ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

Selasa, 19 Agustus 2014

Catatan Terakhir

Rap Ideologis Romantis..silahkan simak...

Thufail Al Ghifari [ Indonesia ]
LInk Download MP3 nya di sini

Terjagalah dari segala maksiat
dari segala zina dan nafsu dunia yang sesat
disatukan dalam karunia yang suci bersama jiwa jiwa
yang selalu haus akan ibadah dan penuh harga diri
ini bukan cerita cinderela
bukan juga patah arang cinta buta siti nurbaya
tak dapat diukur tapi bersama Allah
semua pasti akan teratur
dinyatakan dalam ketulusan
dari mutiara ketakwaan yang sangat mendalam
bersemi dari pupuk akhlak yang hebat
berbuah dalam kesabaran dan ketekunan yang lebat
tidak, ini takkan dimengerti
oleh hati yang penuh dengan dusta
yang buta oleh warna warni dunia yang fana
ini hanya untuk mereka yang selalu ingin luruskan
keteladanan bagi generasi berikutnya
keteladanan abadi dalam harum kesturi dan buah ibadah
dan menjadi manis seperti kurma
diawal rembulan yang indah
untuk selalu berjalan dalam kesetiaan dan harapan
dan hanya mau mencium
atas dasar kemurnian kita berkata cinta
karena bukan apa siapa dan bagaimana
tapi luruskanlah dalam wangi surga
karena apa sebenarnya kita berani berkata cinta

hingga rambut kita memutih
hingga ajal kan datang menjemput diri ini
hingga rambut kita memutih
hingga ajal kan datang menjemput diri ini

inilah cinta sejati
cinta yang tak perlu kau tunggu
tapi dia tumbuh bersama doa malam yang teduh
tak tersentuh oleh mata dunia yang palsu
petunjuk yang selalu datang
dari ruang para malaikat
yang sanggup melihat tak kenal pekat
tak lekang oleh zaman yang kan terus melaju
takkan habis oleh waktu
karena kecantikannya tersimpan dihati
dalam pesona yang selalu menjaga jiwa
yang menjadikan dunia menjadi surga
sebelum surga sebenarnya
yang membuat hidup lebih hidup
dari kehidupan sebenarnya
seperti sungai yang mengalir
bening airnyapun selalu artikan keseimbangan syair
yang satukan dua perbedaan dalam satu ikatan
untuk melihat kekurangan sebagai kesempatan
dan kelebihan sebagai kekuatan
lalu saling mengisi seperti matahari dan bulan
dalam kesetiaan ruang kesolehan dan kasih sayang
bagi sejarah penutup halaman terakhir perjalanan
para kesatria sastra jihad dan dakwah
tercatat dalam untaian rahmat berakhir
dalam catatan terakhir yang mulia
digariskan hanya oleh ketetapan Allah Subhanahu wata’ala

hingga rambut kita memutih
hingga ajal kan datang menjemput diri ini
hingga rambut kita memutih
hingga ajal kan datang menjemput diri ini

Sabtu, 19 Juli 2014

Bagaimana Membangkitkan Umat Islam Saat Ini

Kebangkitan adalah meningkatnya taraf pemikiran. Sedangkan –makna kebangkitan yang diartikan sebagai- meningkatkan taraf perekonomian tidak termasuk kebangkitan. Alasannya, Kuwait, yang perekonomiannya maju dan berkembang sebagaimana halnya negara-negara Eropa, seperti Swedia, Belanda, Belgia, akan tetapi negara-negara Swedia, Belanda dan Belgia mampu bangkit, sementara Kuwait tidak mampu bangkit. Begitu pula meningkatnya perilaku akhlak tidak dapat digolongkan bangkit. Alasannya, kota Madinah saja yang saat ini termasuk kota-kota di dunia yang perilaku akhlaknya tinggi, akan tetapi tidak bangkit. Alasan lainnya, kota Paris yang terkenal perilaku akhlaknya yang rendah, akan tetapi mampu bangkit. Oleh karena itu kebangkitan itu adalah meningkatnya taraf pemikiran.

Kebangkitan itu bisa benar (shahih), bisa juga keliru. Amerika, Eropa, dan Rusia –misalnya- adalah negara-negara yang mengalami kebangkitan, tetapi kebangkitannya tidak benar. Karena kebangkitannya tidak didasari oleh asas yang bersifat ruhiy. Kebangkitan yang benar (shahih) adalah meningkatnya taraf berpikir yang didasarkan pada asas ruhiy. Jika kebangkitan itu tidak didasarkan pada asas ruhiy, memang mampu bangkit, tetapi kebangkitannya tidak termasuk kebangkitan yang benar. Dan kebangkitan apapun macamnya, tetap tidak dapat disebut kebangkitan yang benar selama tidak didasarkan pada asas pemikiran Islam. Jadi, kebangkitan yang shahih itu hanya kebangkitan Islam. Karena hanya Islam sajalah yang berdasarkan asas ruhiy.

Metode untuk mencapai kebangkitan itu adalah dengan menegakkan pemerintahan yang di dasarkan pada pemikiran. Bukan didasarkan pada peraturan, perundangan ataupun hukum. Penegakkan negara yang berdasarkan pada perundangan dan hukum, tidak mungkin mencapai kebangkitan. Malah sebaliknya, jika itu yang terjadi sangat membahayakan kebangkitan itu sendiri. Jadi, tidak mungkin kebangkitan itu diraih melainkan dengan menegakkan pemerintahan dan kekuasaan atas dasar pemikiran.

Dari pemikiran inilah muncul pemecahan-pemecahan praktis untuk menanggulangi segala persoalan kehidupan. Dengan kata lain, dari pemikiran tersebut keluar segala bentuk peraturan, perundangan dan hukum. Eropa tatkala mengalami kebangkitan, kebangkitannya didasarkan pada suatu pemikiran. Yaitu pemisahan urusan agama dengan negara (sekularisme), dan kebebasan. Begitu pula Amerika, tatkala mengalami kebangkitan, kebangkitannya di dasarkan pada suatu pemikiran, yaitu sekularisme dan kebebasan. Rusia, tatkala mengalami kebangkitan, kebangkitannya didasarkan pada suatu pemikiran, yaitu materi dan perubahan/evolusi materi. Yakni perubahan sesuatu dengan sendirinya dari suatu keadaan, ke keadaan lain yang lebih baik. Rusia menegakkan pemerintahannya pada tahun 1917 M yang di dasarkan pada pemikiran semacam ini. Jadilah Rusia bangkit. Negeri Arab tatkala mengalami kebangkitan, kebangkitannya didasarkan pada pemikiran Islam. Hal ini tampak tatkala diutusnya Rasulullah saw dengan membawa risalah dari Allah. Di atas landasan ini ditegakkan pemerintahan dan kekuasaan. negeri Arabpun bangkit tatkala mereka meyakini dan berpegang teguh pada pemikiran Islam, dan di atasnya di bangun pemerintahan dan kekuasaan.

Semua ini merupakan argumen yang pasti, bahwa metode untuk mencapai kebangkitan adalah dengan menegakkan pemerintahan di atas suatu pemikiran. Bukti lain yang menunjukkan bahwa menegakkan pemerintahan di atas dasar peraturan, perundangan dan hukum tidak mampu mencapai kebangkitan, adalah apa yang dilakukan Mustafa Kamal di Turki. Ia menegakkan pemerintahan di atas dasar peraturan dan perundangan-undangan untuk meraih kebangkitan. Seraya mengambil peraturan-peraturan dan perundang-undangan Barat. Kemudian di atasnya dibangun pemerintahan. Ia menjalankannya sekuat tenaga secara praktis, melalui tangan besi. Meskipun demikian, tetap saja tidak mampu meraih kebangkitan. Turiki tetap tidak mampu bangkit, malah mengalami kemunduran. Jadilah Turki salah satu negeri yang mundur Padahal Lenin yang muncul hampir bersamaan dengan Mustafa Kamal. Namun, Lenin mampu membangkitkan Rusia menjadi negara yang kuat. Bahkan sekarang ini tergolong negara yang terkuat. Sebabnya tiada lain, karena Lenin mendirikan pemerintahan di atas landasan suatu pemikiran, yaitu pemikiran Komunisme. Dari pemikiran ini muncul pemecahan-pemecahan terhadap problematika kehidupan sehari-hari, berupa peraturan dan perundang-undangan yang dijadikan solusi terhadap segala bentuk problematika –dalam bentuk hukum yang bersandar pada pemikiran tersebut-. Dengan kata lain, dari pemikiran ini dibangunlah pemerintahan. Oleh karena itu mampu meraih kebangkitan. Pada tahun 1917 M, Lenin membangun pemerintahan Rusia di atas landasan suatu pemikiran. Rusiapun bangkit. Sementara pada tahun 1924 M, Mustafa Kamal membangun pemerintahan di atas landasan peraturan dan perundang-undangan untuk membangkitkan Turki, akan tetapi tidak mampu. Malah Turki menjadi terbelakang, disebabkan pemerintahan dibangun di atas landasan peraturan dan perundang-undangan. Ini adalah faktor yang tidak berhasil membangkitkan Turki, bahkan membahayakan.

Contoh lainnya adalah apa yang dilakukan oleh Gamal Abdunnaser di Mesir. Sejak tahun 1952 M pemerintahannya dibangun di atas landasan peraturan dan perundang-undangan. Pertama-tama sistem pemerintahan dirubah menjadi sistem pemerintahan Republik, menggantikan sistem kerajaan. Kemudian dilakukan land reform dengan membag-bagikan lahan pertanian. Setelah itu berpaling pada peraturan-peraturan Sosialis, sehingga negaranya disebut dengan negara Sosialis. Tetapi kebangkitan tidak pernah mampu diwujudkan. Malahan Mesir saat ini sudah termasuk negeri-negeri terbelakang dari sisi pemikiran, ekonomi dan politiknya, dibandingkan dengan sebelum tahun 1952 M. Yaitu sebelum terjadi kudeta militer. Begitu pula anggota-anggota parlemennya saat ini, dibandingkan dengan anggota-anggota parlemen (saat itu dinamakan Majlis Umat) sebelum tahun 1952 M kemampuan pemikiran dan politiknya sangat berbeda. Perubahan yang terjadi di Mesir, tetap tidak mampu membangkitkannya. Karena pemerintahannya dibangun di atas landasan peraturan dan perundang-undangan. Yang mampu membangkitkan hanyalah pemerintahan yang dibangun berlandaskan pada suatu pemikiran.

Walaupun demikian, bukan berarti bahwa menegakkan pemerintahan di atas dasar suatu pemikran, dilakukan dengan kudeta militer, mengambil alih pemerintahan dan dibangun di atas landasan suatu pemikiran. Hal ini tidak akan mampu membangkitkan, dan pemerintahan seperti itu tidak mungkin bertahan lama. Yang harus dilakukan adalah mendidik/memahamkan umat, atau mendidik/memahamkan kelompok terkuat di masyarakat dengan pemikiran yang ditujukan untuk membangkitkan umat. Mengadopsi pemikiran tersebut dalam kehidupan, dan arah perjalanan kehidupan di dasarkan pada pemikiran ini. Pada saat yang sama dibangun pemerintahan melalui umat, yang berdasarkan pada pemikiran tersebut. Jika ini dilakukan akan tercapailah kebangkitan yang pasti. Jadi, pada dasarnya kebangkitan itu bukan bertumpu pada mengambil alih pemerintahannya, tetapi menyatukan umat dengan suatu pemikiran. Menjadikan pemikiran tersebut sebagai arah kehidupannya. Kemudian menguasai pemerintahan dan dibangun di atas landasan pemikiran tersebut. Dengan demikian, pengambilalihan kekuasaan bukan tujuan. Dan hal ini tidak boleh dijadikan sebagai tujuan. Ia hanya layak dijadikan sebagai metode (thariqah) untuk mencapai kebangkitan. Selama pendiriannya di dasarkan pada suatu pemikiran, maka kebangkitan akan dapat diraih.

Contoh yang paling gamblang adalah apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. Tatkala Allah membangkitkannya dengan risalah Islam, beliau menyeru umat manusia kepada akidah Islam. Ini tidak lain berarti menyeru kepada suatu pemikiran. Dan tatkala penduduk kota Madinah dari kalangan kabilah Aus dan Khadzraj dapat disatukan dengan akidah Islam –yaitu dengan suatu pemikiran-, maka jadilah mereka memiliki arah yang menuntun kehidupan mereka. Kemudian pemerintahan Madinah pun diambil alih, dan didirikan di atas dasar akidah Islam. Demikianlah Rasulullah saw bersabda:
»اُمِرْتُ اَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهُ فَاِذَا قَالُوْهاَ عَصَمُوْا مِنِّي دِماَءَهُمْ وَاَمْوَالَهُمْ اِلاَّ بِحَقِّهَا«
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia, sampai mereka mengatakan ‘laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah’, Apabila mereka mengucapkannya, maka terpeliharalah darahnya, hartanya, kecuali –ditumpahkan dan diambil-dengan cara yang hak.
Hadits ini menyeru pada suatu pemikiran. Maka kebangkitanpun dapat diraih di kota Madinah, yang menjalar ke kawasan Arab, lalu melebar kepada bangsa-bangsa yang memeluk Islam. Yaitu meyakini pemikiran tersebut. Dan para penguasanya mengatur dan mengurus urusan rakyat dengan berpijak pada pemikiran tersebut.

