ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

Rabu, 19 Februari 2014

PEMOGOKAN BURUH

Banyak buruh/pekerja yang menuntut kesejahteraan hidupnya dengan cara menuntut kepada perusahaan (majikan) tempatnya bekerja untuk lebih memperhatikan kesejahteraan hidup mereka. Tidak jarang, buruh/pekerja kemudian melakukan mogok. Bagaimana Islam mengatasi problematika perburuhan? Apakah buruh/pekerja dibolehkan melakukan mogok?

Problematika perburuhan sudah menjadi pemandangan sehari-hari kaum Muslim yang tidak pernah ada habisnya. Fenomena menarik ini menjadi alat propaganda yang efektif untuk menekan negeri-negeri Islam agar tunduk pada keinginan negara-negara Barat kapitalis. Tidak heran jika mereka (negara-negara Barat) rela mengeluarkan banyak dana untuk memperluas pengaruh politik dan memperbanyak aset-aset ekonomi mereka di negeri-negeri Islam, melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mepropagandakan penerapan HAM serta lembaga-lembaga yang terlibat langsung dalam menangani perburuhan.

Pada akhirnya masyarakat juga yang rugi. Untuk itu, masyarakat harus sadar tentang makar jahat negara-negara Barat yang kapitalis, serta bahayanya menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Disamping itu kaum Muslim harus mengetahui persoalan perburuhan menurut kaca mata Islam dan hukum-hukum Islam. Juga kaum Muslim harus mampu memisahkan antara urusan politik praktis dengan perburuhan, antara isu-isu HAM, hak berserikat, berbicara, berkumpul dan lain-lain dengan transaksi perburuhan. Begitu pula perlu dipahami bahwasanya pengusaha tidak sama dengan negara (kepala negara). Negara memiliki kewajiban menjamin/mengatur/memelihara seluruh kebutuhan hidup masyarakat. Sedangkan majikan terikat dengan transaksi ijarah.
Semua itu harus dipahami dan dimengerti oleh seluruh kaum Muslim, khususnya para buruh, agar mereka benar-benar tunduk dan patuh hanya pada hukum-hukum Islam dalam perburuhan. Selama hukum-hukum Islam yang berasal dari Zat Yang Maha Adil itu diabaikan, tidak diterapkan, dan disingkirkan, maka selama waktu itu pula kehidupan para buruh, dan kehidupan seluruh kaum Muslim akan menjumpai kesengsaraan, keresahan, kesewenang-wenangan dan kehancuran. Renungkanlah firman Allah Swt:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum (sistem hidup) Jahiliyah (Kapitalisme, Sosialisme, Komunisme dan ideologi lain selain Islam) yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik dari pada hukum Allah, bagi orang-orang yang yakin? (TQS. al-Maidah [5]: 50)

Islam tidak pernah mengenal problema perburuhan. Dalam Islam masyarakat tidak terpecah dua dalam klas buruh dan klas pengusaha, proletar dan borjuis, buruh tani dan tuan tanah, buruh nelayan dan juragan kapal, dan lain-lain. Sebab, mereka yang dikelompokkan dalam kategori buruh itu, dalam Islam seluruhnya disebut dengan ajîr (pekerja/buruh). Baik ajîr itu dari kalangan terpelajar dan terhormat, seperti konsultan, dosen, rektor, insinyur, para direktur dan manager yang digaji/diupah; ataupun ajîr yang mengeluarkan tenaga, seperti buruh pelabuhan, tukang becak, tukang cukur, tukang sayur, tukang sepatu, tukang jahit, buruh pabrik dan lain-lain. Baik buruh itu bekerja pada perorangan, kantor swasta, pabrik/lembaga/perusahaan, maupun yang bekerja pada negara (pegawai negeri), semuanya adalah ajîr.

Jadi semua orang yang bekerja, apapun bentuk pekerjaannya, dalam Islam dinamakan ajîr (pekerja/orang yang memperoleh upah karena telah mengeluarkan atau memberikan manfaat/jasa tertentu). Orang yang mengupahnya dinamakan musta’jir. Dan bentuk transaksi perburuhan/penyewaan tenaga di dalam Islam dikenal dengan istilah ijarah.

Dengan demikian kaum Muslim yang akan melibatkan diri dalam transaksi kerja, baik ia sebagai ajîr ataupun musta’jir, wajib mengetahui syarat-syarat, rukun, tata cara serta berbagai bentuk transaksi ijarah, termasuk jika terdapat perselisihan antara dua belah pihak yang mungkin muncul, harus dipecahkan juga dengan hukum Islam. Dari gambaran umum ini saja kita akan mengerti bahwa transaksi ijarah (perburuhan) hanya melibatkan dua belah pihak, yaitu ajîr dan musta’jir, dan bersifat individual.

Seandainya muncul perselisihan antara dua belah pihak mengenai (misalnya) upah, maka urusan ini diserahkan kepada para khubarâ ( para pakar yang dapat menentukan ajrun mitsli, yaitu upah yang layak untuk ajîr tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi pekerjaannya, daerah tempatnya bekerja dan pertimbangan-pertimbangan lainnya). Yang memilih khubarâ adalah dua belah pihak yang bersengketa. Jika khubara ini tidak ditaati dan tetap berselisih, maka urusannya diambil alih peradilan Islam (negara), yang dapat mengangkat khubarâ jabran (khubarâ yang keputusannya wajib ditaati oleh dua belah pihak).

Di dalam Islam ijarah itu didefinisikan sebagai akad/transaksi atas manfaat/jasa (yang dikeluarkan ajîr) dengan memperoleh imbalan (berupa upah/ujrah dari musta’jir)1. Berarti yang mendasari aqad/transaksi ini adalah manfaat yang dikeluarkan oleh ajîr. Upah/ujrah adalah harga atas manfaat yang dikeluarkan tadi. Dari sini kita memahami bahwa setiap buruh atau ajîr itu memberikan manfaat yang berbeda-beda sesuai dengan bentuk pekerjaan, pengalaman/ketrampilan, latar belakang pekerjaan dan lain-lain, sehingga besarnya upah tidak dapat diseragamkan. Upah hanya dapat dinegosiasikan oleh dua belah pihak yang melakukan transaksi (yaitu ajîr dan muta’jir). Pemerintah dalam hal ini tidak dapat campur tangan, apapun alasannya.
Tugas pemerintah adalah mengatur dan mengurus urusan seluruh rakyat, termasuk bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat, baik rakyat itu dari kalangan buruh maupun majikan. Disinilah letak keadilan Islam, yang tidak berpihak kepada para buruh saja, melainkan juga terhadap para majikan. Negara dalam hal ini wajib mengatasi dan menyingkirkan bentuk dan tindakan zhalim. Membiarkan kezhaliman berlangsung adalah perbuatan dosa dan maksiat, diharamkan oleh Allah Swt.

Apabila negara membiarkan kezhaliman berlangsung, maka seluruh rakyat (kaum Muslim) harus melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mengkritik penguasa dan meluruskannya. Jadi, bukan kewajiban para buruh semata, akan tetapi sudah menjadi kewajiban seluruh rakyat (kaum Muslim) menyingkirkan kezhaliman. Jika rakyat tidak mampu meluruskan penguasanya, persoalan ini dilimpahkan kepada mahkamah mazhalim. Keputusan mahkamah mazhalim wajib dijalankan, sehingga pembangkangan penguasa atas keputusan ini membolehkan kaum Muslim memaksa penguasa tersebut tunduk pada keputusan mahkamah mazhalim, meski dengan fisik/senjata.
Atas dasar ini, Islam tidak memasukkan persoalan-persoalan yang menyangkut kebutuhan buruh akan kesehatan, pendidikan, jaminan hari tua, imbalan pensiun atau PHK, biaya rekreasi, perumahan, dan lain-lain dalam transaksi ijarah. Sebab, definisi ijarah itu hanya berkait dengan manfaat yang diberikan oleh ajîr, serta dihargakan dengan upah yang disepakati oleh dua belah pihak. Titik. Wajar, jika manfaat yang diberikan itu sedikit, maka upahnya juga kecil sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Disinilah kewajiban penguasa untuk mendidik dan memberikan ketrampilan bagi rakyatnya semaksimal mungkin, disamping menyediakan lapangan kerja dengan menciptakan iklim berusaha yang positif. Jadi tidak dibebankan tanggung jawab ini kepada para majikan, lalu penguasa berlepas tangan, sebagaimana yang terjadi dalam sistem ekonomi kapitalis.
Transaksi ijarah juga tidak berhubungan dengan hak-hak politik warganegara, karena transaksi ini melibatkan ajîr dan musta’jir, serta memfokuskannya hanya pada manfaat yang dikeluarkan dan harga atas manfaat (upah). Jadi, tidak dapat disamakan hubungannya seperti antara rakyat dengan penguasa. Sehingga tidak dibenarkan dan tidak pernah ada faktanya dalam Islam memasukkan hak-hak berbicara, berkumpul, dan berserikat dalam transaksi perburuhan, apalagi memasukkan isu tentang penerapan HAM. Sebab persoalan-persoalan ini sudah dijamin kesempatan dan pelaksanaannya dalam sistem Islam bagi seluruh kaum Muslim.

