ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

Rabu, 18 Desember 2013

Demokrasi Sistem Kufur

images 

Tahun 2013 merupakan tahun pemanasan politik di Indonesia karena tahun 2014 akan digelar hajatan Pemilihan Umum (Pemilu). Demokrasi pun masih dianggap kompatibel diterapkan di Indonesia. Padahal mayoritas penduduknya adalah umat Islam.
Umat masih silau dengan janji demokrasi berupa keadilan dan kesejahteraan. Sebaliknya, mereka takut dicap anti-demokrasi.
Terdapat juga di kalangan umat yang menyamakan Islam dengan demokrasi. Bahkan ada yang memaksakan Demokrasi-Islam  sebagai tambal sulam dari Demokrasi-Kapitalisme yang gagal.

Apa itu Demokrasi
Demokrasi  adalah (bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dalam demokrasi kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Pemerintahan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah setiap pemilihan bebas. Sebagaimana ucapan Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dalam setting sosio-historisnya di Barat, demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoritarian dan absolut sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M). Di satu sisi ekstrem, dominasi gereja yang berkolaborasi dengan para raja Eropa menghendaki tunduknya seluruh urusan kehidupan (politik, ekonomi, seni, sosial, dll)  pada aturan-aturan gereja. Di sisi ekstrem lainnya, dominasi gereja ini ditentang oleh para filosof dan pemikir yang menolak secara mutlak peran gereja (Katolik) dalam kehidupan.

Terjadinya Reformasi Gereja, Renaissance dan Humanisme, menjadi titik tolak awal untuk meruntuhkan dominasi gereja itu. Akhirnya, pasca Revolusi Prancis tahun 1789, terwujudlah jalan tengah dari dua sisi ekstrem itu, yang terumuskan dalam paham sekularisme, yakni paham pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak diingkari secara total, tetapi masih diakui walaupun secara terbatas, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Lalu hubungan manusia dengan manusia siapakah yang mengatur dan membuat hukumnya? Jawabannya, tentu manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau agama. Pada titik inilah demokrasi lahir.

Walhasil, demokrasi memberikan kepada manusia dua hal:
  1. Hak membuat hukum (legislasi). Inilah prinsip kedaulatan rakyat (as-siyadah li al-syar’i). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya, yaitu hukum dibuat oleh para tokoh-tokoh gereja atas nama Tuhan.
  2. Hak memilih penguasa. Inilah prinsip kekuasaan rakyat (as-sulthan li al-ummah). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya, yaitu penguasa (raja) diangkat oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi dalam sistem monarki absolut. Jadi, dalam demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan sumber kekuasaan (source of legislation and authority).

Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan. Demokrasi juga mencakup seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku. Pendeknya, demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan.   Maka dari itu, munculah kebebasan di segala aspek kehidupan. 

Sistem demokrasi melahirkan beberapa poin yang akhirnya menjadi sokoguru demokrasi: 
(a) kedaulatan rakyat; (b) pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; (c) kekuasaan mayoritas; (d) hak-hak minoritas; (e) jaminan HAM; (f) pemilihan yang bebas dan jujur; (g) persamaan di depan hukum; (h) proses hukum yang wajar; (i) pembatasan pemerintahan secara konstitusional; (j) pluralisme sosial, ekonomi dan politik; (k) nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama dan mufakat.

Demokrasi vs Islam
Jelaslah, demokrasi merupakan ideologi buatan manusia. Akidahnya memisahkan agama dari kehidupan (sekular), kontradiksi dengan akidah Islam. Sistemnya juga menyalahi sistem Islam karena tidak  bersandar pada wahyu Allah SWT. Demokrasi hanya bersandar pada rakyat. Keburukan yang menonjol dari demokrasi adalah suara mayoritas dalam menentukan kebenaran. Jelas sekali demokrasi bertentangan dengan Islam (Lihat: QS al-An’am [6]: 116).

Islam mengharamkan demokrasi karena tiga alasan.   
Pertama: perekayasa ide demokrasi adalah negara-negara kafir Barat. Hal ini merupakan agresi ke Dunia Islam. Siapapun yang menerima dan mendorong demokrasi merupakan antek penjajah dan kroni penjajah serta menjadi penguasa boneka Barat. 
Kedua: demokrasi merupakan pemikiran utopis, tidak layak diimplementasikan. Manakala suatu negara menerapkan demokrasi, mereka sering melakukan kebohongan, manipulasi dan rekayasa sehingga menyesatkan umat manusia, seperti dalam penyusunan hukum dan undang-undang. Ketiga: sistem demokrasi adalah sistem buatan manusia. Sistem tersebut disusun manusia untuk manusia. Pasalnya, manusia tidak bisa lepas dari kesalahan. Sesungguhnya hanya Allah yang terbebas dari kesalahan. Karena itu, hanya sistem dari Allah saja yang patut dianut. Dengan demikian demokrasi merupakan sistem kufur karena tidak bersumber dari syariah Islam.

Dalam kitab Mafahim Siyasiyah li Hizb at-Tahrir (2005) dijelaskan, demokrasi itu kufur bukan karena konsepnya bahwa rakyat menjadi sumber kekuasaan, melainkan karena konsepnya bahwa manusia berhak membuat hukum (kedaulatan di tangan rakyat). Kekufuran demokrasi dari segi konsep kedaulatan tersebut sangat jelas. Sebab, menurut ‘Aqidah Islam, yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT, bukan manusia (QS al-An’am [6]: 57). Itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara frontal dengan Islam. Memberi hak kepada manusia untuk membuat hukum adalah suatu kekufuran (QS al-Ma’idah [5]: 44).

Abdul Qadim Zallum (1990: 4) menjelaskan adanya kontradiksi-kontradiksi lain antara demokrasi dan Islam, antara lain:
  1. Dari segi sumber: Demokrasi berasal dari manusia dan merupakan produk akal manusia. Sebaliknya, Islam berasal dari Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad saw.
  2. Dari segi asas: Demokrasi asasnya adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Islam asasnya ‘Aqidah Islamiyah yang mewajibkan penerapan syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (QS 2: 208).
  3. Dari segi standar pengambilan pendapat: Demokrasi menggunakan standar mayoritas. Dalam Islam, standar yang dipakai tergantung materi yang dibahas. Rinciannya: (1) jika materinya menyangkut status hukum syariah, standarnya adalah dalil syariah terkuat, bukan suara mayoritas; (2) jika materinya menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya suara mayoritas; (3) jika materinya menyangkut aspek-aspek yang memerlukan keahlian, standarnya adalah pendapat yang paling tepat, bukan suara mayoritas.
  4. Dari segi ide kebebasan: Demokrasi menyerukan 4 jenis kebebasan (al-hurriyat). Kebebasan adalah tidak adanya keterikatan dengan apa pun pada saat melakukan aktivitas. Sebaliknya, Islam tidak mengakui kebebasan dalam pengertian Barat. Islam justru mewajibkan keterikatan manusia dengan syariah Islam.

Dengan demikian, demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam sesungguhnya merupakan sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara garis besar maupun secara rinciannya. Oleh karena itu, kaum Muslim diharamkan secara mutlak untuk mengambil, menerapkan dan menyebarluaskan demokrasi. Apalagi mengaitkan demokrasi dengan Islam.

Syura bukan Demokrasi
Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi telah masyhur didengar meski anggapan ini sesungguhnya tidak benar. Anggapan itu muncul karena kafir penjajah sukses menyembunyikan kebusukan demokrasi. Demokrasi dijadikan oleh kafir Barat sebagai salah satu penjajahan atas negeri-negeri kaum Muslim, selain itu juga digunakan untuk memalingkan Islam dari umatnya.
Menurut syariah, syura adalah mengambil pendapat (akhdh ar-ra’yi) (An-Nabhani 1994: 246). Jelasnya, syura adalah mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (Zallum, 2002:216). Istilah lain syura adalah masyura atau at-tasyawwur.

Hukum syura adalah mandub/sunnah, bukan wajib. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam QS Ali Imran [3]: 159. Pendapat itu sejalan dengan para ahli tafsir seperti Ibn Jarir ath-Thabari (Jami’ Al-Bayan, IV/153), Al-Alusi (Ruh al-Ma’ani, IV/106-107), Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyaf, I/474), Imam al-Qurtubhi (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, IV/249-252) dan Ibnul ‘Arabi (Ahkam al-Qur’an, I/298). Syura adalah hak kaum Muslim semata. Pihak pemegang kewenangan seperti khalifah, ketika hendak meminta atau mengambil pendapat, ia hanya mengambilnya dari kaum Muslim. Tegasnya, syura adalah proses pengambilan pendapat yang khusus di kalangan internal sesama orang Islam. Tidak boleh dalam syura mengambil pendapat dari orang kafir meskipun boleh orang kafir menyampaikan pendapat kepada orang Islam dan boleh kaum Muslim mendengarkan pendapat dari orang kafir tersebut (An-Nabhani, 2001: 111). Kekhususan ini sebagaimana dalam QS Al-Imran [3]: 159.

Memang dalam demokrasi suara mayoritaslah yang menjadi penentu dalam setiap bidang permasalahan. Adapun dalam syura kriteria pendapat yang diambil bergantung pada permasalahan yang dimusyawarahkan. 

Rinciannya ada tiga.  
Pertama: dalam penentuan hukum syariah (at-tasyri’). Kriterianya tidak bergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash al-Quran dan as-Sunnah. Sebab yang menjadi Pembuat hukum (Musyarri’) hanyalah Allah SWT. bukan umat atau rakyat. Sebagai contoh, tidak perlu meminta pendapat kepada umat apakah khamr haram atau tidak walaupun di situ ada kemanfaatan dan pendapatan sebagaimana dalam sistem kapitalis-sekular. Jelas, Islam mengharamkannya.
Kedua: dalam masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran dan pertimbangan yang mendalam. Dalam hal ini, yang dijadikan kriteria adalah ketepatan dan kebenarannya, bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi, masalah yang ada harus dikembalikan pada para ahli yang berkompeten. Merekalah yang memahami permasalahan yang ada secara tepat. Masalah kemiliteran, misalnya, dikembalikan kepada pakar militer. Masalah fikih dikembalikan kepada para fukaha dan mujtahid. Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah saw. mengikuti pendapat Hubab bin Al-Mundzir pada Perang Badar—yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis—yang mengusulkan kepada Nabi saw. agar meningggalkan tempat yang dipilih beliau sekiranya tempat itu bukan dari wahyu (Sirah Ibnu Hisyam, II/272).
Ketiga: masalah yang langsung menuju pada amal/tindakan (bersifat praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam. Dalam hal ini, yang menjadi patokan adalah suara mayoritas karena mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya degan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Sebagai contoh, apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atu ketua oraganisasi), apakah kita akan keluar kota atau tidak. Masalah seperti ini dapat dijangkau oleh setiap orang. Mereka dapat memberikan pendapatnya. Dalil untuk ketentuan ini ketika ada dua pendapat dari para sahabat dalam Perang Uhud. Nabi saw. mengikuti pendapat sahabat muda yang menyarankan untuk keluar dari Kota Madinah dan mengabaikan pendapat sahabat senior yang meminta tetap di Kota Madinah.

Dengan demikian, jelas bahwa syura berbeda dengan demokrasi.

Khatimah
Demokrasi bukanlah jalan bagi umat Islam. Menyamakan demokrasi dengan Islam sama saja menyampurkan yang haq dengan batil. Hal ini bertentangan dengan Islam (QS al-Baqarah [2]: 42). Demokrasi merupakan sistem kufur; haram diambil, diterapkan dan dipropagandakan.
Sistem demokrasi harus diganti dengan sistem Islam dalam institusi Khilafah. Inilah jalan sahih bagi umat Islam untuk mendapatkan kesejahteraan dan keadilan. Karena itu, segera tinggalkan demokrasi; tegakkan syariah dan Khilafah. Insya Allah.
WalLahu a’alam bi ash-shawwab. [Hanif Kristianto; Lajnah Siyasiyah DPD HTI Jatim]

Daftar Rujukan
Apakah Demokrasi Itu? 1991, hlm. 4-5. Terbitan United States Information Agency.
Ibid, hlm. 6.
Abdul Qadim Zallum. 2004. Pemikiran Politik Islam, hlm. 202-203. Al-Izzah.
Abdul Qadim Zallum, 1990. Demokrasi Sistem Kufur. (Min Mansyurat Hizb at-Tahrir)
Abdul Qadim Zallum, 2002. Nizham al-Hukm fi al-Islam. Cetakan VI (Min Mansyurat Hizb at-Tahrir).
Taqiyyudin An-Nabhani, 2001. Nizham al-Islam. Cetakan VI

APA ITU BERFIKIR...???