Tidak diragukan lagi, umat Islam di seluruh pelosok negeri saat ini mengalami kemerosotan. Umat sudah berusaha bangkit sejak lebih dari 100 tahun lalu. Namun kebangkitan tidak juga kunjung berhasil hingga saat ini. Sebabnya adalah, pemerintahan yang ada berdiri di atas dasar peraturan dan perundang-undangan. Pemerintahan itu –baik berdiri di atas landasan peraturan dan perundang-undangan selain Islan (peraturan kufur) seperti yang terjadi pada kebanyakan negera Muslim saat ini, atau berdiri di atas landasan peraturan dan perundang-undangan Islam dan hukum-hukum syara’, seperti yang dilakukan di sedikit negeri Muslim seperti Yaman sebelum revolusi Salal- semuanya mengalami kemunduran. Tidak mampu bangkit. Karena memang pemerintahannya dibangun di atas peraturan, tidak dibangun di atas suatu pemikiran.

Meskipun pemerintahan itu dibangun di atas landasan peraturan Islam maupun hukum-hukum syara’, tetap tidak akan mampu bangkit. Yang mampu membangkitkannya hanyalah jika pemerintahan itu dibangun di atas landasan pemikiran Islam, yaitu akidah Islam. Negara yang dibangun di atas landasan Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah, negara seperti itulah yang mampu bangkit. Jika suatu negara dibangun berlandaskan pada madzhab Abu Hanifah, atau bersandar pada buku karangan Thahthawi, atau berdasarkan pada hukum-hukum syara’, maka negara tersebut sama sekali tidak akan mampu bangkit. Karena sandaran-sandaran tersebut layaknya peraturan dan perundang-undangan, yang tidak mendatangkan kebangkitan sedikitpun. Jadi, negara harus berdiri di atas landasan Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah. Setelah itu barulah mengambil hukum-hukum syara’ dengan anggapan hal itu adalah perintah Allah. Lalu diterapkan. Itupun karena mengikuti perintah dan larangan Allah. Jadi, bukan karena adanya kelayakan, bermanfaat, atau ada maslahat, atau alasan-alasan lainnya. Semua itu harus dianggap sebagai sesuatu yang datang dan berasal dari wahyu Allah. Dan diambil dari maknaLaa ilaha illallah Muhammad Rasulullah. Jika demikian halnya, maka kebangkitan dapat diraih.

Umat Islam saat ini, jika mereka menghendaki kebangkitan mau tidak mau harus menjadikan akidah Islam sebagai asas yang menjadi arahan kehidupan mereka. Di atasnya dibangun pemerintahan dan kekuasaan. Kemudian menyelesaikan seluruh problematika keseharian mereka dengan hukum-hukum yang terpancar dari akidah tadi. Yaitu dengan hukum-hukum syara’, sebagai bagian dari perintah dan larangan Allah. Bukan dengan anggapan lainnya. Jika ini yang dijalankan, maka kebangkitan pasti akan muncul. Bahkan kebangkitan yang shahih, bukan sekedar bangkit. Umat Islam pun mampu menggapai puncak kegemilangannya lagi, meraih kembali kepemimpinan internasional untuk yang kedua kalinya.
Demikianlah tata cara membangkitkan umat Islam saat ini dengan kebangkitan yang shahih. Wahai kaum muslimin, dari sinilah kita mulai.

(syarah kitab nizhomul islam, kitab nizhomul islam bisa di download di sini
sumber : http://mtaufiknt.wordpress.com/

Senin, 16 Juni 2014

SEBUAH ANALOGI

Pembebasan Tanjungpinang......
Jika saya mengubah aturan Puasa dari
mulai jam 10 malam dan berbuka puasa
pukul 7 pagi, maka stempel Ustadz SESAT
akan langsung menerpa!
Jika saya menyerukan agar Shalat shubuh
diubah jumlah raka'atnya dari 2 raka'at
menjadi 3 raka'at, maka mungkin rumah
saya digrebek warga karena sudah
mengajarkan ajaran SESAT!
Jika ada seorang pimpinan jama'ah yg
menyuruh seluruh jama'ahnya untuk
merubah arah kiblat dari Ka'bah menjadi
menghadap arah matahari terbit, maka
dijamin jama'ah itu akan dicap sebagai
jama'ah SESAT!
TAPI.........
Ketika sebuah negara mengubah hukuman
bagi PENCURI dengan hukuman penjara
padahal dalam Al-Qur'an harusnya POTONG
TANGAN (QS.Al-Maidah: 38).
Ketika sebuah negara merubah hukuman
bagi PEMBUNUH dengan hukuman Penjara
padahal dalam Al-Qur'an harusnya adalah
hukum QISHASH (QS.Al-Baqarah: 178-179).
Ketika sebuah negara tidak menghukum
para PEZINA padahal dalam Al-Qur'an
seharusnya hukuman bagi PEZINA yg
belum menikah adalah DICAMBUK 100x
(QS.An-Nuur: 2), dan dalam Al-Hadits
hukuman bagi pezina yg sudah menikah
adalah DIRAJAM sampai mati (HR al-Bukhâri
dalam kitab al-Hudûd, Bab al-I’tirâf biz-Zinâ
1829 dan Muslim dalam kitab al-Hudûd no.
1691)
Ketika sebuah negara membolehkan/
menghalalkan RIBA padahal dalam Al-
Qur'an RIBA keharamannya sangat jelas
(QS.Al-Baqarah : 275), dan sebuah dosa yg
sangat besar dan diancam oleh Allah SWT
dengan ancaman bahwa Allah SWT akan
memerangi para pelaku riba (QS.Al-
Baqarah : 278-279)
Pertanyaannya adalah.???
MENGAPA JARANG SEKALI YG
MENGATAKAN BAHWA HUKUM/NEGARA
SEPERTI INI ADALAH HUKUM/NEGARA YG
SESAT???
bye : Sulaiman al-Qonuni
sumber : https://www.facebook.com/fayad.zabihullah/posts/10201491500122552?fref=nf

Kamis, 12 Juni 2014

#IndonesiaMilikAllah: Syariah dan Khilafah Jalan Keselamatan dan Penyelamatan

[Al-Islam edisi 709, 8 Sya’ban 1435 H – 6 Juni 2014 M ]
Sejak merdeka, negeri ini menerapkan sistem politik demokrasi dan ekonomi kapitalisme. Beragam corak dari keduanya sudah dicoba. Meski begitu, negeri ini justru terasa makin jauh dari cita-cita.

Demokrasi dan Kapitalisme: Ancaman Sejati

Demokrasi dipercaya sebagai sistem politik yang akan menampung seluas-luasnya aspirasi rakyat. Pemimpin pilihan rakyat diyakini akan bekerja demi kepentingan rakyat. Demikian pula sistem ekonomi kapitalisme dipercaya akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat.
Nyatanya, bukan aspirasi rakyat yang mengemuka. Dari para wakil rakyat di Parlemen justru lahir banyak undang-undang yang merugikan rakyat. Banyak pula kebijakan Pemerintah pilihan rakyat yang tidak berpihak kepada rakyat.
Melalui konsep dasar demokrasi, yakni kedaulatan rakyat, negeri ini mempraktikkan kesyirikan yang dilakukan Bani Israel (QS at-Taubah [9]: 31). Sebagaimana diketahui, para pemuka agama Bani Israel itu biasa menghalalkan apa saja yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa saja yang telah Allah halalkan. Semua itu kemudian diikuti dan ditaati oleh umat mereka. Demikian seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam riwayat Imam at-Tirmidzi. Itu sama persis dengan praktik kedaulatan rakyat dalam demokrasi.
Atas nama demokrasi, kaum Muslim dipaksa bermaksiat dengan menyalahi hukum-hukum Allah SWT; mereka diwajibkan terikat dengan hukum-hukum buatan manusia. Atas nama demokrasi, riba dan transaksi ribawi harus diambil dan dijalankan. Atas nama demokrasi dan kebebasannya, zina dianggap lumrah dan bukan kesalahan. Padahal Rasul saw. mengingatkan:

« إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِيْ قَرْيَةٍ، فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ »
Jika zina dan riba telah menonjol di suatu kampung, maka mereka sesungguhnya telah menghalalkan untuk mereka sendiri azab Allah (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).

Tentu, betapa besar azab Allah SWT akan menimpa warga negeri ini karena masih banyak kemaksiatan lainnya yang “diharuskan” oleh demokrasi.
Sistem politik demokrasi yang mahal membuat penguasa dan wakil rakyat tidak lagi bekerja sebagai pelayan umat dan pemelihara urusan rakyat. Mereka malah mengabdi demi kepentingan elit pengusaha dan para cukong pemilik modal. Mereka bahkan menjadi pelayan pihak asing. Akibatnya, lahirlah negara korporasi; lahirlah persekongkolan penguasa dengan pengusaha. Jadilah hubungan penguasa dengan rakyat layaknya hubungan penyedia produk dan jasa dengan konsumen. Rakyat diposisikan sebagai konsumen yang harus membayar pelayanan dari negara dan membeli apa saja yang disediakan negara.
Melalui proses politik demokrasi pula lahir peraturan yang menguntungkan para pemilik modal. Bahkan pihak asing, yang notabene penghisap kekayaan negeri ini, lebih dihormati daripada rakyatnya sendiri.
Penerapan demokrasi di bidang politik dibarengi dengan penerapan sistem kapitalisme di bidang ekonomi. Akibat penerapan kapitalisme itu, alih-alih tercipta kesejahteraan bersama, yang ada justru kesenjangan kelompok kaya dan miskin makin meningkat. Hal itu ditunjukkan oleh terus meningkatnya indeks gini rasio dalam lima tahun terakhir yakni 0,37; 0,38; 0,39; 0,40 dan 0,41 tahun 2013. Indeks gini rasio diukur dari 0-1; makin mendekati 1 berarti kesenjangan makin total.
Pertumbuhan ekonomi ternyata hanya dinikmati oleh segelintir orang. Kekayaan lebih banyak dinikmati oleh golongan kaya. Data distribusi simpanan di bank umum Maret 2014 yang dilansir Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjadi bukti. Total ada 148.342.861 rekening simpanan. Jika diasumsikan satu orang punya satu rekening, artinya lebih dari 100 juta penduduk negeri ini tidak punya rekening simpanan. Sangat mungkin karena mereka memang tak punya uang untuk disimpan. Kesenjangan itu ternyata lebih parah lagi. Rekening simpanan dengan nominal di atas 1 miliar rupiah jumlahnya 396.814 rekening atau hanya 0,27%, tetapi total nominalnya sebesar Rp 2.213.436,73 miliar atau 61,3% dari total nominal simpanan. Itulah hasil dari kapitalisme. Hanya 0,27% penduduk menguasai 61,3% kekayaan. Sebaliknya, 99,63% penduduk memperebutkan 38,7% kekayaan negeri.
Akibat lainnya, sektor pangan, air minum, energi, kesehatan, perbankan, keuangan dan sektor strategis lainnya dikuasai oleh pihak asing. Pihak asing menguasai sektor migas 70% dan sektor tambang 80%. Menurut Riza Damanik dari Indonesia for Global Justice dalam Jurnalparlemen.com (8/7/2013),usaha benih tanaman pangan dikuasai pihak asing hingga 95%. Begitu juga budidaya tanaman pangan dan sektor perkebunan. Pihak asing juga menguasai 95% bisnis air minum, 75% sektor industri farmasi dan 80% industri asuransi. Sektor keuangan dan perbankan, sektor perikanan dan kelautan, sektor kesehatan, pelayanan rumah sakit dan klinik spesialis serta sektor strategis lainnya sebagian besar juga dikuasai oleh pihak asing.

Syariah dan Khilafah Melindungi Kebhinekaan

Berdasarkan fakta sejarah, syariah Islam datang melindungi kebhinekaan dan kemajemukan di masyarakat. Sebab, Islam merupakan agama rahmatan lil alamin. Tak tercatat dalam sejarah, di Indonesia atau di negeri lainnya, kekuasaan Islam menindas umat beragama lain.
Dalam penerapan syariah di bawah sistem Khilafah, penindasan terhadap ahludz-dzimmah dan mu’ahad—atau yang sekarang disebut kaum minoritas—tidak terjadi. Sebab, Rasul saw. bersabda:
«أَلاَ مَنْ ظَلَمَ مُعَاهَداً أَوْ اِنْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئاً بِغَيْرِ طَيِبَةِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيْجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
Ingat, siapa yang menzalimi mu’ahad, mengurangi haknya, membebani dirinya di atas kesanggupannya atau mengambil dari dirinya sesuatu tanpa kerelaannya, maka aku akan memperkarakan dia pada Hari Kiamat (HR Abu Dawud).

Karena itu tidak aneh, sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam hubungan antara Muslim dan non-Muslim pun harmonis (Lihat: Hourani A. 2005. A History of the Arab Peoples. hlm. 33).