Oleh karena itu setiap orang yang sudah menyetujui transaksi ijarah, baik ia sebagai ajîr (buruh) maupun musta’jir (majikan) wajib mentaati dan menjalankannya dengan sungguh-sungguh. Karena menepati dan menetapi perjanjian (akad) di dalam Islam itu termasuk kewajiban yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Melalaikan kewajiban itu merupakan dosa besar dan kesalahan yang patut diganjar dengan sanksi atau hukuman yang berat. Maka kewajiban ajîr (buruh) adalah bekerja sesuai dengan bentuk pekerjaan yang disepakati dengan musta’jir, menepati waktu kerja (jam kerja dalam sehari, hari dalam seminggu dan sebagainya), termasuk masa berlakunya kontrak tersebut. Dan kewajiban musta’jir adalah memberinya upah sesuai besarnya dengan kesepakatan kedua belah pihak, tepat pada waktunya, tanpa ditunda-tunda lagi. Kelalaian secara sengaja dari musta’jir, akan menyeret mereka ke dalam peradilan Islam. Dan peradilan Islam dapat memaksa musta’jir untuk membayar upah.
Dengan demikian, jika sistem perburuhan Islam ini diterapkan (karena memang hukum-hukumnya jelas, termasuk jika terdapat perselisihan), maka tidak akan pernah dijumpai persoalan perburuhan, yang saat ini sudah menyeret-nyeret unsur politik dan hak-hak buruh sebagai warga negara. Tidak akan ada pemogokan buruh, karena semuanya merujuk pada transaksi perorangan yang telah disepakati oleh ajir dan musta’jir sebelumnya. Bila buruh tetap melakukan pemogokan untuk menekan dan memaksa musta’jir membayar upah lebih banyak dari yang disepakati dalam transaksi, hal itu berarti pengkhianatan terhadap akad, yang dikecam oleh Islam, dan pelakunya berhak memperoleh sanksi yang berat. Firman Allah Swt:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (TQS. al-Maidah [5]: 1)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَخُونُوا اللهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (TQS. al-Anfal [8]: 27)

Lalu, apakah kita tetap akan mempertahankan diri dengan sistem jahiliah yang tidak menerapkan sistem perburuhan Islam (yang adil), sistem yang hanya menghasilkan kegelisahan, kerakusan, kesewenang-wenangan, dan kerusakan. Atau umat ingin meraih kemuliaan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun akhirat dengan memahami dan menerapkan sistem Islam, termasuk dalam perkara perburuhan ? Pilihan itu ada pada kaum muslimin sendiri ! Firman Allah Swt:
إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum, hingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (TQS. ar-Ra’d [13]: 11)

Selasa, 04 Februari 2014

Kerapuhan Argumentasi Pro Demokrasi

Banyak argumentasi pro demokrasi yang terus dipropagandakan di tengah umat Islam. Argumentasi-argumentasi itu tak jarang dibarengi dengan tikaman terhadap syariah dan Khilafah Islam. Ini tak boleh dibiarkan karena merupakan kemungkaran yang dapat menyimpangkan umat Islam dari jalan yang lurus (Lihat: QS al-Maidah [5] : 49).
Lagi pula, setiap argumentasi serapuh apapun, selalu ada potensi untuk dipercayai. Pepatah Arab mengingatkan, “Li kulli saqith laqith (Setiap barang yang jatuh, pasti ada yang memungutnya).”

Demokrasi: Memberikan Jalan kepada Islam?

Demokrasi diklaim memberikan jalan kepada semua ideologi termasuk Islam untuk berkembang, sementara Khilafah hanya membolehkan ideologi Islam. Yang melontarkan argumentasi itu biasanya kaum liberal. Jawabannya dua poin. Pertama: benar demokrasi memberikan jalan kepada semua ideologi, termasuk ideologi Islam, tetapi itu semu belaka. Mengapa? Sebab, selalu ada batas-batas tertentu yang tak dapat dilampaui oleh ideologi Islam. Batas ini merupakan garis demarkasi ideologis absolut yang tak mengenal toleransi, yaitu tuntutan penegakan Negara Islam (Khilafah). Jika garis demarkasi ideologis itu masih aman, kelompok dengan ideologi Islam dibolehkan berkembang. Namun, begitu garis “sakral” itu nyaris terlanggar atau terlampaui, demokrasi mempunyai mekanisme politik yang sangat kejam dan brutal untuk memberangus ideologi Islam. Contohnya, di Aljazair ketika FIS sebagai parpol Islam telah memenangkan pemilu tahun 1990-an lalu. Militer Aljazair, yang didukung Prancis, kemudian secara brutal membatalkan kemenangan tersebut. Contoh terakhir di Mesir, ketika Partai Kebebasan dan Keadilan (PKK) pimpinan Mursi memenangkan Pemilu tahun 2012. Militer Mesir di bawah Jenderal Abdul Fatah as-Sisi yang didukung AS, lalu melakukan kudeta terhadap Presiden Mursi pada tahun 2013, guna menghancurkan kemenangan kelompok Islam tersebut.
Kedua: benar Khilafah hanya membolehkan ideologi Islam, karena memang itulah yang menjadi tuntutan akidah dan syariah Islam. Sebab, Khilafah adalah negara berasaskan akidah Islam. Wajar dalam Khilafah tidak boleh ada kelompok atau parpol yang tidak berasaskan Islam.

Namun, itu tak berarti aspirasi dan kritik dari warga negara non-Muslim (ahludz-dzimmah) menjadi terlarang secara mutlak dalam Khilafah. Ada dua saluran formal yang dapat digunakan non-Muslim untuk menyampaikan kritik/aspirasi. Saluran pertama: Lembaga wakil rakyat, baik Majelis Umat, yakni suatu lembaga wakil rakyat pada level negara, maupun Majelis Wilayah, yaitu suatu lembaga wakil rakyat pada level propinsi (semacam DPRD). Lewat dua lembaga formal itu aspirasi atau kritik warga non-Muslim dapat disalurkan. Warga negara non-Muslim boleh menjadi anggota Majelis Umat atau Majelis Wilayah. Hanya saja, wewenangnya dibatasi hanya untuk menyampaikan pengaduan (syakwa) atau penyalahgunaan kekuasaan atas non-Muslim. Saluran kedua: Media massa karena media massa boleh dimiliki oleh setiap warga negara, baik Muslim atau non-Muslim. Tentu kritik yang disampaikan tidak boleh keluar dari bingkai Syariah Islam (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 1/291-295).

Demokrasi Minim Risiko?

Jalan demokrasi dikatakan lebih minim risiko daripada jalan revolusioner yang mungkin berdarah-darah. Biasanya ini argumentasi yang disampaikan aktivis Muslim yang masuk dalam sistem demokrasi. Mereka sadar, perubahan itu perlu, tetapi mereka selalu menolak perubahan sistem secara revolusioner.

Jawabannya ada tiga poin.
Pertama: benar jalan demokrasi minim risiko. Namun ingat, hasilnya juga minim. Mungkin hanya mengganti menteri, mengganti anggota DPR, atau mungkin menjadi presiden. Namun, tak mungkin terjadi perubahan signifikan lewat demokrasi, misalnya mengganti sistem demokrasi-kapitalis menjadi negara Khilafah.
Padahal perubahan yang diperlukan umat saat ini bukanlah perubahan kecil yang sekadar mengganti rezim (sosok pemimpin) yang ada, melainkan perubahan sistem menuju tegaknya Negara Islam (Khilafah). Jadi, perubahan yang dituju harus dua-duanya: mengganti pemimpin dan sistemnya. Imam Taqiyuddin an-Nabhani pernah menegaskan, “Umat Islam telah mengalami tragedi karena dua musibah. Pertama: penguasanya telah menjadi antek-antek kafir penjajah. Kedua: di tengah-tengah umat telah diterapkan apa-apa yang tidak diturunkan Allah, yaitu diterapkan sistem kufur.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Nida` Har ila al-Muslimin min Hizb at-Tahrir, hlm. 48)
Maka dari itu, perubahan yang diperlukan umat sekarang ini bukanlah sekadar perubahan kecil (mengganti rezim), melainkan juga perubahan yang besar, yaitu mengganti sistem yang ada menuju Khilafah. Jika dalam perubahan besar ini muncul risiko yang juga besar, tentu itu wajar.

Kedua: perubahan revolusioner memang sering dikonotasikan perubahan yang berdarah-darah. Namun sebenarnya yang dimaksudkan dengan perubahan revolusioner adalah perubahan yang bersifat menyeluruh dan segera, bukan perubahan bertahap (gradual/tadarruj), atau parsial pada aspek tertentu saja, misal aspek ekonomi saja. Dalam perubahan revolusioner seperti ini mungkin muncul ekses atau risiko. Itu adalah konsekuensi perjuangan. Apakah ada perjuangan yang tanpa risiko?
Ketiga: tidak tepat dikatakan perubahan lewat jalan demokrasi minim risiko, dalam arti tidak berdarah-darah. Perubahan lewat demokrasi juga bisa berdarah-darah. Contohnya, lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998. Kendati awalnya pelengseran Soeharto berasal dari desakan luar parlemen, toh akhirnya dianggap legal secara demokrasi. Bukankah pelengseran Soeharto itu berdarah-darah? Sebelum itu suksesi Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto tahun 1967 juga berdarah-darah. Toh itu pun akhirnya dianggap legal menurut demokrasi. Jadi, demokrasi juga bisa berdarah-darah, bukan?

Demokrasi Kompromis?

Demokrasi sering dikatakan bersifat kompromis sehingga memberikan ruang bagi semua pihak. Sering dikatakan inilah prinsip “take and give”, yaitu mengambil dan memberi. Artinya, tak bisa satu golongan mengambil semuanya, melainkan hanya mengambil sebagian, sedangkan sebagian lainnya harus diberikan kepada golongan lainnya. Tujuannya agar tercipta kompromi yang pada gilirannya akan menimbulkan harmonisasi masyarakat dan stabilitas politik.

