ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

Sabtu, 11 Februari 2017

Tinjauan Sejarah Demokrasi 2

Sekitar abad ke V SM, jauh sebelum kelahiran 'Tuhan orang-orang Kristen' - Yesus dari Nazareth, di Yunani telah muncul kota-kota yang dalam sejarah pemikiran politik barat dikenal sebagai negara-negara kota (City States). Negara-negara kota Yunani klasik berbeda dengan bentuk negara-negara modern dewasa ini, baik dilihat dari segi luas wilayah, struktur sosial, jumlah penduduk maupun lembaga-lembaga politiknya. Luas wilayah kekuasaan negara kota Yunani umumnya tidak lebih dari luas 'negara baru' Timor Timur yang dulu pernah menjadi salah satu propinsi Indonesia. Jumlah penduduknya menurut Herodotus dan Aristophanes, sekitar tiga puluh ribu orang. Karena itu komunikasi politik tidak terlalu sukar dilakukan dalam negara kota tersebut dan sistem Demokrasi Langsung bisa dilaksanakan secara baik di negara-negara kota itu. Sebaliknya dalam konteks negara-negara modern dewasa ini, penerapan Demokrasi Langsung tidak mungkin dilaksanakan. Jumlah penduduk yang relatif besar dan struktur sosial politik yang kompleks di negara-negara modern hanya memungkinkan diterapkannya Demokrasi melalui sistem Perwakilan.
Negara kota Yunani dengan Athena sebagai ibu kotanya memiliki struktur masyarakat berkelas yang terdiri atas kelas warganegara (citizen), imigran atau pedagang asing, dan budak yang diperoleh melalui perdagangan maupun peperangan. Warganegara yang merupakan minoritas diangkat sebagai elite sosial politik dengan hak-hak istimewa (previllage), memiliki waktu luang (leisure time) dan kesempatan luas terlibat dalam kegiatan politik negara kota. Status mereka begitu kukuh karena mereka merupakan bagian penting mekanisme kenegaraan. Sedangkan bagian terbesar (mayoritas) penduduk negara adalah pedagang-pedagang asing yang berasal dari kawasan luar Yunani dan budak-budak belian, mereka ini tidak memiliki hak-hak istimewa seperti halnya kaum warganegara.
Dimasa kepemimpinan Pericles - seorang bangsawan Yunani, Athena berhasil mengalami masa kejayaannya, negarawan ini berhasil membangun sistem pemerintahan Demokratis yang dinamakan 'Athenian Democratia'. Demokrasi dalam perspektif Pericles, seperti ditulis Roy C. Macridis dalam buku karangan Eep Saefullah Fatah berjudul 'Prospek Demokrasi di Indonesia', memiliki beberapa kriteria:
1.  pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat secara penuh dan langsung,
2.  kesamaan di depan hukum,
3.  pluralisme, penghargaan atas semua bakat, minta, keinginan, dan pandangan, serta
4. penghargaan terhadap suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian individual.
Penulis ingin menyimpang sedikit dari topik, khusus untuk menjelaskan tentang Pluralisme. Mengenai 'musang berbulu ayam' ini penulis ingin mengutip tulisan Adian Husaini di kolom opini Hidayatullah.com dengan judul 'Kerancuan Istilah dan Tragedi Umat'. Beliau merupakah salah seorang intelektual muda Islam yang sedang mengambil S3 di Malaysia dan tulisannya ini penting untuk dicermati, beliau menulis: Sesuai dengan judul berita di The Jakarta Post, bahwa 'Muslim Voters Favor Pluralism', maka perlu diklarifikasi, apakah yang dimaksud dengan 'Pluralism' pada kalimat tersebut? Pluralisme adalah sebuah paham, sebuah isme. Paham tentang yang plural. 'Pluralisme' berbeda dengan 'pluralitas', seperti halnya 'Komunisme' berbeda dengan 'komunitas'. Pluralisme bukanlah istilah yang bebas nilai, tetapi merupakan satu istilah yang memiliki akar filsafat dan teologi dalam sejarah peradaban Barat. Istilah ini sarat dengan muatan keagamaan... 
Berbagai artikel di media massa memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan 'Pluralisme', khususnya di bidang teologi. Harian Republika, misalnya, pada 24 Juni 2001 memuat satu artikel yang mendefinisikan 'teologi pluralis', adalah teologi yang melihat agama-agama lain dibanding dengan agama-agama sendiri, dalam rumusan: Other religions are equally valid ways to the same truth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid truths (John B Cobb Jr); Each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar); atau setiap agama sebenarnya meng-ekspresikan adanya The One in the many (Sayyed Hossein Nasr). Intinya, dalam semangat Pluralisme, anda tidak boleh meyakini, hanya agama anda saja yang benar. Semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan, sebagai jalan kebenaran dan keselamatan. Dalam sebuah seminar di Universitas Paramadina, saya katakan, bahwa "Sebagai Muslim, saya tentu meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang benar". Ketika itu, seorang doktor dan dosen di Paramadina menyatakan, bahwa keyakinan seperti itu dia miliki 20 tahun yang lalu. Para penganjur Pluralisme menyatakan, bahwa sudah saatnya kaum Muslim meninggalkan klaim, bahwa Islam adalah satu-satunya kebenaran dan jalan keselamatan. Jadi, istilah Pluralisme sebenarnya memiliki akar filosofis dan teologis yang mendalam, khususnya dalam tradisi Kristen. 
Istilah ini sudah 'mapan' dalam dunia teologi dan dialog antar agama. Benarkah sebagian besar kaum Muslim sudah menerima paham Pluralisme?... Sebenarnya lebih tepat jika digunakan istilah 'pluralitas', yakni sikap menghargai dan toleran terhadap agama lain, tanpa meninggalkan keyakinan teologisnya. Pada level ini pun, Indonesia jauh lebih maju ketimbang Barat. Di negeri yang mayoritas Muslim, kaum minoritas mendapatkan hak sosial, ekonomi, politik yang tinggi. Mereka dapat menjadi menteri dan pejabat-pejabat tinggi negara lainnya - sesuatu yang masih menjadi mimpi bagi Muslim di Barat, meskipun Islam telah menjadi agama kedua terbesar di beberapa negara Barat. Melalui catatan ini kita mengimbau, seyogyanya kaum Muslim, terutama kalangan media Islam, lebih kritis dalam menggunakan dan menyebarkan istilah-istilah yang dapat menimbulkan kesalahan persepsi atau bahkan penggelinciran aqidah.
Penulis merasa perlu menjelaskan tentang pluralisme ini terutama kepada sesama Muslim, agar kita tidak terjebak kedalam jargon-jargon kamuflase yang digunakan oleh kelompok orientalis atau orang-orang yang sudah terpengaruh dengan mereka, yang bertujuan untuk mengikis secara perlahan-lahan aqidah umat Islam. Keyakinan kita akan kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai oleh Tuhan serta merupakan satu-satunya jalan agar selamat hidup di dunia dan di akhirat tentunya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman:
 …Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.. (Qs. al-Maa’idah [5]: 3).
 Sekarang mari kita kembali ke topik Demokrasi klasik. Perlu dicatat bahwa keempat perspektif Pericles tentang Demokrasi di atas merupakan cikal bakal sistem Demokrasi dan dianut secara fundamental oleh tokoh-tokoh Demokrasi berikutnya. Jika anda meyakini Demokrasi sebagai 'nilai-nilai yang dapat memanusiakan manusia' maka mau tidak mau anda harus menerima keempat perspektif tersebut. Dalam pemerintahan negara Athena, Pericles menerapkan prinsip-prinsip Demokrasi yang terlihat dari sistem pemerintahannya yang dikuasai atau diperintah oleh banyak orang dan bukan diperintah oleh segelintir warganegara (Oligarchy atau Tyrani). Pericles menganggap pemerintahan segelintir orang akan mudah menimbulkan penyimpangan kekuasaan (abuse of power) karena tidak adanya kontrol terhadap penguasa negara. Semua warganegara dianggap memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum dan tidak boleh ada diskriminasi dalam proses perumusan kebijakan negara. Karena itu, dalam perdebatan merumuskan kebijakan negara tidak ada pengecualian hak berbicara, apakah seseorang berasal dari kelas bangsawan ataukah rakyat jelata, miskin ataupun kaya. Yang menjadi tolak ukurnya adalah seberapa besar reputasi dan prestasi yang dimilikinya. Inilah prinsip Demokrasi yang dalam konteks dunia modern dinamakan Egalitarianisme Politik.
Pericles juga membangun rasa pengabdian, kebanggaan diri dan rasa memiliki warganegara terhadap negara Athena. Sehingga sebagai warganegara, Athena merupakan pusat tata nilai, kebanggaan dan kehidupan mereka. Negara menjadi pusat KEHIDUPAN, SENI dan AGAMA. Semua ritual-ritual keagamaan dianggap sebagai ritus negara kota. Disini terlihat betapa ia begitu mengagungkan negara dan menjadikannya sebagai berhala. Selain itu segala perbuatan yang memberikan nilai kebesaran dan keagungan bagi negara Athena merupakan suatu bentuk ritus Heroisme politik tertinggi warganegara. Ritus semacam itu pernah ditekankan Pericles dalam pidato pemakaman prajuritnya yang gugur melawan tentara Sparta, "Saya mengharap saudara setiap hari memusatkan perhatian saudara kepada keagungan negara (Athena), sampai saudara diliputi rasa cinta terhadapnya, dan jikalau saudara terpesona karena keagungan itu, saudara akan menginsyafi, bahwa negara ini telah didirikan oleh orang-orang yang tahu akan kewajibannya dan memiliki tekad untuk berbuat demikian, yang tidak pernah mengenal takut dalam pertempuran-pertempuran, dan yang jika mereka gugur dalam suatu usaha tidak akan mengorbankan kehormatan negaranya, tetapi dengan sukarela akan mengorbankan jiwanya sebagai persembahan yang termulia kepada negaranya". Menurut Ernest Renan, seorang filosof Perancis dari abad XIX dalam bukunya yang berjudul 'Apakah Bangsa Itu?', ritus Heroisme Pericles merupakan suatu bentuk 'Nasionalisme Primitif' yang kemudian menjadi cikal bakal Nasionalisme barat saat ini. Bahkan, menurut penulis hal tersebut sudah mewarnai secara akut Nasionalisme negara-negara di dunia, termasuk negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gagasan barat mengenai negara, kekuasaan, keadilan dan Demokrasi secara genealogis historis-intelektual berakar pada tradisi politik negara-negara kota di zaman peradaban Yunani klasik itu. Disinilah makna pentingnya memahami pemikiran tentang negara-negara kota.
Abad pencerahan (abad XVIII) merupakan masa dimana gagasan-gagasan Demokrasi menjadi perhatian khusus banyak pemikir seperti Rousseau, John Locke, Voltaire, Montesquieu, dan lain-lain. Mereka inilah sebagian dari para perintis gagasan-gagasan Demokrasi barat yang dianut dewasa ini. Rousseau dan John Locke merumuskan teori Kontrak Sosial, sedangkan Montesquieu merumuskan teori Trias Politica.
Gagasan dasar teori Kontrak Sosial adalah: Pertama, kedaulatan negara bukanlah sesuatu yang diberikan begitu saja (taken for granted) atau berasal dari Tuhan (not derived from God). Kedaulatan merupakan sebuah produk proses perjanjian sosial antara individu dalam masyarakat, yang tidak ada sangkut pautnya dengan pendelegasian kekuasaan ataupun berasal dari Tuhan kepada seorang penguasa tertentu. Maka pada dasarnya teori Kontrak Sosial merupakan suatu teori politik yang sepenuhnya bersifat Sekuler dan sangat bertentangan dengan manhaj Islam (ketentuan dan kebiasaan dalam Islam). Padahal Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an:
 Allah, tidak ada Tuhan (Yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi (kekuasaan) Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Qs. al-Baqarah [2]: 255).
Dan Dialah Yang Berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Qs. al-An'aam: 18).
 Kedua, bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam yang mengandung prisip-prinsip keadilan yang universal; artinya berlaku sepanjang waktu dan untuk semua manusia, apakah dia raja, bangsawan atau rakyat jelata. Hukum ini dinamakan Hukum Alam (natural law). Ketiga, karena kekuasaan atau kedaulatan negara berasal dari rakyat maka harus ada jaminan hak-hak individu dalam masyarakat. Hak tersebut antara lain hak-hak sipil dan hak-hak politik. Hak-hak sipil adalah hak untuk hidup, hak memperoleh pendidikan, hak untuk memiliki harta benda, hak untuk berusaha, hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan, hak atas kebebasan beragama dan lain-lain. Sedangkan hak-hak politik seperti kebebasan untuk berpartisipasi politik, hak untuk aktif melakukan kritik terhadap pemerintahan dan lain-lain. Keempat, perlunya kontrol kekuasaan agar penguasa negara tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
Dilain pihak teori Trias Politica yang dikembangkan oleh Montesquieu telah memberikan sebuah sumbangan besar bagi perkembangan gagasan Demokrasi. Pada prinsipnya teori ini menghendaki adanya pemisahan kekuasaan negara. Kekuasaan negara tidak boleh tersentralisasi pada seorang penguasa yang berarti kekuasaan tidak boleh bersifat personal atau dikuasai oleh sebuah lembaga politik tertentu saja. Montesquieu kemudian merumuskan tiga tipologi lembaga kekuasaan negara, yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Masing-masing lembaga ini memiliki peran dan fungsinya sendiri-sendiri. Secara teoritis, lembaga legislatif diharapkan dapat melakukan kontrol politik terhadap kekuasaan eksekutif bila menyimpang dari perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh lembaga ini. Montesquieu berpendapat bahwa lembaga atau kekuasaan legislatif adalah lembaga yang tugas utamanya merumuskan undang-undang atau peraturan-peraturan negara. Lembaga legislatif merupakan refleksi kedaulatan rakyat, yang menarik adalah rakyat yang dimaksud Montesquieu disini adalah berupa dewan rakyat dan bukan orang-orang yang mewakili rakyat seperti sekarang ini.
Dewan rakyat dalam pemahaman Montesquieu adalah semacam dewan yang terdapat di zaman Yunani dan Romawi kuno, yang anggotanya merupakan mediator rakyat dan penguasa, menjadi komunikator dan agregator aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Lembaga legislatif atau dewan perwakilan rakyat menjadi cermin kedaulatan rakyat. Dengan demikian lembaga perwakilan rakyat itu memiliki peranan strategis dalam teori kekuasaan Trias Politica. Teori Montesquieu ini dianut oleh sebagian besar negara barat seperti AS, Inggris, Perancis, dan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Para perumus UUD AS sangat dipengaruhi oleh Montesquieu, maka tidak terlalu mengejutkan jika sistem pemerintahan negara itu sangat kental diwarnai oleh gagasan-gagasannya. Montesquieu sendiri dikenal sebagai penganut Sekulerisme sejati, ia bahkan mengkritik dan menyindir Paus sebagai tukang sulap. Di dalam karyanya 'Surat-Surat Persia' (The Persian Letters) ia menyatakan bahwa Paus telah menyulap apa yang sebenarnya salah menjadi benar, seperti menuntut orang-orang untuk percaya pada doktrin Trinitas bahwa Tuhan terdiri dari tiga oknum tetapi tetap satu, dan bahwa roti dan anggur yang diminum dalam acara pembabtisan bukan roti dan anggur melainkan tubuh dan darah Yesus.
Dari penjelasan panjang di atas dapat ditarik sebuah benang merah tentang Demokrasi.
Bahwa di dalam sistem Demokrasi kekuasaan negara sepenuhnya adalah milik rakyat, suara rakyat adalah suara Tuhan, rakyatlah pemegang supremasi kekuasaan tertinggi, dan lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan cermin atau wujud dari kekuasaan rakyat tersebut. DPR memiliki tugas utama menyusun dan menetapkan undang-undang atau peraturan-peraturan negara. Undang-undang dan peraturan-peraturan negara atau ketetapan-ketetapan hukum yang dihasilkan oleh lembaga perwakilan rakyat tersebut kemudian digunakan oleh penguasa politik untuk mengatur semua sendi-sendi kehidupan warganegara dan secara umum semua manusia yang hidup di dalam negara.


