ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

Senin, 27 Januari 2014

KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT ISLAM

Banyak masyarakat yang masih buta dengan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam. Hal-hal apa saja yang secara fundamental (dan makro) mendasari kehidupan ekonomi masyarakat Islam?

Islam adalah ajaran yang sempurna. Di dalamnya mencakup persoalan akidah maupun syariat. Tidak ada satu perkara pun yang ‘lolos’ dari perhatian Islam. Ini menggambarkan kesempurnaan Islam sebagai sebuah sistem hukum dan kehidupan. Firman Allah Swt:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (TQS. an-Nahl [16]: 89)

Ayat ini menegaskan bahwasanya Islam memiliki kemampuan untuk menjawab segala hal yang dihadapi oleh umat manusia, dimana pun dan pada masa apa pun. Ayat ini juga mengeliminir pandangan sempit sebagian orang yang menganggap bahwa ajaran Islam itu hanya membicarakan aspek ubudiyah saja. Padahal universalitas dan kesempurnaan Islam mencakup juga dasar-dasar maupun rincian kehidupan ekonomi.
Penerapan sistem dan hukum Islam dijalankan oleh masyarakat dan negara secara bersama-sama. Negara dalam hal ini memiliki pandangan politik ekonomi Islam, yang dijadikan sebagai arah dari seluruh kebijakan ekonomi. Yaitu cara yang ditempuh agar seluruh kebutuhan hidup pokok masyarakat terpenuhi secara sempurna, hingga mencakup masing-masing individu masyarakat, serta diberikannya kesempatan yang luas kepada seluruh lapisan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya1.
Untuk dapat menjalankan politik ekonomi Islam ini, Allah Swt telah menjelaskan dalam banyak ayat al-Quran kaidah-kaidah yang wajib diterapkan oleh negara Khilafah dan masyarakatnya, agar kehidupan ekonomi masyarakat dapat berjalan dengan sempurna dan adil. Beberapa pilar yang menjadi rambu-rambu kehidupan ekonomi, antara lain:
Pertama, jaminan atas terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat. Kewajiban ini dibebankan pertama kali kepada kaum laki-laki sebagai kepala rumah tangga, yang bertanggung jawab atas nafkah anggota keluarga yang menjadi tanggungannya, baik isterinya, anak-anaknya, atau anggota keluarga lain yang tidak mampu dan menjadi tanggungannya. Allah Swt berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan kewajiban ayah (suami) adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu (isteri) dengan cara yang ma’ruf (mencukupi dan adil). (TQS. al-Baqarah [2]: 233)
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. (TQS. ath-Thalaq [65]: 6)

Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa kebutuhan pokok, seperti makan, pakaian dan tempat tinggal, dibebankan kepada kalum laki-laki, terutama kepala keluarga, dan bukan kepada isteri maupun kaum wanita.
Meskipun demikian, apabila kaum laki-laki tidak dapat memenuhi sebagian atau seluruhnya dari orang-orang yang menjadi tanggungannya –karena beberapa sebab- maka dalam hal ini negara-lah yang mengambil alih tanggungan ini, termasuk kebutuhan masyarakat akan kesehatan, pendidikan,sarana-sarana ekonomi, fasilitas umum dan sosial yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sabda Rasulullah saw:
فأيما مؤمن مات وترك مالا فليرثه عصبته من كانوا ومن ترك دينا أو ضياعا فليأتني وأنا مولاه
Oleh karena itu, jika seorang mukmin meninggal, serta meninggalkan warisan, silakan orang-orang yang berhak memperoleh warisan itu mengambilnya. Namun jika ia meninggal sembari meninggalkan hutang atau orang-orang terlantar, maka hendaklah mereka datang kepadaku (sebagai kepala negara), sebab aku adalah wali (penanggung jawab)-nya. (HR. Ashabu as-Sittah)

Kedudukan Rasulullah saw dalam hadits diatas adalah beliau sebagai kepala negara, yang bertanggung jawab atas seluruh keadaan yang menimpa rakyatnya. Jadi, negara harus mendorong kepada kaum laki-laki untuk bekerja, dengan memperluas kesempatan kerja selebar-lebarnya bagi mereka. Pembukaan dan perluasan kesempatan kerja merupakan tugas yang harus dijalankan oleh negara. Jika masih dijumpai rakyat yang belum memperoleh kesempatan kerja, sementara masih menanggung biaya hidup dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka negara wajib menanggungnya. Khalifah Umar bin Khaththab ra pernah mengusir seorang laki-laki yang hanya berdoa di dalam masjid tidak bekerja, sementara laki-laki itu menganggap bahwa tindakannya merupakan sikap tawakal kepada Allah.
Kedua, mengedarkan/memutar harta ke seluruh lapisan masyarakat. Salah satu penyebab kesenjangan ekonomi adalah menumpuknya harta hanya pada golongan kaya saja di antara masyarakat, atau lebih banyak beredar di kawasan tertentu saja di suatu negeri. Maka negara harus membuat peraturan yang mengacu pada firman Allah Swt:
كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)