Tampaknya argumentasi itu sangat indah dan luhur. Namun, dalam praktiknya, justru umat Islam yang lebih banyak menjadi korban. Yang dikorbankan acapkali bukan hanya soal kedudukan atau jabatan, melainkan ajaran Islamnya itu sendiri. Sebagai contoh: Dalam sidang-sidang BPUPKI menjelang kemerdekaan RI tahun 1945, ada dua aspirasi mengenai bentuk negara. Sebagian menginginkan Negara Islam yang menerapkan syariah Islam. Sebagian lagi menolak syariah Islam dengan aspirasi negara nasional yang sekular. Akhirnya, ditempuh kompromi sehingga lahir sila pertama Piagam Jakarta 1945 yang berbunyi: Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya. Jadi, syariaht Islam tidak diterapkan kepada semua warga negara, juga tidak ditolak sama sekali, melainkan dicari komprominya, yakni diterapkan kepada Muslim saja.
Padahal sila pertama yang kompromistis ini sebenarnya tidak sesuai dengan Islam. Sebabnya, Islam mestinya diterapkan kepada seluruh warga negara, bukan hanya kepada warga negara Muslim. Kepada non-Muslim diterapkan syariah Islam yang mengatur hukum publik (public order), seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, dan seterusnya. Adapun dalam urusan privat, seperti dalam masalah akidah, ibadah, pernikahan, busana, makanan, minuman, warga non-Muslim dipersilakan menganut dan menjalankan agamanya masing-masing, dalam bingkai syariah Islam (Muqaddimah ad-Dustur, Taqiyuddin An-Nabhani, 1/27-35).
Jadi, sifat kompromis dalam demokrasi terbukti telah mengorbankan norma syariah Islam, bukan hanya mengorbankan jabatan atau kedudukan seseorang. Yang lebih menyedihkan lagi, pasal kompromistis yang ditetapkan 17 Agustus 1945 itu hanya berumur satu hari. Pada hari berikutnya, 18 Agustus 1945, pasal itu mengalami perubahan lagi atas prakarsa Bung Hatta yang berpaham sekular, dengan menghapuskan tujuh kata, yaitu “Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya.” Walhasil, demokrasi yang kompromis telah terbukti mengorbankan norma syariah Islam, sesuatu yang wajib dihindari oleh umat Islam.

Demokrasi Universal?

Demokrasi diklaim lebih bersifat universal, yaitu bisa diterima oleh semua kelompok, sementara Khilafah Islam dikatakan sektarian, yaitu hanya mementingkan kelompok Islam saja.

Argumentasi itu tidak sesuai dengan kenyataan. Pasalnya, justru sifat sektarian itu dapat kita temukan di negara-negara Eropa yang menerapkan demokrasi. Praktik demokrasi di sana membuktikan kekuasaan hanya diprioritaskan bagi sekte tertentu dalam agama Kristen, sedangkan sekte lainnya cenderung dicegah untuk menduduki kekuasaan. Di Italia, misalnya, kekuasaan selalu dipegang pemeluk Katolik. Tak diijinkan sama sekali ada penganut sekte Kristen Protestan untuk menduduki kekuasaan. Itulah sebabnya mengapa partai yang selalu berkuasa di Italia adalah Partai Demokrasi Masehi yang didukung oleh gereja Katolik. Demikian pula di Spanyol. Kekuasaannya selalu dipegang penganut Katolik. Bahkan hak memilih dalam Pemilu pun hanya diberikan kepada penganut Katolik saja. Sebaliknya di Norwegia, yang mendominasi kekuasaan adalah para penganut Kristen Protestan. Raja yang berkuasa dan minimal setengah dari jumlah menteri, diharuskan beragama Kristen Protestan. Demikian pula di Swiss. Konstitusinya secara resmi membuat peraturan yang membatasi kekuasaan hanya pada penganut Kristen Protestan saja, dan sebaliknya sangat mempersulit masuknya orang Katolik dalam kekuasaan (Lihat Abdul Aziz Shaqr, An-Naqdh al-Gharbiy li al-Fikrah ad-Dimuqrathiyyah, hlm. 26-27).
Adapun dalam Khilafah, yang terjadi dalam sejarah bukanlah dominasi sekte tertentu, melainkan dominasi keturunan tertentu, seperti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Bani Utsmaniyyah. Itu fakta sejarah yang tak dapat dibantah. Namun, fakta sejarah tersebut tidak mewakili norma ideal yang sesungguhnya dari syariah Islam. Yang benar dalam Syariah Islam adalah, kekuasaan itu ada di tangan umat (as-sulthan li al-ummah), bukan di tangan keturunan atau keluarga tertentu. Khalifah seharusnya adalah jabatan hasil pilihan umat, bukan jabatan yang diwariskan dari ayah kepada anaknya. Islam tidak mengakui dan tidak mengenal sistem pewarisan kekuasaan yang lazim dalam sistem monarki/kerajaan (Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hlm. 28-29).

Demokrasi Modern dan Beradab?

Demokrasi dikatakan sistem politik modern dan lebih beradab. Sebaliknya, kembali kepada Khilafah Islam berarti kembali ke zaman terbelakang.
Jawabannya ada tiga poin.
Pertama: sebagai sistem pemerintahan memang demokrasi baru eksis pada ke-18 M di Eropa. Namun, secara ide dan filsafat, demokrasi sesungguhnya berakar pada sejarah Yunani kira-kira lima abad sebelum Masehi. Demokrasi sudah diperbincangkan dan diperdebatkan oleh para filosof Yunani yang hidup pada abad ke-5 SM, seperti Thrasymachus, Otanes, Megabyse, dan Xenophon. Demokrasi juga diperbincangkan oleh Sokrates (469-399 SM) hingga Aristoteles (384-322 SM). (Abdul Aziz Shaqr, An-Naqdh al-Gharbi li al-Fikrah ad-Dimuqrathiyyah, hlm. 20-22). Jadi, bagaimana mungkin demokrasi dikatakan sistem modern jika benih-benih idenya sudah dibicarakan sejak lima abad sebelum Masehi?
Kedua: jika dikatakan demokrasi lebih beradab, memang seakan-akan ada benarnya meskipun hakikatnya tidaklah demikian. Biasanya yang dicontohkan adalah sejarah Timur Tengah modern yang banyak dikuasai diktator. Seperti Irak pada masa Saddam Hussain, Iran pada masa Syah Iran, Libya pada masa Muammar Khadafi, Tunisia pada masa Burguiba, dan sebagainya.

Lalu demokrasi digambarkan telah datang sebagai dewa penolong yang menyelamatkan negara-negara tersebut dari kediktatoran. Seakan-akan Barat dengan demokrasinya betul-betul hebat dan mulia. Padahal justru negara-negara Baratlah (khususnya AS) yang menjadi pendukung di balik layar para diktator itu. Jadi, bagaimana mungkin negara pensponsor kediktatoran seperti AS, dikatakan sebagai negara beradab?
Kalau kita melihat sejarah, katakanlah mulai Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945) hingga kini, terbukti bahwa klaim demokrasi sebagai sistem beradab adalah klaim dusta. Bahkan demokrasi sebenarnya lebih tepat disebut sistem biadab, bukan sistem beradab. Siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap tewasnya puluhan juta manusia pada PD I dan PD II jika bukan negara-negara demokrasi seperti Inggris, Prancis, dan Jerman? Siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap tewasnya ratusan ribu jiwa manusia ketika AS sebagai negara demokrasi mengebom Hiroshima dan Nagasaki pada bulan Agustus 1945? Siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap tewasnya lebih dari satu jiwa Muslim di Irak sejak invasi militer AS pada tahun 2003?
Ketiga: jika yang dimaksud modern adalah sains dan teknologi, maka secara faktual memang kemajuan sains dan teknologi saat ini masih didominasi oleh negara-negara Barat yang notabene demokratis. Namun sesungguhnya, sains dan teknologi bukanlah produk dari ideologi demokrasi, melainkan produk dari penelitian ilmiah berdasarkan metode ilmiah (scientific method) yang bersifat universal dan netral-nilai. Jadi, ditinjau secara epistemologi, sains dan teknologi adalah sesuatu yang netral-nilai, bukan sesuatu yang terikat-nilai (value-bond), misalnya lah
ir dari paham demokrasi. Jadi, demokasi itu tak ada urusannya dengan sains dan teknologi.

Demokrasi Memberikan Kebebasan Ekspresi dan Kritik?

Demokrasi dikatakan memberikan jalan kepada semua orang untuk berperan, berekspresi dan melakukan kritik; sementara Islam tidak demikian. Argumentasi ini tak dapat diterima. Pasalnya, kebebasan berpendapat yang diserukan demokrasi itu sangat bertentangan dengan Islam. Ini ide yang berlebihan dan tak bertanggung jawab. Dikatakan berlebihan, karena demokrasi membolehkan berbicara apa saja; sesuai Islam atau tidak; mendukung atau menentang Islam. Semuanya boleh dalam demokrasi. Apakah umat Islam harus menerima kebebasan berpendapat dengan standar yang rusak seperti ini?
Dikatakan tak bertanggung jawab, karena penguasa dalam demokrasi merasa tak berkewajiban memberikan satu pendapat yang benar, atau melarang pendapat yang sesat, kepada masyarakat. Rakyat dibolehkan berbicara apa saja; boleh memilih pendapat apa saja, entah sesuai Islam atau tidak, entah sesat atau tidak. Semua terserah kepada rakyat. Apakah umat Islam harus menerima kebebasan berpendapat yang tak bertanggung jawab seperti ini?