Syariah dan Khilafah Mewujudkan Kemakmuran

Di bidang ekonomi, penerapan syariah di bawah Khilafah akan mengembalikan kekayaan alam seperti tambang, migas, hutan, dll kepada seluruh rakyat. Pasalnya, semua kekayaan itu secara syar’i memang milik rakyat. Semua itu harus dikelola oleh negara yang seluruh hasilnya wajib dikembalikan kepada rakyat; untuk membiayai pendidikan, kesehatan dan berbagai pelayanan publik. Harta milik umum dan berbagai sumber pemasukan negara lainnya lebih dari cukup untuk mendanai pembangunan dan pelayanan kepada rakyat. Sangat mungkin dihasilkan surplus seperti pada masa Harun ar-Rasyid. Pada masa itu negara surplus sebesar 900 juta dinar emas (Najeebabadi, 2001, The History of Islam. hlm. 375). Jumlah itu setara Rp 1.912,5 triliun (asumsi emas Rp 500.000/gram). Bandingkan dengan APBN Indonesia tahun 2013 yang hanya Rp 1.683 triliun.
Syariah dan Khilafah dengan sistem ekonomi Islam akan sanggup mendistribusikan kekayaan secara adil dan merata. Kekayaan tidak akan dinikmati oleh segelintir orang kaya saja. Kesejahteraan dan kemakmuran akan dirasakan oleh seluruh rakyat, Muslim dan non-Muslim. Dalam sejarah penerapan syariah di bawah Khilafah, hal itu benar-benar terwujud. Fakta ini telah diakui termasuk oleh para sejarahwan Barat (Lihat: Bloom and Blair Islam – A Thousand Years of Faith and Power, hlm. 97-98).

Syariah dan Khilafah: Wajib dan Mendesak!

Kewajiban menerapkan syariah dan Khilafah adalah perkara yang sudah sangat dimaklumi. Dengan itu kewajiban kita untuk memutuskan hukum dengan apa yang telah Allah turunkan (QS al-Maidah [5]: 48) bisa ditunaikan. Tanpa penerapan syariah dan penegakan Khilafah; banyak kewajiban akan terlantar, banyak hukum tidak akan terlaksana seperti kewajiban qishash (QS al-Baqarah [2]: 178), had bagi pezina (QS an-Nur [24]: 2), had bagi pencuri (QS al-Maidah [5]: 38) dan banyak hukum Allah SWT lainnya.
Banyaknya hukum agama yang ditelantarkan, banyaknya kemaslahatan rakyat yang diabaikan, terjadinya eksploitasi atas manusia, dan banyaknya persoalan yang tak kunjung selesai saat ini, semua itu menunjukkan bahwa penerapan syariah dan Khilafah amat mendesak.
Imam al-Mawardi, ulama mazhab Syafii, dalam bukunya Al-Ahkâm as-Sulthâniyah wa al-Wilayât ad-Dîniyah (hlm. 3), mengatakan:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ اللهَ جَلَتْ قُدْرَتُهُ نَدَبَ لِلْأُمَّةِ زَعِيْماً خَلَفَ بِهِ النُّبُوَّةَ، وَحَاطَ بِهِ الْمِلَّةَ، وَفَوَّضَ إِلَيْهِ اَلسِّيَاسَةَ، لِيَصْدُرَ التَّدْبِيْرُ عَنْ دِيْنٍ مَشْرُوْعٍ، وَتَجْتَمِعُ الْكَلِمَةُ عَلَى رَأْيٍ مَتْبُوْعٍ، فَكَانَتْ الْإِمَامَةُ أَصْلاً عَلَيْهِ اِسْتَقَرَتْ قَوَاعِدُ الْمِلَّةِ، وَاِنْتَظَمَتْ بِهِ مَصَالِحُ الْأُمَّةِ.
Ammâ ba’du. Sungguh Allah Yang Maha Tinggi kekuasaan-Nya menyuruh umat mengangkat pemimpin untuk menggantikan kenabian, melindungi agama dan mewakilkan kepada dirinya pemeliharaan urusan umat. Hal itu bertujuan agar pengaturan itu keluar dari agama yang disyariatkan dan agar kalimat menyatu di atas pendapat yang diikuti. Karena itu Imamah (Khilafah) adalah pokok yang menjadi fondasi kokohnya pilar-pilar agama dan teraturnya kemaslahatan-kemaslahatan umat.

Dengan demikian syariah dan Khilafah sejatinya merupakan jalan keselamatan dan penyelamatan bagi negeri ini dan penduduknya. Karena itu seruan untuk menerapkan syariah dan menegakkan Khilafah harus segera kita penuhi.
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ﴾
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya jika Rasul menyeru kalian pada suatu yang memberikan kehidupan kepada kalian (TQS al-Anfal [8]: 24).

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

sumber :http://hizbut-tahrir.or.id/2014/06/04/indonesiamilikallah-syariah-dan-khilafah-jalan-keselamatan-dan-penyelamatan/

Rabu, 04 Juni 2014

MENGGUGAT PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI (2)

SUMBER : http://pemudaideologis.wordpress.com/2010/08/23/menggugat-pancasila-sebagai-ideologi/
Oleh: syabab ideologis

Menggugat Eksistensi Ideologi Pancasila Pancasila, yang di cetuskan oleh alm. Soekarno, hingga kini masih diposisikan sebagai sesuatu yang suci bagi para pemimpin bangsa. Pancasila, dengan lima sila yang ada sekarang, dinisbatkan sebagai sumber dari segala sumber hukum, ideologi bangsa, asas tunggal partai politik, hingga falsafah hidup bangsa. Keberadaan Pancasila tak pernah diperdebatkan, dan selalu diletakkan diatas kepala, tanpa ada penggugatan terhadap eksistensinya.

Ironisnya, beberapa orang menjadikan Pancasila lebih suci dari Al Qur’an sebagai sumber hukum dan teks suci. Hal ini tampak pada para Liberalis, yang selalu mengusung ketidak samaan tafsir, dengan metode hermeunetika-nya, tidak pernah sekalipun memberlakukan metode Hermeunetika sebagai penafsir Pancasila, mengkritik dan menghujat pasal-pasal ataupun butir-butirnya, menganggap bahwa Pancasila adalah hal yang tidak perlu diperdebatkan, tetapi mereka dengan leluasa meng-hermeunetika-kan Al Qur’an dan memposisikan Al Qur’an sebagai teks yang harus dikritik dan dibedah dengan cara di konfrontasikan dengan sejarah ataupun kepentingan khalifah yang mengumpulkan tulisan Al Qur’an menjadi satu kitab, yaitu Khalifah Utsman Bin Affan, sebagai pencetus Mushaf Utsmani. Padahal pencetus Pancasila, dalam perjalanannya bukanlah orang yang memiliki gelar Al Amin, ataupun seorang Rasul yang terjamin dari kesalahan. Soekarno adalah seorang manusia biasa dan tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang pada akhir pemerintahannya justru memaksanya jatuh dengan tidak hormat.

Pancasila adalah sebuah lima sila yang merupakan hasil olah pikir manusia, dan oleh karenanya pasti memiliki keterbatasan sebagaimana manusia itu sendiri. Pada sejarahnya pula, Pancasila mengalami perubahan yang sangat krusial terhadap sila pertamanya, pada detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI pada tahun 1945. Sebagaimana tertulis dalam sejarah, sila pertama yang disetujui dalam piagam Jakarta adalah berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Ini diubah oleh Soekarno menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, tanpa meminta persetujuan kepada para pendeklarator piagam Jakarta.

Kini, Pancasila sangat identik dengan dua kalimat, yaitu Ideologi Pancasila dan Demokrasi Pancasila. dua kalimat ini menjadi senjata dalam kehidupan berbangsa pemerintah Indonesia, dimana ketika ada segolongan kelompok memperjuangkan tegaknya Syariat Islam, maka akan dicap sebagai pengkhianat Pancasila, tidak mengusung keberagaman Pancasila, dan mengancam integrasi bangsa. Partai partai Islam di parlemen pun latah dengan bentuk ideologi ini, sehingga dengan mudahnya “menjual” akidah mereka dengan menerima Pancasila sebagai asas Partai.

Demokrasi, dimana telah kami tulis di artikel sebelumnya ternyata sangat sarat dengan kebobrokan dan kerusakan. Betapa tidak jelas bentuknya ketika Pancasila yang hanya merupakan 5 norma ini disandingkan menjadi sebuah ideologi bangsa.

Pancasila jelas-jelas tidak memenuhi syarat-syarat mutlak menjadi ideologi. Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, dalam kitabnya Nidhomul Islam, beliau memaparkan syarat sesuatu layak disebut sebagai ideologi. Ideologi, atau Mabda’ adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, disamping hubungannya dengan sebelum dan sesudah alam kehidupan. Sedangkan peraturan yang lahir dari ini, tidak lain berfungsi untuk memecahkan dan mengatasi berbagai problematika hidup manusia, menjelaskan bagaimana cara pemecahannya, serta memelihara ideologi itu sendiri.

Tiga ideologi yang ada di dunia, yaitu Islam, Kapitalisme, dan Komunisme, berhasil menjawab pertanyaan tersebut.

Pertanyaan untuk Islam, Kapitalisme, Komunisme

1. Darimanakah kehidupan berasal ?

Islam menjawab : Allah

Kapitalisme menjawab : Tuhan

Komunisme menjawab : Materi

2. Untuk apakah kehidupan ini ?

Islam menjawab : Ibadah

Kapitalisme menjawab : Materi

Komunisme menjawab : Materi

3. Kemanakah kita setelah kehidupan berakhir (mati) ?

Islam menjawab : Allah

Kapitalisme menjawab : Tuhan

Komunisme menjawab : Materi

Mari kita lihat, bahwa Pancasila sama sekali tidak mampu menjawab tiga pertanyaan tersebut. Sehingga, karena tidak jelasnya Ideologi Pancasila itu, maka dalam perjalanannya Ideologi Pancasila mengadopsi metode Ideologi lain yang eksis di dunia untuk mengatasi masalah di Indonesia. Di masa orde lama, Pancasila mengadopsi ideologi komunis untuk mengatasi problematika hidup. Di masa orde baru dan orde reformasi (?) Kapitalisme di adopsi sebagai cara untuk mengatasi problematika hidup. Hal itu tentu saja gagal, karena setiap ideologi menuntut ke-kaffah-an (keseluruhan) dalam menerapkan sistemnya. Rusia menjadi besar dengan Uni Sovyet-nya karena menerapkan Komunisme secara kaffah. Dan Amerika berhasil menguasai dunia karena menjadikan Kapitalisme sebagai ideologi yang diembannya secara kaffah pula. Ke-kaffah-an mereka ditunjukkan dengan cara menerapkan politik imperialisme, penjajahan, pendudukan, dan pemaksaan negara lain untuk menjadikan kapitalisme atau komunisme sebagai ideologinya. Mereka konsisten dengan metodenya, sehingga, dengan cara itu, mereka berhasil menjadi penguasa dunia.

Sedangkan ketika kita memaksakan diri untuk menjadikan Pancasila kaffah di Indonesia, maka kita akan kesulitan sendiri, karena Pancasila tidak memiliki metode dalam menerapkannya. Sebagai contoh, ketika kita menyusun politik luar negeri, kita berusaha menciptakan politik luar negeri bebas aktif. Menurut pencetusnya, ini adalah hasil dari ideologi Pancasila. Tetapi ketika kita berhadapan dengan negara lain, kita menerapkan asas manfaat, yaitu apa manfaatnya bagi Indonesia. Padahal asas manfaat adalah milik Kapitalisme, sebagaimana Komunisme memiliki asas Materi dan Islam memiliki asas dakwah. Pancasila, juga tidak memiliki metode bagaimana mengembannya ke seluruh dunia, ataupun mempertahankan eksistensi dirinya sebagai ideologi. Karena sekali lagi, ideologi harus pula memiliki metode mempertahankan eksistensi dirinya.

Namun demikian, adanya jawaban untuk tiga pertanyaan mendasar sebuah ideologi serta metode dalam mempertahankan dan menyebarluaskannya bukan berarti ideologi itu adalah ideologi yang benar, karena sebuah ideologi haruslah pula memiliki landasan berpikir (qaidah fikriyah) yang benar, yaitu kesesuaian ideologi dengan fitrah manusia. Artinya, selain mengakui kemampuan manusia dalam kehidupan, ideologi itu juga harus mengakui kelemahan dan kebutuhan diri manusia akan eksistensi sang Maha Pencipta, sebagai kebutuhan yang sudah built in yaitu gharizah at tadayyun (naluri beragama). Ideologi haruslah mengakui bahwa manusia tidaklah mampu menciptakan aturan bagi dirinya sendiri, dan senantiasa penuh dengan keterbatasan. Apabila hal ini tidak terpenuhi, maka dengan sendirinya ideologi itu bathil.

Hal inilah yang menunjukkan kekalahan ideologi lain dibandingkan dengan ideologi Islam. Islam tidak hanya menjawab berbagai pertanyaan tentang kehidupan dan akhirat, tetapi juga memiliki metode, dan landasan berpikir yang sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang serba terbatas.

Dari sini, bisa kita tarik kesimpulan, bahwa Pancasila, bukanlah sesuatu yang terlalu istimewa ataupun ideologi yang mampu menjadi landasan berpikir manusia. Dan dari sini pula kita dapat memahami mengapa ideologi Islam haruslah menjadi ideologi utama kita dalam mengarungi kehidupan, baik secara pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, hingga bernegara.