Oleh: Dr. U Maman Kh., M.Sc (Direktur Pusbangsitek UIN Jakarta)

untuk agan-agan yang terhormat 
download materi pembahasan Teori berfikir Tingkat 1 di sini gan Power Pointnya di sini
download materi pembahasan Teori berfikir Tingkat 2 di sini gan Power Pointnya di sini
download materi pembahasan Teori berfikir Tingkat 3 di sini gan Power Pointnya di sini 

Apa yang dimaksud dengan aqal? Apa kaitan aqal dan berfikir? Mungkin inilah salah satu terma yang selalu dibahas dari dulu hingga sekarang. Yang jelas aqal bukanlah benda atau materi yang memiliki tempat, akan tetapi aqal lebih bersifat proses berfikir. Kemudian, apakah sebenarnya berfikir itu, hakikat dan hasilnya? Tulisan ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan di atas. Silahkan dinikmati…

Pengertian Berfikir
Integrasi keilmuan dapat ditinjau berdasarkan proses berpikir dengan asumsi bahwa pengetahuan, baik knowledge maupun sains merupakan hasil dari proses berpikir. Al-Quran mengajari manusia untuk berpikir. Berpikir identik dengan menggunakan akal. Berbeda dengan otak, akal bukanlah organ dari tubuh manusia. Akal identik dengan kemampuan dan proses berpikir. Berpikir dalam arti berusaha untuk memahami realitas untuk sampai pada kesimpulan tertentu.
Berpikir memiliki karakteristik tersendiri. Berpikir lebih bersifat empiris-faktual. Karena itu, berpikir akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan dalam bentuk teori yang bersifat empiris, memiliki implikasi bagi pemecahan permasalahn umat manusia, serta mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Melakukan kajian terhadap sesuatu yang tidak bersifat empiris tidak termasuk proses berpikir. Hoodbhoy mengkritik para ilmuan Pakistan pada zaman Presiden Zia ul-Haq yang mengembangkan sains Islam yang tidak bersifat empiris, seperti analisis tentang struktur kimia-fisika jin, derajat kemunafikan, dan rembetan panas api neraka.[1]

Dengan menjadikan realitas sebagai obyek berpikir, Taqyuddin an-Nabhani[2] membagi metode berpikir menjadi dua bagian: metode berpikir rasional (at-thariqah al-‘aqliyyah) dan metode berpikir sains (at-thariqah al-‘ilmiyyah). Kedua metode berpikir tersebut sebenarnya tidak berbeda. Berpikir sains bersifat rasional, sistematis dan terorganisasi. Hanya saja, berpikir rasional cenderung mengandung perspektif tertentu sebagai pengaruh dari informasi yang dimiliki, baik berasal dari lingkungan sosial budaya, ideologi, kepercayaan, keyakinan atau agama. Berpikir rasional mengandung unsur subyektivitas; sedangkan berpikir sains lebih bersifat netral, obyektif dan bersifat eksperimental-laboratoris. Al-Quran mengajarkan metode berpikir rasional yang bertolak  dari fakta. Metode berpikir rasional ialah metode al-Quran, metode Islam.  Karena itu, berpikir rasional dapat menjadi acuan dalam merumuskan perspektif berpikir untuk mewujudkan integrasi keilmuan. Berpikir itu sendiri merupakan sesuatu yang paling berharga bagi manusia, paling mahal harganya dalam kehidupan, sekaligus menjadi tempat bergantungnya jalan kehidupan. Oleh karena itu, kita harus bersungguh-sungguh untuk memperhatikan aktivitas berpikir ini.

Hakikat dan Unsur-unsur Berpikir
Apakah berpikir itu? Berpikir pada hakikatnya merupakan usaha untuk memahami fakta (realitas empiris). Karena itu, salah satu unsur berpikir yang penting ialah fakta. Berusaha untuk memahami sesuatu yang berada di luar jangkauan indera (tidak empiris) bukan termasuk kegiatan berpikir. Berpikir harus menyimpulkan sesuatu yang berkaitan dengan realitas. Karena itu, berpikir memiliki implikasi yang sangat produktif bagi perumusan teori yang bersifat empiris, bagi pemecahan persoalan umat manusia dan bagi pengembangan masyarakat. Penemuan ilmiah hanya bisa dilakukan jika seseorang melakukan pengamatan terhadap reaslitas. Hoodbhoy[3] mengkritik para ilmuan Pakistan yang berusaha melakukan islamisasi sains dengan menjadikan obyek kajian hal-hal yang tidak empiris seperti struktur kimia dan fisika jin, derajat kemunafikan, rambatan panas api neraka, dan lain sebagainya yang tidak bersifat empiris.  Berpikir tentang realitas memerlukan fakta yang terindera. Karena itu, unsur berpikir yang kedua ialah indera. Yang dimaksud dengan fakta yang terindera ialah fakta yang dapat diindera,  baik langsung ataupun tidak langsung. Peralatan sebenarnya merupakan perpanjangan indera manusia, seperti kaca pembesar atau instrumen lainnya.

Kesimpulan tentang fakta sebagai hasil dari proses berpikir disimpan dalam benak. Karena itu, benak/otak manusia (ad-dimag) merupakan salah satu unsur penting dalam proses berpikir.
Unsur lain yang paling penting dalam berpikir ialah adaya informasi yang sudah dimiliki (ma’lumat sabiqah). Informasi dapat berasal dari lingkungan sosial, budaya, keyakinan, kepercayaan, ideologi, agama, termasuk keyakinan tentang tidak adanya Tuhan (atesis).

Berpikir atau sebut saja berpikir rasional atau metode ‘aqliyyah, merupakan proses pengkajian untuk mengetahui realitas sebagai obyek kajian dengan cara mentransfer fakta ke otak melalui indera, disertai dengan adanya sejumlah informasi pendahulu yang sudah dimiliki (ma’lumat sabiqah) yang akan digunakan untuk menafsirkan/menilai fakta yang ada. Penilaian ini, menurut Taqyuddin an-Nabhani, pada hakikatnya merupakan pemikiran (fikr)  atau kesadaran rasional (al-idrak al-‘aqli). Karena itu, berpikir merupakan proses yang melibatkan: (1) fakta/realitas; (2) indera; (3) otak; dan (4) informasi yang dimiliki. Dengan proses berpikir ini akan terbentuklah sebuah kesadaran. Apa yang disebut ‘teori ilmiah’ pada hakikatnya merupakan kesadaran seseorang terhadap realitas. Dengan sendirinya ‘teori’ itu sarat nilai, baik nilai yang berasal dari agama (wahyu), ideologi maupun lingkungan social-budaya tertentu. Dalam konteks ini, an-Nabhani mempertanyakan obyektivitas teori-teori ilmiah yang tidak bersifat fisikal dan eksperimen yang melakukan kontrol variabel.[4]

Pendapat MM Ismail tampak memperkuat  pandangan Taqyuddin an-Nabhani. Ismail menyatakan:
Pola pikir rasional adalah suatu metode pengkajian yang dilakukan agar seseorang sampai pada tahap mengetahui hakikat sesuatu yang sedang dikaji, melalui indera yang menyerap obyek. Proses penyerapan itu dilakukan melalui panca indera menuju ke otak, dibantu oleh pengetahuan/informasi sebelumnya yang akan menafsirkan dan memberikan sikap atas fakta tersebut. Keputusan tersebut dinamakan pemikiran atau ide,  yaitu pemahaman yang diperoleh akal secara langsung. Metode ini mencakup pengkajian obyek yang dapat diindera maupun yang abstrak yang berkaitan dengan pemikiran.[5]

Hampir disepakati oleh para ilmuwan, bahwa teori-teori ilmu sosial, politik, ekonomi dan budaya sering merupakan refleksi seseorang terhadap realitas; atau dibangun berdasarkan interpretasi atas realitas. Teori-teori sosial dan ekonomi Marxisme, misalnya, merupakan hasil refleksi Karl Marx terhadap kesenjangan sosial akibat laju industrialisasi masyarakat Jerman pada pertengahan abad ke-19. Ketika membangun sebuah teori, tentu ada nilai-nilai yang mendorong seseorang untuk bersikap terhadap realitas tersebut. Dengan demikian, teori-teori ilmu sosial tidak bebas nilai. Michael Kunczik mengingatkan bahwa teori-teori perubahan sosial dan pembangunan sering sarat dengan etnosentrisme. Kesadaran budaya sering menjadi standar penilaian terhadap budaya lain. Karena itu, rumusan-rumusan teori tidak lepas dari kesadaran budaya. Mengacu pada Edward B. Taylor (1873), Kunzcik menyebutkan budaya meliputi: pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh dari sebuah sistem sosial.[6]

Berbagai rumusan teori ilmu-ilmu sosial, menurut perspektif ini, sebenarnya merupakan pengambilan keputusan atau sikap terhadap realitas yang dipengaruhi oleh informasi atau pengetahuan awal yang sudah dimiliki seseorang.  Demikian halnya teori-teori yang terkait dengan materi yang bukan merupakan hasil eksperimen laboratorium, seperti persoalan penciptaan dan asal-usul manusia. Karena itu, ilmu tidak bebas nilai. Teori Darwin tentang asal-usul manusia jelas merupakan refleksi terhadap realitas yang diilhami oleh keyakinan tertentu. Demikian halnya teori-teori sosial Marxisme, umpamanya. MM Ismail yang sejalan dengan Taqyuddin an-Nabhani menegaskan, berpikir rasional pada intinya merupakan proses interaksi yang melibatkan: fakta empiris, otak, indera dan pengetahuan atau informasi yang dimiliki. Berpikir dalam perspektif pola pikir rasional (metode ‘aqliyyah) merupakan proses transformasi fakta empiris ke otak, dilanjutkan dengan interpretasi/penilaian atas fakta tersebut berdasarkan informasi yang ada, yang akhirnya melahirkan sikap terhadap fakta tersebut.[7]

Dari sini sesungguhnya berpikir berarti penyerapan fakta yang terindera ke dalam benak berdasarkan informasi yang sudah dimiliki. Denga kata lain, berpikir pada intinya merupakan rekonstruksi terhadap realitas berdasarkan perspektif tertentu yang terkait dengan informasi yang dimiliki. Kesimpulan tentang realitas dengan sendirinya berada dalam sudut pandang tertentu. Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi Islam secara normatif, tetapi bersifat umum bagai setiap proses berpikir. Setiap teori yang merupakan hasil pemikiran dengan sendirinya mengandung unsur-unsur keyakinan perumusnya, baik pemikiran Islam, atheis, atau keyakinan lainnya.

Informasi yang dimiliki merupakan faktor bagi keragaman mode berpikir dan ini merupakan sudut pandang dalam memahami realitas. Manusia dapat merekonstruksi realitas berdasarkan sudut pandang tersebut. Relaitas yang sama dapat dipahami secara berbeda, bergantung pada sudut pandang tersebut. Mengacu pada pandangan Thomas Kuhn, berasarkan informasi yang dimiliki, manusia memiliki mode of thought atau mode of inquiry. Menurut  Kuhn, seseorang merekonstruksi realitas sosial  berdasarkan mode of thought atau mode inquiry sehingga  menghasilkan mode of knowing.[8]Terkait dengan pembahasan sebelumnya, cara berpikir merupakan paradigma untuk menghasilkan pengetahuan (knowledge). Realitas yang sama bisa menghasilkan kesimpulan dan teori yang berbeda hanya karena perbedaaan paradigm saat memahaminya.