Dalam Islam setiap perkataan atau kritik harus benar, yaitu sesuai syariah Islam, karena semua akan dicatat oleh malaikat dan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah pada Hari Kiamat nanti (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 70; Qaf [50]: 18).
WalLahu a’lam. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi]
sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2014/02/04/kerapuhan-argumentasi-pro-demokrasi/?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+hizbindonesia+%28Hizbut+Tahrir+Indonesia%29

Senin, 03 Februari 2014

SJSN dan BPJS: Memalak Rakyat Atas Nama Jaminan Sosial

Pesanan Para Kapitalis Asing
Konsep SJSN yang ditetapkan di Indonesia ini merupakan bagian dari Konsesus Washington dalam bentuk Program SAP (Structural Adjustment Program) yang diimplemetasikan dalam bentuk LoI antara IMF dan Pemerintahan Indonesia untuk mengatasi krisis. Program SAP inilah yang diterapkan IMF kepada negara-negara pasiennya di seluruh dunia termasuk Indonesia. D elapan kali penandatangan Letter of Intent (LoI) oleh Indonesia dan IMF selama periode 1997-2002 telah menghasilkan sejumlah undang-undang yang makin membuat rakyat menderita. Ragam UU tersebut juga makin kokohnya penjajahan sosial dan ekonomi di Indonesia melalui liberalisasi dan swastanisi pengelolaan sumberdaya alam serta komersialisasi layanan publik. Di bidang ekonomi ada UU PMA , UU Migas, UU Minerba dan UU SDA yang semuanya merugikan rakyat dan mengokohkan penjarahan kekayaaan milik rakyat oleh para kapitalis baik lokal maupun asing. Di bidang Pendidikan muncul UU Sisdiknas dan UU BHP yang melahirkan swastanisasi dan komersialisasi layanan pendidikan. Di bidang kesehatan ini lahirlah UU SJSN dan BPJS sebagai pelengkap komersialisasi dan swastanisai layanan publik di bidang kesehatan.
Hampir semua undang-undang yang disahkan oleh DPR adalah pesanan asing. Bahkan kebanyakan draft-nya sudah dibuat oleh mereka. DPR hanya bertugas untuk mengesahkan saja. Pembuatan UU tersebut merupakan bagian dari paket reformasi jaminan sosial dan keuangan pemerintah yang digagas oleh ADB pada tahun 2002 pada masa pemerintahan Megawati. Hal tersebut terungkap dalam dokumen Asian Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk, “Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR).” Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan, ”Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain.”
Nilai pinjaman program FGSSR ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun dengan kurs 9.000/US$. Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan bahwa ADB terjun langsung dalam bentuk bantuan teknis. “ADB Technical Assistance was provided to help develop the SJSN in line with key policies and priorities established by the drafting team and other agencies (Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain).”

SJSN dan BPJS: Memalak Rakyat
SJSN ini konsepnya mengikuti paradigma Barat atau sistem kapitalis dalam masalah jaminan sosial, yaitu sistem asuransi. Namanya terdengar bagus, Jaminan Sosial Nasional, tetapi isinya ternyata hanya mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh BPJS. Artinya, itu adalah swastanisasi pelayanan sosial khususnya di bidang kesehatan. Hal ini bisa kita lihat dari isi UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN itu. Dalam Pasal 1 berbunyi: Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Lalu Pasal 17 ayat (1) Setiap peserta wajib membayar iuran.
(2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala.

Dari dua pasal itu bisa kita pahami.
Pertama: terjadi pengalihan tanggung jawab negara kepada individu atau rakyat melalui iuran yang dibayarkan langsung, atau melalui pemberi kerja bagi karyawan swasta, atau oleh negara bagi pegawai negeri. Lalu sebagai tambal sulamnya, negara membayar iuran program jaminan sosial bagi yang miskin. Pengalihan tanggung jawab negara kepada individu dalam masalah jaminan sosial juga bisa dilihat dari penjelasan undang-undang tersebut tentang prinsip gotong-royong yaitu: Peserta yang mampu (membantu) kepada peserta yang kurang mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat; peserta yang berisiko rendah membantu yang berisiko tinggi; dan peserta yang sehat membantu yang sakit. Jadi, jelas undang-undang ini justru ingin melepaskan tanggung jawab negara terhadap jaminan sosial atau kesehatan.
Kedua: Yang akan menerima jaminan sosial adalah mereka yang teregister atau tercatat membayar iuran.
Ketiga: Jaminan sosial tersebut hanya bersifat parsial, misalnya jaminan kesehatan, tetapi tidak memberikan jaminan kepada rakyat dalam pemenuhan kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan maupun pendidikan.
Adapun BPJS adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, yang merupakan amanat dari UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN. BPJS akan menjadi lembaga superbody yang memiliki kewenangan luar biasa di negara ini untuk merampok uang rakyat. Tidak hanya kepada para buruh, sasaran UU ini adalah seluruh rakyat Indonesia. Kedua UU tersebut mengatur asuransi sosial yang akan dikelola oleh BPJS. Hal ini ditegaskan oleh UU 40/2004 pasal 19 ayat 1 yang berbunyi: Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Juga Pasal 29, 35, 39, dan 43.

Semua pasal tersebut menyebutkan secara jelas bahwa jaminan sosial itu diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial.
Prinsip asuransi sosial juga terlihat dalam UU Nomer 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Pada Pasal 1 huruf (g) dan Pasal 14 serta Pasal 16 disebutkan bahwa BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan prinsip kepesertaan yang bersifat wajib.
Inilah fakta sebenarnya dan bahaya UU SJSN dan BPJS bagi rakyat. Rakyat dipalak sedemikian rupa atas nama kepentingan negara dalam menjamin layanan kesehatan dan sosial lainnya. Bagaimana tidak memalak. UU itu menyiapkan seperangkat sanksi bagi rakyat yang tidak mau membayar premi. Jadi, bohong jika dikatakan bahwa UU ini akan membawa kesejahteraan bagi rakyat. Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di Indonesia. Saat ini institusi bisnis asuransi multinasional tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibuka antara lain oleh UU 40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11 huruf (b); disebutkan bahwa BPJS berwenang menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi. Ini merupakan bukti nyata dari pengaruh neoliberalisme yang memang sekarang sedang melanda Indonesia.

Bukti Pemerasan
Berdasarkan PP 101 tahun 2012 dan Perpes No. 12 tahun 2013, SJSN akan mulai diberlakukan mulai tahun 2014 ini, Akan tetapi, kedua peraturan tersebut semakin memperjelas bahwa jaminan sosial yang selama ini dijanjikan sebenarnya adalah pemalakan kepada rakyat untuk kepentingan perusahaan asuransi. Karena itu, sangat wajar kedua peraturan tersebut juga ditolak oleh mereka yang selama ini sangat mendukung dan menuntut segera dilaksanakan UU SJSN, seperti Komite Aksi Jaminan sosial dan Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI).
Beberapa aturan tekhnis yang ada dalam PP tersebut menunjukkan bahwa SJSN adalah privatisasi atau komersialisasi layanan publik. Dalam PP itu disebutkan bentuk badan hukum saja, bukan badan hukum publik. Dengan bentuk badan hukum publik saja, seperti Perguruan Tinggi, nuansa komersialisasi tidak bisa dihindarkan. Apalagi kalau badan hukumnya selain badan hukum publik, misalnya Perseroan Terbatas (PT). Kalau bentuknya PT jangan diharap ada pengutamaan pelayanan karena PT orientasinya adalah profit atau keuntungan.

Masyarakat yang akan mendapat pelayanan kesehatan adalah mereka yang membayar iuran premi asuransi. Dalam kedua PP tersebut tidak disebutkan besarnya iuran. Namun, berdasarkan draft PP dan Usulan Pokja BPJS ada 3 kelompok kepesertan, yaitu: (1) Kelompok Miskin atau Penerima Bantuan Iuran dengan premi yang harus dibayar sebesar Rp 22.500 perbulan dan berhak mendapat pelayanan kesehatan kelas 3; (2) Kelompok yang menginginkan pelayanan kelas 2 membayar Rp 40.000 perbulan; (3) Kelompok yang menginginkan Pelayanan Kelas 1 harus membayar premi Rp 50.000 perbulan.
Dalam Pasal 17 UU SJSN disebutkan yang akan menerima jaminan sosial adalah mereka yang terregister atau tercatat membayar iuran. Jadi, yang tidak tercatat atau tercatat tetapi belum membayar atau punya tunggakan kemungkinan besar akan ditolak atau tidak akan mendapat layanan dari rumah sakit.
Tim Pokja BPJS mengajukan Penerima Bantuan Iuran untuk rakyat miskin sebesar Rp 22.200 perorang perbulan dengan jumlah rakyat miskin 96,4 juta sehingga total sekitar Rp 25, 5 Triliun. Namun, Menkeu hanya menyetujui Rp15.500 perorang dengan orang miskin yang ditanggung sebesar 86 juta atau total Rp 16 Triliun. Artinya, rakyat miskin yang selama ini dijanjikan gratis ternyata harus membayar sebesar Rp 6.700 karena Pemerintah hanya menanggung premi Rp 15.500. Artinya, kalau nunggak atau tidak membayar jelas tidak akan mendapatkan layanan kesehatan.

Yang juga perlu diperhatikan, Penerima Bantuan Iuran bentuknya adalah subsidi yang sifatnya sementara dan setiap saat bisa dihapuskan, sehingga rakyat miskin harus membayar secara penuh.

Walaupun sudah membayar iuran premi belum tentu orang miskin ini akan mendapat pelayanan kesehatan yang memadai. Sebab, menurut Ikatan Dokter Indonesia, iuran sebesar Rp 22.200 itu dinilai belum mencukupi nilai keekonomian pelayanan kesehatan. Hal itu dikhawatirkan bisa menurunkan mutu layanan medis karena tidak cukup untuk membiayai tenaga medis, obat-obatan, investasi, dan biaya lain. Ikatan Dokter Indonesia mengusulkan, besaran iuran setidaknya Rp 60.000 perorang perbulan. Selain itu, ternyata tidak semua jenis layanan kesehatan dijamin oleh sistem tersebut. Di antaranya adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku; pelayanan kesehatan yang dilakukan di Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan; juga pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar biasa atau wabah (lihat pasal 25 ayat a sampai n PERPRES No, 12 Tahun 2013). Dengan demikian, seorang pasien dirawat akibat wabah tertentu seperti Demam Berdarah (DBD), misalnya, ia tidak berhak mendapatkan layanan gratis alias harus bayar.
Yang cukup menarik, penentuan besarnya orang miskin yang akan mendapat bantuan. Tim POKJA BPJS mengajukan 96 juta orang, sementara yang disetujui 86 juta Orang. Selama ini Pemerintah menyatakan berdasarkan data BPS, misalnya tahun 2012, orang miskin itu sekitar 30 juta orang. Ini menunjukkan data orang miskin yang sebenarnya atau untuk menjadi lahan korupsi baru dengan mengkorupsi dana APBN dengan alasan untuk orang miskin?
Itulah sebagian keburukan-keburukan SJSN yang selama ini dianggap akan memberikan jaminan sosial bagi masyarakat, ternyata hanya akan menambah beban atau penderitaan baru bagi masyarakat.