Dengan kata lain, sistem Demokrasi menganggap bahwa penetapan hukum menjadi milik rakyat dan bukan milik Allah. Berangkat dari benang merah inilah, untuk selanjutnya pembahasan akan difokuskan pada Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan aktualisasi sistem Demokrasi, untuk mengungkap kesalahan fatal sistem Demokrasi ditinjau dari perspektif Islam yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah.
(diambil dari Tulisan Menggugat Thagut Demokrasi Oleh: Zulfadhli)

Tinjauan Sejarah Demokrasi 1

Demokrasi berasal dari bahasa Latin, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan), ia selalu diasosiasikan sebagai suatu bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi dinilai sebagai sebuah sistem nilai kemanusiaan yang paling menjanjikan masa depan umat manusia yang lebih baik dari saat ini. Ia juga dinilai sesuai dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan 'non material' manusia. Nilai-nilai Demokrasi itu kemudian diyakini akan dapat memanusiakan manusia, sebab nilai-nilainya bertitik tolak dari 'nilai-nilai luhur' kemanusiaan. Anggapan ini terutama muncul karena faktor penderitaan manusia akibat Fasisme, Totaliterianisme, Komunisme, dan paham-paham anti-Demokrasi lainnya pada beberapa dekade yang lalu.
Paham Demokrasi sebenarnya bukanlah sebuah ideologi yang baru, ia merupakan teori tua yang muncul kembali dari peradaban barat modern. Sedangkan peradaban barat modern menurut Arnold Toynbee dalam bukunya 'Civilization on Trial', adalah sebuah peradaban yang lahir dari puing-puing kehancuran peradaban Yunani-Romawi. Menurutnya apa yang disebut 'Dunia Barat' dewasa ini merupakan sempalan dari Imperium Romawi. Oleh karena itu pandangan hidup barat (western way of life) dapat dilihat sebagai kelanjutan pandangan hidup orang-orang Yunani kuno; cita-cita kebebasan, optimisme, sekularisme, pengagungan terhadap jasmani dan akal serta pengkultusan pada individualisme. Tradisi keagamaan mereka juga memantulkan secara transparan tradisi keagamaan Yunani kuno yang memandang agama sepenuhnya bersifat duniawiyah, praktis dan mengabdi pada kepentingan manusia (bukan Tuhan). Melalui karya-karya para sarjana dan filosof Yunani-Romawi, barat mengenal Empririsme dan Rasionalisme. Yunani di satu pihak mengajarkan kepada barat agar menempatkan akal di atas segalanya, bahwa akal sebagai sumber kebenaran. Adalah filosof Yunani seperti Plato dan Aristoteles yang mempengaruhi pemikiran dan filsafat politik barat sejak kelahirannya hingga perkembangannya dewasa ini. Karya Aristoteles, khususnya 'Politics' merupakan sumber inspirasi bagi perumusan teoritis konsep bentuk-bentuk negara, hakikat pemerintahan, hukum-hukum yang mengontrol negara, revolusi sosial, dan lain-lain. Gagasan barat mengenai negara (state), kekuasaan politik, keadilan, dan Demokrasi secara genealogis-intelektual juga bisa dilacak dari tradisi politik negara-negara kota Yunani klasik yang dinamakan 'Polis' atau 'City States'. Tentang hal ini akan kita uraikan lebih lanjut pada bagian selanjutnya.
Dilain pihak, peradaban Romawi telah memberikan sumbangan besar di bidang sistem hukum pada negara-negara Eropa Barat seperti Perancis, Italia, Swiss, Jerman, Belanda dan Amerika Selatan, bahkan secara langsung atau tidak, terhadap negara-negara persemakmuran atau bekas jajahan mereka seperti Indonesia yang dijajah Belanda. Selama lebih dari 350 tahun menjajah Indonesia, Belanda menerapkan teori hukum yang berasal dari Code Civil Napoleon yang merupakan produk modifikasi hukum-hukum Romawi. Dibidang pemikiran politik, Romawi juga memberikan pemahaman kepada barat tentang teori Imperium. Teori Imperium adalah teori tentang kekuasaan dan otoritas negara (state authority) dimana kedaulatan dan kekuasaan dianggap sebagai bentuk pendelegasian kekuatan rakyat kepada penguasa negara. Maka menurut teori ini pada hakikatnya kedaulatan sepenuhnya milik rakyat. Penguasa politik hanyalah lembaga yang dipercayakan untuk memegang (bukan menguasai dan mendominasi) serta mempergunakan kedaulatan demi kebaikan seluruh rakyat. Penguasa bertanggungjawab kepada rakyat dan secara otomatis akan kehilangan legitimasi seandainya praktek kekuasaannya menyalahi kehendak rakyat. Teori Imperium Romawi sangat identik dengan teori Demokrasi, menurut teori ini rakyat memiliki hak-hak politik yang sama dan merupakan esensi tertinggi kedaulatan negara.
Disamping peradaban Yunani-Romawi terdapat dua peradaban lain yang telah mempengaruhi peradaban barat yaitu peradaban Judeo-kristiani (Yahudi-Kristen) dan peradaban Islam. Peradaban Yahudi-Kristen merupakan peradaban kedua yang meletakkan dasar-dasar intelektual dan filosofis yang kokoh bagi pembentukan dan perkembangan peradaban barat. Adalah Hegel, seorang pemikir Yahudi yang menciptakan suatu aliran filsafat Hegelianisme yang kemudian membawa pengaruh yang sangat besar terhadap tradisi intelektual Eropa sejak abad ke XIX hingga dewasa ini. Selain Hegel ada juga Marx, ia sebagaimana Hegel juga telah memberikan kontribusi luar biasa bagi perkembangan pemikiran barat. Tokoh Yahudi yang lahir di Jerman ini telah mengajarkan metodologi ilmiah dalam memahami perkembangan dan dinamika sosial, ekonomi dan sejarah kemanusiaan. Yaitu melalui gagasannya tentang Determinisme Ekonomi, Materialisme Sejarah, Dialektika Materialisme, teori Nilai Lebih (surplus value), dan lain-lain. Ajarannya menjadi inspirasi terbentuknya berbagai aliran pemikiran baru seperti Komunisme, Sosialisme Demokrasi, Feminisme Marxis, Kiri Baru (New Left), Aliran Frankfurt (Frankfurt School) dan Marxisme Barat (Western Marxism). Ketika hidup Marx mungkin tidak pernah membayangkan kalau pemikirannya akan mengubah wajah dunia dan melahirkan berbagai aliran pemikiran lain yang tidak saja mendominasi Eropa, tapi juga dunia, dan kemudian juga membawa penderitaan yang teramat besar bagi peradaban manusia. Sepanjang abad XIX dan XX minoritas Yahudi Eropa telah melahirkan banyak tokoh-tokoh besar di berbagai bidang pengetahuan dan filsafat, seperti Hegel, Marx, Sigmund Freud, Nietzsche Bertrand Russell, Schopenhauer, John Stuart Mill, Charles Darwin, Herbert Spencer, Henry Bergson, Albert Einstein dan lain-lain. Dalam dunia intelektual barat, mereka merupakan pelopor utama  atau pendiri aliran-aliran pemikiran (school of thoughts) seperti Marxisme, Liberalisme, Kapitalisme, Komunisme, Darwinisme, Psikoanalisa dan Evolusionisme Sosial.
Sedangkan sumbangan Kristen terhadap peradaban barat telah dimulai sejak agama ini diakui sebagai agama negara di kekaisaran imperium Romawi. Diantara pemikir-pemikir mereka adalah Thomas Aquinas dengan teori Skolastisisme (Scholasticism) yang inti ajarannya adalah tentang bagaimana mencari kebenaran melalui dua cara yaitu melalui Wahyu (Revelation) dan Akal (Reason). Selain Thomas terdapat tokoh-tokoh seperti Martin Luther, Zwingli, dan Johanes Calvin yang melahirkan gerakan reformasi Protestan sebagai protes terhadap kebijaksanaan Gereja Ortodoks. Doktrin reformasi Protestan ini berdampak luas pada prilaku ekonomi orang-orang kristen di Barat yang didasari pada etika kerja atau etos Kapitalisme. Mereka menjadi pekerja dan pengusaha yang tekun bekerja, mengumpulkan harta dan hidup hemat tanpa merasa apa yang dilakukannya itu sebagai suatu kekeliruan. Dengan kata lain etika Protestan telah dijadikan pijakan dasar bagi perkembangan Kapitalisme Eropa.
Warisan peradaban Islam merupakan pilar ketiga yang memberikan kontribusi bagi kelahiran peradaban barat. Sebelum abad ke XIII, pemikiran dan tradisi keilmuan barat sulit dikatakan modern dan progresif. Sebelum abad itu, Eropa masih diliputi abad-abad kegelapan (dark ages). Tradisi ilmiah masih dianggap musuh agama dan pengkhianatan terhadap ajaran Al-Kitab dan Yesus Kristus. Para ilmuwan tercerahkan kemudian menjadi korban keganasan inkuisisi Gereja. Eropa baru mengalami proses 'pencerahan intelektual' setelah terjadi kontak dan interaksi dengan peradaban Islam, baik melalui perdagangan maupun pengiriman mahasiswa-mahasiswa mereka ke dunia Islam. Dalam konteks ini, Perang Salib (Crusades) selama dua abad merupakan salah satu tonggak penting dalam proses interaksi antara peradaban Islam dengan barat (Kristen). Dengan terjadinya perang tersebut, mulai pula terjadi kontak dagang, pertumbuhan Merkatilisme dan proses pertukaran budaya, meskipun tidak seimbang. Ketidak seimbangan ini terjadi karena pada kenyataannya barat jauh lebih banyak belajar dan mengambil manfaat dari interaksinya dengan dunia Islam, ketimbang sebaliknya. Kasus serupa juga terjadi beberapa abad sebelumnya, yaitu ketika panglima tentara Islam, Tariq Ibn Ziyad, menaklukkan Spanyol dan membangun peradaban Islam di kawasan itu. Selama tujuh abad (VIII-XV), peradaban Islam Spanyol secara  gemilang berhasil mentransmisikan kebesarannya ke penjuru Eropa. Dari pusat peradaban Islam Spanyol itulah Eropa mulai merambah jalan ke arah perncerahan intelektual. Proses yang sama juga terjadi di pusat-pusat peradaban Islam lainnya seperti di Sicilia, Kairo, Baghdad dan Alexandriah. Dengan pengaruh Islam, barat kemudian berhasil secara gemilang menghancurkan tembok-tembok dogmatik yang telah mengungkungnya selama berabad-abad dan merintis jalan bagi usaha pengembangan pemikiran dan tradisi keilmuan. Diantara intelektual Islam yang telah memberikan sumbangan bagi peradaban barat adalah Ibnu Khaldun dengan karya monumentalnya 'Muqaddimah' dan Ibnu Haitham - seorang ahli matematika, astronomi dan ilmu optik. Robert Bacon, salah satu pemikir populer barat - yang memperkenalkan dan merintis metode eksperimental di barat - banyak belajar dari karya-karya Ibnu Haitham ketika menjadi mahasiswa di Universitas Islam Spanyol. Selain itu terdapat juga Ibnu Rusyd, seorang ahli filsafat Rasionalisme meskipun ia juga adalah seorang rasionalis pengikut aliran Mu'tazilah. Tan Malaka dalam bukunya 'Madilog' (Materialisme, Dialektika, Logika) menyatakan bahwa mahasiswa-mahasiswa Kristen yang selesai belajar ilmu pengetahuan dari filosof-filosof Muslim Arab Andalusia (Spanyol) dan kemudian kembali ke Eropa, dianggap sebagai kaum revolusioner oleh pendeta-pendeta Kristen di negerinya, karena kedatangan mereka membawa perubahan-perubahan besar dan radikal di Eropa.