Cakupan dan Hasil Proses Berpikir
Apakah seseorang harus langsung memahami realitas sebagai persyaratan agar ia bisa dikatakan berpikir? Secara faktual seseorang tidak mudah memahami realitas. Bahkan terdapat kecenderungan, pemahaman seseorang terhadap realitas sering didasarkan pada pemahaman orang lain atau melalui media tertentu. Bahkan dalam ilmu komunikasi, relitas terbagi menjadi dua bagian: realitas media dan realitas yang sesungguhnya. Realitas media ialah realitas yang disajikan oleh media massa melalui proses pemilihan yang tidak lepas dari perspektif tertentu. Pemahaman terhadap realitas menurut media massa masih masuk kategori berpikir, walaupun seseorang yang berusaha memahaminya perlu mengkritisi setiap fakta yang disajikan media. Pemahaman terhadap realitas menurut pemahaman orang lain, atau mengikuti proses berpikir yang dilakukan orang lain, masih termasuk kategori berpikir rasional, walaupun tentu saja kualitas berpikirnya masih rendah. Mengutip penyataan Ahmad Syafii Maarif dalam sebuah seminar, para pemikir di Indonesia cenderung hanya sebagai “pemamah biak”. Artinya, mereka hanya berpikir mengikuti cara orang lain berpikir, belum menghasilkan pemikiran orisinal. Mereka cenderung memahamai atau mengambil kesimpulan tentang realitas berdasarkan pemahaman dan kesimpulan orang lain.
Lalu apa saja cakupan dan lingkup berpikir? Berpikir berada dalam tatanan filosofis, mendasar dan menyeluruh. Berpikir tidak mengenal adanya spesialisasi. Berpikir akan mengantarkan seseorang pada penemuan berbagai teori. Dalam konteks ini, ilutrasi Will Durant dapat menjadi acuan. Berpikir bagaikan pasukan marinir yang berusaha merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantri.[9] Pasukan infantri  ialah pengetahuan, baik pada tataran knowledge maupun sains. Artinya, berfikir merupakan proses untuk menghasilkan berbagai teori ilmiah yang berimplikasi bagi pemecahan persoalan umat manusia.
Demikian pula, tidak ada batasan obyek berpikir. Seseorang dapat berpikir tentang fenomena alam, fenomena sosial, fenomena ekonomi, dan lain sebagainya. Yang penting, berpikir harus dilakukan terhadap fakta yang bersifat empiris. Isac Newton (1642-1627) mengamati berbagai fenomena alam, yang ditulis dalam sebuah buku yang berjudul, Philoshpopiae Naturalis Principia Mathematica (1686). Belakangan orang mengenal Newton sebagai ahli fisika, bahkan sebagai peletak dasar teori-teori fisika. Adam Smith (1723-1790) melakukan pengamatan terhadap  masalah-masalah etika, ekonomi dan sosial. Ia menuliskan hasil pengamatannya dalam buku The Welth of Nation (1776). Belakangan orang mengenal Adam Smith sebagai peletak dasar teori-teori ekonomi kapitalis, padahal ia sebagai guru besar filsafat moral.[10]
Demikianlah, proses berpikir telah menghasilkan pengetahuan (knowledge). Dengan sendirinya pengetahuan merupakan hasil proses interaksi antara fakta empiris, pengalaman, kepercayaan, ideologi dan/atau budaya tertentu. Manusia memperoleh pengetahuan, menurut Suriasumantri, berdasarkan kemampuannya selaku makhluk yang berpikir, merasa dan mengindera. Di samping itu, manusia memperoleh pengetahuan melalui intuisi dan wahyu.[11]

Wikipedia meyebutkan, antara pengetahuan (knowledge) dan kepercayaan (belief) memiliki hubungan yang sangat erat, walaupun pengetahuan berbeda dengan kepercayaan dan opini. Dalam pengetahuan terdapat unsur kebenaran dan kepercayaan bahwa hal itu benar. “Knowledge is both true and believed to be true,” (Pengetahuan adalah kebenaran dan kepercayaan bahwa itu benar), demikian Wikipedia.[12] Menurut pandangan Edwards pengetahuan adalah kepercayaan yang benar.[13] Sementara itu, menurut Sidi Gazalba, pengetahuan ialah semua milik atau isi pikiran. Dengan kata lain, pengetahuan merupakan hasil dari proses berpikir yang berinteraksi dengan kepercayaan dan opini.[14]

Sejalan dengan beberapa pernyataan tersebut, seseorang memperoleh pengetahuan — menurut  Charles Peirce seperti dikutip Kerlinger–  sering dengan cara keteguhan/kegigihan (method of tenacity). Artinya, seseorang menganggap pengetahuan itu benar karena ia sudah lama menganggap bahwa hal itu benar, dan ia memegang teguh kebenaran tersebut. Anggapan masyarakat bahwa hal itu benar semakin meningkatkan ‘validitas’ kebenaran tersebut. Bahkan dengan sangat ekstrem, Peirce mengemukakan, orang sering bersandar pada kepercayaannya dalam menghadapi fakta yang jelas-jelas berlawanan; dan mungkin seseorang menyimpulkan pengetahuan baru berdasarkan proposisi yang keliru.
Peirce mengakui bahwa ‘metode keteguhan’ cenderung ditinggalkan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih obyektif. Namun, ia mengakui bahwa adanya unsur keyakinan dalam pengetahuan tidak terhindarkan. Selain itu, lanjut Peirce, pengetahuan tidak terlepas dari otoritas dan kewenangan. Orang akan lebih percaya pada pernyataan-pernyataan teoretis  yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas. Dalam kenyataan, lanjut Peirce, kehidupan tidak akan dapat berjalan tanpa cara kewenangan dalam mengukuhkan pengetahuan yang dianggap benar.

Peirce selanjutnya mengemukakan cara lain untuk memperoleh pengetahuan, yakni: intuisi. Seseorang memperoleh pengetahuan melalui nalar atau proses berpikir, dan tidak harus selaras dengan pengalaman. Melalui pergaulan dan komunikasi, orang dapat mencapai kebenaran karena ia memiliki kecenderungan alami ke arah kebenaran. Karena itu, Kerlinger yang mengutip Peirce menegaskan, tidak menutup kemungkinan adanya pengetahuan teoretis yang berbeda sebagai hasil dari perbedaan penalaran yang dilakukan oleh orang yang berbeda.[15]

Proses berpikir berusaha untuk mencapai kesimpulan dalam bentuk knowledge. Menurut MM Ismail,[16] kesimpulan dari proses berpikir sering terkait dengan ada atau tidak adanya sesuatu, dan hal ini  bersifat pasti; tidak mungkin mengandung faktor kesalahan. Alat indera manusia tidak mungkin salah dalam menentukan eksistensi (keberadaan) sesuatu yang bersifat nyata. Kesalahan yang mungkin terjadi dalam proses berpikir hanyalah dalam menentukan esensi (hakikat) sesuatu akibat ‘kesalahan’ penginderaan. Misal: fatamorgana sering disangka air; benda lurus dalam wadah berair tampak bengkok. Namun, ‘kesalahan’ dalam mengindera esensi fakta-fakta ini tidak menafikan kebenaran tentang eksistensi-nya. Fatamorgana tersebut tetaplah bisa dipastikan keberadaannya. Demikian pula benda lurus yang dimasukkan ke dalam wadah berair. Dengan demikian, kesimpulan tentang eksistensi sesuatu pada dasarnya bersifat pasti.

Siapapun yang mengamati realitas yang ada akan sampai pada kesimpulan tentang eksistensi (keberadaan) sang Pencipta, Allah SWT. Ini bersifat pasti. Memahami Allah SWT dengan menggunakan metode ‘aqliyyah akan menghasilkan kesimpulan yang pasti tentang keberadaan-Nya; keberadaan-Nya tidak mungkin salah.

Apabila kesimpulan dari proses berpikir, lanjut MM Ismail, berkaitan dengan esensi (hakikat), fenomena atau sifat sesuatu, maka kesimpulan tersebut tidak bersifat pasti dan mengandung kemungkinan terjadinya kesalahan. Sebab, kesimpulan tersebut diambil berdasarkan informasi yang diperoleh atau interpretasi terhadap fakta yang terindera melalui informasi yang telah ada, namun informasi tersebut mungkin mengandung unsur kesalahan. Hanya saja, hasil pemikiran tersebut dianggap benar sampai terbukti kesalahannya. Jika terbukti salah, maka sejak saat itu kesimpulan dianggap salah, peneliti menggunakan kesimpulan baru yang lebih sahih.

Dengan demikian, knowledge sebagai kesimpulan dari proses berpikir bersifat relatif, memungkinkan di dalamnya terjadi kesalahan. Relativitas yang dimaksud bersifat kontinum, yakni suatu garis yang tidak memiliki batasan yang tegas. Pada titik terendah, ketidakpastian cenderung lebih tinggi sehingga probabilitas error cukup besar; sedangkan pada titik lain, kepastian yang lebih menonjol, bahkan tidak mungkin terjadinya kesalahan. Demikiian juga kesimpulan tersebut dipengaruhi oleh keyakinan ata agama yang tidak sesuai dengan Islam.

Pemahaman terhadap hakikat atau makna yang terkandung dalam ayat al-Quran dapat ditempatkan dalam perspektif ini. Memahami ayat-ayat yang bersifat zhanny memungkinkan terjadinya kesalahan. Jika seseorang berijtihad dan benar, maka ia memperoleh dua pahala, yakni pahala benar dan pahala ijtihad. Jika seseorang berijtihad dan salah, maka ia memperoleh satu pahala, yakni pahala ijtihad. Sebaliknya, pemahaman terhadap ayat yang qath’i ats-tsubut bersifat pasti, tidak mungkin salah. Kewajiban salat, zakat, puasa dan menurut aurat serta batasan aurat masuk kategori terakhir.

Demikilanlah pengetahuan merupakan hasil dari proses berpikir yang sarat dengan nilai. Pengetahuan merupakan produk dari konteksnya. Mulyanto menjelaskan bahwa ilmu merupakan produk dari konteks sosio-kultural dan kepercayaan. Jika lingkungan atau keyakinan umum bersifat ateis, maka pengetahuan atau ilmu pengetahuan yang dihasilkan bersifat materialis. Jika ilmu dihasilkan dari proses berpikir yang sarat dengan nuansa akidah, maka ilmu (knowledge) akan sarat dengan nilai-nilai keimanan. Karena itu, dalam konteks ini Mulyanto mengingatkan perlunya mengkritisi konteks kelahiran ilmu. Teori-teori fisika mengenai kekebalan energy—yang meyakini materi sebagai sesuatu yang kekal dan menolak proses penciptaan—lahir  dalam konteks masyarakat ateis.[17] Walhasil, teori-teori ilmiah dalam konteks ini ternyata tidak lepas dari nilai yang menjadi keyakinan seseorag pada saat perumusan teori; dan keyakinan tersebut seringkali bertolak belakang dengan Islam.

Dalam konteks ini gagasan Islamisasi sains sangat relevan dan diperlukan, dengan melakukan langkah-langkah untuk mengoreksi atau mengganti teori-teori yang bertentangan dengan Islam.


[1] Pervez Hoodbhoy, Islam and Science, Religious Ortodoxy and The Beattle for Rationality, edisi Indonesia terjemahan Saria Meutia (Bandung: Mizan, 1996) hal. 38-39
[2] Taqyuddin An-Nabhani, At-Tafkir, cetakan pertama  (Hizbut Tahrir, 1973) hal. 27-39
[3]Hoodbhoy, Op.Cit. hal. 124
[4]Lihat Taqyuddin An-Nabhani, Op.Cit. hal. 28
[5] MM Ismail, Al-Fikru al-Islamy (Beirut: Maktab al-Wa’ie, 1958) hal. 88
[6] Kunczik, Michael, Communication and Social Change (Bon: Friedrich-Ebert-Stiftung, 1986) hal. 59
[7] MM Ismail, Op.Cit. hal. 88
[8] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revelution, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terjemahan Tjun Surjaman (Bandung Remaja Rosdakarya, 2002) hal. 10-11; Lihat juga Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika ( Jakarta: Teraju, 2004), h. 11.
[9] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Gramedia, 1988), hal. 22
[10] Ibid, hal.  24.
[11] Jujun S. Suriasumantri, “Mencari Alternatif Pengetahuan Baru”, dalam A.M. Saefuddin et.al., Desekularisasi Pemikiran (Bandung: Mizan, 1991) hal. 14.
[12] Lihat Anonim, “Epistemology,” Wikipedia, the Free Encyiclopedia dalam http:// en.wikipedia.org/wiki/Epistemology, dikunjungi tanggal 2 September 2005.
[13] Edwards, Paul (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, Vol. V, edisi 2 (New York: Collie McMillan Publishing Company, 1972) hal. 187
[14] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Cetakan ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) hal. 4
[15] Kerlinger, Fred N., Azas-Azas Penelitian Behavioral, terjemahan Landung R. Simatupang (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992) hal. 8-9
[16] MM Ismail, Op.Cit. hal. 143-144
[17] Mulyanto, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Gagasan dan Pedebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Cidesindo, 2000) hal. 18-19.