Hanya Sistem Islam yang Bisa Mewjudukan Jaminan Sosial
Berdasarkan hal di atas jelas bahwa sistem jaminanan sosial, khususnya dalam bidang kesehatan, hanyalah mengalihkan tanggung jawab pelayanan kesehatan oleh Pemerintah kepada rakyat. Selain membebani rakyat, sistem pelayanan kesehatan tersebut bersifat diskriminatif karena yang ditanggung oleh Pemerintah hanyalah orang miskin saja. Adapun yang dianggap mampu harus membayar sendiri. Tragisnya lagi, pelayanan kesehatan terhadap rakyat dibedakan berdasarkan status ekonomi dan jabatannya.
Hal tersebut jelas bertentangan dengan Islam. Pasalnya pelayanan publik merupakan tugas Pemerintah yang tidak boleh dialihkan kepada pihak lain. Pelayanan tersebut juga harus bersifat menyeluruh dan tidak diskriminatif. Rasulullah saw. bersabda:
اَلإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam adalah pelayanan yang bertanggung jawab atas rakyatnya (HR Muslim).
Hadis tersebut setidaknya menunjukkan dua hal: hanya pemimpin saja yang berhak melakukan aktivitas pelayanan (ri’ayah) dan pelayanan tersebut bersifat umum untuk seluruh rakyat karena kata rakyat (ra’iyyah) dalam hadis tersebut berbentuk umum.
Kewajiban pemenuhan pelayanan kesehatan dan pengobatan oleh negara telah ditunjukkan oleh sejumlah dalil syariah. Pelayanan kesehatan merupakan bagian dari urusan rakyat, bahkan merupakan perkara yang amat penting bagi mereka. Salah satu dalilnya adalah ketika Rasulullah saw. dihadiahi seorang tabib, beliau menjadikan tabib itu untuk kaum Muslim dan bukan untuk dirinya pribadi (Al-Maliky, As-Siyâsah al-Iqtishâdiyyah al-Mutslâ, hlm. 80). Dalil lainnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah saw. pernah mengirim tabib kepada Ubay bin Kaab. Kemudian tabib tersebut membedah uratnya dan menyundutnya dengan kay (besi panas). Kedua riwayat ini menunjukkan bahwa penyediaan layanan kesehatan dan pengobatan wajib disediakan oleh negara secara gratis bagi yang membutuhkannya (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 19).
Itulah sistem jaminan pelayananan kesehatan dalam Islam. Namun, sistem tersebut hanya bisa dijalankan dalam ketika syariah Islam dijalan secara kaffah dalam institusi Daulah Khilafah Islamiyah. WalLahu a’lam.
[Dr. Arim Nasim, M.Si.,Ak. (Lajnah Mashlahiyyah DPP HTI)]

http://hizbut-tahrir.or.id/2013/04/25/sjsn-dan-bpjs-memalak-rakyat-atas-nama-jaminan-sosial/

Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K): SJSN dan BPJS: Proyek Asing!

Pandangan Ibu tentang Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial (UU SJSN)?
Undang-undang SJSN ini telah memalsukan nama. Namanya saja Sistem Jaminan Sosial Nasional. Padahal isinya adalah menarik iuran wajib tiap bulan dari masyarakat tanpa pandang bulu, kaya maupun miskin, dengan cara yang murah. Sekalipun nanti yang miskin akan dibayari Pemerintah, tapi atas nama hak sosial ini sebenarnya rakyat ditipu. Coba dilihat di Bab 5 pasal 17, ayat 1, 2 dan 3 UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Ayat 1: Tiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya berdasarkan prosentase upah atas suatu jumlah nominal tertentu. Ayat 2: Pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya dan menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan ke BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, red.) secara berkala. Ayat 3: besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.

Jadi, nggak ada sisi positif dari UU SJSN ini?
Nggak ada sama sekali. UU SJSN ini harus dirombak total!

Mengapa?
Lha wong UU SJSN ini bidannya asing. Pihak-pihak yang terlibat juga akan menyesuaikan dengan kepentingan asing. Rakyat kita sekarang ini sudah susah. Harga-harga barang terus naik. Uang belanja seminggu bisa jadi sekarang hanya cukup untuk tiga hari. BBM juga naik. Cari kerjaan susah. Kok ya masih harus ditarik iuran. Sakit nggak sakit harus bayar iuran. Apa orang-orang itu (wakil rakyat, red.) ndak mikir rakyat tambah sengsara.

Namun, ada yang mengatakan UU SJSN ini positif untuk menjamin kesejahteraan masyarakat miskin?
Faktanya kan UU ini isinya jelas membebani rakyat, tidak sesuai dengan konstitusi. Ini sama saja dengan memaksa rakyat untuk ikut asuransi. Jelas berbeda arti jaminan sosial dengan bayar premi asuransi. Jaminan sosial itu kewajiban Pemerintah, sementara iuran atau premi itu kewajiban peserta asuransi kepada perusahaan asuransi. Nanti yang untung besar kan perusahaan asuransi, rakyat yang sakit, ya bayar-bayar juga.

Bagaimana jaminan sosial yang konstitusional?
Pertama: Jamsosnas (Jaminan Sosial Nasional, red.) itu wujud tanggung jawab Pemerintah dalam melindungi rakyatnya sesuai perintah konstitusi. Kedua: Jamsosnas sebagai hak sosial rakyat dan kewajiban Pemerintah untuk membiayai melalui APBN sehingga Pemerintah tidak perlu lagi memungut iuran, memotong gaji dan upah PNS, buruh dan prajurit. Ketiga: Jamsosnas adalah program untuk seluruh rakyat tanpa diskriminasi, yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan umum. Keempat, Jamsosnas harus segera diselenggarakan oleh Pemerintah sesuai kemampuan secara transparan dan bertanggung jawab.

Dalam sistem Islam, pelayanan kesehatan merupakan hak dasar rakyat yang sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Menurut Ibu?
Ya, memang seharusnya begitu. Kesehatan itu hak dasar manusia. Nabi Muhammad saw. kan juga mementingkan kesehatan, memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakat. Kalau rakyat sehat kan jadi produktif, kuat bekerja. Yang punya uang bisa berusaha memutar uangnya. Yang punya profesi bisa giat bekerja. Yang cuma punya otot juga masih bisa nyangkul. Ini adalah kewajiban Pemerintah untuk menyehatkan rakyatnya.

Bagaimana upaya ideal untuk mewujudkan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat tersebut?
Idealnya, ya Pemerintah bertanggung jawab memenuhi hak-hak dasar itu sebagai wujud melindungi bangsa dan tumpah darah Indonesia. Setiap orang punya hak atas jaminan sosial termasuk PNS, buruh tani, polri, TNI, sektor informal, dll (sesuai UUD 45 pasal 28H ayat 3). Fakir-miskin dan anak terlantar juga harus dipelihara negara (UUD 45 pasal 34 ayat 1). Jadi, negara harus mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Bagaimana dengan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) yang akan disahkan DPR nanti?
UU BPJS adalah turunan atau implementasi dari UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN yang keberadaannya atas sponsorship kepentingan pengusaha asing. Meskipun namanya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, isinya bukan tentang jaminan sosial, tetapi cara mengumpulkan dana masyarakat secara paksa, termasuk dana APBN untuk masyarakat miskin. Dana dari 250 juta rakyat Indonesia itu nanti disetor ke BPJS lalu dikuasakan ke segelintir orang yang namanya wali amanah. Lembaga ini sangat independen, tidak boleh ada campur tangan Pemerintah. Nanti dana yang terkumpul ini akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu, termasuk perusahaan asing, yang sulit dipertanggungjawabkan. Padahal dana ini dikumpulkan dari seluruh rakyat. Ini kan aneh!

Bila RUU BPJS jadi disahkan, apa dampak buruk bagi rakyat?
Jelas rakyat tambah beban, karena rakyat dipaksa untuk membayar iuran. Sakit nggak sakit ditarik iuran. Kalau rakyat nggak mau bayar dikenakan sanksi. Yang tidak punya kartu jaminan sosial tidak bisa berobat ke rumah sakit. Bisa jadi nggak bisa ngurus KTP kalau nggak punya kartu Jamsosnas. Kesimpulannya, dampak sosialnya adalah memiskinkan rakyat yang belum miskin. RUU BPJS ini mengubah hak sosial rakyat menjadi kewajiban rakyat. Artinya, Pemerintah melepaskan tanggung jawabnya dalam melindungi rakyatnya.

Siapa sebenarnya pihak yang paling diuntungan dengan disahkannya RUU BPJS ini?
Ya, wakil-wakil rakyat yang memperjuangkan mati-matian RUU BPJS itu. Mana mungkin mereka teriak-teriak kalau ndak kebagian keuntungan. Sudah jelas ini proyek untuk membesarkan cengkeraman Kapitalisme global. Masak mereka nggak tahu, nggak mikir! Apalagi kalau empat BUMN (ASABRI, TASPEN, JAMSOSTEK, ASKES) digabungkan, ini menyangkut dana 190 triliun!

Apa benar ADB (Asian Development Bank) akan menjadi mitra dalam proyek BPJS ini?
Benar!