Di abad-abad lampau kontribusi warisan intelektual Islam ini agaknya enggan diakui sebagai faktor penting yang ikut membidani lahirnya peradaban dan perkembangan tradisi pemikiran politik barat. Selama ratusan tahun mereka menyangkal hal ini. Hanya baru-baru ini saja mulai muncul banyak sarjana kritis barat yang secara objektif mengungkapkan bahwa Islam ternyata berperan penting menumbuhkan tradisi keilmuan dan peradaban barat. Diantara mereka adalah Roger Garaudy, Bernard Lewis, Maurice Bucaille, Marcel Boisard, Bertrand Russell, Louis Massignon, dan lain-lain. 
lanjut baca ke Tinjauan Sejarah Demokrasi 2
(diambil dari tulisan Menggugat Thagut Demokrasi Oleh: Zulfadhli)

Jumat, 10 Februari 2017

Paradoks Demokrasi

(Paradoks adalah suatu situasi yang timbul dari sejumlah premis (apa yang dianggap benar sebagai landasan kesimpulan kemudian; dasar pemikiran; alasan; (2) asumsi; (3) kalimat atau proposisi yg dijadikan dasar penarikan kesimpulan di dl logika), yang diakui kebenarannya yang bertolak dari suatu pernyataan dan akan tiba pada suatu konflik atau kontradiksi.)

Disamping menawarkan banyak kemudahan dan nilai-nilai positif terhadap umat manusia, seperti nilai keterbukaan dan pertanggungjawaban (accountibility) dalam sistem pemerintahan, sistem Demokrasi Liberal Barat pun tidak kurang mendapatkan kritik tajam, sepanjang sejarah peradaban Barat sendiri. Demokrasi Liberal bukan hanya memiliki nilai positif. Tetapi, demokrasi juga menyimpan kelemahan-kelemahan internal yang fundamental. Dalam sistem inilah, ilmu pengetahuan tidak dihargai. Orang pintar disamakan haknya dengan orang bodoh. Seorang profesor ilmu politik memiliki hak suara yang sama dengan orang pedalaman yang tidak mengerti baca-tulis dan informasi politik. Seorang yang taat beragama disamakan hak suaranya dengan seorang perampok, koruptor, pembunuh, atau pemerkosa.

Kelemahan dan bahaya internal demokrasi itu pernah diingatkan Plato, filosof Yunani Kuno. Plato (429-347 BC) menyebut empat kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin biasanya dipilih dan diikuti karena faktor-faktor non-esensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latarbelakang keluarga. Plato memimpikan munculnya “the wisest people” sebagai pemimpin ideal di suatu negara, “The wisest people is the best people in the state, who would approach human problems with reason and wisdom derived from knowledge of the world of unchanging and perfect ideas.” Aristoteles (384- 322 BC), murid Plato, juga menyebut demokrasi sebagai bentuk pemerintahan buruk, seperti tirani dan oligarkhi. Tiga bentuk pemerintahan yang baik, menurutnya, adalah monarkhi, aristokrasi, dan polity. Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi and hampir semua filosof politik menolaknya. Sejak abad ke-18, beberapa aspek dari demokrasi politik mulai diterapkan di Barat. Beberapa ide ini datang dari John Locke, yang banyak memberi sumbangan pemikiran politik terhadap Inggris dan AS. Penyair terkenal Muhammad Iqbal juga banyak memberikan kritik terhadap konsep pemerintahan yang menyerahkan keputusannya kepada massa yang berpikiran rendah. Kata Iqbal, bagaimana pun, para semut tidak akan mampu melampui kepintaran seorang Sulaiman. Ia mengajak meninggalkan metode demokrasi, sebab pemikiran manusia tidak akan keluar dari 200 ‘keledai’. Ini ditulisnya dalam syairnya, Payam-e-Masyriq: “Do you seek the wealth of meaning from low natured men? From ants cannot proceed the brilliance of a Solomon. Flee from the methods of democracy because human thinking can not issue out of the brains of two hundred asses.”

Jadi, meskipun sudah diterima sebagai system pemerintahan di sebagian besar Negara di dunia, demokrasi memang masih terus menyisakan kontroversialnya. Hanya, saja, ada yang berpendapat, bahwa sistem ini memungkinkan untuk mengoreksi dirinya sendiri. Franz Magnis-Suseno, dalam makalahnya yang berjudul “Demokrasi sebagai Proses Pembebasan: Tinjauan Filosofis dan Historis” – yang disampaikan dalam Seminar 23 November 1991, menulis: “Demokrasi jauh dari sempurna. Tetapi ia adalah bentuk kenegaraan di mana ketidaksempurnaan dapat disuarakan dengan paling bebas, dimana siapa saja yang ingin menyempurnakannya dapat saja membawa gagasannya ke depan masyarakat.”

Menurut Franz Magnis-Suseno, baru dalam abad ini (abad ke-20. Pen.) agamaagama membuka diri terhadap cita-cita Pencerahan dan Revolusi Perancis. “Gereja Katolik misalnya baru dalam Konsili Vatikan II, 30 tahun lalu, menyatakan dengan tegas bahwa demokrasi, hak-hak asasi manusia, kebebasan beragama dan toleransi wajib dibela, justru karena didorong oleh Injil. Barangkali dapat dirumuskan begini: Akhirnya disadari juga oleh agama-agama bahwa hormat terhadap Tuhan Pencipta menuntut tekad untuk memperlakukan segenap orang ciptaan Tuhan itu sesuai dengan martabatnya sebagai manusia,” tulis Franz Magnis-Suseno.

Tapi, benarkah demokrasi adalah pemerintahan yang dipilih mayoritas rakyat? Jika gabungan kata ‘demos’ dan ‘kratos’ diartikan sebagai ‘pemerintahan oleh rakyat’ (government by the people), maka biasanya pemerintahan yang demokratis diindikasikan dengan dukungan mayoritas rakyat terhadap. Namun, itulah yang justru terjadi pada kasus pemilihan presiden AS tahun 2000. Pada 5 Desember 2000, Mahkamah Agung AS (US Supreme Court), memenangkan George W. Bush atas calon Demokrat, Al-Gore. Kasus ini telah memunculkan perdebatan sengit di AS. Vincent Bugliosi, misalnya, menulis sebuah buku berjudul The Betrayal of America: How The Supreme Court Undermined The Constitution and Chose Our President. Bugliosi mengungkap sebuah realitas ironis tentang demokrasi: ‘Pengkhianatan Amerika’. Bagaimana sebuah pemilihan kepala negara terkuat dan negara demokrasi terbesar di dunia, akhirnya justru diserahkan keputusannya kepada lima orang hakim satu lembaga tinggi negara. Padahal, popular vote, suara rakyat, lebih banyak berpihak kepada Gore. Dengan jumlah pemilih kurang dari 60 persen dari rakyat AS, maka faktanya, Presiden AS juga hanya didukung oleh minoritas rakyatnya. Pemenangan Bush oleh Mahkamah Agung AS itu digambarkan Bugliosi sebagai “like the day of Kennedy assasination”.

Setelah memangku jabatan Presiden AS, kontroversi demi kontroversi terus merebak ke seluruh penjuru dunia. Pada tataran global, Demokrasi pun lebih digunakan sebagai slogan dan alat kepentingan politik. Tidak ada istilah “demokrasi” ketika Bush memerintahkan tentaranya menduduki Irak, Maret 2003. Puluhan tahun, AS menjadikan Irak sebagai sekutunya. Tapi, ketika kepentingannya tidak terakomodir, maka digunakankah isu ”demokrasi” untuk menumbangkan Saddam Hussein.

Di dunia Islam, berbagai kasus semacam ini terlihat begitu mencolok, seperti dalam kasus Pakistan dan Taliban. Jika di masa Perang Dingin dan sampai tahun 1996, Pakistan adalah pendukung kuat Taliban, maka situasi itu berubah total setelah AS menetapkan Taliban sebagai musuhnya. Mengapa Taliban yang dulunya sahabat dan mendapat dukungan AS – juga Pakistan, Arab Saudi – kemudian dihabisi? Tidak terlalu sulit untuk membaca adanya misi kepentingan AS di Afghan. Sebuah pepatah Arab menyatakan: “Mukhthi’un man zhanna yawman anna li-asysya’labi diinaa.” (Adalah keliru, orang yang menyatakan, bahwa serigala itu punya agama).

Apakah “darah serigala” itu yang kemudian mengalir di tubuh peradaban Romawi dan pewarisnya? Sejarah perjalanan peradaban Barat sendiri jauh dari nilai-nilai demokrasi dan pluralisme. Sejarah menunjukkan, bagaimana sebuah peradaban yang bernama “Barat” melakukan berbagai tindakan yang sulit dibayangkan oleh akal sehat. Ketika mereka mulai bangkit, mereka melakukan berbagai penindasan dan pemusnahan terhadap berbagai kelompok dan suku umat manusia: suku Indian, suku Inca, Aborigin, dan sebagainya. Mereka juga mengangkut dan memperjualbelikan budak-budak dari Afrika. Dalam lintasan sejarah Afrika, tidak ada yang lebih kontroversial selain kasus perdagangan budak trans-atlantik dari Afrika ke Barat. J.D. Fage, dalam bukunya, A History of Africa (1988), menyebutkan, bahwa dalam tempo 220 tahun (1650-1870), sekitar 10 juta manusia, dieksport sebagai budak dari Afrika ke ‘Dunia Baru’.