Golput Haram, Antara Fatwa dan Kepentingan Politik

Oleh: Rizqi Awal, Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia Jawa Barat, Pengamat di Lembaga Analisis Politik Indonesia
diambil dari http://www.islampos.com/golput-haram-antara-fatwa-dan-kepentingan-politik-90454/

DI antara point-point dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang tidak menggunakan hak pilih di dalam Pemilihan Umum :
Salah satu dari dua rekomendasinya :
“Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar.”

Butir-butir yang menjadi landasan rekomendasi tersebut :
butir ke-4 : Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (shidiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat islam hukumnya adalah wajib.
butir ke-5 : Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
butir ke-1 : Pemilihan Umum dalam pandangan islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

Dan jika kita perhatikan dari point-point di atas tampak MUI begitu bijaksana dan sangat berhati-hati. Hal itu terlihat dari adanya tiga hukum yang terkait dengan penggunaan hak pilih didalam pemilihan umum :
  1. Dianjurkan (mandub atau sunnah) yang ada didalam rekomendasi.
  2. Wajib yang ada didalam butir ke-4.
  3. Haram namun dengan persyaratan yaitu, haram golput selama ada calon yang memenuhi syarat, pada butir ke-5.
Didalam butir ke-5 tidak ada penjelasan rinci tentang kata-kata ‘memenuhi syarat’, apakah yang dimaksud syarat-syarat yang disebutkan didalam butir ke-1 atau butir ke-4 atau kedua-duanya.

Isi butir ke-5 “….. atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.” dan jika menggunakan pemahaman berbalik maka bisa diartikan dengan “…. atau tidak memilih sama sekali (golput) ketika tidak ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah tidak haram”
Kemudian dalam Rekomendasinya MUI menganjurkan umat islam untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar. Kata-kata ‘menganjurkan’ berbeda dengan ‘mewajibkan’ begitu pula didalam konsekuensi hukumnya. Artinya seorang muslim yang melakukan perintah tersebut akan mendapatkan pujian dan pahala dari Allah swt dan jika ia tidak melakukannya maka ia tidaklah tercela dan tidak juga mendapatkan dosa dari-Nya.

Dari butir ke-5 dan rekomendasi tersebut tampak tidak ada pengharaman GOLPUT oleh MUI secara mutlak namun demikian MUI menganjurkan agar umat islam memilih orang-orang yang mengemban amar ma’ruf nahi munkar.

Kemudian ukuran apakah seorang calon pemimpin atau wakil rakyat memenuhi syarat-syarat di atas atau tidak, siap mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar atau tidak akan berpulang kepada pengetahuan dan pemahaman setiap pemilih yang memungkinkan terjadinya perbedaan diantara mereka. Bisa saja seorang pemilih melihat seorang calon pemimpin atau wakil rakyat telah memenuhi syarat namun tidak menurut yang lainnya. Bisa saja seorang pemilih melihat seorang calon dapat mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar namun tidak menurut yang lainnya.

Golput Haram, Di Sistem yang Kufur 

Al-Syaikh Muhammad Syakir al-Syariif dalam kitab Haqiiqatud Diimuqraathiyyah mengemukakan:
“Lantas apa yang dijelaskan berbagai referensi tentang asal kata ini dan hakikat pengertiannya? Sungguh definisi yang dijelaskan dalam kamus-kamus dan penjelasan para penulis (buku tentang demokrasi) saling menguatkan….. Bahwa, demokrasi adalah kata yang berasal dari Yunani, terdiri dari dua kata, yang satu sama lain saling terkait.”
Makna demikian, sebenarnya ditemukan secara gamblangan tentang Demokrasi itu sendiri. Dimana pijakan hukum bukan bertitik tolak pada Al-Quran dan As-Sunnah, tetapi kesepakatan masyarakatnya. Sementara Pemimpinnya menjalankan apa yang telah disepakati bersama.
Padahal jelas kita ketahui bahwa,
“…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al-An’aam [6]: 57)
Dan juga pada ayat:
“…Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maa’idah [5]: 44)
Ini sangat kontradiktif dengan maksud dan tujuan Demokrasi. Seringkali diantara mereka yang menghalalkan Demokrasi, seringkali mengambil Demokrasi sebagai jalan untuk mencapai tujuan. Padahal kita ketahui bersama bahwa Demokrasi tidak lebih sebagai perantara menegakkan hukum manusia, sehingga penerapan syariat islam sebagai tujuan perjalanan politik sebenarnya hanyalah barang jualan saja. Sementara saat mendudukkan jabatan, sebenarnya hukum yang dijalankan bukanlah islam.
Muhammad Asad dalam kitab Minhaj Al-Islam fi Al-Hukm (hlm. 52) mengungkapkan: “Adalah merupakan penyesatan yang sangat luar biasa, jika ada orang yang mencoba menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam (diterapkan) pada pemikiran dan peraturan/sistem Islam.”
Fatwa Golput haram sementara sistemnya hari ini adalah kekuasaan yang tidak bertitik tolak dengan islam, maka ini tak bisa diterapkan. Sementara, seruan golput itu haram, adalah tugasnya untuk mencari pemimpin yang taat kepada Allah dan Rasul. Sementara Presiden hari ini, harus taat pada UUD 1945 yang sebenarnya pijakannya bukan berasal dari islam.

Kepentingan Politik di Balik Golput Haram

Meskipun fatwa ini telah beredar semenjak tahun 2009. Nyatanya fatwa ini memang populis, tetapi bagi masyarakat fatwa ini sangat berbau politis. Kenapa demikian?
Berapa sebenarnya jumlah Golput pada Pemilu 2009 ? (berdasarkan dataPemilu Legislatif). Dari 171.265.442 pemilih, hanya 104.099.785 suara yang sah ! Suara yang tidak sah sebesar 17.488.581 (sebagian tentunya juga Golput). Jumlahnya suara yang tidak memilih paling sedikit 49.677.776 ~ 29,006 persen.
Lahirnya fatwa haram itu, bisa jadi merupakan tekanan politik kala itu. Karena masyarakat telah menilai bahwa tidak ada yang penting menurut mereka untuk melakukan pemilihan. Bahkan, masyarakat sepertinya tidak merasa “harus” memilih. Sebab masyarakat hari ini telah dewasa dan mengerti tentang makna pemilihan.
Ini kelak bisa menjadi tedensius sendiri buat MUI. Sebab di fatwa ini bisa membahayakan kepada ummat. Seolah-olah semua fatwa MUI penuh dengan kepentingan. Sementara bagi saya, masyarakat harus bijak melihat fatwa MUI itu sendiri. Apalagi di tahun 2014, sepertinya kepercayaan publik kepada pemilihan legislatif dan eksekutif sepertinya semakin menghilang. Jejak caleg yang penuh masalah, Partai-partai di masa lalu, ternyata tetap saja melakukan Korup, meskipun itu berasal dari partai berbasiskan islam sekalipun.
Pertanyaanya, bisakah Golput melahirkan tekanan kepada publik? Tentu bisa. Kepemimpinan yang tidak memiliki legitimasi kuat dari masyarakat adalah kepemimpinan yang tak lagi dipercaya oleh masyarakat. Maka, tekanan perubahan amandemen undang-undang secara mendasar dan pergantian kepemimpinan begitu kuat. Begitulah proses yang dialami Indonesia selama 2 kali rezim kekuasaan. Soekarno dan Soeharto. Bukan dorongan dari dalam, tetapi dorongan masyarakat luaslah yang telah mengubah paradigma politik di suatu negeri. []

Selasa, 17 Desember 2013

merahku


19 Maret 2010 pukul 20:28


Pembebasan Tanjungpinang......
merahku tak seperti merahmu
dogmatis dan berdarah-darah
menyimpan penyakit akut masa lalu yang tak selesai
merahku merah yang setia bergerak
seperti massa api yang siap membakar

merahku tak seperti merahmu
flamboyant dan cengeng
kalut dalam romantisme masa silam
bingung merahmu tak beride
merahku seiring langit biru
wanai senja temaram jadi indah

merahku tak seperti merahmu
malu-malu menjadi merah
tak berpijak pada tanah
tak tumbuh sebab merah tanahmu berlumpur
yang merahmu racuni dengan picik basa-basi

merahku lugas
merah yang berani menjadi merah
tak curiga pada tanah tempat berpijak

to : teman2 di jalan terjal, kalo mo merah ya jangan dogmatis,
cuma bisa berdarah – darah, kalo mo hijau ya jangan dogmatis
cuma bisa diinjak – injak orang…

Bagaimana sesungguhnya Pemilu—juga kedudukan golput—dalam pandangan hukum Islam?


Hukum Pemilu Menurut Syariah

Pemilu di Indonesia saat ini ditujukan untuk:
1) Memilih wakil rakyat yang akan duduk di DPR/Parlemen;
2) Memilih penguasa.

1. Memilih wakil rakyat.

Dalam pandangan hukum Islam, Pemilu untuk memilih wakil rakyat merupakan salah satu bentuk akad perwakilan (wakalah). Hukum asal wakalah adalah mubah (boleh). Dalilnya antara lain: Pertama, hadis sahih penuturan Jabir bin Abdillah ra. yang berkata: Aku pernah hendak berangkat ke Khaibar. Lalu aku menemui Nabi saw. Beliau kemudian bersabda:

إِذَا أَتَيْتَ وَكِيْلِيْ بِخَيْبَرَ فَخُذْ مِنْهُ خَمْسَةَ عَشَرَ وَسَقًا
Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, ambillah olehmu darinya lima belas wasaq (HR Abu Dawud).

Kedua, dalam Baiat ‘Aqabah II, Rasulullah saw. pernah meminta 12 wakil dari 75 orang Madinah yang menghadap kepada Beliau saat itu. Keduabelas wakil itu dipilih oleh mereka sendiri.
Wakalah itu sah jika semua rukun-rukunnya dipenuhi. Rukun-rukun tersebut adalah: adanya akad (ijab-qabul); dua pihak yang berakad, yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakîl); perkara yang diwakilkan; serta bentuk redaksi akad perwakilannya (shigat tawkîl). Semuanya tadi harus sesuai dengan syariah Islam.

Menyangkut Pemilu untuk memilih wakil rakyat, yang menjadi sorotan utama adalah perkara yang diwakilkan, yakni untuk melakukan aktivitas apa akad perwakilan itu dilaksanakan. Dengan kata lain, apakah aktivitas para wakil rakyat itu sesuai dengan syariah Islam atau tidak. Jika sesuai dengan syariah Islam maka wakalah tersebut boleh dilakukan. Sebaliknya, jika tidak sesuai maka wakalah tersebut batil dan karenanya haram dilakukan.

Sebagaimana diketahui, paling tidak, ada 2 (dua) fungsi utama wakil rakyat di DPR/Parlemen. Pertama: melegislasi UUD/UU. Berkaitan dengan fungsi legislasi ini, tidak ada pilihan lain bagi kaum Muslim dalam mengatur kehidupan pribadi, masyarakat, dan negaranya kecuali dengan menggunakan syariah Allah SWT (Lihat, misalnya: QS Yusuf [12]: 40; QS an-Nisa [4]: 65; QS al-Ahzab [33]: 36). Oleh karena itu, setiap aktivitas pembuatan perundang-undangan yang tidak merujuk pada wahyu Allah (al-Quran dan as-Sunnah) merupakan aktivitas menyekutukan Allah SWT (Lihat: QS at-Taubah [9]: 31). Pelakunya juga bisa terkategori kafir, fasik atau zalim (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44; 45; 47).

