan oleh negara Khilafah dan masyarakatnya, agar kehidupan ekonomi masyarakat dapat berjalan dengan sempurna dan adil. Beberapa pilar yang menjadi rambu-rambu kehidupan ekonomi, antara lain:
Pertama, jaminan atas terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat. Kewajiban ini dibebankan pertama kali kepada kaum laki-laki sebagai kepala rumah tangga, yang bertanggung jawab atas nafkah anggota keluarga yang menjadi tanggungannya, baik isterinya, anak-anaknya, atau anggota keluarga lain yang tidak mampu dan menjadi tanggungannya. Allah Swt berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan kewajiban ayah (suami) adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu (isteri) dengan cara yang ma’ruf (mencukupi dan adil). (TQS. al-Baqarah [2]: 233)
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. (TQS. ath-Thalaq [65]: 6)
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa kebutuhan pokok, seperti makan, pakaian dan tempat tinggal, dibebankan kepada kalum laki-laki, terutama kepala keluarga, dan bukan kepada isteri maupun kaum wanita.
Meskipun demikian, apabila kaum laki-laki tidak dapat memenuhi sebagian atau seluruhnya dari orang-orang yang menjadi tanggungannya –karena beberapa sebab- maka dalam hal ini negara-lah yang mengambil alih tanggungan ini, termasuk kebutuhan masyarakat akan kesehatan, pendidikan,sarana-sarana ekonomi, fasilitas umum dan sosial yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sabda Rasulullah saw:
فأيما مؤمن مات وترك مالا فليرثه عصبته من كانوا ومن ترك دينا أو ضياعا فليأتني وأنا مولاه
Oleh karena itu, jika seorang mukmin meninggal, serta meninggalkan warisan, silakan orang-orang yang berhak memperoleh warisan itu mengambilnya. Namun jika ia meninggal sembari meninggalkan hutang atau orang-orang terlantar, maka hendaklah mereka datang kepadaku (sebagai kepala negara), sebab aku adalah wali (penanggung jawab)-nya. (HR. Ashabu as-Sittah)
Kedudukan Rasulullah saw dalam hadits diatas adalah beliau sebagai kepala negara, yang bertanggung jawab atas seluruh keadaan yang menimpa rakyatnya. Jadi, negara harus mendorong kepada kaum laki-laki untuk bekerja, dengan memperluas kesempatan kerja selebar-lebarnya bagi mereka. Pembukaan dan perluasan kesempatan kerja merupakan tugas yang harus dijalankan oleh negara. Jika masih dijumpai rakyat yang belum memperoleh kesempatan kerja, sementara masih menanggung biaya hidup dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka negara wajib menanggungnya. Khalifah Umar bin Khaththab ra pernah mengusir seorang laki-laki yang hanya berdoa di dalam masjid tidak bekerja, sementara laki-laki itu menganggap bahwa tindakannya merupakan sikap tawakal kepada Allah.
Kedua, mengedarkan/memutar harta ke seluruh lapisan masyarakat. Salah satu penyebab kesenjangan ekonomi adalah menumpuknya harta hanya pada golongan kaya saja di antara masyarakat, atau lebih banyak beredar di kawasan tertentu saja di suatu negeri. Maka negara harus membuat peraturan yang mengacu pada firman Allah Swt:
كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)
Rasulullah saw telah mempraktekkan ayat ini dengan mengeluarkan keputusan untuk membagi-bagikan ghanimah suku Nadhir (yang ditaklukkan kaum Muslim) kepada orang-orang Muhajirin saja, tanpa menyertakan orang-orang Anshar (kecuali dua orang Anshar yang sangat miskin). Penyebabnya karena orang-orang Muhajirin yang berhijrah ke Madinah, sebagian besar adalah orang-orang yang jatuh miskin karena terpaksa meninggalkan harta benda dan perniagaan milik mereka di kota Makkah, dalam rangka memenuhi perintah Allah Swt, yaitu berhijrah.