Jadi, UU SJSN dan RUU BPJS ini murni inisiatif Pemerintah atau siapa?
Ya ADB itu yang bikin desainnya.

Jaminan sosial kok dibiayai dari utang dan iuran masyarakat? Apakah kekayaan alam negeri Indonesia ini masih kurang cukup untuk memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat?
Makanya rakyat harus tahu bahwa ini jelas kebohongan atas nama hak sosial rakyat. RUU BPJS harus ditolak! Kekayaan alam Indonesia ini sudah cukup untuk memakmurkan rakyat Indonesia.

Jadi apanya yang salah di Indonesia ini, kekayaan alamnya luar biasa tapi kok kesejahteraan masyarakatnya sulit dicapai secara merata?
Di UUD pasal 33 kan juga disebutkan begitu. Yang salah ya pejabat-pejabatnya banyak yang korup, pejabat amplop! Pemerintahnya, baik yang sekarang maupun yang sebelum-belumnya menjadi perpanjangan tangan kepentingan asing. UUD diamandemen sehingga memberikan peluang yang lebih besar bagi lahirnya kebijakan-kebijakan yang menguntungkan Kapitalisme global. Banyak proyek pesanan asing yang dimasukkan melalui lembaga-lembaga resmi yang berada di Indonesia. Makanya, penguasaan kekayaan alam Indonesia harus direnegosiasi (ditinjau ulang); harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pejabat yang suka amplop jangan dipakai lagi. Pejabat kan seharusnya mengabdi untuk kepentingan rakyat, bukan mengabdi untuk kepentingan asing. [Nanik Wijayati]

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/08/04/siti-fadilah-supari-spjpk-sjsn-dan-bpjs-proyek-asing/

Asing di Balik UU SJSN dan BPJS!

Walaupun banyak yang menentang karena dianggap perangkap neoliberal, seluruh fraksi di DPR sudah setuju RUU BPJS disahkan menjadi UU sebelum masa reses DPR (bulan Juli 2011) artinya seluruh DPR sudah bulat (Tribunnews.com, 6/07/2011).
UU tersebut menurut anggota komisi IX Surya Chandra Surapati mau mengejawantahkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sesuai falsafah gotong-royong dan Pancasila terutama Sila Kelima, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pernyataan ini dikemukakan oleh Surya ketika menanggapi adanya pendapat bahwa ada upaya untuk meneoliberalisasikan jaminan kesehatan dan jaminan sosial di dalam RUU BPJS dalam Rapat Kerja Komisi IX dengan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih yang dipimpin langsung oleh Ketua Komisi IX Ribka Tjiptaning di Gedung Nusantara I DPR, Senin (14/6).
Jelas sekali, tidak ada perbedaan antara Pemerintah dan DPR kecuali perkara-perkara teknis mengenai bentuk dan wewenang badan pengelola tersebut. Padahal faktanya UU ini, menurut mantan menteri kesehatan Ibu Siti Fadilah Supari, yang kini menjadi anggota Wantimpres, isinya jelas membebani rakyat, tidak sesuai dengan konstitusi. Ini sama saja dengan memaksa rakyat untuk ikut asuransi sehingga UU SJSN ini nggak ada manfaatnya sama sekali dan harus dirombak total!
Jika ditelusuri dengan cermat, UU SJSN dan RUU BPJS tersebut sebenarnya mengandung banyak masalah dari mulai paradigma sampai pada tataran teknis baik menurut konstitusi negara ini apalagi menurut tinjauan syariah Islam.

Meminimalkan Peran Negara
Kesalahan mendasar dari sistem jaminan sosial yang muncul dari sistem ekonomi kapitalis ini—yang kemudian diadopsi dalam UU SJSN—adalah negara tidak boleh ikut campur tangan dalam menangani urusan masyarakat, termasuk dalam urusan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat seperti kesehatan, pendidikan maupun keamanan. Semua urusan masyarakat, khususnya bidang ekonomi dan sosial, diserahkan kepada mekanisme pasar. Karena itulah, walaupun namanya Sistem Jaminan Sosial Nasioanal, isinya adalah menarik iuran wajib tiap bulan dari masyarakat tanpa pandang bulu, kaya maupun miskin, dengan cara yang murah. Sekalipun nanti yang miskin akan dibayari Pemerintah, tetapi atas nama hak sosial ini sebenarnya rakyat ditipu. Hal ini menurut Sri Fadilah bisa dilihat pada bab 5 pasal 17, ayat 1,2 dan 3 UU No. 40/2004 tentang SJSN. Ayat 1: Tiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya berdasarkan % upah atas suatu jumlah nominal tertentu. Ayat 2: Pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya dan menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan ke BPJS secara berkala. Ayat 3: Besarnya iuran ditetapkan untuk setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
Untuk menjustifikasi bahwa UU SJSN ini bukan produk neoliberal mereka menggunakan dalih falsafah gotong-royong yang ada dalam Pancasila sebagaimana yang diungkapkan oleh anggota DPR dari fraksi IX di atas. Wajar kalau mantan Menteri Kesehatan Bu Sri Fadhilah menganggap UU ini telah memalsukan nama sehingga isinya harus dirombak total karena tidak ada manfaatnya untuk rakyat, bahkan hanya akan menimbulkan penderitaan baru bagi rakyat.

Membebani Rakyat
Menurut Arim Nasim, konsep jaminan sosial merupakan kebijakan tambal-sulam untuk menutupi kegagalan sistem kapitalis. Melalui konsep keadilan sosial atau negera kesejahateraan maka negara—yang sejatinya dalam sistem kapitalis tidak boleh campur tangan langsung dalam urusan sosial kemasyarakatan—dapat menjalankan beberapa pelayanan sosial. Konsep ini sebetulnya hanya untuk menutupi kelemahan sistem kapitalis. Berkat konsep inilah sistem kapitalis masih bisa bertahan.
Sistem Jaminan sosial sendiri merupakan program yang bersifat wajib bagi seluruh rakyat. Mereka diwajibkan terlibat dalam kepesertaan dengan cara membayar iuran atau premi secara reguler kepada pelaksana, dalam hal ini BPJS. Dengan demikian, pengingkaran terhadap kewajiban tersebut bagi mereka yang dikategorikan mampu dianggap sebagai pelanggaran hukum. Pasal 1 UU tersebut berbunyi: Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.
Karena itu, sebagaimana halnya pajak, pemilik perusahaan juga diwajibkan untuk menarik iuran kepada karyawannya melalui pemotongan gaji. Demikian pula para pekerja di sektor informal seperti petani, nelayan, buruh kasar yang dipandang tidak miskin; mereka juga akan dipunguti iuran. Kebijakan ini jelas akan semakin menambah kesengsaraan rakyat, apalagi definisi orang yang dikategorikan miskin di negara ini sangat beragam. Ada garis kemiskinan yang dikeluarkan Pemerintah setiap tahun berdasarkan survei pengeluaran rumah tangga. Adapula pula standar kemiskinan Bank Dunia sebesar US$ 2 perhari. Selain itu, ada Survey Rumah Tangga Sasaran Penerima Bantuan Langung Tunai (BLT) yang menetapkan orang miskin berbeda dengan kriteria sebelumnya. Masing-masing standar tersebut menghasilkan jumlah orang miskin yang berbeda. Apalagi dengan standar kemiskinan baru yang ditetapkan Standar Statistika Negara melalui Badan Pusat Statistik yang menetapkan standar kemiskinan baru untuk perkotaan semakin rendah dengan pengeluaraan sebesar Rp 7.000 perhari (Pikiran Rakyat, 14/7/2011). Berarti angka kemiskinan akan turun drastis dan muncul orang kaya baru? Pasalnya, orang yang berpenghasilan Rp 217.000 perbulan dengan asumsi satu bulan 31 hari mereka tidak lagi masuk kategori miskin. Padahal banyak pekerja di negeri ini termasuk di sektor formal, sekalipun yang pendapatannya jauh di atas, tidak bisa memenuhi kebutuhan pokok yang layak. Selain itu, akibat tingginya inflasi yang tidak dapat dikendalikan Pemerintah, komersialisasi berbagai fasilitas publik, dan perluasan pungutan pajak, membuat biaya hidup rakyat akan semakin tinggi. Jika mereka kembali dipaksa untuk membayar iuran jaminan sosial tersebut maka dapat dipastikan beban hidup yang akan mereka tanggung akan semakit berat.