Dalam Islam, kedaulatan hanyalah milik Allah, bukan milik rakyat sebagaimana yang terdapat dalam sistem demokrasi. Artinya, yang diakui dalam Islam adalah ‘kedaulatan syariah’, bukan kedaulatan rakyat. Ini berarti, dalam Islam, hanya Allahlah yang berhak menentukan halal-haram, baik-buruk, haq-batil, serta terpuji-tercela; bukan manusia (yang diwakili oleh para wakil rakyat) sebagaimana dalam sistem demokrasi. Allah SWT berfirman:

]إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ[
Hak membuat hukum itu hanyalah milik Allah (QS Yusuf [12]: 40)

Karena itu, hukum wakalah dalam konteks membuat dan melegalisasikan UU yang tidak bersumber pada syariah, atau hukum Allah, jelas tidak boleh.

Kedua: fungsi pengawasan. Menyangkut fungsi pengawasan DPR/Parlemen—berupa koreksi dan kritik terhadap pemerintah/para penguasa atau UU yang digodok dan dihasilkan oleh DPR—jelas hukumnya wajib secara syar’i. Fungsi tersebut terkategori ke dalam aktivitas amar makruf nahi munkar, yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim, terlebih para wakil rakyat.
Jadi, dalam pandangan hukum Islam, Pemilu untuk memilih para wakil rakyat hukumnya dikembalikan kepada dua fungsi yang mereka mainkan di atas.

2. Memilih penguasa.

Adapun dalam konteks memilih penguasa, Islam memiliki pandangan tersendiri yang berbeda dengan pandangan politik demokrasi sekular. Dalam sistem politik Islam, aktivitas memilih dan mengangkat penguasa (imam/khalifah) untuk melaksanakan hukum-hukum Islam bukan hanya boleh, bahkan wajib. Sebab, imam/khalifah tersebut diangkat dalam rangka menjalankan hukum-hukum syariah dalam negara, dan ketiadaan imam/khalifah akan menyebabkan tidak terlaksanakan hukum-hukum syariah tersebut.

Adapun dalam sistem demokrasi, Pemilu untuk memilih penguasa adalah dalam rangka menjalankan sistem sekular, bukan sistem Islam. Karena itu, status Pemilu Legislatif tidak sama dengan Pemilu Eksekutif. Dalam konteks Pemilu Legislatif, status Pemilu tersebut merupakan akad wakalah sehingga berlaku ketentuan sebelumnya. Namun, dalam konteks Pemilu Eksekutif, statusnya tidak bisa lagi disamakan dengan status akad wakalah, melainkan akad ta’yîn wa tanshîb (memilih dan mengangkat) untuk menjalankan hukum-hukum tertentu. Dalam hal ini statusnya kembali pada hukum apa yang hendak diterapkan. Jika hukum yang diterapkan adalah hukum Islam maka memilih penguasa bukan saja mubah/boleh, melainkan wajib. Demikian juga sebaliknya.
Tinjauan Politik

Selain tinjauan dari segi syariah, Pemilu (khususnya dalam memilih para wakil rakyat) dan fenomena golput juga bisa ditinjau dari kacamata politik. Dalam hal ini, Jubir HTI, HM Ismail Yusanto, berpandangan: Pertama, UU Pemilu sendiri menyebut bahwa memilih itu hak, bukan kewajiban. Jadi, bagaimana mungkin hak itu dihukumi haram ketika orang itu tidak mengambilnya. Lagipula, memilih untuk tidak memilih itu berarti juga memilih. Jadi, fatwa haram golput itu sendiri secara filosofis bermasalah.

Kedua, sekarang ini berkembang fenomena golput di mana-mana. Dalam Pilkada itu golput sampai 45%-47%. Ini angka yang sangat tinggi. Itu harus dipahami secara lebih mendalam. Jangan-jangan itu merupakan cerminan dari ketidakhirauan masyarakat karena mereka melihat bahwa proses politik (Pemilu) itu tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap kehidupan mereka.

Ketiga, ketika orang tidak menggunakan pilihan politiknya tidak bisa dikatakan bahwa dia apolitik. Sebab, boleh jadi hal itu didasarkan pada pengetahuan politik dan sikap politik; bahwa dia tidak mau terus-menerus terjerumus dalam sistem sekular yang terbukti bobrok ini.

Keempat, terkait dengan Hizbut Tahrir, Hizb memandang bahwa aktivitas politik itu tidak berarti mengharuskan Hizb ada di parlemen. Mengoreksi penguasa adalah bagian aktivitas politik. Mendidik umat dengan pemikiran dan hukum-hukum Islam juga merupakan aktivitas politik. Selama ini, itulah di antara yang telah, sedang dan akan terus-menerus dilakukan oleh Hizb (Hizbut-tahrir.or.id, 27/1/2009).
Sikap Kaum Muslim Seharusnya

Berdasarkan penjelasan di atas, sikap yang harus ditunjukkan oleh setiap Muslim adalah:

Tidak memilih calon/partai manapun yang nyata-nyata tidak sungguh-sungguh memperjuangkan tegaknya syariah Islam, apalagi sampai mengokohkan sistem sekular saat ini.
Berjuang secara serius dan terus-menerus untuk menerapkan syariah Islam dan mengubah sistem sekular ini menjadi sistem Islam dengan metode yang telah digariskan oleh Rasulullah saw., yaitu melalui pergulatan pemikiran (as-shirâ’ al-fikri) dan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsi). Perjuangannya itu diwujudkan dengan mendukung individu, kelompok, jamaah, dan partai politik yang nyata dan konsisten berjuang demi tegaknya Khilafah dan diterapkannya syariah Islam.
Secara sendiri-sendiri atau bersama tetap melakukan kritik dan koreksi terhadap para penguasa dan wakil rakyat atas setiap aktivitas dan kebijakan mereka yang bertentangan dengan syariah Islam.
Tidak terpengaruh oleh propaganda orang-orang atau kelompok tertentu yang menyatakan bahwa mengubah sistem sekular dan mewujudkan sistem Islam mustahil dilakukan. Sebab, kaum Muslim pasti bisa melakukan perubahan jika berusaha keras, sungguh-sungguh, dan ikhlas karena Allah dalam berjuang. Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya, termasuk merealisasikan tegaknya Khilafah bagi kaum Muslim untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam (isti’nâfu al-hayâh al- Islâmiyah) melalui penerapan syariah Islam di dalam negeri dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia. Di bawah naungan Khilafah pula, umat Islam di seluruh dunia akan dapat disatukan kembali sekaligus menjadi umat terbaik, dan Islam pun akan menjadi pemenang atas semua agama dan ideologi sekalipun orang-orang kafir membencinya. Allah SWT berfirman:
Pada hari itu bergembiralah orang-orang Mukmin karena pertolongan Allah (QS ar-Rum [30]: 4-6)

Senin, 16 Desember 2013

Revolution Ignite Your'e Bones

diambil dari http://divansemesta.blogspot.com/


Segala sesuatu kalau terlalu sering dibicarakan menjadi tidak seksi, temasuk revolusi. Memang hal ini tergantung pada siapa yang membawakan, kalau Tessy yang membawakannya tentu jadi tidak seksi, tapi kalau saya? tentu saja!

Bicara tentang revolusi berarti bicara tetang rekayasa sosial, Jalaludin Rakhmat pernah mengeksplorasi hal ini dalam sebuah buku. Dia menjelaskan dengan baik beberapa rekayasa sosial, seperti reformasi, revolusi, dan kudeta (lainnya saya lupa, lagipula dalam pembicaraan ini kita tidak membutuhkan yang lupa. Syukurlah)0)

Saya hanya akan menyinggung bahasan tentang reformasi dan revolusi. Mengapa disisipkan reformasi, padahal seharusnya membahas revolusi? Saya menyengajakan membahasnya, karena terkadang reformasi tidak dipahami oleh masyarakat, bahkan yang notabene mengklaim sebagai pejuang perubahan.

Reformasi, jika diibaratkan sebuah pohon maka pohon reformasi adalah pohon yang dipercayai oleh aktivis perubahan adalah pohon yang masih ia percayai mampu memberikan buah yang baik bagi dia dan masyarakatnya. Jika di antara batang pohon terdapat benalu yang membuatnya sakit maka untuk memperbaikinya, bukan pohonnya yang harus digergaji, melainkan ranting yang terkena benalulah yang dimutilasi.

Contoh-contoh reformasi, bisa kita lihat dari reformasi agama Nasrani menjadi Kristen Protestan. Dalam reformasi ini, substasi keyakinan Protestan tetap satu: mempercayai Kristus sebagai juru selamat, anak, sekaligus tuhan. Perbedaannya hanya masalah cabang, semisal dihapuskannya indulgensia, dan --yang paling mengasyikan bagi pemeluknya--, diperbolehkannya pendeta memiliki pasangan hidup. Contoh lain yang bisa kita lihat, reformasi 1998 di Indonesia. Dalam reformasi tersebut mahasiswa berusaha menuntut ditegakannya hukum, demokratisasi dan penegakan HAM, namun substansi system berkenaan tegaknya UDD 1945 dan Pancasila tetap sebagai sebuah harga mutlak, tidak bisa di ganggu gugat!.
Revolusi berbeda dengan reformasi, --
kembali-- jika diibaratkan sebagai pohon, penggerak revolusi tidak mempercayai pohon itu. Dia bukan saja hendak memotong cabangnya tetapi menumbangkan batangnya, menggobangnya, dan mencabut sisa-sisa pohon hingga ke akarnya, supaya pohon itu tidak memiliki kesempatan, untuk menumbuhkan tunas-tunasnya lagi. Dan dari tanah tempat tercerabutnya pohon itu, penggerak revolusi menanam pohon baru yang karakteristiknya berbeda dengan pohon yang sebelumnya di singkirkan.

Contoh-contoh revolusi, akan terlalu banyak untuk dipaparkan (bisa revolusi Guttenberg, revolusi Tsailun, atau revolusi Zapatista yang dikomandani Comandante Marcos di Chiapas Meksiko) akan tetapi jika kita mempersingkat bahasan, kepada revolusi sistemik yang bersandar pada ideology besar dunia, maka kita bisa mengklasifikasikannya menjadi tiga revolusi: Revolusi Prancis (bersandar pada ideology Kapitalisme), Bolshevik (ideology Sosialis Koimunis), Revolusi Muhammad di Madinah (ideology Islam).
Marilah kita membahasnya satu-persatu:

Revolusi Prancis

Revolusi ini yang menjadi tonggak terkuat bagi pertumbuhan Kapitalisme di dunia modern saat ini. Revolusi Prancis, meletus pada tahun 1789 di Perancis, dengan momentum penyerbuan berdarah penjara Bastille. Kisah penyerbuan ini terdengar heroik bagi masyarakat dunia karena pada waktu itu, rakyat bersatu dan bergerak bersama tokoh-tokohnya untuk mendobrak Bastille yang merupakan penjara bagi tahanan politik pada masa itu2).

Pergerakan masyarakat Prancis pada masa itu, tumbuh dikarenakan penggunaan kekuasaan yang semena-mena. Louis XIV dan istrinya, Maria Antoinette dianggap biang keladi kemerosotan moral etika, plus koruptor yang menghabiskan kekayaan negara untuk memuaskan hasrat hidup glamornya. Untuk itulah, Louis merekayasa aneka kebijakan: pajak yang mencekik diberlakukan, dan aneka macam kebijakan lain yang makin membuat rakyat Prancis kelenger menjadi gembel, diberlakukan.

Sebagai raja yang membawahi beratus ribu kepala Louis, tidak mau peduli. Baginya negara adalah saya "Etat cest moi!" . Bahasa Jakartanya, "Ini wilayah kekuasaan gue. Terserah gue mu ngapain. Lha rakyatnya rakyat gue. Rajanya ya gue! Lu jual, gw beli! Kalo lu protes gue piting!"

Etat cest moi3), yang merupakan lambang kesemena-menaan, lambang ke-egois-an Louis bersama Maria Antoinette yang ganjen itu, menjadi salah satu bahan untuk menggulingkannya. Pokoknya, pemerintahan Louis sudah tidak memiliki kebaikan lagi di mata rakyat, apalagi pemerintahan yang korup itu, ternyata didukung oleh aparat pemerintah yang busuk, bahkan agamawannya pun, ikut-ikutan (para pendeta yang seharusnya welas asih dan berpihak pada nilai kebenaran, malah ikut melakukan legitimasi terhadap kekuasaan memanfaatkan term-term kesabaran di dalam agamanya).