Bartolome de Las Casas (1474-1567), seorang pastor Dominican, menceritakan perilaku tentara Kristen Spanyol terhadap penduduk asli Amerika. Mereka membantai siapa saja yang ditemui, tanpa peduli wanita, anak-anak atau orang tua. Dan juga dibuat aturan, jika ada seorang Kristen terbunuh, maka sebagai balasannya, 100 orang Indian juga harus dibunuh. (The Christians, with their horses and swords and lances, began to slaughter and practice strange cruelties among them. They penetrated into the country and spared neither children nor the aged, nor pregnant women, nor those in childbirth, all of whom they ran through the body and lacerated, as though they were assaulting so many lambs herded into the sheepfold… and because sometimes, though rarely, the Indians killed a few Christians for just cause, they made a law among themselves that for one Christian whom the Indians might kill, the Christians should kill a hundred Indians).

Demokrasi tidak selalu identik dengan kemanusiaan dan kebenaran. Serangan Israel atas Gaza yang dimulai pada penghujung tahun 2008, telah menewaskan ribuan penduduk Palestina. Sebagian besarnya adalah wanita dan anak-anak. Atas nama demokrasi, serangan itu mendapat dukungan mayoritas rakyat Palestina. Sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, AS pun tidak mempedulikan semua kecaman terhadap Israel dan menolak memberikan sanksi apa pun terhadap Israel.

di anbil dari Demokrasi, Sejarah, Makna, Dan Respon Muslim - Adian Husaini

Sabtu, 31 Desember 2016

SUMBANGAN ISLAM TERHADAP PERKEMBANGAN RENAISSANCE DI EROPA

A. Pendahuluan
Kemegahan peradaban Islam, antara pertengahan abad 8 hingga permulaan abad 12 Masehi, telah mencapai puncak kejayaannya. Pada masa itu ilmu pengetahuan dan kebudayaan berkembang sangat pesat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan perdaban ini dipelopori oleh kedua Daulah Islam; Daulah Islam di Timur (Abbasyiyah) yang berpusat di Baghdat maupun Daulah Islam di Barat (Umayyah) yang berpusat di Cordoba. Philip K. Hitti melukiskan keduanya sebagai “Mutiara Dunia”. Pada masa itu peradaban Islam sangat unggul dan berpengaruh terhadap peradaban-peradaban negara lain. Sehingga tidak mengherankan kemajuan yang dicapai umat Islam kala itu menjadi barometer dan ukuran kemoderenan bagi bangsa-bangsa terutama di Eropa.
Untuk tidak bermaksud bernostalgia, bahwa pada zaman keemasan (golden age) dan kemegahannya, umat Islam pernah berperan sebagai bangsa kreator, invetor dan inovator besar yang handal, dimana jasa dan keunggulannya dipakai sebagai dasar-dasar kemajuan yang terjadi di Barat. Kenyataan sejarah yang tidak dapat dibantah bahwa Barat berutang budi pada perdaban Islam. Kemajuan Barat yang spektakuler saat sekarang ini tidak terlepas dari tranformasi peradaban Islam oleh Barat pasca-abad pertengahan.
Dalam makalah ini penulis mencoba menjelaskan berapa besar peranan yang dimainkan umat Islam dalam menghantarkan kebudayaan Islam kedunia Eropa yang menjadikan mereka ketingkat peradaban yang maju.

B. Keunggulan Sarjana Islam
Semangat agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, terekspresi pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah, khususnya pada waktu khalifah al-Ma’mun (berkuasa sejak 813-833 M). Penerjemahan buku-buku non-Arab ke dalam bahasaArab terjadi secara besar-besaran dari awal abad kedua hingga akhir abad keempat hijriyah.[1] Perpustakaan besar Bait al-hikmah didirikan oleh khalifah al-Ma’mun di Baghdad yang kemudian menjadi pusat penerjemahan dan intelektual.[2] Sebuah perpustakaan yang sangat bagus sekali yang tidak didapatkan contohnya di dalam kebudayaan Eropa Barat.[3] Para penerjemah yang pada umumnya adalah kamu Nasrani dan Yahudi bahkan penyembah bintang digaji dengan harga yang sangat tinggi.
Kebangunan intelektual dan kebangkitan kultural Islam ditandai terlebih dahulu dengan kerja besar yang serius, yaitu dengan menerjemahkan buku-buku klasik. Buku-buku yang ditejemahkan terdiri dari berbagai bahasa, mulai dari bahasa Yunani, Suryani, Persia, Ibrani, India, Qibti, Nibti dan Latin.[4] Sangat menarik untuk dikaji bahwa dalam menerjemhakan itu para penerjemah memasukan buah pikirannya dan unsur-unsur baru yang disesuaikan dengan nafas ke Islaman sehingga terjelmalah kebudayaan baru yang berbentuk dan bercorak khas kebudayaan Islam.
Melalui Lembaga penerjemahan Bait al-Hikmah yang mencapai puncak kegiatannya dibawah patronase khalifah al-Ma’mun sangat mengagumkan.[5] Ilmu-ilmu yang tercakup dalam gerakan penerjemahan ini adalah kedokteran, matematika, fisika, mekanika, botanika, optika, astronomi, dan filsafat serta logika. Di antara buku-buku yang diterjemahkan tersebut adalah karangan-karangan dari Galinus, Hipokritus, Ptolomeus, Euclidus, Plato, Aristoteles, dan lain-lain. Buku-buku tersebut kemudian dipelajari oleh ulama-ulama Islam. Meskipun karya-karya tersebut umumnya diterjemahkan secara literal, tetapi tampaknya dalam pengkajian, karya-karya yang mengandung komentar lebih disukai, karena lebih mudah dipahami.[6]
Ilmuwan dan ulama Islam zaman silam bukan hanya menguasai ilmu dan filsafat yang mereka peroleh dari peradaban Yunani kuno, tapi mereka juga mengembangkan dan menambah serta mengkritisi karya-karya tersebut ke dalam hasil penyelidikan dan penelitian mereka sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam bidang filsafat dan logika. Dengan demikian, lahirlah para ilmuwan di samping ulama yang ahli agama juga ahli ilmu pengetahuan. Untuk pengembangan ilmu-ilmu itu didirikan universitas-universitas yang terkemuka, di antaranya adalah Universitas Cordoba di Spanyol, al-Azhar di Kairo, dan Universitas an-Nidzamiyyah di Baghdad. Universitas Cordoba ikut menyertakan orang-orang non-muslim dari negara-negara Eropa lainnya dalam penerjemahan itu.[7]
Ilmu yang pertama menarik perhatian Khalifah dan ulama waktu itu adalah kedokteran. ‘Ali bin Rabbar al-Thabari, pengarang buku Firdaus al-Hikmah, adalah dokter pertama yang terkenal dalam Islam, Abu Bakar Ar-Razi (865-925 M) yang terkenal dengan nama Rhazes pernah menjadi pimpinan rumah sakit terkenal di Baghdad. Kedua magnum opusnya dalam bidang kedokteran, kitab Athibb al-Manshuri dan al–Hawi diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Ada juga filosof Islam yang juga dikenal dalam bidang kedokteran, yaitu Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Al-Qanun fi at-Thibb-nya Ibn Sina dan al-Kulliyyat fi at-Thibb-nya Ibn Rusyd juga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan dipergunakan selama ratusan tahun sebagai ‘buku wajib’ di Eropa.[8]
Di samping itu, juga muncul ilmuwan Islam dalam bidang astronomi dan aljabar, sebut saja Alfaraganus (Abu Abbas Al-Farghani) dan Albattegnius (Muhammad bin Jabir Al-Battani), dimana buku al-Farghani tentang Ringkasan Astronomi diterjemahkan oleh Gerard of Cremona.[9] Ada juga Umar Khayyam, yang menurut Hitti, kalender hasil karyanya lebih tepat dibanding kalender Gregorius. Teori Heliosentris ternyata juga sudah lama dikemukakan oleh Al-Biruni jauh sebelum Copernicus dan Galileo. Dalam matematika, nama Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi sangat masyhur.
Dalam optika dikenal nama Abu Ali Hasan bin Al-Haytsam dengan magnum opusnya Al-Manazib yang di dalamnya ia menentang Teori Euclid. Ia berpendapat bahwa bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan bukan sebaliknya. Dari proses pengiriman cahaya itulah timbul gambaran benda dalam mata. Dalam bidang geografi ada Al-Mas’udi, pengarang bukuMuruj al-Dzahab dan Ma’adin al-Jawhar, konon ia juga pernah singgah di kepulauan Indonesia disaat menjelajah dunia. Disamping Al-Mas’udi ada Ibnu Batutah dengan buku Rihlah Ibn Batutah.
Dalam ilmu pengetahuan alam, ulama-ulama Islam mewariskan berbagai macam buku dari ilmu hewan, tumbuh-tumbuhan, hingga geologi. Bahkan, menurut Hitti, Al-Jahiz dalam buku Kitab Al-Hayawan berbicara tentang Evolusi dan Antropologi.
Dalam lapangan falasafat, nama-nama seperti al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd sangat terkenal. al-Farabi mengarang buku-buku dalam falsafah, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi tentang falsafah Aristoteles. Sebagian karya-karyanya itu diterjemhakan kedalam bahasa Latin dan masih dipakai di Eropa di abad 17. Ibnu Sina juga banyak mengarang dan yang termashur adalah al-Syifa’, enslikopedi fisika, metafisika dan matematika yang terdiri dari 18 jilid. Bagi Eropa Ibnu Sina dengan tafsiran yang dikarangnya tentang falsafat Aristoteles lebih mashur daripada al-Farabi. Tetapi di antara semuanya, Ibnu Rusyd yang banyak berpengaruh di Eropa dalam bidang falsafat, sehingga disana terdapat aliran Averroisme.[10] Dan masih berderet nama-nama serta penemuan yang telah dihasilkan oleh sarjana Islam terdahulu.
Dengan semangat penalaran yang kuat, sarjana-sarjana Islam menjadi manusia penyelidik yang cerdik, menjadi penganalisa yang cerdas, mereka berhasil mengolah dan mengembangkan ilmu pengetahuan itu dengan metode berpikit ijtihad, riset, eksprimen sehingga terciptalah kebudayaan Islam yang mengagumkan.
Gelombang kebudayaan pra-Islam tidaklah dapat dipisahkan dari perkembangan peradaban Islam klasik yang banyak disebut oleh sejarahwan muslim sebagai masa-masa kejayaan Islam atau golden age. Proses penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Persia dan India hanya salah satu pintu dialog antar peradaban, sementara tanpa proses reproduksi, penerjemahan hanya menjadi tumpukan karya yang sudah dialihbahasakan belaka. Karenanya, dukungan penguasa saat itu dan dengan gairah keilmuan umat Islam yang luar biasa menjadikan gelombang kebudayaan ini tidak sia-sia. Segala upaya, baik materil maupun semangat juang yang telah ditorehkan dalam bentuk maha karya telah menjadi pilar-pilar peradaban Islam yang sangat menentukan.

C. Sumbangan Islam
Jika diteliti secara seksama, peranan, jasa dan sumbangan Islam pada bangsa Eropa dapat dibagi menjadi dua segi.
Pertama, umat Islam menyelamatkan warisan kebudayaan klasik Yunani yang terancam akan kehilangan dan kemusnahannya sehingga penyelidikan-penyelidikan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Aristoteles, Galenus, Ptolemious dan lainnya tidak hilang.[11] Tugas penyelamatan, pengembangan dan penyelidikan yang dilakukan sarjana-sarjana Islam terhadap kebudayaan klasik Yunani itu tidak lebih kecil dari tugas mencipta yang asli. Sebab kalau ilmu pengetahuan yang asli itu hilang maka seperti yang dikatakan Hitti sarjana Barat asal Libanon itu, dunia akan tinggal miskin seolah-olah ilmu pengetahuan itu tidak pernah ada.[12]
Kedua, umat Islam berjasa dalam mengolah dan mengembangkan kebudayaan klasik Yunani dengan penambahan unsur-unsur baru; ia kemudian menjadi sumbangan besar bagi Eropa sehingga benua ini memasuki babak baru dengan munculnya renaissance.[13]Penyelamatan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi perkembangan kegiatan ilmiah dalam peradaban Islam.
Tidak dapat dipungkiri memang banyak sekali sumbangan dan jasa umat Islam bagi kebangkitan dan kebangunan kebudayaan Barat, baik dilapangan Kedokteran, filsafat, ilmu pasti, kimia astronomi, seni sastra dan sebagainya. Jasa dan sumbangan Islam inilah yang menjadi dasar bagi munculnya masa renaissance., di Eropa pada abad 16, sehingga Eropa terbangun dari kegelapan dan kelelapan tidurnya. Karena begitu banyaknya sumbangan Islam kepada kebudayaan Eropa, maka banyaklah istilah-istilah yang berasal dari kebudayaan Islam yang sekaligus sebagai bukti nyata peninggalan dan jasa umat Islam kepada dunia Barat. Seperti nama-nama binatang dalam bahasa Latin-Eropa berpangkal dari bahasa Arab seperti acrab (aqrab – lipan), al-tair (al-ta’ir -rajawali), dheneb (dhanab-ekor).