Ketiga, larangan untuk menimbun uang (kanz al-mâl). Salah satu parameter tumbuhnya perekonomian adalah perputaran mata uang yang lancar. Untuk menjamin hal ini, Islam telah melarang umatnya untuk menimbun harta (uang). Allah Swt berfirman:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan orang-orang yang menimbun (mata uang) emas (dinar) dan perak (dirham), dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka kabar gembira (bahwa) mereka akan memperoleh siksa yang pedih. (TQS. at-taubah [9]: 34)
Mensikapi ayat ini, kaum Muslim yang mempunyai kelebihan uang (harta) memiliki beberapa pilihan agar tidak termasuk orang yang menimbun hartanya, guna membebaskan dirinya dari azab/siksa Allah Swt. Yaitu menjadikan hartanya sebagai harta produktif (misalnya dijadikan modal produktif dengan usaha perdagangan barang, jasa, mendirikan pabrik, dan sejenisnya). Atau dibentuk partnership dengan sistem profit sharing (bagi hasil); dan si pemilik harta bisa memilih jenis sharing-nya; ada yang menyerahkan modalnya saja kepada partnernya, ada juga yang menyerahkan tenaga dan modalnya. Atau juga bisa diinfakkan, diwakafkan, disedekahkan, dihadiahkan, dan lain-lain untuk kepentingan maslahat kaum Muslim. Pendek kata, jika negara Khilafah menerapkan aturan dengan merujuk kepada ayat diatas, tidak akan ada harta (uang) yang menganggur. Hal ini memberi manfaat kepada anggota masyarakat lain yang memiliki keterbatasan di dalam permodalan, atau tidak mempunyai harta.
Keempat, diharamkannya aktivitas riba dan sektor ekonomi non real. Riba yang muncul dalam puluhan jenis transaksi diharamkan Allah Swt, dan Allah serta Rasul-Nya memproklamirkan perang terhadap pelaku riba:
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ
Jika kamu tidak meinggalkan sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (TQS. al-Baqarah [2]: 279)
Termasuk dalam pengertian riba adalah seluruh jenis transaksi non real, yang saat ini menjadi tulang punggung perekonomian kapitalis.
Kelima, standarisasi mata uang dengan di-peg-kannya pada sistem emas dan perak (dua logam). Uang adalah alat tukar yang sangat fleksibel. Artinya, uang menjadi alat pengganti sistem barter antar komoditas perdagangan untuk memudahkan manusia melakukan transaksi ekonomi dan perdagangannya. uang juga sekaligus bisa menjadi komoditas perdagangan, asalkan nilai intrinsik dan nominalnya sama. Uang juga harus memiliki nilai intrinsik (nilai pada zat uang itu) dan nilai nominal (nilai yang tertera pada uang berupa angka) yang sama, agar kepercayaan terhadap mata uang tetap tinggi dan stabil, tidak naik turun dengan tajam. Dan hal seperti itu hanya ditemui pada zat emas dan perak (logam mulia) saja. Sistem dua logam ini sebenarnya telah ada ribuan tahun, sejak munculnya sistem barter, hingga berakhir pada awal abad ke-20. Negara Khilafah boleh saja pada tataran praktisnya memproduksi mata uang yang terbuat dari kertas atau plastik, asalkan nilai nominal yang tertera pada uang tersebut di-back up penuh oleh cadangan emas dan perak di Baitul Mal. Dengan demikian –di dalam Islam- uang memang berfungsi sebagai alat tukar, sekaligus komoditas perdagangan yang bersifat real. Real dalam nilai intrinsik dan nominalnya. Tidak ada penipuan/kebohongan yang dilegislasi oleh UU dan peraturan internasional.