Klop sudah! Rakyat yang suffering dihimpit keadaan, bergabung dengan tokoh-tokoh politik yang menginginkan perubahan. Maka muncullah keadaan yang sama sekali baru ketika Hertogoche Faucauld Lincourt, berkata pada Louis “Sri baginda, itu bukan pemberontakan. Itu revolusi!”
Tumbanglah kekuasaan Louis selaku raja. Lebih dari itu, menghilanglah feodalisme digantikan oleh cikal bakal Kapitalisme, yang diobori semangat: liberte (kemerdekaan), egalite (persamaan), fraternite (persaudaraan).

Revolusi Prancis yang sudah dua abad (lebih) berlalu itu, kini menjadi revolusi yang gaungnya tidak mungkin dilupakan oleh sejarawan dunia. Revolusi yang menyebar keseluruh Eropa itu, kemudian menjadi arus kecil sekularisme yang --semula-- diemban oleh segelintir orang, menjadi arus besar yang melandasi perjalanan sebuah kapal ideology bernama Kapitalisme Negara.
Semangat revolusi Perancis yang merupakan tonggak terkuat Kapitalisme, kemudian menyebar ke seluruh dunia. Seluruh dunia tercengang pada semangatnya, sehingga tak heran, di abad duapuluhsatu ini, kita masih dapat melihat influence revolusi Prancis yang sekuler terhadap berbagai macam kejadian di seluruh dunia dari mulai festival musik Woodstock, munculnya Andi dan Rizal Malarangeng di panggung politik Indonesia, ekspansi atas nama demokratisasi hingga ramalan mengenai akhir sejarah peradaban oleh seorang futurology, bernama Francis Fukuyama.

Revolusi Bolsevik

Revolusi ini meledak di panggung sejarah dunia bersandarkan pada ideologi Sosialis madzhab Komunis. Inti dari ide ini adalah juga sekularisme (namun atheis) yang bersumber dari filsafat materi Demokritus dan Epikurus. Disempurnakan oleh Charles Marx setelah mendialektikakan pemikiran Feurbach dan Heggel, kemudian diprakiskan oleh Vladmir Illich Ullyanov (Lenin) masa akhir dinasti Romanov.

Awal revolusi Bolsehevik, terjadi seperti biasa yang terjadi dengan revolusi dunia lainnya. Awalan revolusi ini, terjadi dikarenakan ketidak pedulian Tsar terhadap rakyat yang diperas habis-habisan, sampai ngos-ngosan oleh kapitalis nasional. Rakyat dipaksa berkerja 15-18 jam sehari, diharuskan berkerja tanpa istirahat yang memadai. Rakyat diperlakukan seolah seperti mesin. Dan seandainya mesin itu soak, pemilik modal tidak mau peduli. Mereka semena-mena membuang tenaga kerja yang sebelumnya berkerja mati-matian, dengan anggapan bahwa tenaga pengangguran masih banyak untuk diserap. Tsar tidak mau peduli akan hal itu. Tsar yang menjadi penguasa tertinggi malah menggiatkan perang yang dianggap tidak perlu sehingga negara mengalami kebangkrutan. Kekuatan politik dan ekonomi menjadi limbung.

Di tengah kekacauan itu, muncul gerakan-gerakan radikal untuk menumbangkan kekuasaan Tsar, meski sebenarnya kemunculan gerakan itu jauh-jauh hari bahkan bisa dirunut dari pendirian kekaisaran4) Singkatnya, meledaklah revolusi Bolsevik yang merupakan harapan sekaligus kulminasi dari perjuangan yang cukup lama segelintir rakyat Rusia, untuk menggulingkan dinasti Romanov yang berkuasa seribu tahun lamanya..

Tidak seperti anggapan orang awam (yang mempercayai bahwa revolusi diawali oleh golongan Bolshevik), pada faktanya revolusi untuk menumbangkan Tsar diawali oleh golongan Mensevik yang menunjuk Karenski sebagai ketuanya. Namun berangsur-angsur revolusi yang belum sempurna itu disabot oleh kedatangan Lenin dan kawan-kawan partainya. Lenin bertujuan untuk menegakan soviet dengan ideologi sosialis komunis sebagai rotornya. Dan dia berhasil!.
Revolusi Bolshevik mengguncangkan dunia, bukan saja karena telah meruntuhkan sebuah sistem feodal kekaisaran, melainkan juga melalui propaganda yang beringas. Melalui corong-corong dan pemberitaan media cetak atau pertemuan internasional, partai komunis soviet blak-blakan mengancam kapitalisme dunia. Bahwa, Soviet menyerang negara-negara Kapitalis --pada saatnya nanti-- demi misi menyamarata dan menyamarasakan penduduk planet bumi.
Sebelum meraih tujuannya akhirnya, Soviet dengan ideologi Sosialis Komunisnya ternyata runtuh pada tahun 1989 oleh kebijakan Glasnot dan Perestroika. Kebijakan yang akhirnya meracuni Soviet dengan Kapitalisme, bahkan mengembalikan nama negaranya ke masa ketika dinasti Romanov masih berdiri (dari Soviet kembali menjadi Rusia).

Influence revolusi Bolsevik terhadap dunia memiliki arti penting di berbagai macam pergerakan kemerdekaan nasional dunia. Di Indonesia revolusi Boshevik (dan ajarannya) memberi inspirasi besar untuk memerdekakan Indonesia dari kolonialisme Kapitalis. Komunisme masuk melalui tangan Sneevliet, kemudian berubah menjadi Partai Komunis Indonesia, kemudian masuk menginfiltrasi Syarekat Islam dan membelahnya menjadi dua (SI merah dan SI putih). Karena kooptasi ide komunis akan revolusi itu, pemberontakan petani di Banten terjadi, kemudian terus menerus berlangsung dari mulai pemberontakan 1948 di Madiun, rencana kudeta 1965 G30/S/PKI hingga kemunculan Partai Rakyat Demokratik sebagai musuh pemerintah pasca peyerbuan kantor PDI pada 27 Juli 1996.

Di China, revolusi Komunis Bolshevik menginspirasi Mao Tse Tsung untuk memimpin long march (tanpa tandingan kecuali oleh Hanibal) sejauh 9600 km (untuk memasifkan kekuatan melawan Jepang dan Chiang Kai Sek); Ho Chi Minh pun mendapat inspirasi revolusi Bolshevik di Vietnam. Di Siera Maestra, Revolusi Komunisme Bolshevik memainkan peranan sebagai ruh pergerakan revolusioner bagi penghisap tembakau nomor wahid (Fidel Castro) dan sahabat ganteng mautnya, si penderita bengek kronis: Che Guevara.

Tidak hanya dalam tataran politik praktis, bagi para seniman, ternyata revolusi Komunis Bolshevik membantu mengukuhkan realisme sosial sebagai seni yang berpihak pada proletar. Tokoh yang terkenal sebagai pengusung realisme social di Indonesia adalah Affandi, dan sastrawan gaek yang baru saja meninggal (Pramudya Ananta Toer). Sementara, --dikalangan musisi anyar--, yang paling bangga dengan ide revolusi Komunis Bolshevik, setelah De La Rocha (vokalis RATM) menggabungkan diri dengan ELZN) adalah Chris Martin (pengaransemen plus pencipta lirik filosofisnya Cold Play).

Revolusi Islam

Yang membedakan Islam dengan agama lain, --salah satu diantaranya-- adalah bulatan penuh, --yang jika bulatan itu-- dibagi menjadi dua, maka terdiri dari ideologi politik dan konsepsi tentang spiritual.

Jika agama lain memiliki konsep ibadah (spiritual) tanpa konsep ideologi politik, maka agama lainnya tidak berbentuk bulatan utuh, melainkan setengah bulatan seperti biskuit yang dicelupkan ke dalam susu kemudian dimakan si upik. Demikian juga ideologi yang melandasi kedua revolusi besar yang sudah saya paparkan.

Komunis dan Kapitalis memiliki ideologi untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, tetapi keduanya tidak memiliki konsep ritual ibadah. Karenanya dalam kedua ideologi tadi, tak jarang ada yang mengambil agama untuk menentramkan hati menggunakan ritualnya (meski kedua ideologi tadi saling bertabrakan dengan agama yang dianutnya).

Kelengkapan Islam sebagai sebuah bulatan utuh. Islam bukan saja memiliki konsep ibadah spiritual melainkan ideologi 'baru' yang juga, mengguncangkan zaman. Karena konsep bulatan sempurna inilah, ketika Muhammad SAW muncul dan mengumandangkan kenabiannya, gegerlah seluruh jazirah Arabia! Muncullah revolusi langit pertama dan utama!

Revolusi Islam dengan muatan ideology yang dibawa Muhammad SAW, menjungkirbalikan seluruh sistem peribadatan, dan nilai yang ada. Islam muncul untuk mematahkan penyembahan berhala dan menggantikannya dengan tuhan yang benar-benar tuhan semesta alam.
Islam muncul dengan sebuah celaan terhadap kapitalis-kapitalis kecil bangsa Arab. Siapa Kapitalis itu? adalah orang yang kerap curang dalam timbangan perniagaan, orang yang mendapatkan harta dari riba dan perdagangan yang haram, juga kerap kali mencaci maki anak yatim dan fakir miskin. Itu di Makkah, dan di Madinah terjadi revolusi Islam yang dipimpin langsung oleh Muhammad SAW.

Saat itu Islam muncul sebagai kekuatan revolusioner yang menghapuskan ikatan kesukuan yang sudah berakar lama di jazirah Arabia, ikatan yang membuat antar suku jazirah Arab terus berseteru, karena budaya vendetta5) merupakan budaya yang mengikat antara anggota suku dengan ikatan kesukuannya. Islam menyatukan agama, suku, bahkan bangsa (bukankah Salman dari Persia, Bilal dari Ethiophia?) di bawah kekuasaan sistem pemerintahannya6).

Islam mengawali dengan contoh sempurna sepanjang zaman. Mengawalinya dengan kepemimpinan manusia yang sebenarnya mampu untuk bermegah seperti raja-raja Romawi dan Persi, namun pemimpin berar revolusinya, lebih memilih tidur beralas tikar hingga gerat-gerat tikar tercetak pada kulitnya, dan lebih memilih mengkonsumsi minyak samin dan roti buruk rupa dalam kesehariannya?. Ia memilih untuk tinggal di kediaman mungil yang temboknya terbuat dari lumpur.

Apa yang dilakukan Muhammad benar-benar revolusioner. Ia membuat orang-orang berdecak kagum. Membuat pemimpin besar dan sejarawan --entah yang membenci atau mengaguminya--, melongo. Bagaimana tidak? lelaki mulia itu, dengan sistem dan kekuasaan yang ada ditangannya, ternyata memilih untuk bersikap rendah hati, sabar, lapang hati, mempraktikan keikhlasan tingkat tinggi, bahkan kebeningan spiritualitas yang tidak bisa ditandingi.
Revolusi dan semangat yang ada di dalam ajaranya benar-benar revolusioner, artinya sama sekali berbeda dengan konsepsi agama atau spiritualisme lainnya. Diluar Islam, di dalam agama lain seperti Budha Hindu, Kristen, kekuasaan haruslah dipisahkan dari keberagamaan pemuka agamanya. Karena, agama tersebut menganggap, bahwa kekuasaan (dunia) tidak bisa disatukan
dengan spiritualisme (akhirat).

Zarathustra bisa saja menjadi orang bestari, Dalai Lama, okelah menjadi orang bijak, demikian pula orang-orang yang dianggap Santo, tapi bisakah mereka menjadi orang yang bijak bestari, berkadar spiritual tinggi, memiliki keteduhan pandang dan kebeningan hati ketika memegang tampuk kekuasaan?

Wajar saja orang-orang besar dunia itu terlihat mapan kondisi spiritualitasnya, sebab kehidupan mereka hanya terpaku pada kehidupan mengasah 'spiritualisme'. Hidupnya hanya berkisar berkunjung dari satu biara-kebiara, satu tempat peribadatan ke tempat peribadatan, menyepi bertapa dan semedhi. Tapi Muhammad SAW tetap berwajah teduh, memiliki kebeningan hati nan cemerlang meski ia memegang tampuk kekuasaan. Apa sebab? sebabnya ide yang inheren di dalam revolusi itu sendiri!