D. Renaissance di Eropa
Ketika peradaban Islam mulai mundur, diikuti dengan cara pandang umatnya yang sempit, dunia Barat (Eropa) mulai bangun dan beramai-ramai menerjemahkan karya-karya ilmuwan Islam ke dalam bahasa Latin dan mengkajinya. Suatu hal yang ironis, padahal penyebab kebangkitan dunia Barat itu berkat mengkaji kebudayaan muslim. Dunia Barat yang menyadari keterbelakangan kebudayaanya datang belajar ke Timur. Buku-buku yang ditulis dalam bahasa Arab (bahasa Al-quran) disalin kedalam bahasa Latin (bahasa standar Injil) melalui masa penterjemahan.
Bersamaan dengan itu, di Eropa berkembang pemikiran-pemikiran filosof Islam terutama Ibnu Rusyd, yang menyatakan bahwa agama sama sekali tidak bertentangan dengan filsafat, ajaran agama dan inti filsafat sejalan. Berkembanglah kemudian di Eropa, Averroisme dalam sejarah pemikirannya, meskipun Barat salah dalam memahami Ibn Rusyd. Pemikiran Ibn Rusyd membawa balancing antara agama dan filsafat. Di Eropa, Averroisme membawa kepada double truth (kebenaran ganda). Kebenaran yang dibawa oleh agama adalah benar, demikian juga kebenaran ilmiah dan filsafat).[14]
Tonggak awal kebangkitan Eropa yang dinamakan dengan Renaissance, sedikit banyak lahir atas pengaruh Averroisme (Ar-Rusydiyyah) dan atas pengaruh penerjemahan karya-karya ilmiah ilmuwan Islam ke dalam bahasa Latin.[15] Pemindahan ilmu pengetahuan yang berkembang dalam Islam ke Eropa pada abad 12 M dan seterusnya paling tidak melalui beberapa jalur.
Pertama, jalur Andalus dengan Universitas-Universitas handal yang dikunjungi oleh kaum terpelajar Eropa. Sejarah telah mencatat bahwa pada abad 9 misalnya, khlaifah Abdurrahman III (912-961 M) telah mendirikan dan menempatkan Universitas Cordoba. Di dalam universitas Cordoba tersebut banyak mahasiswa dan sarjana Islam maupun Eropa-Kristen untuk menggali dan menimba ilmu-ilmu Islam. Pada waktu itu universitas Cordoba telah menyelenggrakan deferensiasi ilmu pengetahuan kedalam fakultas-fakultas; hukum, kedokteran, ilmu ukur dan astronomi. Pada waktu itu belum ada universitas di dunia Eropa-Kristen. Eropa baru mengenal dan mendirikan universitas pada tahun 1000 (universiats Salerno). Menyusul setelah itu dibangun universiats Bologna (1150), dan universitas Oxford (1168), yang pada waktu itu banyak mencontoh kurikulum dan pola universiats Islam.[16]
Walaupun Islam akhirnya terusir dari Andalusia dengan cara yang sangat kejam, tetapi telah membidani gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah; kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (renessaince) pada abad ke-14 M yang bermuladi Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16 M, gerakan rasionalisme abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklaerung) pada abad ke-18 M.[17]
Kedua, Sisilia, yang pernah dikuasai umat Islam dari tahun 831 hingga 1091. Di pulau ini ilmu pengetahuan serta penemuan ilmiah para ilmuwan Islam meningkat dengan pesat.[18]Bahkan setelah jatuhnya Sisilia ditangan kaum Norman yang dipimpin oleh Roger, pengaruh peradaban Islam masih sangat terasa disana. Mereka dikelilingi oleh para filosof dan ilmuwan muslim. Kepada mereka diperkenankan menjalankan ibadah agamanya dengan leluasa. Lebih dari seabad sesudah masa ini, masih tetap merupakan satu kerajaan Kristen yang unik dimana beberapa jabatan tinggi dipegang oleh orang Islam.[19]
Dari Sisilia, ilmu pengetahuan Islam meluas kedataran Italia, apalagi semenjak didirikannya universitas Napels pada tahun 1224 M. dianatara siswa universiats Napels ini adalah Thomas Aquinas, pemimpin Keristen Katolik. Di sini Federick II menghimpun naskah-naskah Arab. Buku-buku Aristoteles dan Averoes diterjemahkan dan dipergunakan sebagai buku pelajaran. Terjemahan tersebut juga di kirim ke universitas-universitas Paris dan Bologna.[20]
Pengaruh pemikiran rasional ilmu pengetahuan dalam perkembangan Barat diakui oleh ilmuwan Barat sendiri seperti Gustav Le Bon, Henry Trece, Anthony Nutting, C. Rsiler, Alferd Guillame, Rom Landau, dan yang lainnya. Di samping pengakuan penulis-penulis Barat yang objektif terhadap pengaruh peradaban Islam terhadap lahirnya Renaissance dan peradaban Barat modern, beberapa penulis Barat juga mengakui pengaruh pemakaian akal dalam Islam terhadap kebebasan berpikir di Eropa dari belenggu agama (baca : Kristen).
Nama-nama yang cukup terkenal dalam karya penterjemahan ini antara lain:
1. Gerard dari Cremona (Italia, w. 1187), ketua dewan penterjemah di Toledo. Ia menerjemahkan 87 buku tentang filsafat, kedokteran, matematika dan ilmu Falak. Dianatara terjemhannua itu adalah al-Qanun fi Tibb (Canon) tulisan Ibn Sina yang telah menjadi buku pegangan pokok mahasiswa kedokteran Barat selama berabad-abad.
2. Adelard dari Bath menterjemahkan buku-buku Musa al-Khawarizmi dalam bidang matematika dan astronomi.
3. Robert dari Chester (abad 12) yang belajar di Andalusia selama 12 tahun, menerjemahkanal-Jabar wal muqabalah. Robert de Chester ini bersama-sma Hermanus Dalmata pada tahun 1141 menerjemahkan Al-quran ke dalam bahasa Latin.
4. Michael Scott (w. 1235) yang juga belajar di Toledo, menterjemhkan komentar-komentar Ibn Rusyd terhadap Aristoteles.[21]
Dengan diterjemahkannya buku-buku itu termasuk Al-quran, yang telah menyebabkan lahirnya era renaisansi di dunia Barat. Isi era resaisansi ini adalah terjadinya revolusi-revolusi. Revolusi pertama di bidang ketatanegaraan. Lahirlah negara-negara yang membebaskan diri dari kristendom. Kedua, negara revolusi ilmu pengetahuan seperti yang telah disebutkan dimuka. Ketiga revolusi agama dengan lahirnya gerakan-gerakan pemurni dan gerakan-gerakan protes terhadap kehidupan geraja, khususnya kekuasaan Paus. Gerakan pemurnian ialah sekte Jezuit sedang gerakan protes dapat dikemukakan nama-nama Ximanse de Cisneros (Spanyol, wafat 1517); Girolamo Savanarola (Italy, wafat 1496); Martin Luther (Jerman, wafat 1546); Ulrich Zwingli (Swiss, wafat 1531); John Calvin (Prancis, wafat 1564) dan di Inggris lahir gereja Anglica yang pemimpin pertamanya adalah ratu Elizabeth I. Berangkat dari revolusi ilmu pengetahuan pula maka abad 11/17 lahir revolusi yang dimulai di Inggris yang berakibat lahirnya revolusi social abad 12/18.
Sebagaimana pernah terjadi di dunia Muslim dengan kelahiran Mu’tazilah yang mngedepankan ratio, pada abad 2 H/8 M di dunia Barat lahir gerakan Aufklarung/Englightenment pada abad 11H/17M. Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Aufklarungpun menolak trinitas sebagai sifat Tuhan. Isac Newton (wafat 1721) dalam bukunya Two Notable Coruptions of Scripture dan Observation of the Prophesiss of Daniel and the Apocalypse of St. John, menolak doktrn trinitas karena tidak sesuai dengan akal.

D. Penutup
Bila peradaban Islam klasik banyak ditopang oleh kebudayaan sebelumnya, hal yang sama juga dialami oleh bangsa Barat pada beberapa abad. Semangat kelahiran kembali (renaissans) yang dikobarkan oleh masyarakat Eropa Barat tidak bisa dilepaskan dari peran ilmuwan muslim yang telah menularkan semangat pengetahuan pada masayarakat Eropa saat itu. Khusus dalam bidang filsafat, Jamil Shaliba pernah memberikan catatannya atas pengaruh pemikir Islam di dunia Barat (Eropa). Menurutnya pengaruh peradaban Islam klasik bagi peradaban Barat Modern masih lebih besar dibandingkan dengan pengaruh peradaban Yunani bagi peradaban Islam klasik. Pada saat ini, setelah terjadi kebangkitan di dunia Islam, umat kembali harus banyak belajar dari para pemikir Barat yang sudah jauh meninggalkan dunia Islam.
________________________________________
[1] Jamil Shaliba, Al-Falsafah Al-‘Arabiyah (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1973) hal. 96
[2] Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1955) hal. 303
[3] Frederick Meyer, A History of Ancient and Medieval Philosophy (American Book Company, 1950) hal. 391
[4] Harun Nasution Op. Cit., , hal. 68,
[5] R. Walzer, Greek Into Arabic: Essays on Islamic Philosophy ( Cambridge: Harvard University Press, 1962)
[6] Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, terj. Emily dan Jenny Marmorstein (London: Routledge, 1975), hal. 10
[7] Seperti Hunain ibn Ishaq al-Abadi yang merupakan seorang Kristen Nestorian (194-260 H/ 810-873 M)
[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Bebabagi Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985) hal. 72-74
[9] Ibid., hal. 71

Selasa, 19 Agustus 2014

Catatan Terakhir

Rap Ideologis Romantis..silahkan simak...

Thufail Al Ghifari [ Indonesia ]
LInk Download MP3 nya di sini

Terjagalah dari segala maksiat
dari segala zina dan nafsu dunia yang sesat
disatukan dalam karunia yang suci bersama jiwa jiwa
yang selalu haus akan ibadah dan penuh harga diri
ini bukan cerita cinderela
bukan juga patah arang cinta buta siti nurbaya
tak dapat diukur tapi bersama Allah
semua pasti akan teratur
dinyatakan dalam ketulusan
dari mutiara ketakwaan yang sangat mendalam
bersemi dari pupuk akhlak yang hebat
berbuah dalam kesabaran dan ketekunan yang lebat
tidak, ini takkan dimengerti
oleh hati yang penuh dengan dusta
yang buta oleh warna warni dunia yang fana
ini hanya untuk mereka yang selalu ingin luruskan
keteladanan bagi generasi berikutnya
keteladanan abadi dalam harum kesturi dan buah ibadah
dan menjadi manis seperti kurma
diawal rembulan yang indah
untuk selalu berjalan dalam kesetiaan dan harapan
dan hanya mau mencium
atas dasar kemurnian kita berkata cinta
karena bukan apa siapa dan bagaimana
tapi luruskanlah dalam wangi surga
karena apa sebenarnya kita berani berkata cinta

hingga rambut kita memutih
hingga ajal kan datang menjemput diri ini
hingga rambut kita memutih
hingga ajal kan datang menjemput diri ini

inilah cinta sejati
cinta yang tak perlu kau tunggu
tapi dia tumbuh bersama doa malam yang teduh
tak tersentuh oleh mata dunia yang palsu
petunjuk yang selalu datang
dari ruang para malaikat
yang sanggup melihat tak kenal pekat
tak lekang oleh zaman yang kan terus melaju
takkan habis oleh waktu
karena kecantikannya tersimpan dihati
dalam pesona yang selalu menjaga jiwa
yang menjadikan dunia menjadi surga
sebelum surga sebenarnya
yang membuat hidup lebih hidup
dari kehidupan sebenarnya
seperti sungai yang mengalir
bening airnyapun selalu artikan keseimbangan syair
yang satukan dua perbedaan dalam satu ikatan
untuk melihat kekurangan sebagai kesempatan
dan kelebihan sebagai kekuatan
lalu saling mengisi seperti matahari dan bulan
dalam kesetiaan ruang kesolehan dan kasih sayang
bagi sejarah penutup halaman terakhir perjalanan
para kesatria sastra jihad dan dakwah
tercatat dalam untaian rahmat berakhir
dalam catatan terakhir yang mulia
digariskan hanya oleh ketetapan Allah Subhanahu wata’ala

hingga rambut kita memutih
hingga ajal kan datang menjemput diri ini
hingga rambut kita memutih
hingga ajal kan datang menjemput diri ini

Sabtu, 19 Juli 2014

Bagaimana Membangkitkan Umat Islam Saat Ini

Kebangkitan adalah meningkatnya taraf pemikiran. Sedangkan –makna kebangkitan yang diartikan sebagai- meningkatkan taraf perekonomian tidak termasuk kebangkitan. Alasannya, Kuwait, yang perekonomiannya maju dan berkembang sebagaimana halnya negara-negara Eropa, seperti Swedia, Belanda, Belgia, akan tetapi negara-negara Swedia, Belanda dan Belgia mampu bangkit, sementara Kuwait tidak mampu bangkit. Begitu pula meningkatnya perilaku akhlak tidak dapat digolongkan bangkit. Alasannya, kota Madinah saja yang saat ini termasuk kota-kota di dunia yang perilaku akhlaknya tinggi, akan tetapi tidak bangkit. Alasan lainnya, kota Paris yang terkenal perilaku akhlaknya yang rendah, akan tetapi mampu bangkit. Oleh karena itu kebangkitan itu adalah meningkatnya taraf pemikiran.

