Sabtu, 11 Februari 2017

Tinjauan Sejarah Demokrasi 2

Sekitar abad ke V SM, jauh sebelum kelahiran 'Tuhan orang-orang Kristen' - Yesus dari Nazareth, di Yunani telah muncul kota-kota yang dalam sejarah pemikiran politik barat dikenal sebagai negara-negara kota (City States). Negara-negara kota Yunani klasik berbeda dengan bentuk negara-negara modern dewasa ini, baik dilihat dari segi luas wilayah, struktur sosial, jumlah penduduk maupun lembaga-lembaga politiknya. Luas wilayah kekuasaan negara kota Yunani umumnya tidak lebih dari luas 'negara baru' Timor Timur yang dulu pernah menjadi salah satu propinsi Indonesia. Jumlah penduduknya menurut Herodotus dan Aristophanes, sekitar tiga puluh ribu orang. Karena itu komunikasi politik tidak terlalu sukar dilakukan dalam negara kota tersebut dan sistem Demokrasi Langsung bisa dilaksanakan secara baik di negara-negara kota itu. Sebaliknya dalam konteks negara-negara modern dewasa ini, penerapan Demokrasi Langsung tidak mungkin dilaksanakan. Jumlah penduduk yang relatif besar dan struktur sosial politik yang kompleks di negara-negara modern hanya memungkinkan diterapkannya Demokrasi melalui sistem Perwakilan.
Negara kota Yunani dengan Athena sebagai ibu kotanya memiliki struktur masyarakat berkelas yang terdiri atas kelas warganegara (citizen), imigran atau pedagang asing, dan budak yang diperoleh melalui perdagangan maupun peperangan. Warganegara yang merupakan minoritas diangkat sebagai elite sosial politik dengan hak-hak istimewa (previllage), memiliki waktu luang (leisure time) dan kesempatan luas terlibat dalam kegiatan politik negara kota. Status mereka begitu kukuh karena mereka merupakan bagian penting mekanisme kenegaraan. Sedangkan bagian terbesar (mayoritas) penduduk negara adalah pedagang-pedagang asing yang berasal dari kawasan luar Yunani dan budak-budak belian, mereka ini tidak memiliki hak-hak istimewa seperti halnya kaum warganegara.
Dimasa kepemimpinan Pericles - seorang bangsawan Yunani, Athena berhasil mengalami masa kejayaannya, negarawan ini berhasil membangun sistem pemerintahan Demokratis yang dinamakan 'Athenian Democratia'. Demokrasi dalam perspektif Pericles, seperti ditulis Roy C. Macridis dalam buku karangan Eep Saefullah Fatah berjudul 'Prospek Demokrasi di Indonesia', memiliki beberapa kriteria:
1.  pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat secara penuh dan langsung,
2.  kesamaan di depan hukum,
3.  pluralisme, penghargaan atas semua bakat, minta, keinginan, dan pandangan, serta
4. penghargaan terhadap suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian individual.
Penulis ingin menyimpang sedikit dari topik, khusus untuk menjelaskan tentang Pluralisme. Mengenai 'musang berbulu ayam' ini penulis ingin mengutip tulisan Adian Husaini di kolom opini Hidayatullah.com dengan judul 'Kerancuan Istilah dan Tragedi Umat'. Beliau merupakah salah seorang intelektual muda Islam yang sedang mengambil S3 di Malaysia dan tulisannya ini penting untuk dicermati, beliau menulis: Sesuai dengan judul berita di The Jakarta Post, bahwa 'Muslim Voters Favor Pluralism', maka perlu diklarifikasi, apakah yang dimaksud dengan 'Pluralism' pada kalimat tersebut? Pluralisme adalah sebuah paham, sebuah isme. Paham tentang yang plural. 'Pluralisme' berbeda dengan 'pluralitas', seperti halnya 'Komunisme' berbeda dengan 'komunitas'. Pluralisme bukanlah istilah yang bebas nilai, tetapi merupakan satu istilah yang memiliki akar filsafat dan teologi dalam sejarah peradaban Barat. Istilah ini sarat dengan muatan keagamaan... 