Di dalam Islam kekuasaan politik tidak bisa dipisahkan dari spiritual. Kekuasaan politik berhubungan dengan idraksillahbillah atau kesadaran hubungan seseorang dengan Tuhannya. Tak heran semenjak wafatnya Muhammad SAW, sahabat-sahabat yang dekat dengan ajarannya, menjalankan kekuasaan politik dengan baik dan bijak pula (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan salah satu pengikutnya yang lain: Umar bin Abdul Aziz). Ini semua bisa terjadi, karena inti revolusi Islam berpijak pada kesatuan ideology dan spiritualisme di dalam diri pelaksana system Islam itu sendiri.

Jejak revolusi Islam yang memaksa peradaban manusia untuk menoleh padanya, terus menerut memanjang dari dinasti Ummayah hingga Utsmani. Pelaksanaan ideologinya mengalami pasang surut. Mengalami kelurusan dan penyelewengan hingga keruntuhan institusi Khilafah pada tahun 1924.

Sayang, kini institusi sistem pemerintahan Islam telah tiada, telah RIP. Namun, kebangkitannya akan selalu menjadi kekuatan yang menakutkan bagi ideologi-ideologi yang pernah dan saat ini menguasai dunia.

Kini, melalui jejak-jejak yang masih bisa dirunut keabsahan historis dan dipertanggungjawabkan justifikasi teologinya, tampaknya pergerakan-pergerakan Islam yang memiliki skup internasional mulai memperlihatkan taringnya. Semangat revolusioner untuk mengembalikan revolusi Islam yang otomatis mengembalikan sistem pemerintahan Islam di konstelasi politik dunia, bergema di mana-mana. Gerakan-gerakan ideologis yang semula klandestin kini muncul keatas tanah, mengingatkan manusia akan kejahatan system Kapitalisme dan Komunisme.
Ya, gerakan-gerakan Ilam yang faham akan jejak revolusi Muhammad adalah gerakan yang benar-benar menjadikan Islam, sebagai saingan tereberat ideologi sosialis Komunis dan Kapitalis. Di tangan mereka, Islam tidak hanya menjadi ritual belaka, yang bisa dijadikan alat pembenaran Kapitalisme, melainkan sebagai ruh pergerakan yang benar-benar mengancam segala bentuk eksploitasi dan penindasan system buatan manusia!

Pertanyaannya, gerakan apa yang bakal mengusung kembali revolusi dan ideology Islam? Aha, tentunya akan sangat banyak. Yang pasti, seorang muslim harus memilihnya, atau setidaknya bersemangat untuk mendukung idenya, sebab usaha mereka, adalah usaha untuk menegakan kembali praktik keimanan dalam bidang politik, yang akan membawa rahmat bagi manusia, galaksi dan seluruh isinya.

Revolution wil guide you home
And ignite your bones
(X & Y He-hE)

Minggu, 15 Desember 2013

DEMOCRAZY

By : Thufail Al Ghifari
downlaod MP3nya disini aja gan..
Cho intro:
Di dalam hati ku bertanya kegilaan ini
menusuk sanubari menikam asa
dan butakan nurani

Nafas Degradasi peradaban Zaman
ketika para samiri semakin bebas berkeliaran
Gentayangan Dalam percaturan Aqidah sempalan
Kombinasi majas liberal dan logika sompral
Kaderisasi Abdullah bin ubay bin saba bin dajjal
Cangkok modernitas dari kupasan sinetron berlabel dakwah abal-abal
Kacung Dollar yang coba ambil alih kapitalisme dan pembodohan serial
sinetron dalam skenario para pembual
Lalu akhiri setiap chapter Tauhid dengan kuburan meledug,
Mayat penuh belatunglah, kecoalah, cacinglah
Penuh lintahlah lalu bau busuk dan sampah
Sama persis seperti Aqidah para kurawa
Yang caplok sengketa beras bulog
Dari blok konsumerisme rapelan anggota dewan & prestasi jeblok
Tidak beda dengan bisnis vcd porno glosiran glodok
Terkombinasi dalam dana illegal kemunafikan pemilu elit-elit bolot
Mencolok seronok
Mengambil kesempatan dalam kesempitan
Lalu lempar retorika dengan tampang sok menawan
Mengkonsumsi wacana democrazy para legislatif
Dan air lendir kamar hotel sebagai rileksasi alternatif
Kacung zionis yang coba berlaga hanif
Sambil back up prostitusi progresif
Jaringan mafia kemunkaran yang makin atraktif
Hak asasi seperti apa sih yang kalian maksud?
Ketika media jerumuskan propaganda
Mengupas bangkai dan memonopoli sajadah
Menyerang ulama lalu dustakan agama
Persis seperti dusta besar konspirasi yang coba bungkam
Keteguhan Ba’asyir dan poligami Abdullah Gymnastiar

Chorus :
Hati-hati Freemasonri
Terbangun dari rotasi konspirasi
Energy hirarki para tirani
kamuflase hak asasi

skenario pirasi pion konsumerisme klub rotari
voting tentang prostusi dan hak asasi
atas nama kebenaran dari kacamata demokrasi
Undercover!
Agenda tersembunyi ini takkan bisa di barter
Mulai dari isu anti poligami yang dibuat santer
Di carter dari kepentingan fenomena anti teroris ala para crusader
Jual beli saham ibu pertiwi
Untuk devisa dari percaturan departemen maksiat dalam negeri
Playboy takkan mati !!!
Sejak nurani dewan pembantaian rakyat
Membungkam poros indosat
Diatas saham generasi kami
yang dijual dari Riba korupsi BUMN dan MTV
moralitas ejakulasi dana rapelan
bumbu kolesterol pilkada dari kurs busway dan tradisi Banjir Jakarta
imbas invasi kapitalisme dataran tinggi rasuki daerah
Villa pariwisata dan devisa bisnis ejakulasi merajalela
Retorika bagi hasil dan bunga bank
topeng pemodal berwatak hitler yang makin edan
Maka apa arti RIBA?
sejak slogan syariah masih terlalu lugu tuk sterilkan Bank Indonesia dari intervensi IMF
bercampur bersama asset keuntungan jaringan film BF
bensin fatwa haram departemen agama
yang menjilat ulang ludah bisnis minuman keras
atas nama bea dan cukai departemen perdagangan
dan kemajuan pariwisata
persis seperti para munsyid yang mengumpulkan dana untuk palestina
atas nama Jihad dan Dakwah
sambil menunda waktu sholat tepat waktu ketika Adzan tiba
atas nama fiqud dakwah atau takut kehilangan massa
mengaku aktivis dakwah sambil memelihara Taghut yang tak ada habisnya

Chorus :
Hati-hati Freemasonri
Terbangun dari rotasi konspirasi
Energy hirarki para tirani
kamuflase hak asasi

bicara soal zionis dan dakwah atas nama gerakan reformis
perhatikan kelakar para aktivis mulai prejudis, ironis, opportunis
pakai bendera palestina dimana-mana
bicara Jihad Fi Sabilillah
tapi disuruh nikah
malah nawar ukhti dibatas waktu kuliah
akhwat kok di order
emangnya mikrolet
ngak usah ngomong jihadlah
jihad yang aduhai aja nggak berani
gimana mau bicara jihad kayak di Palestina
ya tapi akhirnya ada juga yang berani walimah..tapi ya gitu deh
ngaji pulang ngaji pulang habis walimah ngilang
Realita mulai samakan Tuhan dengan uang
Kalau tidak dia bakal hengkang
Ngambek kayak Gamal Abdul Naseer sama Hasan Al Banna ketika membangkang
Bacot shiffin merajela lalu angkat bendera perang
democrazy kegilaan merasio dilema habiburahman el shirazy
sejak VJ Rianti mendominasi sinema ayat ayat cinta
berharap sajadah cinta mesra bertasbih
dengan lusinan konsumerisme ibu kota
yang tak kunjung beri harapan pada lusinan pemerkosaan akhwat di abu graib
terlalu gaib untuk mampu terjemahkan aib
begitulah democrazy mendominasi hegemoni dengan budaya salib
menyalib rongsokan retorika yang makin kehilangan bait jadi diri
dari lawakan penghisap rokok kapitalis yang coba bicara revolusi
pelacur marx dan nietzhie dari prostitusi stadium zionis tingkat tinggi
level murtad yang makin kehilangan trombosit aqidah islami
logika kronis retorika statis apatis
seidiot syahadat kita di turnamen sepakbola piala asia yang sarat doktrin kapitalis

PEMILU DALAM ISLAM : HAKIKAT DAN HUKUMNYA

Oleh : M. Shiddiq Al-Jawi

Adakah Pemilu dalam Islam?

Mungkin pertanyaan kita yang mendasar adalah, apakah Pemilu (intikhabat) itu ada alam Islam? Jika Islam mengakui keberadaannya, apa dasar argumentasinya? Bagaimana kaitannya dengan cara pemilihan khalifah pada masa Khulafaur Rasyidin? Lalu, apakah Pemilu dalam Islam ini sama dengan Pemilu dalam sistem demokrasi? Mari kita mengkaji satu persatu jawabannya.

Benar, Pemilu memang ada dan dibolehkan dalam Islam. Sebab, kekuasaan itu ada di tangan umat (as-sulthan li al-ummah). Ini merupakan salah satu prinsip dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Prinsip ini terlaksana melalui metode baiat dari pihak umat kepada seseorang untuk menjadi khalifah (Zallum, 2002: 41; Al-Khalidi, 1980: 95). Prinsip ini berarti, seseorang tidak akan menjadi penguasa (khalifah), kecuali atas dasar pilihan dan kerelaan umat. Nah, di sinilah pemilu dapat menjadi salah satu cara (uslûb) bagi umat untuk memilih siapa yang mereka kehendaki untuk menjadi khalifah.

Namun, perlu dipahami, bahwa Pemilu hanyalah cara (uslûb), bukan metode (tharîqah). Cara mempunyai sifat tidak permanen dan bisa berubah-ubah, sedangkan metode bersifat tetap dan tidak berubah-ubah (An-Nabhani, 1973: 92). Lebih detilnya, cara merupakan perbuatan cabang (al-fi‘l al-far‘î) yang tidak mempunyai hukum khusus, yang digunakan untuk menerapkan hukum umum bagi perbuatan pokok (al-fi‘l al-‘ashlî). Cara Amil Zakat mengambil zakat dari muzakki, misalnya apakah dengan jalan kaki atau naik kendaraan; apakah harta zakat dicatat dengan buku atau komputer; apakah harta itu dikumpulkan di satu tempat atau tidak. Semua itu merupakan perbuatan cabang yang tidak memiliki hukum khusus, karena tidak ada dalil khusus yang mengaturnya secara spesifik. Perbuatan cabang itu sudah tercakup oleh dalil umum untuk perbuatan pokok (yaitu mengambil zakat), misalnya dalil QS At-Taubah [9]: 103. Maka dari itu, semua aktivitas tersebut termasuk cara (uslûb) yang hukumnya adalah mubah dan bisa saja berubah-ubah. Yang tidak boleh berubah adalah aktivitas mengambil zakat, sebab ia adalah metode yang sifatnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan atau diubah. Termasuk juga metode adalah perbuatan cabang -dari perbuatan pokok- yang memiliki dalil khusus. Misalnya, kepada siapa zakat dibagikan, barang apa saja yang dizakati, dan berapa kadar zakat yang dikeluarkan. Semuanya berlaku secara permanen dan tidak boleh diubah, karena sudah dijelaskan secara rinci sesuai dengan dalil-dalil khusus yang ada (An-Nabhani,1953: 116; Zallum, 2002: 205-206; Al-Mahmud, 1995: 106-107).

Demikian pula dalam masalah pemilihan dan pengangkatan khalifah dalam syariat Islam. Ada metode (tharîqah) yang tetap dan hukumnya wajib; ada pula cara (uslûb) yang bisa berubah dan hukumnya mubah. Dalam hal ini, hanya ada satu metode untuk mengangkat seseorang menjadi khalifah, yaitu baiat yang hukumnya adalah wajib (Abdullah, 1996: 130-131). Dalil wajibnya baiat adalah sabda Rasulullah saw.:

Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, maka dia mati seperti mati Jahiliah. (Hadis sahih. Lihat: Shahîh Muslim, II/240; Majma‘ Az-Zawâ’id, V/223-224; Nayl al-Awthâr,VII/183; Fath al-Bâri, XVI/240).