Kebangkitan itu bisa benar (shahih), bisa juga keliru. Amerika, Eropa, dan Rusia –misalnya- adalah negara-negara yang mengalami kebangkitan, tetapi kebangkitannya tidak benar. Karena kebangkitannya tidak didasari oleh asas yang bersifat ruhiy. Kebangkitan yang benar (shahih) adalah meningkatnya taraf berpikir yang didasarkan pada asas ruhiy. Jika kebangkitan itu tidak didasarkan pada asas ruhiy, memang mampu bangkit, tetapi kebangkitannya tidak termasuk kebangkitan yang benar. Dan kebangkitan apapun macamnya, tetap tidak dapat disebut kebangkitan yang benar selama tidak didasarkan pada asas pemikiran Islam. Jadi, kebangkitan yang shahih itu hanya kebangkitan Islam. Karena hanya Islam sajalah yang berdasarkan asas ruhiy.

Metode untuk mencapai kebangkitan itu adalah dengan menegakkan pemerintahan yang di dasarkan pada pemikiran. Bukan didasarkan pada peraturan, perundangan ataupun hukum. Penegakkan negara yang berdasarkan pada perundangan dan hukum, tidak mungkin mencapai kebangkitan. Malah sebaliknya, jika itu yang terjadi sangat membahayakan kebangkitan itu sendiri. Jadi, tidak mungkin kebangkitan itu diraih melainkan dengan menegakkan pemerintahan dan kekuasaan atas dasar pemikiran.

Dari pemikiran inilah muncul pemecahan-pemecahan praktis untuk menanggulangi segala persoalan kehidupan. Dengan kata lain, dari pemikiran tersebut keluar segala bentuk peraturan, perundangan dan hukum. Eropa tatkala mengalami kebangkitan, kebangkitannya didasarkan pada suatu pemikiran. Yaitu pemisahan urusan agama dengan negara (sekularisme), dan kebebasan. Begitu pula Amerika, tatkala mengalami kebangkitan, kebangkitannya di dasarkan pada suatu pemikiran, yaitu sekularisme dan kebebasan. Rusia, tatkala mengalami kebangkitan, kebangkitannya didasarkan pada suatu pemikiran, yaitu materi dan perubahan/evolusi materi. Yakni perubahan sesuatu dengan sendirinya dari suatu keadaan, ke keadaan lain yang lebih baik. Rusia menegakkan pemerintahannya pada tahun 1917 M yang di dasarkan pada pemikiran semacam ini. Jadilah Rusia bangkit. Negeri Arab tatkala mengalami kebangkitan, kebangkitannya didasarkan pada pemikiran Islam. Hal ini tampak tatkala diutusnya Rasulullah saw dengan membawa risalah dari Allah. Di atas landasan ini ditegakkan pemerintahan dan kekuasaan. negeri Arabpun bangkit tatkala mereka meyakini dan berpegang teguh pada pemikiran Islam, dan di atasnya di bangun pemerintahan dan kekuasaan.

Semua ini merupakan argumen yang pasti, bahwa metode untuk mencapai kebangkitan adalah dengan menegakkan pemerintahan di atas suatu pemikiran. Bukti lain yang menunjukkan bahwa menegakkan pemerintahan di atas dasar peraturan, perundangan dan hukum tidak mampu mencapai kebangkitan, adalah apa yang dilakukan Mustafa Kamal di Turki. Ia menegakkan pemerintahan di atas dasar peraturan dan perundangan-undangan untuk meraih kebangkitan. Seraya mengambil peraturan-peraturan dan perundang-undangan Barat. Kemudian di atasnya dibangun pemerintahan. Ia menjalankannya sekuat tenaga secara praktis, melalui tangan besi. Meskipun demikian, tetap saja tidak mampu meraih kebangkitan. Turiki tetap tidak mampu bangkit, malah mengalami kemunduran. Jadilah Turki salah satu negeri yang mundur Padahal Lenin yang muncul hampir bersamaan dengan Mustafa Kamal. Namun, Lenin mampu membangkitkan Rusia menjadi negara yang kuat. Bahkan sekarang ini tergolong negara yang terkuat. Sebabnya tiada lain, karena Lenin mendirikan pemerintahan di atas landasan suatu pemikiran, yaitu pemikiran Komunisme. Dari pemikiran ini muncul pemecahan-pemecahan terhadap problematika kehidupan sehari-hari, berupa peraturan dan perundang-undangan yang dijadikan solusi terhadap segala bentuk problematika –dalam bentuk hukum yang bersandar pada pemikiran tersebut-. Dengan kata lain, dari pemikiran ini dibangunlah pemerintahan. Oleh karena itu mampu meraih kebangkitan. Pada tahun 1917 M, Lenin membangun pemerintahan Rusia di atas landasan suatu pemikiran. Rusiapun bangkit. Sementara pada tahun 1924 M, Mustafa Kamal membangun pemerintahan di atas landasan peraturan dan perundang-undangan untuk membangkitkan Turki, akan tetapi tidak mampu. Malah Turki menjadi terbelakang, disebabkan pemerintahan dibangun di atas landasan peraturan dan perundang-undangan. Ini adalah faktor yang tidak berhasil membangkitkan Turki, bahkan membahayakan.

Contoh lainnya adalah apa yang dilakukan oleh Gamal Abdunnaser di Mesir. Sejak tahun 1952 M pemerintahannya dibangun di atas landasan peraturan dan perundang-undangan. Pertama-tama sistem pemerintahan dirubah menjadi sistem pemerintahan Republik, menggantikan sistem kerajaan. Kemudian dilakukan land reform dengan membag-bagikan lahan pertanian. Setelah itu berpaling pada peraturan-peraturan Sosialis, sehingga negaranya disebut dengan negara Sosialis. Tetapi kebangkitan tidak pernah mampu diwujudkan. Malahan Mesir saat ini sudah termasuk negeri-negeri terbelakang dari sisi pemikiran, ekonomi dan politiknya, dibandingkan dengan sebelum tahun 1952 M. Yaitu sebelum terjadi kudeta militer. Begitu pula anggota-anggota parlemennya saat ini, dibandingkan dengan anggota-anggota parlemen (saat itu dinamakan Majlis Umat) sebelum tahun 1952 M kemampuan pemikiran dan politiknya sangat berbeda. Perubahan yang terjadi di Mesir, tetap tidak mampu membangkitkannya. Karena pemerintahannya dibangun di atas landasan peraturan dan perundang-undangan. Yang mampu membangkitkan hanyalah pemerintahan yang dibangun berlandaskan pada suatu pemikiran.

Walaupun demikian, bukan berarti bahwa menegakkan pemerintahan di atas dasar suatu pemikran, dilakukan dengan kudeta militer, mengambil alih pemerintahan dan dibangun di atas landasan suatu pemikiran. Hal ini tidak akan mampu membangkitkan, dan pemerintahan seperti itu tidak mungkin bertahan lama. Yang harus dilakukan adalah mendidik/memahamkan umat, atau mendidik/memahamkan kelompok terkuat di masyarakat dengan pemikiran yang ditujukan untuk membangkitkan umat. Mengadopsi pemikiran tersebut dalam kehidupan, dan arah perjalanan kehidupan di dasarkan pada pemikiran ini. Pada saat yang sama dibangun pemerintahan melalui umat, yang berdasarkan pada pemikiran tersebut. Jika ini dilakukan akan tercapailah kebangkitan yang pasti. Jadi, pada dasarnya kebangkitan itu bukan bertumpu pada mengambil alih pemerintahannya, tetapi menyatukan umat dengan suatu pemikiran. Menjadikan pemikiran tersebut sebagai arah kehidupannya. Kemudian menguasai pemerintahan dan dibangun di atas landasan pemikiran tersebut. Dengan demikian, pengambilalihan kekuasaan bukan tujuan. Dan hal ini tidak boleh dijadikan sebagai tujuan. Ia hanya layak dijadikan sebagai metode (thariqah) untuk mencapai kebangkitan. Selama pendiriannya di dasarkan pada suatu pemikiran, maka kebangkitan akan dapat diraih.

Contoh yang paling gamblang adalah apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. Tatkala Allah membangkitkannya dengan risalah Islam, beliau menyeru umat manusia kepada akidah Islam. Ini tidak lain berarti menyeru kepada suatu pemikiran. Dan tatkala penduduk kota Madinah dari kalangan kabilah Aus dan Khadzraj dapat disatukan dengan akidah Islam –yaitu dengan suatu pemikiran-, maka jadilah mereka memiliki arah yang menuntun kehidupan mereka. Kemudian pemerintahan Madinah pun diambil alih, dan didirikan di atas dasar akidah Islam. Demikianlah Rasulullah saw bersabda:
»اُمِرْتُ اَنْ اُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهُ فَاِذَا قَالُوْهاَ عَصَمُوْا مِنِّي دِماَءَهُمْ وَاَمْوَالَهُمْ اِلاَّ بِحَقِّهَا«
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia, sampai mereka mengatakan ‘laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah’, Apabila mereka mengucapkannya, maka terpeliharalah darahnya, hartanya, kecuali –ditumpahkan dan diambil-dengan cara yang hak.
Hadits ini menyeru pada suatu pemikiran. Maka kebangkitanpun dapat diraih di kota Madinah, yang menjalar ke kawasan Arab, lalu melebar kepada bangsa-bangsa yang memeluk Islam. Yaitu meyakini pemikiran tersebut. Dan para penguasanya mengatur dan mengurus urusan rakyat dengan berpijak pada pemikiran tersebut.

Tidak diragukan lagi, umat Islam di seluruh pelosok negeri saat ini mengalami kemerosotan. Umat sudah berusaha bangkit sejak lebih dari 100 tahun lalu. Namun kebangkitan tidak juga kunjung berhasil hingga saat ini. Sebabnya adalah, pemerintahan yang ada berdiri di atas dasar peraturan dan perundang-undangan. Pemerintahan itu –baik berdiri di atas landasan peraturan dan perundang-undangan selain Islan (peraturan kufur) seperti yang terjadi pada kebanyakan negera Muslim saat ini, atau berdiri di atas landasan peraturan dan perundang-undangan Islam dan hukum-hukum syara’, seperti yang dilakukan di sedikit negeri Muslim seperti Yaman sebelum revolusi Salal- semuanya mengalami kemunduran. Tidak mampu bangkit. Karena memang pemerintahannya dibangun di atas peraturan, tidak dibangun di atas suatu pemikiran.

Meskipun pemerintahan itu dibangun di atas landasan peraturan Islam maupun hukum-hukum syara’, tetap tidak akan mampu bangkit. Yang mampu membangkitkannya hanyalah jika pemerintahan itu dibangun di atas landasan pemikiran Islam, yaitu akidah Islam. Negara yang dibangun di atas landasan Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah, negara seperti itulah yang mampu bangkit. Jika suatu negara dibangun berlandaskan pada madzhab Abu Hanifah, atau bersandar pada buku karangan Thahthawi, atau berdasarkan pada hukum-hukum syara’, maka negara tersebut sama sekali tidak akan mampu bangkit. Karena sandaran-sandaran tersebut layaknya peraturan dan perundang-undangan, yang tidak mendatangkan kebangkitan sedikitpun. Jadi, negara harus berdiri di atas landasan Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah. Setelah itu barulah mengambil hukum-hukum syara’ dengan anggapan hal itu adalah perintah Allah. Lalu diterapkan. Itupun karena mengikuti perintah dan larangan Allah. Jadi, bukan karena adanya kelayakan, bermanfaat, atau ada maslahat, atau alasan-alasan lainnya. Semua itu harus dianggap sebagai sesuatu yang datang dan berasal dari wahyu Allah. Dan diambil dari maknaLaa ilaha illallah Muhammad Rasulullah. Jika demikian halnya, maka kebangkitan dapat diraih.