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” QS. Ar Rahman (55)

Wallahu a’lam bi asshowab

MENGGUGAT PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI (1)

Ideologi menurut KBBI adalah kumpulan konsep bersistem yg dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Jadi ideologi adalah sebuah sistem tentang kehidupan yang didalamnya mengatur segala persoalan hidup. Definisi yang lebih tepat tentang ideologi atau mabda’ menurut arsitek politik islam Taqiyuddin an Nabhani adalah aqidah aqliyah (akidah yang diperoleh melalui proses berfikir) yang melahirkan sistem. Dari akidah inilah dibangun sebuah sistem hidup menyeluruh tentang politik, ekonomi, hukum, dan sosial. Sementara sesuatu itu bisa dikatakan ideologi atau mabda’ adalah ketika memenuhi dua hal. Pertama, harus memiliki fikroh yaitu pemikiran/ ide menyeluruh tentang kehidupan dan kedua, harus memiliki thariqoh atau metode operasional untuk melaksanakan fikroh tersebut.

Jika ditelusuri ideologi di dunia hanya ada tiga, yaitu kapitalisme, sosialisme, dan islam. Ketiga ideologi tersebut telah memberikan arahan hidup kepada umat manusia, termasuk menjadi problem solver kehidupan hingga berkontribusi membangun peradaban.

Lantas bagaimana dengan pancasila yang selama ini disebut sebagai ideologi dan selalu diperingati kelahirannya setiap tanggal 01 juni setiap tahunnya? Jika dilihat dari syarat dari ideologi itu sendiri maka pancasila tidak layak disebut ideologi karena tidak memenuhi syarat tersebut. Pancasila hanya sebagai set of phylosophi (seperangkat gagasan filosofis) bukan sebagai ideologi lantaran tidak sampai menyentuh aspek sistem. Adapun rumusan sila yang terkandung dalam pancasila seperti ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang beradap, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan itu merupakan rumusan filosofis tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan hanya sebagai filosofi bukan ideologi. Maka falsafah-falsafah itu sesungguhnya hanya falsafah-falsafah biasa. Dia mengandung nilai-nilai apa yang dirumuskannya. Pada level filosofi sesungguhnya ini bisa ditarik kemana-mana. Kalau ditanya sesuai dengan islam misalkan, ya sesuai-sesuai saja. Sesuai dalam arti bahwa hanya sebatas nilai-nilai filosofi itu ada pada islam.

Sedangkan untuk mengatur masyarakat pancasila tidak mampu memberikan konsep pengaturan masyarakat secara utuh. Dalam hal ekonomi misalkan, pancasila tidak memiliki kejelasan konsep untuk mengaturnya sehingga justru sosialisme atau kapitalismelah yang menjadi pengatur ekonomi. Sementara demokrasi menjadi lokomotif politik negara, yang aturan itu tidak muncul dari pancasila itu sendiri. Walhasil, semenjak diproklamirkannya negara ini yang menjadikan pancasila sebagai dasarnya. Dalam sejarahnya tak pernah pancasila ini diaplikasikan sama sekali. Karena yang dijadikan pengatur kehidupan adalah ideologi sosialisme dan kapitalisme.

Sementara itu, dalam tataran penguasa dan elit politik, mereka yang menyerukan kembali kepada pancasila justru menjadi antek kapital dengan menjual aset negara, membuat undang-undang tidak pro rakyat, menjual pulau, dan mempersilahkan korporasi swasta dan asing menggarong SDA Indonesia.

Islam sebagai agama sekaligus ideologi sebenarnya telah menawarkan konsep pengaturan hidup menyeluruh yang telah terbukti selama 13 abad lamanya. Islam pula yang mampu menjadi alternatif solusi dari kegagalan sosialisme-kapitalisme dalam mengatur masyarakat. Oleh karenanya mari kita perjuangkan!.[

SUMBER http://pemudarevolusi.wordpress.com/2014/06/01/menggugat-pancasila-sebagai-ideologi/

Sabtu, 17 Mei 2014

Perubahan Mendasar Pemikiran Sayyid Qutb;Dari Al Aqqad, Al Banna, hingga An-Nabhani

oleh Hafidz Abdurahman M.A
( bukunya silahkan diDOWNLOAD DISINI )

Untuk membaca, apalagi melacak, pemikiran Sayyid Qutub (1906-1966), seperti kata penulis buku ini, diperlukan kejelian dan kecermatan. Karena itu, ketika menulis pengantar ini, saya berusaha mengumpulkan referensi sebanyak-banyaknya tentang Sayyid Qutub dan pemikirannya, agar saya bisa bersikap amanah, setidak-

tidaknya untuk menjawab pertanyaan besar yang belum dijawab dalam buku Perubahan Mendasar Pemikiran Sayyid Qutub ini. Pertanyaan-pertanyaan yang justru

menjadi kunci pembahasan buku ini. Antara lain: Apa yang dimaksud “Perubahan Mendasar” dalam pemikiran Sayyid Qutub? Benarkah Sayyid Qutub mengalami ”perubahan mendasar” dalam pemikirannya? Jika benar, dimanakah letak perubahan pemikiran yang mendasar itu terjadi? Siapakah yang banyak mewarnai perubahan mendasar dalam pemikiran Sayyid Qutub? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang ingin saya jelaskan dalam pengantar ini.

Buku ini dikumpulkan dan artikel yang ditulis secara berseri dalam majalah al-Wa’ie. Dengan judul at-Taghyir aI-Judzuri fi aI-Fikr al-Syahid Sayyid Qutub (Perubahan Mendasar Pemikiran as-Syahid Sayyid Qutub), setidak-tidaknya mempunyai dua asumsi. Dalam bahasa Arab: at-Taghyir al-Judzuri fi al-Fikr bisa diasumsikan:

Pertama, “konsep tentang perubahan mendasar dalam pemikiran.” Dan mungkin inilah yang dimaksudkan oleh penulis, sebagaimana yang terlihat dalam petikan-petikan pandangan Sayyid Qutub yang dituangkan dalam tulisannya. Asumsi ini didasarkan kepada sikap penulis untuk tidak menyinggung sedikit pun tentang apa maksud “perubahan mendasar” yang di-highlight dalam tulisannya. Karena seluruh wacana pemikiran yang dituangkan dalam buku ini sudah menjawab maksud “perubahan mendasar”, yang lebih kepada konsep “perubahan mendasar” dalam pemikiran Sayyid Qutub. Tetapi, mungkin saja asumsi ini tidak betul. Sebab, ada faktor lain yang boleh jadi mempengaruhi penulis untuk tidak melakukan beberapa catatan di atas, antara lain, karena tulisan ini bukan merupakan “tulisan ilmiah” yang sengaja disusun untuk menjadi sebuah buku, tetapi merupakan “tulisan ilmiah” yang ditulis untuk konsumsi majalah. Kedua, “perubahan mendasar dalam pemikiran…” sebagaimana judul terjemahan buku ini. Makna yang tidak merujuk kepada “konsep” atau “pemikiran” tentang “perubahan mendasar’ tetapi lebih kepada terjadinya perubahan mendasar dalam pemikiran Sayyid Qutub. Asumsi ini juga dapat diterima, sekalipun penulis —karena pertimbangan tertentu— dalam pengantarnya tidak memberikan ulasan tentang maksud ini.

Asumsi ini dibenarkan, karena biasanya untuk merujuk kepada “konsep” atau “pemikiran” tentang “perubahan mendasar” dalam bahasa Arab digunakan ”at- Taghyir al-Judzuri fi al-Nadhri” (konsep “Perubahan Mendasar” dalam pandangan). Karena itu, berdasarkan perspektif kebahasaan, asumsi yang kedua ini lebih tepat. Cuma persoalannya, jika asumsi kedua yang dianggap Iebih tepat, buku ini secara keseluruhan tidak menguraikan ciri-ciri “perubahan mendasar” dalam pemikiran Sayyid, setidaknya dengan comparatively method, antara pemikiran beliau sebelum dan setelah berubah.

Sekalipun demikian, tidak berarti buku ini tidak layak untuk mengurai “perubahan mendasar” pemikiran Sayyid Qutub. Paling tidak, buku ini telah membuka mata kita melalui symptom-symptom yang diurai di dalamnya, setidaknya untuk mendiagnosis hakikat “perubahan mendasar” tersebut. Hanya penelitian lebih mendalam terhadap hakikat “perubahan mendasar” ini masih perlu dilakukan. Karena itu, saya memberanikan diri memberikan pengantar buku ini dengan maksud untuk memecah kekaburan tersebut.

Dilahirkan di Qaryah, wilayah Asyuth, tahun 1906, sepuluh tahun kemudian, Sayyid Qutub telah hafal aI-Qur’an. Dari Qaryah, beliau melanjutkan studi ke Kairo, tepatnya di Dar al-’Ulum hingga lulus. Sekitar tahun 1926, pada usia 20 tahun, beliau belajar sastra kepada Abbas Mahmud al-’Aqqad, penulis buku ad-Dimuqrathiyyah fi al-Islam. Tokoh ini mempunyai pengaruh besar terhadap Sayyid Qutub. Kurang lebih 25 tahun, Sayyid Qutub bersamanya, dan karena pengaruh al-’Aqqad-lah, beliau terlibat dengan kehidupan politik yang pertama. Dalam rentang inilah, beliau menjadi anggota Partai al-Wafd. Pada akhirnya beliau keluar, dan bergabung dengan Partai al-Haihah al-Sa’adiyyah, pecahan Partai al-Wafd, tetapi hanya bertahan dua tahun. Setelah itu, beliau tidak terlibat dengan partai manapun.

Al-’Aqqad juga orang yang berjasa mengangkat kepopuleran Sayyid Qutub, dengan peluang menulis gagasan-gagasannya dalam harian partainya. Beliau akhirnya populer sebagal murid aI-’Aqqad. Tetapi, sejak tahun 1946, setelah menulis buku at-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an, beliau mulai sedikit demi sedikit menjauhkan diri dan al-’Aqqad.

Selama 25 tahun, antara tahun 1926-1950, Sayyid Qutub belum menggeluti pemikiran Islam, khususnya ketika bersama al-’Aqqad. Inilah pengaruh negatif al-’Aqqad pada diri Sayyid. Gambaran ini dapat dilacak dalam tulisan-tulisan beliau seperti yang pernah dipublikasikan oleh majalah al-Risalah (1934-1952), disamping buku-buku beliau yang dicetak pada rentang masa tersebut. Tulisan beliau yang dipublikasi dalam rentang waktu tersebut berkisar soal sastra, seperti bait-bait syair dan beberapa makalah sosial (1933- 1937), konflik terbuka melawan al-Rafi’i membela al‘Aqqad (1938), kritik nyanyian yang diselingi dengan beberapa bait syair dan makalah sosial (1940-1941), kritik terbuka kepada Dr. Muhammad Mandur tentang seni retorika (1943), kritik dan penjelasan tentang aliran seni sebagai aliran al-’Aqqad (1944), kritik dan medan konflik terbuka dengan Shalah Dzihni tentang kisah dan kisah-kisah Mahmud Taimur (1944 dan awal 1945), serta uraian tentang krisis di tanah air, peristiwa politik dan problem sosial dengan beberapa makalah yang berbentuk kritik (1945-1947).

Disamping itu, gambaran di atas juga dapat dilacak dalam buku-buku beliau yang diterbitkan dalam rentang waktu tersebut. Antara lain: Muhimmah as-Sya‘ir fi al-

Hayah wa Syi’r al-Jail al-Hadhir (1933). Ini merupakan buku beliau yang pertama diterbitkan. Di dalamnya beliau menguraikan kedudukan seorang penyair dalam kehidupan, dan syair di antara seni-seni keindahan yang ada, kemudian tentang siapa yang disebut penyair, disamping tentang kepribadian penyair dan pengaruh lingkungannya. As-Syathi’al-Majhul (1935). Buku ini berisi kumpulan bait syair yang diterbitkan pertama dan terakhir kali. Dalam pengantarnya, beliau mengatakan, bahwa buku ini berisi teori ilmiah dan filosofis, ketika seorang penyair beninteraksi dengan “dunia fantasi”. Naqd Kitab Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mishr (1939). Ini berisi bantahan terhadap Taha Husein. Tulisan ini asalnya dimuat dalam buletin Dar al-‘Ulum, yang kemudian diadopsi oleh koran aI-Ikhwan al-Muslimin, ketika Sayyid Qutub belum menjadi anggota jamaah ini. Sekalipun berisi bantahan, tetapi beliau tidak menolak seratus persen pemikiran Taha Husein. Buku ini juga tidak memberikan bantahan dalam perspektif Islam, tetapi lebih berdasarkan perspektif edukatif. At-Tashwir al-Fanni fi aI-Qur’an (1945). Ini dianggap sebagai buku keislaman yang pertama. Al-Athyaf al-Arba’ah (1945). Buku ini ditulis bereempat dengan saudaranya untuk mengenang kepergian ibunya. Thiflun min al-Qariyah (1946). Sayyid Qutub menghadiahkannya untuk Taha Hussein, penulis buku al-Ayyam, yang sangat beliau kagumi. Al-Madinah a!-Mashurah (1946). Buku ini berisi kisah fantasi. Kutub wa Syakhshiyyah (1946). Karya ini ditujukan kepada para sastrawan, penyair dan pengkaji yang aktivitas sastranya beliau kritik. Asywak (1947). Ini merupakan karya di bidang roman percintaan. Masyahid al-Qiyamah fi al-Qur’an (1948). Berisi pemandangan kiamat, dan menguraikan seratus lima puluh pemandangan, yang terbagi dalam delapan puluh surat. An-Naqd al-Adabi Ushuluhu wa Manahijuhu (1948). Buku ini berisi kritik sastra, dasar dan metodenya. Al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah fi a/-Islam (1949). Ini dikatakan sebagai buku pemikiran Islam beliau yang pertama kali diterbitkan. Buku ini ditulis ketika pengaruh Sosialisme begitu kuat di Mesir, dengan meminjam trade mark “keadilan sosial” Sosialisme, sekalipun beliau coba uraikan dengan paradigma keislaman beliau. Buku yang disebutkan terakhir ini ditulis sebelum beliau berangkat ke Amerika, dan sebelum bergabung dengan aI-Ikhwan.

