Minggu, 02 Februari 2014

KONSEP KETAATAN PADA PEMIMPIN DALAM ISLAM


Banyak orang yang mentaati para pemimpinnya (dari mulai pemimpin kelompok, partai, hingga kepala negara) secara membabi buta. Ada pula yang tidak peduli atau tidak mau terikat dengan ketaatan kepada para pemimpinnya, termasuk terhadap kepala negara (Khalifah). Bagaimana sebenarnya konsep ketaatan kepada pemimpin di dalam Islam?

Taat berarti tunduk (khudlu’) dan patuh (al-inqiyâd). Al-Quran menyebut tentang kewajiban taat pada ayat:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. (TQS. an-Nisa [4]: 59)

Maksudnya, wahai kaum Muslim, kalian harus mentati Allah, Rasul-Nya dan ulil amri (pemimpin) kalian yang menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya (yakni menjalankan sistem hukum Islam). Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya menempati posisi tertinggi jika dibuatkan skala prioritasnya. Jika ulil amri menyimpang dari perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, maka ketaatan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya wajib didahulukan.

Banyak pula hadits-hadits Rasulullah saw yang mengharuskan kaum Muslim mentaati amir (pemimpin)nya, bahkan menyamakan ketaatan kepada amir sama dengan ketaatan kepada Rasulullah dan ketaatan kepada Allah Swt. Diantaranya adalah sabda Rasulullah saw:
من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصى الله، ومن أطاع الأمير فقد أطاعني ومن عصى الأمير فقد عصاني
Siapa saja yang taat kepadaku, maka berarti dia telah taat kepada Allah. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku berarti dia telah mendurhakai Allah. Siapa saja yang taat kepada amir, maka berarti dia telah mentaatiku. Dan siapa saja yang durhaka kepada amir, maka berarti dia durhaka kepadaku. (HR. Bukhari dan Muslim)

Keberadaan amir (pemimpin) adalah untuk ditaati. Seorang imam (pemimpin) shalat adalah untuk diikuti oleh makmumnya. Seorang amir as-safar harus ditaati oleh anggota rombongan (kafilah)nya. Seorang amir jamaah atau amir al-hizb (pemimpin partai) juga harus ditaati oleh anggota-anggota jamaah maupun partainya. Seorang amir al-jaisy harus diikuti oleh anggota pasukan. Begitu seterusnya, hingga seorang amir al-mukminin (Khalifah) wajib ditaati oleh rakyatnya. Ketaatan sudah menjadi tradisi kaum Muslim sejak berabad-abad lampau. Ketaatan termasuk perkara esensial untuk bisa mewujudkan ketertiban, kedisiplinan, dan ketentraman. Jika ketaatan itu dihubungkan dengan aktivitas shalat, haji, safar, ekspedisi militer, jamaah (partai) hingga negara/masyarakat, maka hal itu berarti akan mampu menjamin ketertiban, kedisiplinan dan ketentraman di dalam shalat, pelaksanaan ibadah haji, safar, ekspedisi militer, partai dan negara Khilafah.

Khusus ketaatan terhadap seorang Khalifah (kepala negara) syariat Islam memiliki hukum-hukum khusus yang berfungsi untuk menjaga stabilitas politik, kedisiplinan warga masyarakat, wibawa pemerintah dan eksistensi hukum-hukum Islam dalam Daulah Islamiyah. Banyak hadits Nabi saw yang memerintahkan kita –kaum Muslim- untuk tetap mentaati Khalifah, meskipun dia bertindak zhalim, meskipun dia adalah seseorang berkulit hitam yang bentuk kepalanya seperti kismis, bahkan meskipun dia telah mengambil harta sebagian kaum Muslim. Diantaranya adalah sabda Rasulullah saw:
من رأى من أميره شيئا فكرهه فليصبر عليه، فإن من فارق الجماعة شبرا فمات ميتة جاهلية
Siapa saja yang menyaksikan dari amir (pemimpin)nya sesuatu, kemudian dia membencinya, maka hendaklah dia bersabar atas (perkara tersebut). Sebab, siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah (dengan tidak mentaati pemimpinya) sejengkal saja, lalu dia mati, maka matinya adalah mati (dalam keadaan) jahiliah. (HR. Bukhari)

Lebih dari itu Rasulullah saw menekankan kesatuan jamaah kaum Muslim (maksudnya adalah kesatuan negara Khilafah) dan menindak tegas siapa pun yang melakukan upaya separatisme (pemisahan kekuasaan) dan perebutan kekuasaan secara tidak syar’i, dalam sabdanya:
ومن بايع إماما فأعطاه صفقة يده وثمرة قلبه فليطعه ان استطاع، فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنق الآخر
Dan barangsiapa yang membai’at (seorang) imam, memberikan uluran tangan (bai’at)nya dan buah hatinya (untuk mengikuti perintahnya), maka hendaknya dia mentaatinya. Apabila datang orang lain yang hendak mengambil alih kekuasaannya, maka penggallah lehernya.