Keberadaan uang kertas dalam sistem ekonomi kapitalis sama saja dengan menyuburtumbuhkan praktek riba dan ekonomi non real. Karena sehelai kertas dengan corak warna dan gambar tertentu bisa dicap dengan nilai USD 1, atau USD 5, bahkan USD 1000, tetapi tidak di back up oleh harta (berupa emas atau perak) yang senilai dengan nilai nominal tersebut. Ini sama saja dengan nilai intrinsiknya sama dengan selembar kertas kwarto (bahkan lebih kecil lagi ukurannya) yang nilai intrinsik (zat kertas tersebut) tidak seberapa, harus dianggap bernilai USD 1000. Dan negara ‘memaksa’ rakyatnya untuk percaya dan mentransaksikan mata uang tersebut. Kita bisa mendapatkan (membeli) sepeda motor yang wujud zatnya memang berharga nominal (sekaligus intrinsiknya) USD 1000, ditukar dengan menyerahkan (menukar) selembar kertas bercap nominal USD 1000. Pemerintah tidak memberi garansi apa pun kecuali UU (peraturan saja). Tragisnya, seluruh dunia yang dikangkangi sistem ekonomi kapitalis percaya kepada permainan ‘monopoli’ uang global ini. Akibatnya, negra-negara Barat kufur yang memiliki omset ekonomi sangat besar dan menguasai perdagangan dunia, bisa mempermainkan nilai tukar mata uang untuk memperoleh keuntungan ekonomi/perdagangan. Jika perlu, mereka mampu membangkrutkan perekonomian negara-negara lain yang lebih lemah, dan menguasainya!
Keenam, pemberantasan KKN, spekulasi, perjudian, monopoli dan kartel perdagangan, dan lain-lain. Islam telah melarang perolehan harta melalui jalan yang bathil, yakni jalan yang tidak syar’i. Firman Allah Swt:
وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang bathil. (TQS. al-Baqarah [2]: 188)
Artinya, kaum Muslim diharamkan memperoleh harta melalui suap, komisi para pejabat, korupsi, kolusi, nepotisme, pungutan retribusi dan pajak (yang tidak syar’i), dan sejenisnya. Islam menyebutnya sebagai harta ghulul atau suht (yaitu harta hasil kecurangan), yang pelakunya harus dihukum!
Ketujuh, larangan eksplorasi dan eksploitasi harta milik umum (kaum Muslim) oleh pihak asing. Harta milik umum kaum Muslim dikelola hanya oleh negara dan negara tidak boleh merubah status kepemilikannya menjadi milik individu atau perusahaan swasta maupun perusahaan negara. Sebab, seluruh hasil dan keuntungannya harus disalurkan untuk kemaslahatan kaum Muslim. Deposiot sumber daya alam dan mineral serta pertambangan minyak bumi, gas, emas, perak, uranium, batubara, nikel , timah, tembaga, besi, aluminium, chrom, mangan, posfat, dan sejenisnya tidak boleh diserahkan (atau dikontakkaryakan, atau dikonsesikan) kepada pihak asing. Apalagi dijual melalui privatisasi, dengan dalih efisiensi dan memperkuat cadangan keuangan nasional.
Demikianlah, prinsip-prinsip utama yang menjadi rambu-rambu dasar ekonomi Islam. Jika saja umat sadar dan merindukan kembalinya kehidupan ekonomi Islam dengan jalan memperjuangkannya, maka kondisi kaum Muslim tidak terpuruk seperti sekarang ini.
Islam adalah ajaran yang sempurna. Di dalamnya mencakup persoalan akidah maupun syariat. Tidak ada satu perkara pun yang ‘lolos’ dari perhatian Islam. Ini menggambarkan kesempurnaan Islam sebagai sebuah sistem hukum dan kehidupan. Firman Allah Swt:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (TQS. an-Nahl [16]: 89)
Ayat ini menegaskan bahwasanya Islam memiliki kemampuan untuk menjawab segala hal yang dihadapi oleh umat manusia, dimana pun dan pada masa apa pun. Ayat ini juga mengeliminir pandangan sempit sebagian orang yang menganggap bahwa ajaran Islam itu hanya membicarakan aspek ubudiyah saja. Padahal universalitas dan kesempurnaan Islam mencakup juga dasar-dasar maupun rincian kehidupan ekonomi.