Sebagaimana penuturannya kepada an-Nadawi, setelah beliau melalui fase keraguan terhadap hakikat keagamaan hingga pada batas yang sangat jauh, akhirnya beliau kembali kepada al-Qur’an untuk mengobati kegalauannya. Perubahan ini terjadi sejak sekitar tahun 1945, setelah beliau menulis at-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an (1945), Masyahid aI-Qiyamah fi aI-Qur’an (1948) dan al-’Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam (1949). Ketika di Amerika, tahun 1949, beliau menyaksikan Hassan al-Bana, pendiri aI-Ikhwan dibunuh. Dari sini, Sayyid mulai simpati dengan jamaah ini. Setelah kembali ke Mesir, beliau mengkaji sosok Hassan al-Bana, seperti dalam pengakuannya:

“Saya telah membaca semua risalah al-Imam as-Syahid. Saya mendalami perjalanan hidup beliau yang bersih dan tujuan-tujuannya yang haq. Dari sini saya tahu, mengapa beliau dimusuhi? Mengapa beliau dibunuh? Karena itu, saya benjanji kepada Allah untuk memikul amanah ini sepeninggal beliau, dan akan melanjutkan perjalanan ini seperti yang beliau lalui, ketika beliau bertemu dengan Allah”4

Pada tahun 1951, ketika berusia 45 tahun, beliau bergabung dengan al-Ikhwan. Pada saat inilah, Sayyid menganggap dirinya baru dilahirkan, setelah dua puluh lima tahun umurnya dihabiskan dengan al-’Aqqad. Sejak masuk jamaah ini hingga meninggal dunia, beliau hanya sempat hidup selama 15 tahun, hingga dijatuhi hukuman mati oleh regim Nasser, kawan beliau dalam merancang Revolusi Juli tahun 1952, setahun setelah bergabung dengan al-Ikhwan. Dalam jamaah ini, sekalipun beliau tidak pernah menjabat sebagai pemimpin al-Ikhwan, seperti al-Bana, tetapi beliau dinobatkan sebagai pemikir nomer dua setelah al-Bana.

Perubahan Sayyid nampak terutama setelah bergabung dengan Al-Ikhwan, sekalipun ini bukan fase akhir perubahan pemikiran beliau. Perubahan ini nampak misalnya dalam buku beliau, antara lain: Ma’rakah al-Islam wa ar-Ra’simaliyyah (1951). Buku yang menekankan, bahwa hanya Islam-lah satu-satunya solusi yang mampu menyelesaikan semua krisis sosial yang terjadi. As-Salam al-Alami wa al-Islam (1951). Ini mengurai kegoncangan dunia dan perdamaian yang dapat diwujudkan oleh Islam. Fi DhilaI aI-Qur’an juz I (1952). Karya monumental beliau setelah kembali kepada al-Qur’an. Dirasat Islamiyyah (1950-1953). Buku ini berisi tiga puluh enam makalah. Hadza ad-Din (1953). Buku yang mencerminkan fase baru pemikiran Islam beliau. Kemudian secara berurutan, dalam rentang antara tahun 1953-1966, keluar buku beliau, seperti: al-Mustaqbal Iihadza ad-Din, Khashaish at-Tashawwur al-Islami wa Muqawwamatuh, al-Islam wa Musykilat aI-Hadharah dan Ma’alim fi at-Thariq.

Bahwa perubahan pemikiran Sayyid Qutub setelah bergabung dengan al-Ikhwan bukan merupakan fase akhir perubahan mendasar dalam pemikirannya, nampak setelah pemikiran beliau dilacak dengan teliti dan cermat melalui buku-bukunya. Karena itu, seperti yang diungkapkan oleh Shalah al-Khalidi (1981), ketika buku beliau yang pertama diterbitkan, at-Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an (1945), mereka yang arif mengatakan: “Inilah kitab Sayyid Qutub.” Ketika buku al-’Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam (1949) terbit, mereka mengatakan: “Bukan itu. Inilah kitab Sayyid Qutub.”

Ketika buku Khashaish at-Tashawwur al-Islami wa Muqawwamatuh terbit, mereka mengatakan: “Bukan itu, tapi ini.” Ketika Fi Dhilal al-Qur’an juz I (1952) terbit, mereka mengatakan: “Inilah buku beliau.” Dan begitu buku Ma’alim fi at-Thariq terbit, mereka mengatakan: “Inilah kitab Sayyid Qutub yang sesungguhnya.” Karena

itu, “Saya yakin, kalaulah Allah menakdirkan terbitnya buku-buku gerakan keislaman beliau yang lain setelah Ma’alim, pasti akan menutup apa yang ditulis sebelumnya.” demikian ungkap Shalah al-Khalidi, ketika menggambarkan perubahan demi perubahan dalam pemikiran sang syahid ini.

Inilah “perubahan mendasar” yang terjadi dalam pemikiran tokoh syahid ini. Boleh jadi karena faktor keikhlasannya, beliau akhirnya dapat meraih kedudukan agung ini. Keikhlasan ini nampak ketika beliau mampu mengumumkan, bahwa dirinya telah melepaskan diri dari pemikiran-pemikiran beliau sebelumnya, setelah beliau mengadopsi pemikirannya yang baru. Sesuatu yang biasanya sulit dilakukan oleh orang yang mempunyai popularitas seperti beliau. Keikhlasan beliau juga nampak ketika pada tahun 1953 berkunjung ke al-Quds, dan bertemu dengan as-Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani. Dalam pertemuan ini, beliau melakukan dialog pemikiran dengannya, yang pada akhirnya beliau mendukung gagasan an-Nabhani dan partainya. Sikap yang jarang ditemukan pada mereka yang menisbatkan gerakannya kepada beliau. Laporan yang menyatakan dukungan beliau ini, sangat susah ditemukan dalam tulisan mereka yang menisbatkan gerakannya kepada Sayyid Qutub. Apa lagi

untuk mendapat laporan, bahwa sedikit banyak beliau juga telah menyerap pandangan-pandangan tokoh yang disebutkan terakhir ini.

Tentang masalah yang terakhir ini, sekalipun masih terlalu prematur untuk dibuktikan, namun setidaknya symptom-nya dapat ditemukan ketika melacak wacana pemikiran Sayyid Qutub dalam buku ini. Pemakaian istilah al-wa’yu, isti’naf al-hayah aI-Islamiyyah (melanjutkan kehidupan Islam), serta seruan beliau untuk membangkitkan umat melalul tegaknya Khilafah Islam, dan sebagainya dapat dianggap sebagai symptom penyerapan beliau terhadap pandangan-pandangan ulama ini. Karena term-term —selain gagasan yang terakhir— ini merupakan term dan gagasan yang secara konsisten diperjuangkan oleh ulama ini, sejak pertama kali mendirikan partainya, tahun 1953. Sedangkan sejauh mana pengaruh pandangan tokoh ini terhadap Sayyid

Qutub, apa hanya sekedar intifa‘ (istilahnya dimanfaatkan) ataukah benar-benar ta’atstsur (terpengaruh). Sekali lagi untuk menjawab masalah ini perlu penelitian yang lebih akurat.

Akhirnya, apapun tentang Sayyid Qutub rahimahullah, beliau adalah as-Syahid yang tetap hidup di tengah kita. Pemikirannya masih menyinarkan harapan untuk menyembuhkan kondisi umat, yang masih belum sadar, dan ketika banyak orang sudah tidak lagi mempunyai harapan terhadap kehidupan mereka. Dan buku ini, merupakan uraian terbaik dalam memahami mainframe gerakan Sayyid Qutub yang banyak dilupakan oleh para pengikutnya. WaIlahua’lam bi as-Shawab.

Jumat, 25 April 2014

MAKNA JIHAD MENURUT ISLAM

Banyak orang menafsirkan makna jihad fi sabilillah dengan berbagai macam penafsiran. Mana makna jihad yang benar menurut kaca mata syariat Islam? Dan peperangan seperti apa saja yang dapat dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah?

Ada upaya baru yang diciptakan oleh musuh-musuh Islam, yakni meminggirkan dan menghilangkan makna serta pengaruh istilah-istilah Islam di tengah-tengah kaum Muslim. Salah satu istilah yang berusaha mereka eliminir dan kaburkan adalah istilah jihad. Hal itu dilakukan bukan saja dengan menciptakan stereotipe negatif tentang jihad, mujahid dan syahid, tetapi juga dengan mengalihkan makna jihad secara syar’i ke pengertian jihad secara bahasa (lughawi) yang bersifat lebih umum.
Tidak dipungkiri, kata jihad memiliki pengarih yang amat luas, dan masih memiliki greget yang mendalam di kalangan kaum Muslim. Gaung jihad akan segera menghentakkan kaum Muslim, yang sehari-harinya biasa-biasa saja. Seketika kita berubah wujud menjadi luar biasa. Fenomena semacam ini amat dipahami, baik oleh musuh-musuh Islam maupun kalangan Muslim sendiri. Tidak aneh jika kata jihad sering dipelintir maknanya untuk kepentingan politik negara-negara besar maupun kalangan-kalangan tertentu.
Negara Barat kafir seperti AS, hingga kini tetap giat mempropagandakan pandangan bahwa jihad sama dengan teror, mujahidin sama dengan teroris atau ekstremis yang harus dimusuhi, dilawan, dan dibinasakan. Mereka khawatir dengan bangkitnya semangat kaum Muslim melawan hegemoni sistem kufur yang dipelopori AS. Kaum orientalis dan para pengikutnya mengarahkan makna jihad dalam pengertian yang lebih luas, mencakup jihad pembangunan, jihad menuntut ilmu, jihad mencari nafkah, jihad ekonomi, jihad politik dan sejenisnya. Semua itu mengaburkan makna jihad yang sebenarnya. Dalam skala yang lebih sempit lagi, kata jihad ternyata juga sengaja dipelintir dan dipolitisasi untuk menghadang atau melawan kelompok tertentu yang bertentangan dengan kelompok mereka. Inilah yang sekarang terjadi di negeri ini.
Untuk meluruskan persepsi keliru tentang makna jihad agar tidak digunakan untuk kepentingan politik tertentu, yang dengan gampang mengangkat perkara ini guna menghadang pihak lain yang menghalang-halangi atau mengganggu eksistensi dan kepentingan kelompok mereka, sangatlah penting menjelaskan hakikat jihad yang sebenarnya kepeda seluruh kaum Muslim.
Jihad berasal dari kata jâhada, yujâhidu, jihâd. Artinya adalah saling mencurahkan usaha1. Lebih jauh lagi Imam an-Naisaburi dalam kitab tafsirnya menjelaskan arti kata jihad –menurut bahasa-, yaitu mencurahkan segenap tenaga untuk memperoleh maksud tertentu2.
Al-Quran menggunakan arti kata jihad seperti diatas dalam beberapa ayatnya, seperti ayat berikut:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dalam hal yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (TQS. Luqman [31]: 15)

Makna jihad menurut bahasa (lughawi) adalah kemampuan yang dicurahkan semaksimal mungkin; kadang-kadang berupa aktivitas fisik, baik menggunakan senjata atau tidak; kadang-kadang dengan menggunakan harta benda dan kata-kata; kadang-kadang berupa dorongan sekuat tenaga untuk meraih target tertentu; dan sejenisnya. Makna jihad secara bahasa ini bersifat umum, yaitu kerja keras.
Al-Quran telah mengarahkan makna jihad pada arti yang lebih spesifik, yaitu: Mencurahkan segenap tenaga untuk berperang di jalan Allah, baik langsung maupun dengan cara mengeluarkan harta benda, pendapat, memperbanyak logistik, dan lain-lain3.
Pengertian semacam ini tampak dalam kata jihad yang ada dalam ayat-ayat Madaniyah. Maknanya berbeda dengan kata jihad yang terdapat dalam ayat-ayat Makkiyah. Kata jihad mengandung makna bahasa yang bersifat umum, sebagaimana pengertian yang tampak dalam al-Quran surat al-Ankabut [29]: ayat 6 dan 8 serta surat Luqman [31]: ayat 15.
Tidak kurang dari 26 kata jihad digunakan dalam ayat-ayat Madaniyah. Semuanya mengindikasikan bahwa jihad disini mengandung muatan makna perang menentang orang-orang kafir dan keutamaan orang yang pergi berperang dibandingkan dengan orang yang berdiam diri saja. Pengertian semacam ini diwakili oleh firman Allah Swt:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah. Yang demikian adalah lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (TQS. at-Taubah [9]: 41)

Jihad dengan makna mengerahkan segenap kekuatan untuk berperang di jalan Allah juga digunakan oleh para fuqaha. menurut mazhab Hanafi, jihad adalah mencurahkan pengorbanan dan kekuatan untuk berjuang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta benda, lisan dan sebagainya4. Menurut mazhab Maliki, jihad berarti peperangan kaum Muslim melawan orang-orang kafir dalam rangka menegakkan kalimat Allah hingga menjadi kalimat yang paling tinggi5. Para ulama mazhab Syafi’i juga berpendapat bahwa jihad berarti perang di jalan Allah6.
Sekalipun kata jihad menurut bahasa memliki arti mencurahkan segenap tenaga, kerja keras, dan sejenisnya, tetapi syariat Islam lebih sering menggunakan kata tersebut dengan maksud tertentu, yaitu berperang di jalan Allah. Artinya, penggunaan kata jihad dalam pengertian berperang di jalan Allah lebih tepat digunakan ketimbang dalam pengertian bahasa. Hal ini sesuai dengan kaidah yang sering digunakan para ahli ushul fiqih:

Makna syariat lebih utama dibandingkan dengan makna bahasa maupun makna istilah (urf)7.