Rasulullah saw telah mempraktekkan ayat ini dengan mengeluarkan keputusan untuk membagi-bagikan ghanimah suku Nadhir (yang ditaklukkan kaum Muslim) kepada orang-orang Muhajirin saja, tanpa menyertakan orang-orang Anshar (kecuali dua orang Anshar yang sangat miskin). Penyebabnya karena orang-orang Muhajirin yang berhijrah ke Madinah, sebagian besar adalah orang-orang yang jatuh miskin karena terpaksa meninggalkan harta benda dan perniagaan milik mereka di kota Makkah, dalam rangka memenuhi perintah Allah Swt, yaitu berhijrah.
Ketiga, larangan untuk menimbun uang (kanz al-mâl). Salah satu parameter tumbuhnya perekonomian adalah perputaran mata uang yang lancar. Untuk menjamin hal ini, Islam telah melarang umatnya untuk menimbun harta (uang). Allah Swt berfirman:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan orang-orang yang menimbun (mata uang) emas (dinar) dan perak (dirham), dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka kabar gembira (bahwa) mereka akan memperoleh siksa yang pedih. (TQS. at-taubah [9]: 34)

Mensikapi ayat ini, kaum Muslim yang mempunyai kelebihan uang (harta) memiliki beberapa pilihan agar tidak termasuk orang yang menimbun hartanya, guna membebaskan dirinya dari azab/siksa Allah Swt. Yaitu menjadikan hartanya sebagai harta produktif (misalnya dijadikan modal produktif dengan usaha perdagangan barang, jasa, mendirikan pabrik, dan sejenisnya). Atau dibentuk partnership dengan sistem profit sharing (bagi hasil); dan si pemilik harta bisa memilih jenis sharing-nya; ada yang menyerahkan modalnya saja kepada partnernya, ada juga yang menyerahkan tenaga dan modalnya. Atau juga bisa diinfakkan, diwakafkan, disedekahkan, dihadiahkan, dan lain-lain untuk kepentingan maslahat kaum Muslim. Pendek kata, jika negara Khilafah menerapkan aturan dengan merujuk kepada ayat diatas, tidak akan ada harta (uang) yang menganggur. Hal ini memberi manfaat kepada anggota masyarakat lain yang memiliki keterbatasan di dalam permodalan, atau tidak mempunyai harta.
Keempat, diharamkannya aktivitas riba dan sektor ekonomi non real. Riba yang muncul dalam puluhan jenis transaksi diharamkan Allah Swt, dan Allah serta Rasul-Nya memproklamirkan perang terhadap pelaku riba:
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ
Jika kamu tidak meinggalkan sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (TQS. al-Baqarah [2]: 279)

Termasuk dalam pengertian riba adalah seluruh jenis transaksi non real, yang saat ini menjadi tulang punggung perekonomian kapitalis.
Kelima, standarisasi mata uang dengan di-peg-kannya pada sistem emas dan perak (dua logam). Uang adalah alat tukar yang sangat fleksibel. Artinya, uang menjadi alat pengganti sistem barter antar komoditas perdagangan untuk memudahkan manusia melakukan transaksi ekonomi dan perdagangannya. uang juga sekaligus bisa menjadi komoditas perdagangan, asalkan nilai intrinsik dan nominalnya sama. Uang juga harus memiliki nilai intrinsik (nilai pada zat uang itu) dan nilai nominal (nilai yang tertera pada uang berupa angka) yang sama, agar kepercayaan terhadap mata uang tetap tinggi dan stabil, tidak naik turun dengan tajam. Dan hal seperti itu hanya ditemui pada zat emas dan perak (logam mulia) saja. Sistem dua logam ini sebenarnya telah ada ribuan tahun, sejak munculnya sistem barter, hingga berakhir pada awal abad ke-20. Negara Khilafah boleh saja pada tataran praktisnya memproduksi mata uang yang terbuat dari kertas atau plastik, asalkan nilai nominal yang tertera pada uang tersebut di-back up penuh oleh cadangan emas dan perak di Baitul Mal. Dengan demikian –di dalam Islam- uang memang berfungsi sebagai alat tukar, sekaligus komoditas perdagangan yang bersifat real. Real dalam nilai intrinsik dan nominalnya. Tidak ada penipuan/kebohongan yang dilegislasi oleh UU dan peraturan internasional.
Keberadaan uang kertas dalam sistem ekonomi kapitalis sama saja dengan menyuburtumbuhkan praktek riba dan ekonomi non real. Karena sehelai kertas dengan corak warna dan gambar tertentu bisa dicap dengan nilai USD 1, atau USD 5, bahkan USD 1000, tetapi tidak di back up oleh harta (berupa emas atau perak) yang senilai dengan nilai nominal tersebut. Ini sama saja dengan nilai intrinsiknya sama dengan selembar kertas kwarto (bahkan lebih kecil lagi ukurannya) yang nilai intrinsik (zat kertas tersebut) tidak seberapa, harus dianggap bernilai USD 1000. Dan negara ‘memaksa’ rakyatnya untuk percaya dan mentransaksikan mata uang tersebut. Kita bisa mendapatkan (membeli) sepeda motor yang wujud zatnya memang berharga nominal (sekaligus intrinsiknya) USD 1000, ditukar dengan menyerahkan (menukar) selembar kertas bercap nominal USD 1000. Pemerintah tidak memberi garansi apa pun kecuali UU (peraturan saja). Tragisnya, seluruh dunia yang dikangkangi sistem ekonomi kapitalis percaya kepada permainan ‘monopoli’ uang global ini. Akibatnya, negra-negara Barat kufur yang memiliki omset ekonomi sangat besar dan menguasai perdagangan dunia, bisa mempermainkan nilai tukar mata uang untuk memperoleh keuntungan ekonomi/perdagangan. Jika perlu, mereka mampu membangkrutkan perekonomian negara-negara lain yang lebih lemah, dan menguasainya!
Keenam, pemberantasan KKN, spekulasi, perjudian, monopoli dan kartel perdagangan, dan lain-lain. Islam telah melarang perolehan harta melalui jalan yang bathil, yakni jalan yang tidak syar’i. Firman Allah Swt:
وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang bathil. (TQS. al-Baqarah [2]: 188)