Umat Islam saat ini, jika mereka menghendaki kebangkitan mau tidak mau harus menjadikan akidah Islam sebagai asas yang menjadi arahan kehidupan mereka. Di atasnya dibangun pemerintahan dan kekuasaan. Kemudian menyelesaikan seluruh problematika keseharian mereka dengan hukum-hukum yang terpancar dari akidah tadi. Yaitu dengan hukum-hukum syara’, sebagai bagian dari perintah dan larangan Allah. Bukan dengan anggapan lainnya. Jika ini yang dijalankan, maka kebangkitan pasti akan muncul. Bahkan kebangkitan yang shahih, bukan sekedar bangkit. Umat Islam pun mampu menggapai puncak kegemilangannya lagi, meraih kembali kepemimpinan internasional untuk yang kedua kalinya.
Demikianlah tata cara membangkitkan umat Islam saat ini dengan kebangkitan yang shahih. Wahai kaum muslimin, dari sinilah kita mulai.

(syarah kitab nizhomul islam, kitab nizhomul islam bisa di download di sini
sumber : http://mtaufiknt.wordpress.com/

Senin, 16 Juni 2014

SEBUAH ANALOGI

Pembebasan Tanjungpinang......
Jika saya mengubah aturan Puasa dari
mulai jam 10 malam dan berbuka puasa
pukul 7 pagi, maka stempel Ustadz SESAT
akan langsung menerpa!
Jika saya menyerukan agar Shalat shubuh
diubah jumlah raka'atnya dari 2 raka'at
menjadi 3 raka'at, maka mungkin rumah
saya digrebek warga karena sudah
mengajarkan ajaran SESAT!
Jika ada seorang pimpinan jama'ah yg
menyuruh seluruh jama'ahnya untuk
merubah arah kiblat dari Ka'bah menjadi
menghadap arah matahari terbit, maka
dijamin jama'ah itu akan dicap sebagai
jama'ah SESAT!
TAPI.........
Ketika sebuah negara mengubah hukuman
bagi PENCURI dengan hukuman penjara
padahal dalam Al-Qur'an harusnya POTONG
TANGAN (QS.Al-Maidah: 38).
Ketika sebuah negara merubah hukuman
bagi PEMBUNUH dengan hukuman Penjara
padahal dalam Al-Qur'an harusnya adalah
hukum QISHASH (QS.Al-Baqarah: 178-179).
Ketika sebuah negara tidak menghukum
para PEZINA padahal dalam Al-Qur'an
seharusnya hukuman bagi PEZINA yg
belum menikah adalah DICAMBUK 100x
(QS.An-Nuur: 2), dan dalam Al-Hadits
hukuman bagi pezina yg sudah menikah
adalah DIRAJAM sampai mati (HR al-Bukhâri
dalam kitab al-Hudûd, Bab al-I’tirâf biz-Zinâ
1829 dan Muslim dalam kitab al-Hudûd no.
1691)
Ketika sebuah negara membolehkan/
menghalalkan RIBA padahal dalam Al-
Qur'an RIBA keharamannya sangat jelas
(QS.Al-Baqarah : 275), dan sebuah dosa yg
sangat besar dan diancam oleh Allah SWT
dengan ancaman bahwa Allah SWT akan
memerangi para pelaku riba (QS.Al-
Baqarah : 278-279)
Pertanyaannya adalah.???
MENGAPA JARANG SEKALI YG
MENGATAKAN BAHWA HUKUM/NEGARA
SEPERTI INI ADALAH HUKUM/NEGARA YG
SESAT???
bye : Sulaiman al-Qonuni
sumber : https://www.facebook.com/fayad.zabihullah/posts/10201491500122552?fref=nf

Kamis, 12 Juni 2014

#IndonesiaMilikAllah: Syariah dan Khilafah Jalan Keselamatan dan Penyelamatan

[Al-Islam edisi 709, 8 Sya’ban 1435 H – 6 Juni 2014 M ]
Sejak merdeka, negeri ini menerapkan sistem politik demokrasi dan ekonomi kapitalisme. Beragam corak dari keduanya sudah dicoba. Meski begitu, negeri ini justru terasa makin jauh dari cita-cita.

Demokrasi dan Kapitalisme: Ancaman Sejati

Demokrasi dipercaya sebagai sistem politik yang akan menampung seluas-luasnya aspirasi rakyat. Pemimpin pilihan rakyat diyakini akan bekerja demi kepentingan rakyat. Demikian pula sistem ekonomi kapitalisme dipercaya akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat.
Nyatanya, bukan aspirasi rakyat yang mengemuka. Dari para wakil rakyat di Parlemen justru lahir banyak undang-undang yang merugikan rakyat. Banyak pula kebijakan Pemerintah pilihan rakyat yang tidak berpihak kepada rakyat.
Melalui konsep dasar demokrasi, yakni kedaulatan rakyat, negeri ini mempraktikkan kesyirikan yang dilakukan Bani Israel (QS at-Taubah [9]: 31). Sebagaimana diketahui, para pemuka agama Bani Israel itu biasa menghalalkan apa saja yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa saja yang telah Allah halalkan. Semua itu kemudian diikuti dan ditaati oleh umat mereka. Demikian seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam riwayat Imam at-Tirmidzi. Itu sama persis dengan praktik kedaulatan rakyat dalam demokrasi.
Atas nama demokrasi, kaum Muslim dipaksa bermaksiat dengan menyalahi hukum-hukum Allah SWT; mereka diwajibkan terikat dengan hukum-hukum buatan manusia. Atas nama demokrasi, riba dan transaksi ribawi harus diambil dan dijalankan. Atas nama demokrasi dan kebebasannya, zina dianggap lumrah dan bukan kesalahan. Padahal Rasul saw. mengingatkan:

« إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِيْ قَرْيَةٍ، فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ »
Jika zina dan riba telah menonjol di suatu kampung, maka mereka sesungguhnya telah menghalalkan untuk mereka sendiri azab Allah (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).

Tentu, betapa besar azab Allah SWT akan menimpa warga negeri ini karena masih banyak kemaksiatan lainnya yang “diharuskan” oleh demokrasi.
Sistem politik demokrasi yang mahal membuat penguasa dan wakil rakyat tidak lagi bekerja sebagai pelayan umat dan pemelihara urusan rakyat. Mereka malah mengabdi demi kepentingan elit pengusaha dan para cukong pemilik modal. Mereka bahkan menjadi pelayan pihak asing. Akibatnya, lahirlah negara korporasi; lahirlah persekongkolan penguasa dengan pengusaha. Jadilah hubungan penguasa dengan rakyat layaknya hubungan penyedia produk dan jasa dengan konsumen. Rakyat diposisikan sebagai konsumen yang harus membayar pelayanan dari negara dan membeli apa saja yang disediakan negara.
Melalui proses politik demokrasi pula lahir peraturan yang menguntungkan para pemilik modal. Bahkan pihak asing, yang notabene penghisap kekayaan negeri ini, lebih dihormati daripada rakyatnya sendiri.
Penerapan demokrasi di bidang politik dibarengi dengan penerapan sistem kapitalisme di bidang ekonomi. Akibat penerapan kapitalisme itu, alih-alih tercipta kesejahteraan bersama, yang ada justru kesenjangan kelompok kaya dan miskin makin meningkat. Hal itu ditunjukkan oleh terus meningkatnya indeks gini rasio dalam lima tahun terakhir yakni 0,37; 0,38; 0,39; 0,40 dan 0,41 tahun 2013. Indeks gini rasio diukur dari 0-1; makin mendekati 1 berarti kesenjangan makin total.
Pertumbuhan ekonomi ternyata hanya dinikmati oleh segelintir orang. Kekayaan lebih banyak dinikmati oleh golongan kaya. Data distribusi simpanan di bank umum Maret 2014 yang dilansir Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjadi bukti. Total ada 148.342.861 rekening simpanan. Jika diasumsikan satu orang punya satu rekening, artinya lebih dari 100 juta penduduk negeri ini tidak punya rekening simpanan. Sangat mungkin karena mereka memang tak punya uang untuk disimpan. Kesenjangan itu ternyata lebih parah lagi. Rekening simpanan dengan nominal di atas 1 miliar rupiah jumlahnya 396.814 rekening atau hanya 0,27%, tetapi total nominalnya sebesar Rp 2.213.436,73 miliar atau 61,3% dari total nominal simpanan. Itulah hasil dari kapitalisme. Hanya 0,27% penduduk menguasai 61,3% kekayaan. Sebaliknya, 99,63% penduduk memperebutkan 38,7% kekayaan negeri.
Akibat lainnya, sektor pangan, air minum, energi, kesehatan, perbankan, keuangan dan sektor strategis lainnya dikuasai oleh pihak asing. Pihak asing menguasai sektor migas 70% dan sektor tambang 80%. Menurut Riza Damanik dari Indonesia for Global Justice dalam Jurnalparlemen.com (8/7/2013),usaha benih tanaman pangan dikuasai pihak asing hingga 95%. Begitu juga budidaya tanaman pangan dan sektor perkebunan. Pihak asing juga menguasai 95% bisnis air minum, 75% sektor industri farmasi dan 80% industri asuransi. Sektor keuangan dan perbankan, sektor perikanan dan kelautan, sektor kesehatan, pelayanan rumah sakit dan klinik spesialis serta sektor strategis lainnya sebagian besar juga dikuasai oleh pihak asing.

Syariah dan Khilafah Melindungi Kebhinekaan

Berdasarkan fakta sejarah, syariah Islam datang melindungi kebhinekaan dan kemajemukan di masyarakat. Sebab, Islam merupakan agama rahmatan lil alamin. Tak tercatat dalam sejarah, di Indonesia atau di negeri lainnya, kekuasaan Islam menindas umat beragama lain.
Dalam penerapan syariah di bawah sistem Khilafah, penindasan terhadap ahludz-dzimmah dan mu’ahad—atau yang sekarang disebut kaum minoritas—tidak terjadi. Sebab, Rasul saw. bersabda:
«أَلاَ مَنْ ظَلَمَ مُعَاهَداً أَوْ اِنْتَقَصَهُ أَوْ كَلَّفَهُ فَوْقَ طَاقَتِهِ أَوْ أَخَذَ مِنْهُ شَيْئاً بِغَيْرِ طَيِبَةِ نَفْسٍ فَأَنَا حَجِيْجُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
Ingat, siapa yang menzalimi mu’ahad, mengurangi haknya, membebani dirinya di atas kesanggupannya atau mengambil dari dirinya sesuatu tanpa kerelaannya, maka aku akan memperkarakan dia pada Hari Kiamat (HR Abu Dawud).

Karena itu tidak aneh, sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam hubungan antara Muslim dan non-Muslim pun harmonis (Lihat: Hourani A. 2005. A History of the Arab Peoples. hlm. 33).

Syariah dan Khilafah Mewujudkan Kemakmuran

Di bidang ekonomi, penerapan syariah di bawah Khilafah akan mengembalikan kekayaan alam seperti tambang, migas, hutan, dll kepada seluruh rakyat. Pasalnya, semua kekayaan itu secara syar’i memang milik rakyat. Semua itu harus dikelola oleh negara yang seluruh hasilnya wajib dikembalikan kepada rakyat; untuk membiayai pendidikan, kesehatan dan berbagai pelayanan publik. Harta milik umum dan berbagai sumber pemasukan negara lainnya lebih dari cukup untuk mendanai pembangunan dan pelayanan kepada rakyat. Sangat mungkin dihasilkan surplus seperti pada masa Harun ar-Rasyid. Pada masa itu negara surplus sebesar 900 juta dinar emas (Najeebabadi, 2001, The History of Islam. hlm. 375). Jumlah itu setara Rp 1.912,5 triliun (asumsi emas Rp 500.000/gram). Bandingkan dengan APBN Indonesia tahun 2013 yang hanya Rp 1.683 triliun.
Syariah dan Khilafah dengan sistem ekonomi Islam akan sanggup mendistribusikan kekayaan secara adil dan merata. Kekayaan tidak akan dinikmati oleh segelintir orang kaya saja. Kesejahteraan dan kemakmuran akan dirasakan oleh seluruh rakyat, Muslim dan non-Muslim. Dalam sejarah penerapan syariah di bawah Khilafah, hal itu benar-benar terwujud. Fakta ini telah diakui termasuk oleh para sejarahwan Barat (Lihat: Bloom and Blair Islam – A Thousand Years of Faith and Power, hlm. 97-98).