Berbagai artikel di media massa memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan 'Pluralisme', khususnya di bidang teologi. Harian Republika, misalnya, pada 24 Juni 2001 memuat satu artikel yang mendefinisikan 'teologi pluralis', adalah teologi yang melihat agama-agama lain dibanding dengan agama-agama sendiri, dalam rumusan: Other religions are equally valid ways to the same truth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid truths (John B Cobb Jr); Each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar); atau setiap agama sebenarnya meng-ekspresikan adanya The One in the many (Sayyed Hossein Nasr). Intinya, dalam semangat Pluralisme, anda tidak boleh meyakini, hanya agama anda saja yang benar. Semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan, sebagai jalan kebenaran dan keselamatan. Dalam sebuah seminar di Universitas Paramadina, saya katakan, bahwa "Sebagai Muslim, saya tentu meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang benar". Ketika itu, seorang doktor dan dosen di Paramadina menyatakan, bahwa keyakinan seperti itu dia miliki 20 tahun yang lalu. Para penganjur Pluralisme menyatakan, bahwa sudah saatnya kaum Muslim meninggalkan klaim, bahwa Islam adalah satu-satunya kebenaran dan jalan keselamatan. Jadi, istilah Pluralisme sebenarnya memiliki akar filosofis dan teologis yang mendalam, khususnya dalam tradisi Kristen. 
Istilah ini sudah 'mapan' dalam dunia teologi dan dialog antar agama. Benarkah sebagian besar kaum Muslim sudah menerima paham Pluralisme?... Sebenarnya lebih tepat jika digunakan istilah 'pluralitas', yakni sikap menghargai dan toleran terhadap agama lain, tanpa meninggalkan keyakinan teologisnya. Pada level ini pun, Indonesia jauh lebih maju ketimbang Barat. Di negeri yang mayoritas Muslim, kaum minoritas mendapatkan hak sosial, ekonomi, politik yang tinggi. Mereka dapat menjadi menteri dan pejabat-pejabat tinggi negara lainnya - sesuatu yang masih menjadi mimpi bagi Muslim di Barat, meskipun Islam telah menjadi agama kedua terbesar di beberapa negara Barat. Melalui catatan ini kita mengimbau, seyogyanya kaum Muslim, terutama kalangan media Islam, lebih kritis dalam menggunakan dan menyebarkan istilah-istilah yang dapat menimbulkan kesalahan persepsi atau bahkan penggelinciran aqidah.
Penulis merasa perlu menjelaskan tentang pluralisme ini terutama kepada sesama Muslim, agar kita tidak terjebak kedalam jargon-jargon kamuflase yang digunakan oleh kelompok orientalis atau orang-orang yang sudah terpengaruh dengan mereka, yang bertujuan untuk mengikis secara perlahan-lahan aqidah umat Islam. Keyakinan kita akan kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai oleh Tuhan serta merupakan satu-satunya jalan agar selamat hidup di dunia dan di akhirat tentunya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman:
 …Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.. (Qs. al-Maa’idah [5]: 3).
 Sekarang mari kita kembali ke topik Demokrasi klasik. Perlu dicatat bahwa keempat perspektif Pericles tentang Demokrasi di atas merupakan cikal bakal sistem Demokrasi dan dianut secara fundamental oleh tokoh-tokoh Demokrasi berikutnya. Jika anda meyakini Demokrasi sebagai 'nilai-nilai yang dapat memanusiakan manusia' maka mau tidak mau anda harus menerima keempat perspektif tersebut. Dalam pemerintahan negara Athena, Pericles menerapkan prinsip-prinsip Demokrasi yang terlihat dari sistem pemerintahannya yang dikuasai atau diperintah oleh banyak orang dan bukan diperintah oleh segelintir warganegara (Oligarchy atau Tyrani). Pericles menganggap pemerintahan segelintir orang akan mudah menimbulkan penyimpangan kekuasaan (abuse of power) karena tidak adanya kontrol terhadap penguasa negara. Semua warganegara dianggap memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum dan tidak boleh ada diskriminasi dalam proses perumusan kebijakan negara. Karena itu, dalam perdebatan merumuskan kebijakan negara tidak ada pengecualian hak berbicara, apakah seseorang berasal dari kelas bangsawan ataukah rakyat jelata, miskin ataupun kaya. Yang menjadi tolak ukurnya adalah seberapa besar reputasi dan prestasi yang dimilikinya. Inilah prinsip Demokrasi yang dalam konteks dunia modern dinamakan Egalitarianisme Politik.