Dengan demikian, makna jihad yang lebih tepat diambil oleh kaum Muslim adalah berperang di jalan Allah melawan orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Allah.
Pengaburan makna jihad dalam pengertian syariat ini, dengan cara mengalihkannya ke pengertian yang lebih umum, seperti jihad pembangunan, me untut ilmu, mencari nafkah, berpikir keras mencari penyelesaian, dan sejenisnya yang dianggap sebagai aktivitas jihad- merupakan upaya untuk menghilangkan makna jihad dalam pengertian al-qitâl, al-harb, atau al-ghazwu, yaitu berperang (di jalan Allah).
Untuk menentukan bahwa suatu pertempuran itu tergolong jihad fi sabilillah (sesuai dengan definisi diatas) atau termasuk perang saja, maka kita perlu mencermati fakta tentang jenis-jenis peperangan yang dikenal dalam khasanah Islam. Di dalam Islam terdapat kurang lebih 12 jenis peperangan, yaitu:
1.Perang melawan orang-orang murtad.
2.Perang melawan para pengikut bughât.
3.Perang melawan kelompok pengacau (al-hirabah atau quthâ at-thuruq) dari kalangan perompak dan sejenisnya.
4.Perang mempertahankan kehormatan secara khusus (jiwa, harta benda dan kehormatan).
5.Perang mempertahankan kehormatan secara umum (yang menjadi hak Allah atau hak masyarakat).
6.Perang menentang penyelewengan penguasa.
7.Perang fitnah (perang saudara).
8.Perang melawan perampas kekuasaan.
9.Perang melawan ahlu dzimmah.
10.Perang ofensif untuk merampas harta benda musuh.
11.Perang untuk menegakkan Daulah Islam.
12.Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam.8

Perang melawan orang-orang murtad
Murtad, menurut Imam Nawawi, adalah orang yang keluar dari agama Islam, mengeluarkan kata-kata atau tindakan kekufuran, dengan disertai niat, baik niatnya mencela, karena kebencian, atau pun berdasarkan keyakinan9. Orang yang murtad di beri batas waktu, bisa tiga hari atau pun lebih untuk bertobat10. Jika jangka waktu yang diberikan berakhir, sementara yang bersangkutan tetap tidak berubah, maka ia wajib dibunuh.
Jika yang murtad itu merupakan satu komunitas, baik didukung oleh negara kafir atau pun berdiri sendiri, hukumnya juga sama, yaitu wajib diperangi sebagaimana halnya memerangi musuh, bukan seperti memerangi bughât11.

Perang melawan para pengikut bughat
Bughat adalah mereka yang memiliki kekuatan, kemudian menyatakan keluar atau memisahkan diri dari Daulah Islamiyah, melepaskan ketaatannya kepada negara (Khalifah), mengangkat senjata, dan mengumumkan perang terhadap negara. Tidak dibedakan lagi apakah mereka memisahkan diri dari Khalifah yang adil atau zhalim; baik mereka memisahkan diri karena adanya perbedaan (penafsiran) dalam agama atau mungkin ada motivasi dunia. Semuanya tergolong bughat selama mereka mengangkat senajata atau pedang terhadap kekuasaan Islam12.
Jika ada kelompok orang semacam ini, menurut Imam Nawawi, yang harus dilakukan oleh kepala negara adalah memberinya nasehat agar mereka kembali dan bertobat13. Jika tidak kembali mereka harus diperangi agar jera. Dalam perkara ini, peperangan yang dimaksud adalah peperangan untuk mendidik mereka, bukan perang untuk membinasakan mereka. Alasannya, mereka adalah kaum Muslim yang tidak sadar, dan kesadarannya harus dikembalikan14.
Oleh karena itu, perang melawan bughat tidak tergolong ke dalam aktivitas jihad fi sabilillah. Ada dua alasan penting: (1) yang diperangi adalah kaum Muslim; (2) korban yang terbunuh dalam peperangan ini tidak termasuk syahid.

Perang melawan kelompok pengacau
Kelompok pengacau adalah mereka yang melakukan tindak kriminal dalam wujud sekumpulan orang bersenjata dan memiliki kekuatan. Tujuannya adalah merampok, menyamun, membunuh, menebar teror atau ketakutan terhadap masyarakat umum15. Para pelakunya bisa terdiri dari empat jenis: (1) orang-orang murtad; (20 orang kafir ahlu dzimmah; (3) orang-orang kafir musta’man; (4) orang Islam.
Jika di dalam Daulah Islamiyah muncul kelompok semacam ini, mereka wajib diperintahkan untuk meletakkan senjata dan menyerahkan diri, setelah sebelumnya diberikan nasehat. Apabila mereka tidak mengindahkan seruan negara, maka mereka wajib diperangi. Daulah Islamiyah wajib melenyapkan ancaman mereka atas kaum Muslim.
Perang melawan mereka dapat dimasukkan ke dalam golongan jihad fi sabilillah, jika sasarannya adalah orang-orang murtad, ahlu dzimmah dan orang-orang kafir musta’man. Sebaliknya, jika sasarannya adalah kaum Muslim yang melakukan kekacauan, peperangan melawan mereka tidak tergolong sebagai jihad fi sabilillah16.

Perang mempertahankan kehormatan pribadi
Para fuqaha memberinya istilah lain dalam peperangan jenis ini, yaitu as-siyâl. As-Siyâl adalah tindakan ancaman atas harta benda, jiwa dan kehormatan. Ketiga perkara tersebut merupakan perkara-perkara yang harus dijaga. Hukum mempertahankan ketiga jenis perkara tersebut disyariatkan oleh Islam. Jika pihak yang merampas kehormatan, harta benda, atau pun jiwa itu adalah orang-orang kafir, maka peperangan melawan mereka dimasukkan sebagai jihad fi sabilillah. Akan tetapi jika pihak yang mertampas kehormatan, jiwa dan harta benda kaum Muslim adalah juga dari kaum Muslim, maka jenis peperangan melawan mereka tidak digolongkan sebagai jihad17.

Perang mempertahankan kehormatan secara umum
Sekalipun obyeknya sama dengan jenis peperangan sebelumnya, yaitu mencakup kehormatan, harta benda dan jiwa, akan tetapi terdapat perbedaan yang mendasar dalam perkara ini. Perang dalam rangka mempertahankan kehormatan secara umum, ditujukan kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran atas kehormatan, harta benda dan jiwa, yang dimilikinya sendiri. Misalnya, sekelompok orang yang melacurkan diri, mengambil harta orang lain secara sukarela untuk berjudi, atau sekelompok orang yang bermaksud membunuh diri mereka sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pelanggaran terhadap hak-hak Allah dan hak-hak masyarakat, karena dapat merusak kesucian jiwa dan kebersihan hidup masyarakat.
Berperang untuk mengikis habis pelanggaran hak Allah dan hak masyarakat ini, di dalam fiqih Islam lebih dikenal dengan taghyir al-munkar. Negara wajib memelihara kesucian jiwa dan kebersihan hidup masyarakat dengan memerangi mereka yang akan membinasakan kehormatan, harta benda dan jiwa mereka sendiri. Perang dalam rangka ini tidak termasuk ke dalam aktivitas jihad.

Perang menentang penguasa yang menyimpang
Peperangan jenis ini, dalam fiqih Islam dikenal dengan beberapa istilah, seperti al-khurûj (pemisahan diri), ats-tsaurah (pemberontakan atau kudeta), an-nuhûdl (kebangkitan), al-fitnah (fitnah), qitâl azh-zhulmah (memerangi kezhaliman), qitâl al-umarâ (memerangi penguasa), inqilâb (revolusi), harakat tahririyah li tashîh al-auda (gerakan pembebasan untuk perbaikan), harb ahliyah (perang saudara), dan lain-lain18.
Yang perlu diingat, peperangan jenis ini berada dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah, yakni tatkala di dalamnya tampak penyelewengan penguasa dalam:
1. Meninggalkan shalat, puasa, atau rukun Islam lainnya.
2. Tidak menegakkan rukun Islam di tengah-tengah masyarakat.
3. Melakukan kemaksiatan secara terang-terangan.
4. Melakukan kekufuran secara terang-terangan.

Peperangan jenis ini memerlukan burhân (bukti) yang pasti bahwa Khalifah benar-benar telah menyimpang dari hukum Islam yang qath’i dengan menjalankan kekufuran. Dalam kondisi semacam ini, seorang Khalifah harus dilengserkan dan dianggap murtad. Jika ia melawan, maka perang melawannya dapat dikategorikan sebagai jihad. Jika Khalifah hanya melakukan penyelewengan saja, tidak sampai melakukan kekufuran secara terang-terangan tetapi mengharuskan dirinya dilengserkan dari kedudukannya sebagai Khalifah, sementara ia tidak bersedia diturunkan, maka perang melawannya sama dengan melawan bughât, tidak dikategorikan sebagai jihad19.

Perang fitnah (perang saudara)
Perang saudara disini maksudnya adalah perang antara dua pihak atau lebih yang melibatkan kaum Muslim yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Contoh yang paling mudah untuk perang saudara ini adalah apa yang terjadi dan dialami oleh kaum Muslim di Afghanistan (pada masa pemerintahan Thaliban).
Perang saudara semacam ini tidak digolongkan sebagai jihad fi sabilillah. Bahkan, banyak hadits yang melarangnya, sementara para pelakunya diancam akan dimasukkan ke dalam neraka.

Perang melawan perampas kekuasaan
Kekuasaan itu ada di tangan rakyat (umat). Demikian kesimpulan dari berbagai hadits yang menyangkut bai’at. Bai’at berasal dari umat yang diberikan kepada Rasulullah saw, atau para Khalifah setelah beliau. Artinya, orang yang memperoleh kekuasaan bukan melalui tangan umat atau melalui paksaan dianggap sebagai pihak yang merampas kekuasaan.
Perang melawan pihak yang merampas kekuasaan tidak digolongkan sebagai jihad. Meskipun demikian, dalam kasus ini, terdapat dua pendapat yang berbeda di kalangan sahabat. Ali bin Abi Thalib ra menganggapnya sebagai jihad. Sikap beliau diwujudkan dalam tindakannya, yakni tidak memandikan jenazah para sahabatnya yang gugur dalam perang Shiffin. Sebaliknya adalah pendapat Asma binti Abubakar. Ia memandikan anaknya, yakni Abdullah bin Zubair tatkala berperang melawan pihak yang merampas kekuasan, yaitu Marwan bin Hakam20.

Perang melawan ahlu dzimmah
Ahlu dzimmah adalah setiap orang non muslim yang menjadi rakyat (warga negara) Daulah Islamiyah dan dibiarkan memeluk agamanya21. Ahlu dzimmah adalah orang yang terikat perjanjian dengan Daulah Islamiyah serta memperoleh dzimmah (jaminan) dari negara atas jiwa, kehormatan dan harta bendanya. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap perjanjian tersebut dapat menggugurkan status dzimmah mereka.
Pelanggaran tersebut mencakup setiap perkara yang mengganggu atau menghilangkan harta benda, jiwa dan kehormatan kaum Muslim, seperti (1) membantu menyerang kaum Muslim, (2) membunuh kaum Muslim, (3) merampok harta benda kaum Muslim, (4) menjadi perusuh, (5) membocorkan rahasia kaum Muslim kepada musuh, (6) menodai kehormatan wanita muslimah, (7) mempengaruhi kaum Muslim agar memeluk agama mereka yang kafir.
Berbagai pelanggaran ini jika dilakukan oleh ahlu dzimmah dapat menggugurkan dzimmah (jaminan) negara atas keselamatan harta benda, kehormatan dan jiwa mereka.
Perang melawan ahlu dzimmah semacam ini termasuk jihad fi sabilillah. Alasannya, status mereka pada kondisi demikian telah berubah menjadi kafir harbi, karena mereka telah kehilangan dzimmahnya. Kasus semacam ini akan dihadapi jika mereka benar-benar melakukan konspirasi bersama dengan orang-orang kafir harbi untuk menyerang kaum Muslim22.