Penerapan sistem dan hukum Islam dijalankan oleh masyarakat dan negara secara bersama-sama. Negara dalam hal ini memiliki pandangan politik ekonomi Islam, yang dijadikan sebagai arah dari seluruh kebijakan ekonomi. Yaitu cara yang ditempuh agar seluruh kebutuhan hidup pokok masyarakat terpenuhi secara sempurna, hingga mencakup masing-masing individu masyarakat, serta diberikannya kesempatan yang luas kepada seluruh lapisan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya1.
Untuk dapat menjalankan politik ekonomi Islam ini, Allah Swt telah menjelaskan dalam banyak ayat al-Quran kaidah-kaidah yang wajib diterapkan oleh negara Khilafah dan masyarakatnya, agar kehidupan ekonomi masyarakat dapat berjalan dengan sempurna dan adil. Beberapa pilar yang menjadi rambu-rambu kehidupan ekonomi, antara lain:
Pertama, jaminan atas terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat. Kewajiban ini dibebankan pertama kali kepada kaum laki-laki sebagai kepala rumah tangga, yang bertanggung jawab atas nafkah anggota keluarga yang menjadi tanggungannya, baik isterinya, anak-anaknya, atau anggota keluarga lain yang tidak mampu dan menjadi tanggungannya. Allah Swt berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan kewajiban ayah (suami) adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu (isteri) dengan cara yang ma’ruf (mencukupi dan adil). (TQS. al-Baqarah [2]: 233)
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. (TQS. ath-Thalaq [65]: 6)
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa kebutuhan pokok, seperti makan, pakaian dan tempat tinggal, dibebankan kepada kalum laki-laki, terutama kepala keluarga, dan bukan kepada isteri maupun kaum wanita.
Meskipun demikian, apabila kaum laki-laki tidak dapat memenuhi sebagian atau seluruhnya dari orang-orang yang menjadi tanggungannya –karena beberapa sebab- maka dalam hal ini negara-lah yang mengambil alih tanggungan ini, termasuk kebutuhan masyarakat akan kesehatan, pendidikan,sarana-sarana ekonomi, fasilitas umum dan sosial yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sabda Rasulullah saw:
فأيما مؤمن مات وترك مالا فليرثه عصبته من كانوا ومن ترك دينا أو ضياعا فليأتني وأنا مولاه
Oleh karena itu, jika seorang mukmin meninggal, serta meninggalkan warisan, silakan orang-orang yang berhak memperoleh warisan itu mengambilnya. Namun jika ia meninggal sembari meninggalkan hutang atau orang-orang terlantar, maka hendaklah mereka datang kepadaku (sebagai kepala negara), sebab aku adalah wali (penanggung jawab)-nya. (HR. Ashabu as-Sittah)
Kedudukan Rasulullah saw dalam hadits diatas adalah beliau sebagai kepala negara, yang bertanggung jawab atas seluruh keadaan yang menimpa rakyatnya. Jadi, negara harus mendorong kepada kaum laki-laki untuk bekerja, dengan memperluas kesempatan kerja selebar-lebarnya bagi mereka. Pembukaan dan perluasan kesempatan kerja merupakan tugas yang harus dijalankan oleh negara. Jika masih dijumpai rakyat yang belum memperoleh kesempatan kerja, sementara masih menanggung biaya hidup dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka negara wajib menanggungnya. Khalifah Umar bin Khaththab ra pernah mengusir seorang laki-laki yang hanya berdoa di dalam masjid tidak bekerja, sementara laki-laki itu menganggap bahwa tindakannya merupakan sikap tawakal kepada Allah.