Pericles juga membangun rasa pengabdian, kebanggaan diri dan rasa memiliki warganegara terhadap negara Athena. Sehingga sebagai warganegara, Athena merupakan pusat tata nilai, kebanggaan dan kehidupan mereka. Negara menjadi pusat KEHIDUPAN, SENI dan AGAMA. Semua ritual-ritual keagamaan dianggap sebagai ritus negara kota. Disini terlihat betapa ia begitu mengagungkan negara dan menjadikannya sebagai berhala. Selain itu segala perbuatan yang memberikan nilai kebesaran dan keagungan bagi negara Athena merupakan suatu bentuk ritus Heroisme politik tertinggi warganegara. Ritus semacam itu pernah ditekankan Pericles dalam pidato pemakaman prajuritnya yang gugur melawan tentara Sparta, "Saya mengharap saudara setiap hari memusatkan perhatian saudara kepada keagungan negara (Athena), sampai saudara diliputi rasa cinta terhadapnya, dan jikalau saudara terpesona karena keagungan itu, saudara akan menginsyafi, bahwa negara ini telah didirikan oleh orang-orang yang tahu akan kewajibannya dan memiliki tekad untuk berbuat demikian, yang tidak pernah mengenal takut dalam pertempuran-pertempuran, dan yang jika mereka gugur dalam suatu usaha tidak akan mengorbankan kehormatan negaranya, tetapi dengan sukarela akan mengorbankan jiwanya sebagai persembahan yang termulia kepada negaranya". Menurut Ernest Renan, seorang filosof Perancis dari abad XIX dalam bukunya yang berjudul 'Apakah Bangsa Itu?', ritus Heroisme Pericles merupakan suatu bentuk 'Nasionalisme Primitif' yang kemudian menjadi cikal bakal Nasionalisme barat saat ini. Bahkan, menurut penulis hal tersebut sudah mewarnai secara akut Nasionalisme negara-negara di dunia, termasuk negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gagasan barat mengenai negara, kekuasaan, keadilan dan Demokrasi secara genealogis historis-intelektual berakar pada tradisi politik negara-negara kota di zaman peradaban Yunani klasik itu. Disinilah makna pentingnya memahami pemikiran tentang negara-negara kota.
Abad pencerahan (abad XVIII) merupakan masa dimana gagasan-gagasan Demokrasi menjadi perhatian khusus banyak pemikir seperti Rousseau, John Locke, Voltaire, Montesquieu, dan lain-lain. Mereka inilah sebagian dari para perintis gagasan-gagasan Demokrasi barat yang dianut dewasa ini. Rousseau dan John Locke merumuskan teori Kontrak Sosial, sedangkan Montesquieu merumuskan teori Trias Politica.
Gagasan dasar teori Kontrak Sosial adalah: Pertama, kedaulatan negara bukanlah sesuatu yang diberikan begitu saja (taken for granted) atau berasal dari Tuhan (not derived from God). Kedaulatan merupakan sebuah produk proses perjanjian sosial antara individu dalam masyarakat, yang tidak ada sangkut pautnya dengan pendelegasian kekuasaan ataupun berasal dari Tuhan kepada seorang penguasa tertentu. Maka pada dasarnya teori Kontrak Sosial merupakan suatu teori politik yang sepenuhnya bersifat Sekuler dan sangat bertentangan dengan manhaj Islam (ketentuan dan kebiasaan dalam Islam). Padahal Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an:
 Allah, tidak ada Tuhan (Yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi (kekuasaan) Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Qs. al-Baqarah [2]: 255).
Dan Dialah Yang Berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Qs. al-An'aam: 18).