Bahkan al-Quran menggolongkan pembangkangan atau melepaskan diri dari ketaatan kepada Khalifah disertai perlawanan berupa aktivitas fisik (bersenjata) sebagai bughat. Terhadap para pelaku bughat ini, al-Quran mengambil sikap tegas setelah sebelumnya dilakukan upaya ishlah (perdamaian agar kembali kepada kesatuan negara Khilafah), yaitu:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا
Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin itu berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan belaku adillah. (TQS. al-Hujurat [49]: 9)

Ini menunjukkan betapa pentingnya eksistensi dan kesatuan negara Khilafah, wibawa pemimpin (Khalifah), kedisiplinan dan ketertiban masyarakat. Dan Islam merangkainya dengan sempurna, dengan menyandarkan seluruh persoalan kepada akidah Islam, yaitu ketaatan kepada (perintah) Allah Swt. Artinya ketaatan di dalam Islam bukan didasarkan pada figur atau sosok tertentu, tetapi ketaatan yang bersifat ideologis, yaitu ketaatan terhadap pemimpin yang mentaati Allah dan Rasul-Nya.
Hanya satu kondisi kaum Muslim dibolehkan untuk tidak mentaati amirnya, yaitu jika perintah amirnya itu berupa kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sabda Rasulullah saw:
على المرء المسلم السمع والطاعة فيما أحب وكره إلا أن يؤمر بمعصية، فإن أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة
Setiap orang muslim itu wajib untuk mendengar dan mentaati dalam perkara-perkara yang dia senangi atau pun yang dia benci. tetapi jika dia diperintahkan untuk mengerjakan perbuatan maksiat, maka tidak boleh mendengar dan mentaati (amir tersebut). (HR. Muslim)

Islam tidak membiarkan begitu saja kaum Muslim untuk melepaskan diri dari ketaatan pada amir (pemimpin) yang memerintahkan kemaksiatan dan memerintah bukan berdasarkan sistem hukum Islam, tetapi Islam mendorong kaum Muslim untuk meluruskan amir (pemimpin) yang menyimpang, merubah, bahkan menggantikannya. Karenanya kita akan menjumpai di dalam hukum Islam tuntunan berikutnya, yaitu amar ma’ruf nahi munkar, taghyir al-munkar (merubah kemunkaran), dan muhasabah li al-hukkam (mengkritik penguasa). Ini sangat penting, sebab jika ketidaktaatan itu dibiarkan mengikuti hawa nafsu dan akal pikiran manusia, masyarakat akan kacau, stabilitas negara akan hancur, dan pelaksanaan sistem hukum Islam akan lenyap.

Dengan demikian, ketaatan di dalam Islam memiliki gambaran yang khas dan unik, sangat berbeda dengan konsep-konsep di dalam masyarakat kapitalis maupun sosialis-komunis. Ketaatan hanyalah kepada Allah Rasul-Nya, dan siapa pun yang menyeru dengan seruan Allah dan Rasul-Nya. Seruan setan dan sekutu-sekutunya, seruan yang mengantarkan pada kehinaan, kekufuran, kemaksiatan, dan berujung pada pintu-pintu neraka wajib dijauhi dan dicampakkan. Allah Swt berfirman:
وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
وَلاَ تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا 
Dan janganlah kamu mengikuti (mentaati) orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melampaui batas. (TQS. al-Kahfi [18]: 28)

Maka, siapakah yang lebih lalai dari pada para penguasa –yang mengaku muslim- sementara mereka tidak mau mentaati Allah (dengan cara menjalankan hukum-hukum Allah Swt dan Rasul-Nya)?

2 komentar:

  1. Numpang copas pas mau buat makalah..
    Makasih ya atas ilmunya semoga berkah

    BalasHapus
  2. Memahami Islam tidak cukup hanya lewat teks, tapi juga harus memahami konteks. Keduanya harus dipahami dan tidak bisa ditinggalkan. Kalau anda melulu melihat teks maka anda akan seperti orang yang hidup dalam goa. Kalau anda hanya berpegang pada konteks dan melupakan teks maka anda akan seperti anak panah yang lepas dari busurnya tanpa sasaran arah yang jelas. Sebaik-baik urusan itu memahami teks sesuai konteksnya.
    http://bogotabb.blogspot.co.id/

    BalasHapus