Perang untuk menegakkan Daulah Islamiyah
Untuk mengetahui pakah perang jenis ini temasuk jihad fi sabilillah atau bukan, harus dicermati dulu faktanya. Pertama, jika sasaran perang dalam rangka menegakkan Daulah Islamiyah itu berasal dari kalangan kaum Muslim yang tidak setuju dengan tegaknya Daulah Islamiyah, maka perang jenis ini dimasukkan ke dalam perang melawan bughat. Kedua, perang melawan ahlu dzimmah yang tidak mau tunduk kepada Daulah Islamiyah yang baru berdiri, maka peperangannya dianggap sebagai jihad melawan orang-orang kafir harbi. Ketiga, perang melawan negeri-negeri Islam yang tidak mau bergabung dalam naungan Daulah Islamiyah. Perang jenis ini dimasukkan sebagai perang melawan bughât. Keempat, perang melawan penjajah atau negara-negara kafir yang tidak ingin melihat berdirinya Daulah islamiyah. Perang jenis ini digolongkan sebagai jihad fi sabilillah.

Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam
Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam pada dasarnya tergolong perang untuk menegakkan kalimat Allah. Meskipun demikian, perlu dicermati sasarannya. Jika yang diperangi adalah orang-orang kafir atau ahlu dzimmah yang telah mencampakkan perjanjiannya, maka melawan mereka dikategorikan sebagai jihad. Akan tetapi, jika yang diperangi adalah sesama kaum Muslim yang teguh pada nasionalisme atau kebangsaannya, sementara mereka dijadikan alat oleh negara-negara kafir untuk melawan sesama kaum Muslim, maka perang melawan mereka tidak dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah23.

Berdasarkan uraian singkat ini, kaum Muslim bisa lebih berhati-hati dalam menyikapi provokasi, ajakan, maupun seruan-seruan jihad yang disalahgunakan oleh banyak pihak yang didasarkan pada kepentingan politik tertentu. Alih-alih mengharapkan mati syahid, yang diperoleh ternyata mati konyol. Na’udzi billahi min dzalika.

HUKUM TENTANG PRIVATISASI

Pada era globalisasi saat ini kita sering mendengar istilah privatisasi. Apalagi perkara tersebut tertuang dalam LoI (Letter of Intent) antara IMF dan pemerintah. Bagaimana hukum dan pandangan Islam mengenai privatisasi?

Apa yang dilakukan pemerintah dengan menjual perusahaan-perusahaan dan badan-badan usaha milik negara kepada pihak-pihak perorangan atau kepada investor asing, adalah tindakan yang haram menurut syara, karena alasan-alasan berikut:
Pertama, negara tidak berhak menjual aset-aset kepemilikan umum, karena aset ini bukan miliknya, tetapi milik umum. Islam telah melarang menjual suatu barang yang tidak dimiliki oleh penjual. Jika jual beli seperti ini terjadi, maka jual belinya bathil alias tidak sah.

Islam telah menjelaskan bahwa kepemilikan umum adalah, benda-benda yang kepemilikannya telah dijadikan oleh asy-Syâri bagi jamaah kaum Muslim, dan mereka seluruhnya berserikat atas benda-benda tersebut. Dibolehkan bagi individu memanfaatkannya, tetapi mencegah individu untuk memilikinya1. Islam telah menentukan tiga jenis kepemilikan umum:
1. Barang yang menjadi kebutuhan orang banyak, yang jika tidak ada maka masyarakat akan berpencar-pencar mencarinya; seperti air, padang penggembalaan, dan sejenisnya. Nabi saw bersabda:
«النَّاسُ شُرَكَاءُ فِيْ ثَلاَثٍ: اَلْمَاءُ وَالْكَلاَءُ وَالنَّارُ»
Masyarakat itu berserikat dalam tiga perkara (barang): air, padang gembalaan dan api. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ada riwayat bahwa Rasulullah saw membolehkan perorangan (individu) untuk memiliki air yang tidak dibutuhkan oleh orang banyak. Dari hadits-hadits ini diistinbath bahwa segala sesuatu yang menjadi kebutuhan orang banyak, yakni yang jika tidak ada (barangnya) maka orang-orang akan berpencar-pencar mencarinya, dipandang sebagai kepemilikan umum, baik hal itu termasuk dalam tiga jenis barang, seperti yang disebutkan dalam hadits tadi, maupun (barang) lainnya yang tidak disebut.
2. Barang tambang yang memiliki deposit amat besar. Telah diriwayatkan dari Abyadl bin Jamal, bahwa dia pernah datang kepada Rasulullah saw, lalu meminta beliau agar memberinya tambang garam. Rasulullah pun memberikannya. Ketika Abyadl pergi, salah seorang sahabat di (dalam) majelis berkata kepada Rasulullah: ‘Tahukan engkau, apa yang engkau telah berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan kepadanya sesuatu (yang bagaikan) air mengalir’. Rasulullah kemudian menarik kembali pemberian tersebut. Salah seorang sahabat tadi menyerupakan tambang garam dengan air mengalir, karena banyaknya deposit pada tambang garam tersebut. Hal ini mencakup juga setiap barang tambang yang depositnya sangat banyak, atau secara ekonomi sangat menguntungkan; seperti minyak, gas, pospat, tembaga, timah, emas, perak dan lain-lain.
3. Barang-barang yang dilihat dari tabiat bentuknya tidak mungkin dimiliki oleh individu; seperti laut, sungai, atmosfer udara dan lain-lain.

Inilah ketiga jenis barang yang merupakan kepemilikan umum yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama. Dalam hal ini peran negara hanyalah pengelola dan pengontrol pemanfaatannya, bukan pemilik.
Maka dari itu, negara tidak boleh menjual atau memberikan kepada siapa pun, apalagi pihak asing aset-aset yang menjadi milik umum. Sebab, ketiga jenis barang itu adalah milik umum, bukan milik negara. Andaikata negara meminta persetujuan rakyat untuk menjualnya, dan rakyat pun menyetujuinya, maka negara tetap tidak boleh menjualnya. Sebab, status kepemilikan umum didasarkan kepada fakta tentang barangnya, bukan didasarkan pada yang lain, seperti persetujuan dan sebagainya. Jika faktanya adalah tambang minyak, misalnya, maka statusnya adalah tetap sebagai kepemilikan umum, meskipun kita mencoba mengubah statusnya menjadi kepemilikan individu agar dapat dijual.
Lalu, jika aset yang dijual adalah milik negara, bolehkah negara menjual atau memberikannya?
Perlu dipahami lebih dahulu bahwa disamping membenarkan keberadaan kepemilikan individu dan kepemilikan umum, Islam juga
membenarkan kepemilikan negara. Definisinya adalah, setiap harta atau aset yang didalamnya ada hak untuk seluruh kaum Muslim (tetapi tidak tergolong kepemilikan umum) dan pengaturannya berada di tangan Khalifah2. Dengan demikian, pada asalnya, kepemilikan negara dimungkinkan untuk berubah statusnya menjadi kepemilikan individu. Negara boleh menjual atau memberikannya kepada individu. Namun demikian perlu diingat bahwa kepemilikan negara berkaitan dengan hak-hak kaum Muslim dimana pengaturan Khalifah terhadapnya tidak boleh menimbulkan mudharat kepada kaum Muslim. Maka dari itu meskipun hukum asalnya mubah, tetapi penjualan aset-aset milik negara oleh pemerintah –sebagaimana yang terjadi dalam program privatisasi- hukumnya menjadi haram. Karena privatisasi telah menimbulkan kemudharatan, seperti yang telah diterangkan. Kaidah syara menetapkan:
«اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ»
Segala sarana (yang menghantarkan) kepada keharaman, hukumnya haram pula.

Kedua, privatisasi menyebabkan harta hanya beredar di kalangan orang kaya saja, baik perorangan maupun perusahaan. Dengan demikian orang banyak tidak dapat memanfaatkan harta tersebut dan pada gilirannya distribusi kekayaan akan semakin timpang. Hal ini tidak dibenarkan manurut Islam, sesuai dengan firman Allah Swt:
كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)

Memang, ayat diatas mengharamkan beredarnya harta hanya di kalangan orang-orang kaya diantara umat Islam (aghniyâ’i minkum). Namun demikian ayat itu juga berlaku untuk orang kaya di kalangan kaum kafir. Sebab, jika harta tidak dibolehkan hanya beredar diantara orang kaya muslim, maka jika hanya beredar diantara orang-orang kaya kafir jelas-jelas lebih tidak dibolehkan lagi. Ini sesuai dengan mafhum muwâfaqah dalam ilmu ushul.

Ketiga, privatisasi menimbulkan dominasi dan hegemoni kaum kafir atas kaum Muslim. Dengan privatisasi, individu atau pun perusahaan kapitalislah yang nantinya akan menguasai dan mengendalikan perekonomian negeri-negeri Islam. Negeri-negeri Islam akan terjeremus dalam cengkeraman imperialisme ekonomi. Hal ini diharamkan oleh Islam. Allah Swt berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin. (TQS. an-Nisa [4]: 141)

Keempat, privatisasi merupakan perantara (washilah) munculnya kemudharatan bagi kaum Muslim. Kita menyaksikan implikasi-implikasi langsung, bahwa privatisasi akan menimbulkan pengangguran akibat PHK, memperbanyak kemiskinan akibat pengurangan gaji karyawan, menghilangkan sumber-sumber pendapatan bagi negara, membebani konsumen dengan harga-harga atau tarif-tarif yang melambung akibat pajak tinggi yang dibebankan keada perusahaan terprivatisasi, menghambur-hamburkan kekayaan negara pada sektor non produktif, menghalangi rakyat untuk memanfaatkan aset kepemilikan umum, serta memberi peluang masuknya serangan pemikiran dan budaya kapitalisme atas kaum Muslim. Semua ini merupakan kemudharatan yang diharamkan keberadaannya atas kaum Muslim. Dan privatisasi adalah salah satu cara yang melempangkan jalan ke arah itu, maka haram pula hukumnya. Kaidah syara menetapkan:
«اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ»

Segala sarana (yang menghantarkan) kepada keharaman, hukumnya haram pula.

Privatisasi adalah program imperialis yang jahat, yang bertujuan untuk merampas harta kekayaan kaum Muslim dan menghancurkan perekonomian mereka. Privatisasi tidak boleh didiamkan oleh kaum Muslim, karena kaum Muslim akan turut berdosa jika berdiam diri dan ridha terhadap kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, kaum Muslim harus bangkit untuk mengkritik program tersebut, membantah siapa saja yang mempropagandakannya, serta melakukan segala daya upaya untuk mencegah dan menggagalkannya.
Kaum Muslim juga hendaknya sadar bahwa negara dan pemerintah mereka yang melaksanakan program tersebut, sebenarnya berbuat hanya untuk memuaskan kaum kafir penjajah, bukan demi kepentingan rakyat dan umat. Dengan demikian sudah sepatutnya rezim yang seperti ini harus segera diganti dengan yang baru, yang benar-benar dapat menjalankan fungsinya sebagai pemelihara urusan rakyat.

Mengapa (negara) Khilafah Belum Berdiri (Kembali)?

Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian. (QS Muhammad [47]: 7)

Banyak gerakan dan berbagai kelompok di tengah-tengah kaum Muslim yang memperjuangkan penerapan sistem hukum Islam melalui tegaknya kembali Negara Khilafah Islamiyah. Akan tetapi, mengapa sampai saat ini negara Khilafah tersebut belum juga tegak?