 Kedua, bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam yang mengandung prisip-prinsip keadilan yang universal; artinya berlaku sepanjang waktu dan untuk semua manusia, apakah dia raja, bangsawan atau rakyat jelata. Hukum ini dinamakan Hukum Alam (natural law). Ketiga, karena kekuasaan atau kedaulatan negara berasal dari rakyat maka harus ada jaminan hak-hak individu dalam masyarakat. Hak tersebut antara lain hak-hak sipil dan hak-hak politik. Hak-hak sipil adalah hak untuk hidup, hak memperoleh pendidikan, hak untuk memiliki harta benda, hak untuk berusaha, hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan, hak atas kebebasan beragama dan lain-lain. Sedangkan hak-hak politik seperti kebebasan untuk berpartisipasi politik, hak untuk aktif melakukan kritik terhadap pemerintahan dan lain-lain. Keempat, perlunya kontrol kekuasaan agar penguasa negara tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
Dilain pihak teori Trias Politica yang dikembangkan oleh Montesquieu telah memberikan sebuah sumbangan besar bagi perkembangan gagasan Demokrasi. Pada prinsipnya teori ini menghendaki adanya pemisahan kekuasaan negara. Kekuasaan negara tidak boleh tersentralisasi pada seorang penguasa yang berarti kekuasaan tidak boleh bersifat personal atau dikuasai oleh sebuah lembaga politik tertentu saja. Montesquieu kemudian merumuskan tiga tipologi lembaga kekuasaan negara, yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Masing-masing lembaga ini memiliki peran dan fungsinya sendiri-sendiri. Secara teoritis, lembaga legislatif diharapkan dapat melakukan kontrol politik terhadap kekuasaan eksekutif bila menyimpang dari perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh lembaga ini. Montesquieu berpendapat bahwa lembaga atau kekuasaan legislatif adalah lembaga yang tugas utamanya merumuskan undang-undang atau peraturan-peraturan negara. Lembaga legislatif merupakan refleksi kedaulatan rakyat, yang menarik adalah rakyat yang dimaksud Montesquieu disini adalah berupa dewan rakyat dan bukan orang-orang yang mewakili rakyat seperti sekarang ini.
Dewan rakyat dalam pemahaman Montesquieu adalah semacam dewan yang terdapat di zaman Yunani dan Romawi kuno, yang anggotanya merupakan mediator rakyat dan penguasa, menjadi komunikator dan agregator aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Lembaga legislatif atau dewan perwakilan rakyat menjadi cermin kedaulatan rakyat. Dengan demikian lembaga perwakilan rakyat itu memiliki peranan strategis dalam teori kekuasaan Trias Politica. Teori Montesquieu ini dianut oleh sebagian besar negara barat seperti AS, Inggris, Perancis, dan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Para perumus UUD AS sangat dipengaruhi oleh Montesquieu, maka tidak terlalu mengejutkan jika sistem pemerintahan negara itu sangat kental diwarnai oleh gagasan-gagasannya. Montesquieu sendiri dikenal sebagai penganut Sekulerisme sejati, ia bahkan mengkritik dan menyindir Paus sebagai tukang sulap. Di dalam karyanya 'Surat-Surat Persia' (The Persian Letters) ia menyatakan bahwa Paus telah menyulap apa yang sebenarnya salah menjadi benar, seperti menuntut orang-orang untuk percaya pada doktrin Trinitas bahwa Tuhan terdiri dari tiga oknum tetapi tetap satu, dan bahwa roti dan anggur yang diminum dalam acara pembabtisan bukan roti dan anggur melainkan tubuh dan darah Yesus.
Dari penjelasan panjang di atas dapat ditarik sebuah benang merah tentang Demokrasi.
Bahwa di dalam sistem Demokrasi kekuasaan negara sepenuhnya adalah milik rakyat, suara rakyat adalah suara Tuhan, rakyatlah pemegang supremasi kekuasaan tertinggi, dan lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan cermin atau wujud dari kekuasaan rakyat tersebut. DPR memiliki tugas utama menyusun dan menetapkan undang-undang atau peraturan-peraturan negara. Undang-undang dan peraturan-peraturan negara atau ketetapan-ketetapan hukum yang dihasilkan oleh lembaga perwakilan rakyat tersebut kemudian digunakan oleh penguasa politik untuk mengatur semua sendi-sendi kehidupan warganegara dan secara umum semua manusia yang hidup di dalam negara.


Dengan kata lain, sistem Demokrasi menganggap bahwa penetapan hukum menjadi milik rakyat dan bukan milik Allah. Berangkat dari benang merah inilah, untuk selanjutnya pembahasan akan difokuskan pada Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan aktualisasi sistem Demokrasi, untuk mengungkap kesalahan fatal sistem Demokrasi ditinjau dari perspektif Islam yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah.
(diambil dari Tulisan Menggugat Thagut Demokrasi Oleh: Zulfadhli)

1 komentar:

  1. Las Vegas Casino & Hotel - Mapyro
    Find your way around the casino, find a room, 보령 출장안마 and enjoy yourself 의정부 출장마사지 at this 3-star Las Vegas Casino & Hotel. 3 star hotel in Las Vegas Strip, 안동 출장마사지 walk to LINQ 오산 출장샵 Promenade and  Rating: 4.3 · 동두천 출장샵 ‎8 reviews

    BalasHapus