Kedua, mengedarkan/memutar harta ke seluruh lapisan masyarakat. Salah satu penyebab kesenjangan ekonomi adalah menumpuknya harta hanya pada golongan kaya saja di antara masyarakat, atau lebih banyak beredar di kawasan tertentu saja di suatu negeri. Maka negara harus membuat peraturan yang mengacu pada firman Allah Swt:
كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)
Rasulullah saw telah mempraktekkan ayat ini dengan mengeluarkan keputusan untuk membagi-bagikan ghanimah suku Nadhir (yang ditaklukkan kaum Muslim) kepada orang-orang Muhajirin saja, tanpa menyertakan orang-orang Anshar (kecuali dua orang Anshar yang sangat miskin). Penyebabnya karena orang-orang Muhajirin yang berhijrah ke Madinah, sebagian besar adalah orang-orang yang jatuh miskin karena terpaksa meninggalkan harta benda dan perniagaan milik mereka di kota Makkah, dalam rangka memenuhi perintah Allah Swt, yaitu berhijrah.
Ketiga, larangan untuk menimbun uang (kanz al-mâl). Salah satu parameter tumbuhnya perekonomian adalah perputaran mata uang yang lancar. Untuk menjamin hal ini, Islam telah melarang umatnya untuk menimbun harta (uang). Allah Swt berfirman:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan orang-orang yang menimbun (mata uang) emas (dinar) dan perak (dirham), dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka kabar gembira (bahwa) mereka akan memperoleh siksa yang pedih. (TQS. at-taubah [9]: 34)
Mensikapi ayat ini, kaum Muslim yang mempunyai kelebihan uang (harta) memiliki beberapa pilihan agar tidak termasuk orang yang menimbun hartanya, guna membebaskan dirinya dari azab/siksa Allah Swt. Yaitu menjadikan hartanya sebagai harta produktif (misalnya dijadikan modal produktif dengan usaha perdagangan barang, jasa, mendirikan pabrik, dan sejenisnya). Atau dibentuk partnership dengan sistem profit sharing (bagi hasil); dan si pemilik harta bisa memilih jenis sharing-nya; ada yang menyerahkan modalnya saja kepada partnernya, ada juga yang menyerahkan tenaga dan modalnya. Atau juga bisa diinfakkan, diwakafkan, disedekahkan, dihadiahkan, dan lain-lain untuk kepentingan maslahat kaum Muslim. Pendek kata, jika negara Khilafah menerapkan aturan dengan merujuk kepada ayat diatas, tidak akan ada harta (uang) yang menganggur. Hal ini memberi manfaat kepada anggota masyarakat lain yang memiliki keterbatasan di dalam permodalan, atau tidak mempunyai harta.
Keempat, diharamkannya aktivitas riba dan sektor ekonomi non real. Riba yang muncul dalam puluhan jenis transaksi diharamkan Allah Swt, dan Allah serta Rasul-Nya memproklamirkan perang terhadap pelaku riba:
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ
Jika kamu tidak meinggalkan sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (TQS. al-Baqarah [2]: 279)
Termasuk dalam pengertian riba adalah seluruh jenis transaksi non real, yang saat ini menjadi tulang punggung perekonomian kapitalis.
Kelima, standarisasi mata uang dengan di-peg-kannya pada sistem emas dan perak (dua logam). Uang adalah alat tukar yang sangat fleksibel. Artinya, uang menjadi alat pengganti sistem barter antar komoditas perdagangan untuk memudahkan manusia melakukan transaksi ekonomi dan perdagangannya. uang juga sekaligus bisa menjadi komoditas perdagangan, asalkan nilai intrinsik dan nominalnya sama. Uang juga harus memiliki nilai intrinsik (nilai pada zat uang itu) dan nilai nominal (nilai yang tertera pada uang berupa angka) yang sama, agar kepercayaan terhadap mata uang tetap tinggi dan stabil, tidak naik turun dengan tajam. Dan hal seperti itu hanya ditemui pada zat emas dan perak (logam mulia) saja. Sistem dua logam ini sebenarnya telah ada ribuan tahun, sejak munculnya sistem barter, hingga berakhir pada awal abad ke-20. Negara Khilafah boleh saja pada tataran praktisnya memproduksi mata uang yang terbuat dari kertas atau plastik, asalkan nilai nominal yang tertera pada uang tersebut di-back up penuh oleh cadangan emas dan perak di Baitul Mal. Dengan demikian –di dalam Islam- uang memang berfungsi sebagai alat tukar, sekaligus komoditas perdagangan yang bersifat real. Real dalam nilai intrinsik dan nominalnya. Tidak ada penipuan/kebohongan yang dilegislasi oleh UU dan peraturan internasional.