Syariah dan Khilafah: Wajib dan Mendesak!

Kewajiban menerapkan syariah dan Khilafah adalah perkara yang sudah sangat dimaklumi. Dengan itu kewajiban kita untuk memutuskan hukum dengan apa yang telah Allah turunkan (QS al-Maidah [5]: 48) bisa ditunaikan. Tanpa penerapan syariah dan penegakan Khilafah; banyak kewajiban akan terlantar, banyak hukum tidak akan terlaksana seperti kewajiban qishash (QS al-Baqarah [2]: 178), had bagi pezina (QS an-Nur [24]: 2), had bagi pencuri (QS al-Maidah [5]: 38) dan banyak hukum Allah SWT lainnya.
Banyaknya hukum agama yang ditelantarkan, banyaknya kemaslahatan rakyat yang diabaikan, terjadinya eksploitasi atas manusia, dan banyaknya persoalan yang tak kunjung selesai saat ini, semua itu menunjukkan bahwa penerapan syariah dan Khilafah amat mendesak.
Imam al-Mawardi, ulama mazhab Syafii, dalam bukunya Al-Ahkâm as-Sulthâniyah wa al-Wilayât ad-Dîniyah (hlm. 3), mengatakan:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ اللهَ جَلَتْ قُدْرَتُهُ نَدَبَ لِلْأُمَّةِ زَعِيْماً خَلَفَ بِهِ النُّبُوَّةَ، وَحَاطَ بِهِ الْمِلَّةَ، وَفَوَّضَ إِلَيْهِ اَلسِّيَاسَةَ، لِيَصْدُرَ التَّدْبِيْرُ عَنْ دِيْنٍ مَشْرُوْعٍ، وَتَجْتَمِعُ الْكَلِمَةُ عَلَى رَأْيٍ مَتْبُوْعٍ، فَكَانَتْ الْإِمَامَةُ أَصْلاً عَلَيْهِ اِسْتَقَرَتْ قَوَاعِدُ الْمِلَّةِ، وَاِنْتَظَمَتْ بِهِ مَصَالِحُ الْأُمَّةِ.
Ammâ ba’du. Sungguh Allah Yang Maha Tinggi kekuasaan-Nya menyuruh umat mengangkat pemimpin untuk menggantikan kenabian, melindungi agama dan mewakilkan kepada dirinya pemeliharaan urusan umat. Hal itu bertujuan agar pengaturan itu keluar dari agama yang disyariatkan dan agar kalimat menyatu di atas pendapat yang diikuti. Karena itu Imamah (Khilafah) adalah pokok yang menjadi fondasi kokohnya pilar-pilar agama dan teraturnya kemaslahatan-kemaslahatan umat.

Dengan demikian syariah dan Khilafah sejatinya merupakan jalan keselamatan dan penyelamatan bagi negeri ini dan penduduknya. Karena itu seruan untuk menerapkan syariah dan menegakkan Khilafah harus segera kita penuhi.
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ﴾
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya jika Rasul menyeru kalian pada suatu yang memberikan kehidupan kepada kalian (TQS al-Anfal [8]: 24).

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

sumber :http://hizbut-tahrir.or.id/2014/06/04/indonesiamilikallah-syariah-dan-khilafah-jalan-keselamatan-dan-penyelamatan/

Rabu, 04 Juni 2014

MENGGUGAT PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI (2)

SUMBER : http://pemudaideologis.wordpress.com/2010/08/23/menggugat-pancasila-sebagai-ideologi/
Oleh: syabab ideologis

Menggugat Eksistensi Ideologi Pancasila Pancasila, yang di cetuskan oleh alm. Soekarno, hingga kini masih diposisikan sebagai sesuatu yang suci bagi para pemimpin bangsa. Pancasila, dengan lima sila yang ada sekarang, dinisbatkan sebagai sumber dari segala sumber hukum, ideologi bangsa, asas tunggal partai politik, hingga falsafah hidup bangsa. Keberadaan Pancasila tak pernah diperdebatkan, dan selalu diletakkan diatas kepala, tanpa ada penggugatan terhadap eksistensinya.

Ironisnya, beberapa orang menjadikan Pancasila lebih suci dari Al Qur’an sebagai sumber hukum dan teks suci. Hal ini tampak pada para Liberalis, yang selalu mengusung ketidak samaan tafsir, dengan metode hermeunetika-nya, tidak pernah sekalipun memberlakukan metode Hermeunetika sebagai penafsir Pancasila, mengkritik dan menghujat pasal-pasal ataupun butir-butirnya, menganggap bahwa Pancasila adalah hal yang tidak perlu diperdebatkan, tetapi mereka dengan leluasa meng-hermeunetika-kan Al Qur’an dan memposisikan Al Qur’an sebagai teks yang harus dikritik dan dibedah dengan cara di konfrontasikan dengan sejarah ataupun kepentingan khalifah yang mengumpulkan tulisan Al Qur’an menjadi satu kitab, yaitu Khalifah Utsman Bin Affan, sebagai pencetus Mushaf Utsmani. Padahal pencetus Pancasila, dalam perjalanannya bukanlah orang yang memiliki gelar Al Amin, ataupun seorang Rasul yang terjamin dari kesalahan. Soekarno adalah seorang manusia biasa dan tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang pada akhir pemerintahannya justru memaksanya jatuh dengan tidak hormat.

Pancasila adalah sebuah lima sila yang merupakan hasil olah pikir manusia, dan oleh karenanya pasti memiliki keterbatasan sebagaimana manusia itu sendiri. Pada sejarahnya pula, Pancasila mengalami perubahan yang sangat krusial terhadap sila pertamanya, pada detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI pada tahun 1945. Sebagaimana tertulis dalam sejarah, sila pertama yang disetujui dalam piagam Jakarta adalah berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Ini diubah oleh Soekarno menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, tanpa meminta persetujuan kepada para pendeklarator piagam Jakarta.

Kini, Pancasila sangat identik dengan dua kalimat, yaitu Ideologi Pancasila dan Demokrasi Pancasila. dua kalimat ini menjadi senjata dalam kehidupan berbangsa pemerintah Indonesia, dimana ketika ada segolongan kelompok memperjuangkan tegaknya Syariat Islam, maka akan dicap sebagai pengkhianat Pancasila, tidak mengusung keberagaman Pancasila, dan mengancam integrasi bangsa. Partai partai Islam di parlemen pun latah dengan bentuk ideologi ini, sehingga dengan mudahnya “menjual” akidah mereka dengan menerima Pancasila sebagai asas Partai.

Demokrasi, dimana telah kami tulis di artikel sebelumnya ternyata sangat sarat dengan kebobrokan dan kerusakan. Betapa tidak jelas bentuknya ketika Pancasila yang hanya merupakan 5 norma ini disandingkan menjadi sebuah ideologi bangsa.

Pancasila jelas-jelas tidak memenuhi syarat-syarat mutlak menjadi ideologi. Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, dalam kitabnya Nidhomul Islam, beliau memaparkan syarat sesuatu layak disebut sebagai ideologi. Ideologi, atau Mabda’ adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan hidup, serta tentang apa yang ada sebelum dan setelah kehidupan, disamping hubungannya dengan sebelum dan sesudah alam kehidupan. Sedangkan peraturan yang lahir dari ini, tidak lain berfungsi untuk memecahkan dan mengatasi berbagai problematika hidup manusia, menjelaskan bagaimana cara pemecahannya, serta memelihara ideologi itu sendiri.

Tiga ideologi yang ada di dunia, yaitu Islam, Kapitalisme, dan Komunisme, berhasil menjawab pertanyaan tersebut.

Pertanyaan untuk Islam, Kapitalisme, Komunisme

1. Darimanakah kehidupan berasal ?

Islam menjawab : Allah

Kapitalisme menjawab : Tuhan

Komunisme menjawab : Materi

2. Untuk apakah kehidupan ini ?

Islam menjawab : Ibadah

Kapitalisme menjawab : Materi

Komunisme menjawab : Materi

3. Kemanakah kita setelah kehidupan berakhir (mati) ?

Islam menjawab : Allah

Kapitalisme menjawab : Tuhan

Komunisme menjawab : Materi

Mari kita lihat, bahwa Pancasila sama sekali tidak mampu menjawab tiga pertanyaan tersebut. Sehingga, karena tidak jelasnya Ideologi Pancasila itu, maka dalam perjalanannya Ideologi Pancasila mengadopsi metode Ideologi lain yang eksis di dunia untuk mengatasi masalah di Indonesia. Di masa orde lama, Pancasila mengadopsi ideologi komunis untuk mengatasi problematika hidup. Di masa orde baru dan orde reformasi (?) Kapitalisme di adopsi sebagai cara untuk mengatasi problematika hidup. Hal itu tentu saja gagal, karena setiap ideologi menuntut ke-kaffah-an (keseluruhan) dalam menerapkan sistemnya. Rusia menjadi besar dengan Uni Sovyet-nya karena menerapkan Komunisme secara kaffah. Dan Amerika berhasil menguasai dunia karena menjadikan Kapitalisme sebagai ideologi yang diembannya secara kaffah pula. Ke-kaffah-an mereka ditunjukkan dengan cara menerapkan politik imperialisme, penjajahan, pendudukan, dan pemaksaan negara lain untuk menjadikan kapitalisme atau komunisme sebagai ideologinya. Mereka konsisten dengan metodenya, sehingga, dengan cara itu, mereka berhasil menjadi penguasa dunia.

Sedangkan ketika kita memaksakan diri untuk menjadikan Pancasila kaffah di Indonesia, maka kita akan kesulitan sendiri, karena Pancasila tidak memiliki metode dalam menerapkannya. Sebagai contoh, ketika kita menyusun politik luar negeri, kita berusaha menciptakan politik luar negeri bebas aktif. Menurut pencetusnya, ini adalah hasil dari ideologi Pancasila. Tetapi ketika kita berhadapan dengan negara lain, kita menerapkan asas manfaat, yaitu apa manfaatnya bagi Indonesia. Padahal asas manfaat adalah milik Kapitalisme, sebagaimana Komunisme memiliki asas Materi dan Islam memiliki asas dakwah. Pancasila, juga tidak memiliki metode bagaimana mengembannya ke seluruh dunia, ataupun mempertahankan eksistensi dirinya sebagai ideologi. Karena sekali lagi, ideologi harus pula memiliki metode mempertahankan eksistensi dirinya.

Namun demikian, adanya jawaban untuk tiga pertanyaan mendasar sebuah ideologi serta metode dalam mempertahankan dan menyebarluaskannya bukan berarti ideologi itu adalah ideologi yang benar, karena sebuah ideologi haruslah pula memiliki landasan berpikir (qaidah fikriyah) yang benar, yaitu kesesuaian ideologi dengan fitrah manusia. Artinya, selain mengakui kemampuan manusia dalam kehidupan, ideologi itu juga harus mengakui kelemahan dan kebutuhan diri manusia akan eksistensi sang Maha Pencipta, sebagai kebutuhan yang sudah built in yaitu gharizah at tadayyun (naluri beragama). Ideologi haruslah mengakui bahwa manusia tidaklah mampu menciptakan aturan bagi dirinya sendiri, dan senantiasa penuh dengan keterbatasan. Apabila hal ini tidak terpenuhi, maka dengan sendirinya ideologi itu bathil.

Hal inilah yang menunjukkan kekalahan ideologi lain dibandingkan dengan ideologi Islam. Islam tidak hanya menjawab berbagai pertanyaan tentang kehidupan dan akhirat, tetapi juga memiliki metode, dan landasan berpikir yang sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang serba terbatas.

Dari sini, bisa kita tarik kesimpulan, bahwa Pancasila, bukanlah sesuatu yang terlalu istimewa ataupun ideologi yang mampu menjadi landasan berpikir manusia. Dan dari sini pula kita dapat memahami mengapa ideologi Islam haruslah menjadi ideologi utama kita dalam mengarungi kehidupan, baik secara pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, hingga bernegara.

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” QS. Ar Rahman (55)

Wallahu a’lam bi asshowab