Badan Pelaksana
Meski pengelolaan dana jaminan sosial bersifat nirlaba, yakni keuntangannya dikembalikan kepada peserta, BPJS memiliki independensi dalam pengelolaan dana tersebut. Dalam RUU BPJS pasal 8 (b) disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk “menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbang-kan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana dan hasil yang memadai.” Dengan demikian, BPJS berhak mengelola dan mengembangkan dana tersebut pada berbagai kegiatan investasi yang dianggap menguntungkan. Dana tersebut, seperti dana asuransi lainnya, dapat diinvestasikan pada berbagai portofolio investasi seperti saham, obligasi dan deposito perbankan.
Menurut Siti Fadhilah, meskipun namanya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, isinya bukan tentang jaminan social; tetapi cara mengumpulkan dana masyarakat secara paksa, termasuk dana APBN untuk masyarakat miskin. Dana dari 250 juta rakyat Indonesia itu nanti disetor ke BPJS lalu dikuasakan ke segelintir orang yang namanya wali amanah. Lembaga ini sangat independen, tidak boleh ada campur tangan Pemerintah. Nanti dana yang terkumpul ini akan digunakan untuk kepentingan bisnis kelompok tertentu, termasuk perusahaan asing, yang sulit dipertanggungjawabkan. Padahal dana ini dikumpulkan dari seluruh rakyat. Apalagi kalau 4 BUMN (ASABRI, TASPEN, JAMSOSTEK, ASKES) digabungkan, ini menyangkut dana 190 triliun!
Karena itu, wajarlah kalau UU SJSN dan RUU BPJS, sebagaimana halnya UU lain, sarat dengan intervensi asing. Pembuatan UU tersebut merupakan bagian dari paket reformasi jaminan sosial dan keuangan Pemerintah yang digagas oleh ADB pada tahun 2002 pada masa pemerintahan Megawati. Hal tersebut terungkap dalam dokumen Asian Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk, “Financial Governance and Social Security Reform Program (FGSSR).” Dalam dokumen tersebut antara lain disebutkan: “Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain.” Nilai pinjaman program FGSSR ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun dengan kurs 9.000/US$.
Dalam kondisi tertentu, dana tersebut dapat dimanfaatkan Pemerintah untuk mem-bail-out sektor finansial jika terjadi krisis. Pada krisis 2008, misalnya, Pemerintah Indonesia pernah memerintahkan beberapa BUMN untuk melakukan buy-back saham-saham di pasar modal untuk membantu mengangkat nilai IHSG yang melorot tajam akibat penarikan modal besar-besaran oleh investor asing.
Dengan demikian, yang diuntungkan dengan pemberlakukan UU tersebut adalah para investor dan negara-negara yang pembiayaan anggarannya bergantung pada sektor finansial. Inilah salah satu alasan mengapa pihak asing berambisi untuk mengegolkan UU ini.
Di sisi lain, dengan alasan agar dana yang dihimpun dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang, maka pembayaran klaim terhadap peserta asuransi seperti pelayanan kesehatan, santunan kepada para pensiunan akan bersifat minimalis. Bahkan yang lebih tragis, sebagaimana yang terjadi di negara lain, perusahaan-perusahaan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS, dengan berbagai alasan, dapat meningkatkan klaim pembiayaan kepada BPJS. Konsekuensinya, biaya iuran yang dikenakan BPJS kepada para peserta akan ditingkatkan. Jika masih kurang, negara dipaksa untuk memberikan dana talangan.

Tidak Menyelesaikan Masalah
Jaminan Sosial ini bagi sebagian kalangan dipandang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya penduduk miskin. Padahal kenyataannya tidak, karena jaminan sosial tidak dimaksudkan untuk menjamin seluruh kebutuhan dasar rakyat. Bahkan dalam UU SJSN jaminan tersebut hanya terbatas pada asuransi kesehatan, kecelakaan, hari tua dan kematian. Padahal problem utama penduduk miskin adalah tidak tercukupinya kebutuhan dasar mereka secssara memadai khususnya pangan, sandang dan papan.
Bahkan di negara-negara yang dianggap maju sekalipun, sistem jaminan sosial pada faktanya tidak mampu mencakup berbagai kebutuhan dasar rakyatnya. Buktinya, mengutip data ILO, pengangguran yang menerima jaminan sosial di negara-negara berpenghasilan tertinggi sekalipun hanya 39% dari total pengangguran yang ada. Di AS dan Kanada, pengeluaran biaya kesehatan masyarakat yang dapat di-cover oleh belanja pemerintah termasuk melalui jaminan sosial hanya 47%. Selebihnya masih ditanggung oleh publik (ILO, 2011).

Dalam sistem Kapitalisme, pemenuhan kebutuhan dasar tersebut tidak menjadi tanggung jawab negara. Negara yang menganut sistem tersebut sebagaimana Indonesia tidak memiliki metode baku dalam mendistribusikan kekayaan kepada orang-orang yang tidak mampu. Negara hanya berupaya agar pendapatan perkapita rakyat secara agregat mengalami peningkatan tanpa melihat apakah masing-masing individu rakyatnya mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan pangan, sandang dan papan tetap menjadi tanggungjawab rakyatnya sendiri.

Memang di negara-negara kapitalis, negara kadangkala melakukan intervensi dalam bentuk subsidi. Namun demikian, berbagai subsidi tersebut tidak dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh rakyatnya. Di Indonesia, misalnya, ada program penjualan beras miskin (raskin), Jamkesmas dan bantuan biaya pendidikan sebesar 20% dari APBN. Namun, tetap saja jumlah dan cakupannya sangat terbatas sehingga tidak mampu menjangkau seluruh penduduk yang terkategori miskin.
Penyebab utama dari masalah ini adalah kelemahan ideologi Kapitalisme dalam mendistribusikan kekayakan di tengah-tengah masyarakat. Fokus utama dari sistem ekonomi negara ini adalah pertumbuhan. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai, semakin tinggi kesejahteraan yang dapat dicapai. Namun faktanya, kekayaan yang dihasilkan dari pertumbuhan tersebut hanya dinikmati oleh mereka yang unggul dalam kegiatan ekonomi khususnya para pemodal. Adapun mereka yang tersisih dari kegiatan ekonomi, seperti orang jompo, orang cacat, pengangguran, tetap tidak dapat menikmati kekayaan tersebut.

Para pemikir dan pengambil kebijakan di negara-negara Kapitalisme bukan tidak menyadari hal tersebut. Berbagai cara ditempuh untuk menambal ‘lubang besar’ sistem ini, termasuk pemberian subsidi dan program jaminan sosial. Namun kenyataannya, kemiskinan, pengangguran, disparitas pendapatan yang tinggi, malnutrisi dan akses kesehatan yang mahal tetap menjadi masalah yang tak dapat dipecahkan oleh sistem ini. [Muhammad Ishak/Lajnah Maslahiyyah DPP HTI]

http://hizbut-tahrir.or.id/2011/08/04/asing-di-balik-uu-sjsn-dan-bpjs/

Minggu, 02 Februari 2014

HUKUM ALLAH DAN HUKUM THAGHUT

Kita sering mendengar istilah hukum thaghut yang dihadap-hadapkan dengan hukum Allah. Apa yang dimaksud dengan hukum thaghut? Dan bagaimana kita mensikapinya?

Thaghut adalah setiap perkara yang menentukan (mengatur) seorang hamba; yang harus diibadahi; yang harus diikuti; yang harus ditaati. Thaghut juga dimaknai suatu kaum yang berhukum pada hukum/peraturan selain (hukum) Allah dan Rasul-Nya, dan siapa saja yang mengikuti dan menaatinya memperoleh balasan neraka. Jadi, siapa saja yang berhukum atau menjadi hakim dengan hukum yang tidak berasal dari Rasulullah saw, berarti telah berhukum kepada thaghut dan thaghut itu sendiri1.

Kata thaghut juga terdapat dalam ayat-ayat al-Quran, seperti:
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman pada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Mereka hendak beriman kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkarinya. Setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (TQS. an-Nisa [4]: 60)

Ibnu Katsir menjelaskan tentang ayat ini dengan menyatakan: ‘Tindakan ini merupakan pengingkaran terhadap Allah ‘azza wa jalla atas seruan untuk mengimani apa saja yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada para Nabi terdahulu. Mereka ingin berhukum dalam mengatasi berbagai perselisihan (manusia) dengan hukum selain yang bersumber dari kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya’2.

Berdasarkan hal ini, thaghut seringkali digandengkan dengan kata lain yang memiliki makna yang satu, yaitu hukum thaghut, artinya hukum yang bukan berasal dari Allah Swt dan Rasul-Nya. Hukum yang berasal dari Allah Swt (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) adalah Islam. Oleh karena itu hukum thaghut adalah selain hukum Islam. Disebut juga hukum kufur atau hukum jahiliah.
Ayat diatas mengandung hukum yang tegas, yaitu ingkari dan jauhi hukum thaghut. Yang termasuk hukum thaghut adalah seluruh produk hukum yang keluar dari akal dan hawa nafsu manusia, dan tidak bersandar kepada al-Quran dan as-Sunnah. Islam telah mengharamkan akal manusia menjadi penentu atas penyusunan peundang-undangan dan konstitusi apapun. Apa yang telah ditetapkan oleh akal manusia berupa peraturan, undang-undang, penetapan benar-salah, penetapan mana yang berhak dipuji dan dicela, adalah thaghut.

Dalam sistem demokrasi-kapitalis, otoritas akal dalam menetapkan hukum dan perundang-undangan yang mengatur hidup manusia ada di tangan parlemen. Parlemen –menurut mereka- pengejawantahan dari kehendak/keinginan seluruh rakyat. Rakyatlah yang memilih mereka sebagai wakil-wakilnya. Dan ini sesuai dengan pilar dasar sistem demokrasi-kapitalis yang menempatkan kedaulatan yang tertinggi itu berada di tangan rakyat. Karena, kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi yang bersifat mutlak, pemilki kedaulatan adalah satu-satunya pihak yang berhak mengeluarkan (dan menetapkan) hukum yang menyangkut segala sesuatu maupun perbuatan (manusia)3. Dengan demikian hukum demokrasi kapitalis adalah hukum thaghut.

Seluruh negeri-negeri Islam saat ini adalah negeri-negeri yang menjalankan hukum-hukum thaghut. Kalau pun di beberapa negeri tersebut dijalankan pula hukum-hukum Islam, namun hal itu hanya menyangkut perkara-perkara yang sedikit, seperti perkara ubidiyah (peribadahan), pembagian pusaka (waris), pernikahan, perceraian, kematian; atau sebagian kecil perkara hudud (hukum tentang zina, pencurian, pembunuhan, mabuk dan penganiayaan). Sedangkan sisanya –yang menyangkut mayoritas kehidupan manusia- seperti sistem politik, sistem ekonomi dan perdagangan, sistem pendidikan, sistem sosial, sistem keamanan/militer, politik luar negeri, sistem perburuhan (kepegawaian), dan lain-lain, seluruhnya bertumpu kepada hukum thaghut.