Keberadaan uang kertas dalam sistem ekonomi kapitalis sama saja dengan menyuburtumbuhkan praktek riba dan ekonomi non real. Karena sehelai kertas dengan corak warna dan gambar tertentu bisa dicap dengan nilai USD 1, atau USD 5, bahkan USD 1000, tetapi tidak di back up oleh harta (berupa emas atau perak) yang senilai dengan nilai nominal tersebut. Ini sama saja dengan nilai intrinsiknya sama dengan selembar kertas kwarto (bahkan lebih kecil lagi ukurannya) yang nilai intrinsik (zat kertas tersebut) tidak seberapa, harus dianggap bernilai USD 1000. Dan negara ‘memaksa’ rakyatnya untuk percaya dan mentransaksikan mata uang tersebut. Kita bisa mendapatkan (membeli) sepeda motor yang wujud zatnya memang berharga nominal (sekaligus intrinsiknya) USD 1000, ditukar dengan menyerahkan (menukar) selembar kertas bercap nominal USD 1000. Pemerintah tidak memberi garansi apa pun kecuali UU (peraturan saja). Tragisnya, seluruh dunia yang dikangkangi sistem ekonomi kapitalis percaya kepada permainan ‘monopoli’ uang global ini. Akibatnya, negra-negara Barat kufur yang memiliki omset ekonomi sangat besar dan menguasai perdagangan dunia, bisa mempermainkan nilai tukar mata uang untuk memperoleh keuntungan ekonomi/perdagangan. Jika perlu, mereka mampu membangkrutkan perekonomian negara-negara lain yang lebih lemah, dan menguasainya!
Keenam, pemberantasan KKN, spekulasi, perjudian, monopoli dan kartel perdagangan, dan lain-lain. Islam telah melarang perolehan harta melalui jalan yang bathil, yakni jalan yang tidak syar’i. Firman Allah Swt:
وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang bathil. (TQS. al-Baqarah [2]: 188)
Artinya, kaum Muslim diharamkan memperoleh harta melalui suap, komisi para pejabat, korupsi, kolusi, nepotisme, pungutan retribusi dan pajak (yang tidak syar’i), dan sejenisnya. Islam menyebutnya sebagai harta ghulul atau suht (yaitu harta hasil kecurangan), yang pelakunya harus dihukum!
Ketujuh, larangan eksplorasi dan eksploitasi harta milik umum (kaum Muslim) oleh pihak asing. Harta milik umum kaum Muslim dikelola hanya oleh negara dan negara tidak boleh merubah status kepemilikannya menjadi milik individu atau perusahaan swasta maupun perusahaan negara. Sebab, seluruh hasil dan keuntungannya harus disalurkan untuk kemaslahatan kaum Muslim. Deposiot sumber daya alam dan mineral serta pertambangan minyak bumi, gas, emas, perak, uranium, batubara, nikel , timah, tembaga, besi, aluminium, chrom, mangan, posfat, dan sejenisnya tidak boleh diserahkan (atau dikontakkaryakan, atau dikonsesikan) kepada pihak asing. Apalagi dijual melalui privatisasi, dengan dalih efisiensi dan memperkuat cadangan keuangan nasional.
Demikianlah, prinsip-prinsip utama yang menjadi rambu-rambu dasar ekonomi Islam. Jika saja umat sadar dan merindukan kembalinya kehidupan ekonomi Islam dengan jalan memperjuangkannya, maka kondisi kaum Muslim tidak terpuruk seperti sekarang ini.