Sebagaimana kita ketahui, jika Allah Swt dan Rasul-Nya telah memerintahkan sesuatu kepada kaum Muslim, maka tidak boleh ada pilihan lain bagi mereka untuk menolaknya. Perintah Allah Swt dan Rasul-Nya yang terpenting adalah menjalankan hukum-hukum yang diturunkan Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Allah Swt berfirman:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ
أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ
Hendaklah kamu memutuskan perkara (pengadilan, pemerintahan dan lain-lain) di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka agar jangan sampai mereka memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS. al-Maidah [5]: 49)

Di antara perkara-perkara yang diturunkan Allah Swt kepada kita untuk dijalankan adalah penerapan sistem hukum Islam yang berkaitan dengan aspek pemerintahan, politik, ekonomi, pengadilan dan sejenisnya.
Sejak Negara Khilafah Islamiyah berhasil dirobohkan melalui tangan Mustafa Kamal Attaturk, upaya untuk membangun kembali bangunan Khilafah Islamiyah banyak dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam. Di antara mereka ada yang telah berjuang puluhan tahun. Namun demikian, upaya perjuangan tersebut, berupa tegaknya negara Khilafah Islamiyah, belum menuai hasilnya. Apa penyebabnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dulu harus dipisahkan dua perkara yang selalu dihubung-hubungkan, yaitu: (1) Tahapan aktivitas/perjuangan yang mengarah pada tegaknya Negara Khilafah; (2) Pertolongan Allah kepada kaum Muslim dengan berdirinya kembali Negara Khilafah.
Tahapan aktivitas/perjuangan yang mengarah pada tegaknya Negara Khilafah wajib mengikuti tahapan yang telah dilalui oleh Rasulullah saw. Allah Swt berfirman:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kalian kepada Allah dengan hujjah yang nyata’. (TQS. Yusuf [12]: 108)
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ
Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah; apa saja yang dilarangnya ataskalian, tinggalkanlah; dan bertakwalah kalian kepada Allah. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)

Ayat-ayat ini mengharuskan kaum Muslim yang berjuang untuk menerapkan sistem hukum Islam dalam bingkai Negara Khilafah menyesuaikan seluruh langkah-langkahnya, baik besar maupun kecil, dengan langkah-langkah Rasulullah saw. Sebab, beliaulah yang memberikan kepada kita metode (tharîqah) untuk membangun Daulah Islamiyah, sejak dakwah beliau di kota Makkah hingga berdirinya Negara Islam di kota Madinah.
Gerakan Islam mana saja yang memiliki tujuan untuk mengembalikan kembali sistem hukum Islam melalui tegaknya Negara Khilafah, namun langkah-langkahnya menyimpang atau bahkan bertentangan dengan langkah-langkah dakwah Rasulullah saw, baik sedikit maupun banyak, pasti akan menjumpai kegagalan; di samping amal perbuatannya sia-sia dan tertolak. Rasulullah saw bersabda:

«مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَرَدٌّ»
Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang bukan berasal dariku, maka amal perbuatannya itu tertolak. (HR Muslim)

Jadi, aktivitas membangun/mendirikan Negara Khilafah itu dianggap benar apabila memenuhi dua unsur: ikhlas semata-mata karena Allah, dan langkah-langkahnya sesuai dengan syariat Islam.
Oleh karena itu, siapa pun yang berupaya mengembalikan penerapan sistem hukum Islam melalui bingkai Negara Khilafah tidak boleh menggunakan metode Sosialis, menghalalkan segala cara (metode Machiavelli), metode Demokrasi, atau metode-metode lainnya. Hanya satu metode yang menjamin keberhasilan tujuan tersebut, yaitu metode (tharîqah) Rasulullah saw. Dengan demikian, ketidakberhasilan suatu gerakan untuk meraih tujuan tersebut dapat disebabkan karena tidak tepatnya langkah-langkah mereka mengikuti metode yang dicontohkan Rasulullah saw. Semakin jauh mereka menyimpang dari metode Rasulullah saw, semakin besarlah peluang gagalnya tujuan mereka.
Namun demikian, apakah gerakan yang telah mengikuti metode Rasulullah saw, dengan sendirinya akan memperoleh tujuan yang dicita-citakannya itu? Di sini kita harus memahami makna nashrullâh (pertolongan Allah).
Nashrullâh (pertolongan Allah) tidak mengikuti kaidah sebab akibat. Meskipun Allah Swt memberikan janjinya kepada orang-orang Mukmin yang menaati segala perintah-Nya, bahwa Dia pasti akan memberikan pertolongan dan akan membela hamba-hamba-Nya, tetapi pertolongan Allah tidak serta-merta mengikuti kaidah sebab akibat, seperti orang yang makan mengakibatkan kenyang. Alasannya, pertolongan Allah adalah hak prerogatif Allah Swt. Dialah Yang memiliki kehendak untuk memberikannya, kapan pun diinginkan-Nya. Allah Swt berfirman:

وَمَا النَّصْرُ إِلاَّ مِنْ عِنْدِ اللهِ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (TQS. Al-Anfal [8]: 10)

Berdasarkan hal ini, dapat dimengerti, bahwa meskipun suatu gerakan Islam telah berjuang puluhan tahun atau mungkin ratusan tahun, dan mengikuti langkah-langkah perjuangan Rasulullah saw dengan benar, tetapi keberhasilan berupa pertolongan Allah dan kemenangan belum terwujud. Sebab, pertolongan Allah dan kemenangan ada di tangan Allah, bukan di tangan manusia. Allahlah yang mengetahui rahasia dan hikmah di balik semua itu (yaitu mengapa pertolongan Allah terlambat tiba). Bagi kita, yang terpenting adalah melakukan amal perbuatan sebagaimana yang dituntut oleh syariat Islam, yakni mengikuti jejak Nabi saw dalam membangun Negara Khilafah. Itulah yang menjadi bekal kita menuju hari Perhitungan. Meskipun demikian, keyakinan terhadap janji Allah tidak pernah pudar. Allah Swt berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian. (QS Muhammad [47]: 7)

HUKUM MEMBUAT KONSTITUSI NEGARA

Sebagian kalangan Muslim mungkin ada yang menduga bahwa sekiranya ke-Khilafahan Islam ditakdirkan tegak kembali, secara teknis tidak lagi diperlukan konstitusi negara Khilafah secara tertulis karena telah ada al-Quran dan Sunnah. Apalagi, secara historis, ihwal pembuatan konstitusi negara Islam ini sulit menemukan contohnya dalam rentang sejarah Islam yang demikian panjang. Akan tetapi, sebagian lagi boleh jadi ada yang berpendapat bahwa konstitusi atau UUD negara tetap diperlukan—selama mengacu pada al-Quran dan Sunnah—sebagai penjabaran atas keduanya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pertanyaannya, bagaimana sebetulnya pandangan Islam dalam masalah ini?

Sebagaimana diketahui, masyarakat itu tersusun dari sejumlah individu yang diikat oleh pemikiran, perasaan, dan peraturan tertentu. Peraturan, sebagai salah satu unsur pembentuk masyarakat biasanya disandarkan pada keyakinan/ideologi yang menjadi asas hidup para anggotanya. Peraturan itu sendiri berfungsi untuk mengatur dan memelihara urusan masyarakat dan negara, agar tumbuh ketertiban, kedisiplinan, dan kewibawaaan peraturan itu sendiri. Karena itu, dalam negara dan masyarakat manapun diperlukan adanya ketegasan pelaksanaan peraturan (hukum).
Undang Undang Dasar (UUD) termasuk dalam salah satu peraturan. Hanya saja, undang-undang dasar lebih bersifat umum dan diletakkan sebagai atap yang menaungi segala bentuk peraturan yang berada di bawahnya. UUD adalah peraturan yang mengatur kekuasaan negara atau lembaga-lembaga pemerintah, menentukan hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyat, dan sebaliknya, menentukan hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintah.
Islam terdiri dari akidah dan syariat atau terdiri dari ide (fikrah) dan metode (tharîqah). Dalam Islam juga dijumpai banyak hukum/syariat, baik yang berhubungan dengan pemerintahan, lembaga-lembaga pemerintahan (seperti peradilan, angkatan bersenjata, kepala negara dan lain-lain), kewajiban pemerintah terhadap rakyat, kewajiban rakyat terhadap pemerintah, dan sejenisnya. Bahkan, di dalam al-Quran sendiri banyak dijumpai ayat-ayat hukum. Semua itu berfungsi untuk mengatur dan memelihara seluruh urusan masyarakat dengan hukum-hukum Allah Swt. Begitu pula halnya dengan hadits-hadits Rasulullah saw.
Meskipun ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah saw pada masa Nabi saw hidup tidak dibuat sebagaimana halnya UUD tertulis seperti yang ada pada negara-negara modern saat ini (yakni terdiri dari beberapa bab dan beberapa pasal), tetapi para sahabat dan kaum Muslim waktu itu banyak yang menghafalkan al-Quran dan hadits, atau langsung menanyakannya kepada Rasulullah saw apabila mereka menjumpai permasalahan atau menghadapi perselisihan di antara mereka. Walaupun saat itu tidak ada UUD maupun UU tertulis resmi yang dikeluarkan oleh negara/pemerintah, kepatuhan kaum Muslim terhadap hukum/syariat Islam sangat tinggi. Artinya, fungsi dari hukum/UU yaitu mengatur dan memelihara urusan masyarakat dan negara telah terpenuhi, walaupun sistematika UU dan peraturan belum dibuat dengan sistematika yang dijumpai pada masa sekarang.
Seandainya sistematika UUD seperti itu adalah wajib, pasti Rasulullah saw telah menyusunnya. Dengan demikian, penyusunan UUD sebagaimana yang kita jumpai saat ini—yang tersusun dari berbagai bab dan pasal, yang menjelaskan kedudukan dan fungsi struktur dan lembaga-lembaga pemerintah, termasuk hak-hak dan kewajiban negara terhadap masyarakat maupun sebaliknya—adalah mubah. Susunan semacam itu adalah bagian dari cara (uslûb) atau hal yang bersifat teknis.
Pada masa Rasulullah saw hidup, kondisi masyarakatnya belum memerlukan sistematika semacam itu. Lagi pula, sistematika tersebut belum lazim dikenal oleh masyarakat. Dengan berkembangnya kehidupan masyarakat dan tingkat kompleksitasnya yang sangat tinggi, barulah dirasakan perlunya disusun UUD yang sistematikanya persis sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Contoh yang sama adalah tersusunnya kodifikasi hadits dan ilmu hadits. Dalam bidang ini, orang pertama yang menyusunnya (dan menuliskannya dalam sebuah buku) dengan sistematika yang teratur adalah Imam Malik, penyusun al-Muwatha’. Sementara itu, dalam bidang ushul fiqih, orang pertama yang menuliskan dan menyusunnya dengan teratur adalah Imam Syafi’i, penyusun ar-Risâlah. Padahal, pada masa Rasulullah saw tidak ada seorang sahabat pun yang menuliskan atau menyusun ushul fiqih. Meskipun demikian, para sahabat tentu saja adalah orang-orang yang sangat memahami kaedah-kaedah fiqih, bahkan mampu melakukan ijtihad.
Setelah Rasulullah saw wafat, pemerintahan Islam berganti ke masa pemerintahan al-Khulafâ’ ar-Râsyidûn. Pada masa itu, para Khalifah turut terlibat dalam memutuskan perkara yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kadang-kadang dibuat keputusan hukum yang menyeluruh dan mengikat seluruh lapisan masyarakat, layaknya undang-undang pada masa sekarang. Abubakar, misalnya, pernah menetapkan talak satu bagi suami yang mengucapkan talak meskipun tiga kali; menggolongkan orang yang enggan membayar zakat sebagai orang-orang murtad yang harus diperangi sampai mereka bertobat dan kembali tunduk pada seluruh hukum-hukum Islam. Pada masa ‘Umar ibn al-Khaththab, beliau menetapkan tarikh (penanggalan) pada setiap surat-surat resmi negara; menjatuhkan hukum cambuk 80 kali bagi peminum khamar; menetapkan manajemen administratif di dalam perkantoran dan lembaga-lembaga negara; menetapkan bahwa kharaj atas tanah-tanah Irak, Syam, dan Mesir sebagai milik kaum Muslim dan tidak dibagikan kepada para prajurit yang turut dalam peperangan; dan lain-lain. Semua itu adalah cara-cara (asâlîb) yang ditempuh oleh para Khalifah kaum Muslim dengan menetapkan peraturan resmi (semacam undang-undang). Para sahabat mendengarkan dan menyaksikan penetapan-penetapan tersebut sehingga hal itu merupakan Ijma sahabat.
Hal yang sama dijumpai pula pada masa Harun al-Rasyid, misalnya, yang menetapkan bahwa untuk urusan keuangan dan ekonomi, negara (yaitu Daulah Islam Abbasiyah) harus merujuk pada kitab al-Kharaj, karya Abu Yusuf, yang menjadi qâdhî (hakim) pada pemerintahannya. Lebih luas lagi, pasa masa Daulah Islamiyah Utsmaniyah madzhab Imam Hanafi ditetapkan sebagai undang-undang negara, dengan dilegalisasikannya Qânûn al-Majalla.
Contoh-contoh itu menunjukkan bahwa keadaan masyarakatlah yang menentukan apakah suatu uslûb layak dipakai atau tidak. Pada masa Rasulullah saw, uslûb penyusunan/penulisan UUD belum diperlukan, karena memang tidak terlalu mendesak untuk dibuat dengan kerangka susunan undang-undang dasar. Hal itu berbeda dengan kondisi masyarakat sekarang, yang menuntut disusunnya UUD maupun UU secara sistematis.
Meskipun tergolong mubah, keberadaan susunan/sistematika UUD di dalam negara Khilafah di masa depan sangatlah penting untuk mendisiplinkan, mengatur, dan memelihara hubungan lembaga-lembaga negara dengan Khalifah; juga antara pemerintah dan rakyat. Di samping itu, adanya UUD (dustûr) negara Khilafah sangat mendukung upaya pemahaman kaum Muslim saat ini mengenai gambaran aktivitas Khilafah Islamiyah jika kelak berdiri, insya Allah. Sebab, sebagian besar kaum Muslim tidak mengerti dan tidak mengetahui gambarana real kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara Islami. Karena itu, penjelasan tentang lembaga-lembaga pemerintah, peradilan, militer/angkatan bersenjata, majelis syura (majelis umat), para gubernur (wali), Khalifah dan para pembantunya—yang mengatur kemaslahatan dan pelayanan terhadap rakyat dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, sumberdaya alam, pekerjaan umum, transportasi dan komunikasi, Baitul Mal, dan lain-lain; termasuk menjelaskan kedudukan, fungsi, dan kewajibannya terhadap rakyat—adalah perkara yang sangat urgen disosialisaikan kepada masyarakat.
Dengan demikian, kesadaran akan perlunya hidup di dalam negara Khilafah Islamiyah adalah sesuatu yang niscaya, bukan khayalan.