Rasulullah saw. mencela dengan keras orang yang tidak punya baiat, dengan sebutan "mati Jahiliah". Artinya, ini merupakan indikasi (qarînah), bahwa baiat itu adalah wajib hukumnya (Abdullah, 1996: 131).

Adapun tatacara pelaksanaan baiat (kayfiyah ada’ al-bai’ah), sebelum dilakukannya akad baiat, merupakan uslûb yang bisa berbeda-beda dan berubah-ubah (An-Nabhani, 1973: 92). Dari sinilah, Pemilu (intikhabat) boleh dilakukan untuk memilih khalifah. Sebab, Pemilu adalah salah satu cara di antara sekian cara yang ada untuk melaksanakan baiat, yaitu memilih khalifah yang akan dibaiat.

Mengapa cara pemilihan khalifah boleh berbeda dan berubah, termasuk dibolehkan juga mengambil cara Pemilu? Sebab, ada Ijma Sahabat (kesepakatan sahabat Nabi) mengenai tidak wajibnya ('adamul wujub) untuk berpegang dengan satu cara tertentu untuk mengangkat khalifah (nashbul khalifah), sebagaimana yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin. Cara yang ditempuh (sebelum baiat) berbeda-beda untuk masing-masing khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, ridhwânullâh ‘alayhim. Namun, pada semua khalifah yang empat itu selalu ada satu metode (tharîqah) yang tetap, dan tidak berubah-ubah, yaitu baiat. Baiat inilah yang menjadi satu-satunya metode untuk mengangkat khalifah (nashbul khalifah), tak ada metode lainnya. (Zallum, 2002: 82).

Pemilihan Khulafaur Rasyidin

Baiat menurut pengertian syariat adalah hak umat untuk melangsungkan akad Khilafah (haq al-ummah fî imdhâ’ ‘aqd al-khilâfah) (Al-Khalidi, 1980: 114; 2002: 26). Baiat ada dua macam: Pertama, baiat in‘iqâd, yaitu baiat akad Khilafah. Baiat ini merupakan penyerahan kekuasaan oleh orang yang membaiat kepada seseorang sehingga kemudian ia menjadi khalifah. Kedua, baiat ath-thâ‘at (atau bay’ah ‘ammah), yaitu baiat dari kaum Muslim yang lainnya kepada khalifah, yang cukup ditampakkan dengan perilaku umat menaati khalifah (Al-Khalidi, 2002: 117-124).

Baiat tersebut merupakan metode yang tetap untuk mengangkat khalifah. Maka dari itu, pada Khulafaur Rasyidin, akan selalu kita jumpai adanya baiat dari umat kepada para khalifahnya masing-masing. Adapun cara-cara praktis pengangkatan khalifah (ijrâ’at at-tanshîb), atau cara (uslûb) yang ditempuh sebelum baiat telah dilangsungkan dengan cara yang berbeda-beda. Dari cara-cara yang pernah dilakukan pada masa Khulafaur Rasyidin, dapat diambil cara-cara pengangkatan khalifah sebagai berikut (Zallum, 2002: 72-85):

Pertama, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakukan 5 (lima) langkah berikut: (1) diselengarakan pertemuan (ijtimâ‘) oleh mayoritas Ahlul Halli wal Aqdi; (2) Ahlul Halli wal Aqdi melakukan pencalonan (tarsyîh) bagi satu atau beberapa orang tertentu yang layak untuk menjabat khalifah; (3) dilakukan pemilihan (ikhtiyâr) terhadap salah satu dari calon tersebut; (4) dilakukan baiat in‘iqâd bagi calon yang terpilih; (5) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umumnya umat kepada khalifah.

Kedua, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Umar bin al-Khaththab, yaitu ketika seorang khalifah merasa wafatnya sudah dekat, dia melakukan 2 (dua) langkah berikut, baik atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat: (1) khalifah itu meminta pertimbangan (istisyârah) kepada Ahlul Halli wal Aqdi mengenai siapa yang akan menjadi khalifah setelah dia meninggal; (2) khalifah itu melakukan istikhlâf/‘ahd (penunjukkan pengganti) kepada seseorang yang akan menjadi khalifah setelah khalifah itu meninggal. Setelah itu dilakukan dua langkah lagi: (3) calon khalifah yang telah ditunjuk dibaiat dengan baiat in‘iqâd untuk menjadi khalifah; (4) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umat kepada khalifah.

Ketiga, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan, yaitu ketika seorang khalifah dalam keadaan sakratulmaut, atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat, dia melakukan langkah berikut: (1) khalifah melakukan penunjukkan pengganti (al-‘ahd, al-istikhlâf) bagi beberapa orang yang layak menjadi khalifah, dan memerintahkan mereka agar memilih salah seorang mereka untuk menjadi khalifah setelah dia meninggal, dalam jangka waktu tertentu, maksimal tiga hari. Setelah khalifah meninggal dilakukan langkah: (2) beberapa orang calon khalifah itu melakukan pemilihan (ikhtiyâr) terhadap salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah; (3) mengumumkan nama calon terpilih kepada umat; (4) umat melakukan baiat in‘iqâd kepada calon terpilih itu untuk menjadi khalifah; (5) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umat secara umum kepada khalifah.

Keempat, cara seperti yang terjadi pada pengangkatan Khalifah Ali bin Abi Thalib, yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakukan langkah sebagai berikut: (1) Ahlul Halli wal Aqdi mendatangi seseorang yang layak menjadi khalifah; (2) Ahlul Halli wal Aqdi meminta orang tersebut untuk menjadi khalifah, dan orang itu menyatakan kesediaannya setelah merasakan kerelaan mayoritas umat; (3) umat melakukan baiat in‘iqâd kepada calon itu untuk menjadi khalifah; (4) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umat secara umum kepada khalifah.

Itulah empat cara pengangkatan khalifah yang diambil dari praktik pada masa Khulafaur Rasyidin. Berdasarkan cara pengangkatan Khulafaur Rasyidin di atas, khususnya pengangkatan Utsman bin Affan, Imam Taqiyuddin An-Nabhani (1963: 137-140) dan Imam Abdul Qadim Zallum (2002: 84-85) lalu mengusulkan satu cara dalam pengangkatan khalifah. Diasumsikan telah ada majelis umat yang merupakan majelis wakil umat dalam melakukan musyawarah dan muhâsabah (pengawasan) kepada penguasa. Cara pengangkatan khalifah ini terdiri dari 4 (empat) langkah:

(1) Para anggota majelis umat yang Muslim melakukan seleksi terhadap para calon khalifah, mengumumkan nama-nama mereka, dan meminta umat Islam untuk memilih salah satu dari mereka. Di sinilah Pemilu bisa dilaksanakan sebagai cara pelaksanaannya.

(2) Majelis umat mengumumkan hasil pemilihan umum (al-intikhâb) dan umat Islam mengetahui siapa yang meraih suara yang terbanyak.

(3) Umat Islam segera membaiat (baiat in‘iqâd) orang yang meraih suara terbanyak sebagai khalifah.

(4) Setelah selesai baiat, diumumkan ke segenap penjuru orang yang menjadi khalifah hingga berita pengangkatannya sampai ke seluruh umat, dengan menyebut nama dan sifat-sifatnya yang membuatnya layak menjadi khalifah.

Pemilihan Anggota Majelis Umat

Di samping Pemilu untuk memilih khalifah, dalam sistem politik Islam juga ada Pemilu untuk memilih para anggota majelis umat. Jadi, proses untuk menjadi anggota lembaga tersebut adalah melalui pemilihan (al-intikhâbat) oleh umat, bukan melalui pengangkatan/penentuan (at-ta’yin) oleh khalifah. Mengapa melalui pemilihan? Sebab, di sini berlaku akad wakalah (perwakilan). Anggota majelis umat adalah wakil-wakil rakyat dalam penyampaian pendapat (ar-ra‘yu) dan pengawasan kepada penguasa (An-Nabhani, 1990: 90-96). Sedangkan wakil itu tiada lain dipilih oleh yang mewakilinya. Karena itu, anggota majelis umat haruslah dipilih oleh umat, bukan diangkat atau ditentukan oleh khalifah (Zallum, 2002: 221).

Mengingat Pemilu untuk memilih anggota majelis umat adalah akad wakalah, maka implikasinya berbeda dengan akad Khilafah. Dalam akad wakalah, pihak muwakkil (yang mewakilkan) berhak memberhentikan wakilnya (‘azl al-wakil), sebagaimana pihak wakil boleh pula memberhentikan dirinya sendiri. Sebab, akad wakalah adalah akad yang tidak mengikat (al-‘aqd al-ja’izah) (Lihat: Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘alâ al-Mazhâhib al-Arba‘ah, III/148). Maka dari itu, umat memiliki hak untuk memberhentikan para wakilnya di majelis umah. Ini berbeda dengan akad Khilafah, sebab dalam akad Khilafah umat tidak berhak memberhentikan Khalifah (‘azl al-khalîfah). Jadi, meskipun umat yang mengangkat dan membaiat khalifah, tetapi umat tidak berhak memberhentikan khalifah, selama akad baiat telah dilakukan sempurna sesuai dengan syariat. Jika khalifah melanggar syariat Islam, yang berhak memberhentikannya adalah mahkamah mazhalim, yaitu lembaga peradilan (al-qadhâ’) yang bertugas menyelesaikan persengketaan antara umat dan penguasa/negara (Zallum, 2002: 114-115).

Samakah Pemilu dalam sistem Khilafah dengan Pemilu dalam sistem Demokrasi?

Ketika Islam membolehkan Pemilu untuk memilih khalifah atau anggota majelis umat, bukan berarti Pemilu dalam Islam identik dengan Pemilu dalam sistem demokrasi sekarang. Dari segi cara/teknis (uslûb), memang boleh dikatakan sama antara Pemilu dalam sistem demokrasi dan Pemilu dalam sistem Islam (An-Nabhani, At-Tafkîr, 1973: 91-92; Urofsky, Demokrasi, 2003: 2).

Namun demikian, dari segi falsafah dasar, prinsip, dan tujuan keduanya sangatlah berbeda; bagaikan bumi dan langit. Pertama, Pemilu dalam demokrasi didasarkan pada falsafah dasar demokrasi itu sendiri, yaitu pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-dîn ‘an al-hayâh, secularism) (Al-Khalidi, 1980: 44-45), sedangkan Pemilu dalam Islam didasarkan pada akidah Islam, yang tidak pernah mengenal pemisahan agama dari kehidupan (Yahya Ismail, 1995: 23).

Kedua, Pemilu dalam sistem demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan rakyat (as-siyâdah li asy-sya‘b), sehingga rakyat, di samping mempunyai hak memilih penguasa, juga berhak membuat hukum. Sebaliknya, Pemilu dalam Islam didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan syariat (as-siyâdah li asy-syar‘î), bukan di tangan rakyat. Jadi, meskipun rakyat berhak memilih pemimpinnya, kehendak rakyat wajib tunduk pada hukum al-Quran dan as-Sunnah. Rakyat tidak boleh membuat hukum sendiri sebagaimana yang berlaku dalam demokrasi (An-Nahwi, 1985: 37-38; Ash-Shawi, 1996: 69-70; Rais, 2001: 311).

Ketiga, tujuan Pemilu dalam sistem demokrasi adalah memilih penguasa yang akan menjalankan peraturan yang dikehendaki dan dibuat oleh rakyat. Sebaliknya, Pemilu dalam Islam bertujuan untuk memilih penguasa yang akan menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, bukan menjalankan hukum kufur buatan manusia seperti dalam demokrasi (Zallum, 1990: 1, 1994: 139-140; Belhaj, 1411 : 5).

Jelaslah, pemilu dalam sistem Khilafah, walaupun ada kemiripan, tetap tidak sama dengan pemilu dalam sistem demokrasi saat ini. Ibaratnya adalah seperti babi dan sapi. Keduanya memang ada kemiripannya, misalnya sama-sama berkaki empat. Tapi yang pertama haram sedang yang kedua halal. Perbedaan-perbedaan pemilu dalam sistem demokrasi dan khilafah itulah yang wajib kita cermati, agar kita tidak terjerumus dalam dosa karena ikut-ikutan terlibat dalam praktik sistem demokrasi yang kufur. Wallahu a'lam. [ ]

Sumber : Majalah Al-Waie, tahun 2004. dan http://hati.unit.itb.ac.id/?p=77.