Allah Swt mengancam para penyusun/penggagas, para penentu peraturan (perundang-undangan) yang tidak bersandar kepada hukum Allah Swt dan Rasul-Nya (yakni hukum Islam) dengan balasan neraka. Bahkan Allah Swt menggolongkan siapa saja yang berhukum dengan hukum thaghut (yaitu bukan hukum yang diturunkan Allah Swt dan Rasul-Nya) sebagai kafir. Firman Allah Swt:
Barangsiapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (TQS. al-Maidah [5]: 44)

Artinya, siapa pun yang meyakini dan sungguh-sungguh menjalankan hukum thaghut, maka orang itu telah terjerumus dalam kekafiran. Padahal, Allah Swt memerintahkan kita untuk menaati Allah dan Rasul-Nya, menjalankan sistem hukum Islam, dan mengingkari hukum-hukum thaghut.

Islam adalah agama dan jalan hidup yang diturunkan Allah Swt. Dialah Zat yang Maha adil, Maha tahu, Maha bijaksana, Maha melihat, Maha mendengar. Allah Swt tidak menerima agama dan sistem hukum rekaan akal manusia. Dan hukum-hukum yang bersumber dari sistem demokrasi adalah khayalan akal manusia yang bersifat lemah dan sangat terbatas, yang hanya memperturutkan hawa nafsu, keinginan dan kepentingan segelintir orang/kelompok. Jika demikian, untuk apa kita bersandar kepada hukum thaghut dan membelanya mati-matian, sementara hukum Allah dan Rasul-Nya (yakni hukum Islam) diabaikan?

Apakah sistem (hukum) jahiliyah yang mereka kehendaki, dan sistem (hukum) siapakah yang lebih baik dari pada sistem (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS. al-maidah [5]: 50)

KONSEP KETAATAN PADA PEMIMPIN DALAM ISLAM


Banyak orang yang mentaati para pemimpinnya (dari mulai pemimpin kelompok, partai, hingga kepala negara) secara membabi buta. Ada pula yang tidak peduli atau tidak mau terikat dengan ketaatan kepada para pemimpinnya, termasuk terhadap kepala negara (Khalifah). Bagaimana sebenarnya konsep ketaatan kepada pemimpin di dalam Islam?

Taat berarti tunduk (khudlu’) dan patuh (al-inqiyâd). Al-Quran menyebut tentang kewajiban taat pada ayat:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. (TQS. an-Nisa [4]: 59)

Maksudnya, wahai kaum Muslim, kalian harus mentati Allah, Rasul-Nya dan ulil amri (pemimpin) kalian yang menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya (yakni menjalankan sistem hukum Islam). Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya menempati posisi tertinggi jika dibuatkan skala prioritasnya. Jika ulil amri menyimpang dari perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, maka ketaatan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya wajib didahulukan.

Banyak pula hadits-hadits Rasulullah saw yang mengharuskan kaum Muslim mentaati amir (pemimpin)nya, bahkan menyamakan ketaatan kepada amir sama dengan ketaatan kepada Rasulullah dan ketaatan kepada Allah Swt. Diantaranya adalah sabda Rasulullah saw:
من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصى الله، ومن أطاع الأمير فقد أطاعني ومن عصى الأمير فقد عصاني
Siapa saja yang taat kepadaku, maka berarti dia telah taat kepada Allah. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku berarti dia telah mendurhakai Allah. Siapa saja yang taat kepada amir, maka berarti dia telah mentaatiku. Dan siapa saja yang durhaka kepada amir, maka berarti dia durhaka kepadaku. (HR. Bukhari dan Muslim)

Keberadaan amir (pemimpin) adalah untuk ditaati. Seorang imam (pemimpin) shalat adalah untuk diikuti oleh makmumnya. Seorang amir as-safar harus ditaati oleh anggota rombongan (kafilah)nya. Seorang amir jamaah atau amir al-hizb (pemimpin partai) juga harus ditaati oleh anggota-anggota jamaah maupun partainya. Seorang amir al-jaisy harus diikuti oleh anggota pasukan. Begitu seterusnya, hingga seorang amir al-mukminin (Khalifah) wajib ditaati oleh rakyatnya. Ketaatan sudah menjadi tradisi kaum Muslim sejak berabad-abad lampau. Ketaatan termasuk perkara esensial untuk bisa mewujudkan ketertiban, kedisiplinan, dan ketentraman. Jika ketaatan itu dihubungkan dengan aktivitas shalat, haji, safar, ekspedisi militer, jamaah (partai) hingga negara/masyarakat, maka hal itu berarti akan mampu menjamin ketertiban, kedisiplinan dan ketentraman di dalam shalat, pelaksanaan ibadah haji, safar, ekspedisi militer, partai dan negara Khilafah.

Khusus ketaatan terhadap seorang Khalifah (kepala negara) syariat Islam memiliki hukum-hukum khusus yang berfungsi untuk menjaga stabilitas politik, kedisiplinan warga masyarakat, wibawa pemerintah dan eksistensi hukum-hukum Islam dalam Daulah Islamiyah. Banyak hadits Nabi saw yang memerintahkan kita –kaum Muslim- untuk tetap mentaati Khalifah, meskipun dia bertindak zhalim, meskipun dia adalah seseorang berkulit hitam yang bentuk kepalanya seperti kismis, bahkan meskipun dia telah mengambil harta sebagian kaum Muslim. Diantaranya adalah sabda Rasulullah saw:
من رأى من أميره شيئا فكرهه فليصبر عليه، فإن من فارق الجماعة شبرا فمات ميتة جاهلية
Siapa saja yang menyaksikan dari amir (pemimpin)nya sesuatu, kemudian dia membencinya, maka hendaklah dia bersabar atas (perkara tersebut). Sebab, siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah (dengan tidak mentaati pemimpinya) sejengkal saja, lalu dia mati, maka matinya adalah mati (dalam keadaan) jahiliah. (HR. Bukhari)

Lebih dari itu Rasulullah saw menekankan kesatuan jamaah kaum Muslim (maksudnya adalah kesatuan negara Khilafah) dan menindak tegas siapa pun yang melakukan upaya separatisme (pemisahan kekuasaan) dan perebutan kekuasaan secara tidak syar’i, dalam sabdanya:
ومن بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه ان استطاع، فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر
Dan barangsiapa yang membai’at (seorang) imam, memberikan uluran tangan (bai’at)nya dan buah hatinya (untuk mengikuti perintahnya), maka hendaknya dia mentaatinya. Apabila datang orang lain yang hendak mengambil alih kekuasaannya, maka penggallah lehernya.

Bahkan al-Quran menggolongkan pembangkangan atau melepaskan diri dari ketaatan kepada Khalifah disertai perlawanan berupa aktivitas fisik (bersenjata) sebagai bughat. Terhadap para pelaku bughat ini, al-Quran mengambil sikap tegas setelah sebelumnya dilakukan upaya ishlah (perdamaian agar kembali kepada kesatuan negara Khilafah), yaitu:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا
Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin itu berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan belaku adillah. (TQS. al-Hujurat [49]: 9)

Ini menunjukkan betapa pentingnya eksistensi dan kesatuan negara Khilafah, wibawa pemimpin (Khalifah), kedisiplinan dan ketertiban masyarakat. Dan Islam merangkainya dengan sempurna, dengan menyandarkan seluruh persoalan kepada akidah Islam, yaitu ketaatan kepada (perintah) Allah Swt. Artinya ketaatan di dalam Islam bukan didasarkan pada figur atau sosok tertentu, tetapi ketaatan yang bersifat ideologis, yaitu ketaatan terhadap pemimpin yang mentaati Allah dan Rasul-Nya.
Hanya satu kondisi kaum Muslim dibolehkan untuk tidak mentaati amirnya, yaitu jika perintah amirnya itu berupa kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sabda Rasulullah saw:
على المرء المسلم السمع والطاعة فيما أحب وكره إلا أن يؤمر بمعصية، فإن أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة
Setiap orang muslim itu wajib untuk mendengar dan mentaati dalam perkara-perkara yang dia senangi atau pun yang dia benci. tetapi jika dia diperintahkan untuk mengerjakan perbuatan maksiat, maka tidak boleh mendengar dan mentaati (amir tersebut). (HR. Muslim)

Islam tidak membiarkan begitu saja kaum Muslim untuk melepaskan diri dari ketaatan pada amir (pemimpin) yang memerintahkan kemaksiatan dan memerintah bukan berdasarkan sistem hukum Islam, tetapi Islam mendorong kaum Muslim untuk meluruskan amir (pemimpin) yang menyimpang, merubah, bahkan menggantikannya. Karenanya kita akan menjumpai di dalam hukum Islam tuntunan berikutnya, yaitu amar ma’ruf nahi munkar, taghyir al-munkar (merubah kemunkaran), dan muhasabah li al-hukkam (mengkritik penguasa). Ini sangat penting, sebab jika ketidaktaatan itu dibiarkan mengikuti hawa nafsu dan akal pikiran manusia, masyarakat akan kacau, stabilitas negara akan hancur, dan pelaksanaan sistem hukum Islam akan lenyap.

Dengan demikian, ketaatan di dalam Islam memiliki gambaran yang khas dan unik, sangat berbeda dengan konsep-konsep di dalam masyarakat kapitalis maupun sosialis-komunis. Ketaatan hanyalah kepada Allah Rasul-Nya, dan siapa pun yang menyeru dengan seruan Allah dan Rasul-Nya. Seruan setan dan sekutu-sekutunya, seruan yang mengantarkan pada kehinaan, kekufuran, kemaksiatan, dan berujung pada pintu-pintu neraka wajib dijauhi dan dicampakkan. Allah Swt berfirman:
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا 
Dan janganlah kamu mengikuti (mentaati) orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melampaui batas. (TQS. al-Kahfi [18]: 28)

Maka, siapakah yang lebih lalai dari pada para penguasa –yang mengaku muslim- sementara mereka tidak mau mentaati Allah (dengan cara menjalankan hukum-hukum Allah Swt dan Rasul-Nya)?