Artinya, kaum Muslim diharamkan memperoleh harta melalui suap, komisi para pejabat, korupsi, kolusi, nepotisme, pungutan retribusi dan pajak (yang tidak syar’i), dan sejenisnya. Islam menyebutnya sebagai harta ghulul atau suht (yaitu harta hasil kecurangan), yang pelakunya harus dihukum!
Ketujuh, larangan eksplorasi dan eksploitasi harta milik umum (kaum Muslim) oleh pihak asing. Harta milik umum kaum Muslim dikelola hanya oleh negara dan negara tidak boleh merubah status kepemilikannya menjadi milik individu atau perusahaan swasta maupun perusahaan negara. Sebab, seluruh hasil dan keuntungannya harus disalurkan untuk kemaslahatan kaum Muslim. Deposiot sumber daya alam dan mineral serta pertambangan minyak bumi, gas, emas, perak, uranium, batubara, nikel , timah, tembaga, besi, aluminium, chrom, mangan, posfat, dan sejenisnya tidak boleh diserahkan (atau dikontakkaryakan, atau dikonsesikan) kepada pihak asing. Apalagi dijual melalui privatisasi, dengan dalih efisiensi dan memperkuat cadangan keuangan nasional.
Demikianlah, prinsip-prinsip utama yang menjadi rambu-rambu dasar ekonomi Islam. Jika saja umat sadar dan merindukan kembalinya kehidupan ekonomi Islam dengan jalan memperjuangkannya, maka kondisi kaum Muslim tidak terpuruk seperti sekarang ini.

ISLAM BERPIJAK PADA EKONOMI REAL BUKAN NON REAL

Pada masa kini, aktivitas ekonomi dan perdagangan telah didominasi oleh ekonomi non real. Padahal aspek ekonomi non real hanya menampakkan secara signifikan kemakmuran bagi para kapitalis. Rakyat lebih membutuhkan pergerakan ekonomi di sektor real. Bagaimana mekanisme Islam menumbuhkan sekstor real dan menghilangkan aspek non real.?

Skandal WorldCom yang menimpa AS pada tahun 2002 secara beruntun menjadi serial dramatis krisis keuangan dan akuntansi yang menimpa pasar saham dan pasar uang AS. Selain skandal Enron dan WorldCom, juga ada skandal Global Crossing, atau American Online yang setelah mengakuisisi Time Warner lalu mencatat kerugian hingga USD 54 milyar, atau perusahaan Xerox yang keliru membukukan pos laba-rugi sampai USD 2 milyar, atau perusahaan obat-obatan Tyco Int, Merck, hingga Adelthin. Gempuran bertubi-tubi ini membuat kalangan investor merasa khawatir akan terjungkirnya bursa saham AS, seperti pengalaman crash pada 19 Oktober 1987 yang dikenal dengan peristiwa black Monday, dimana pasar saham kehilangan 22% nilainya dalam waktu 6 jam saja.
Peristiwa ini membuat para fund manager segera menarik dananya dari saham maupun dollar AS, kemudian dialihkan untuk membeli surat-surat utang pemerintah yang dianggapnya lebih aman dan prospektif. Sebagian mengalihkannya ke dalam mata uang asing yang masih kuat dan aman, seperti euro. Dan sisanya yang lain berburu untuk menyimpannya dalam bentuk emas, yang memicu melonjaknya harga emas hingga lebih dari USD 320 per-troy ounce. Para investor merasa risih memegang dollar AS, karena dianggap memiliki tingkat resiko yang sangat tinggi saat ini. Hal itu sangat tampak dalam defisit neraca berjalannya AS yang makin membesar, pasca serangan 11 September, dengan membengkaknya secara luar biasa anggaran militer AS.
Di luar perdebatan banyak analis yang meragukan ‘kehebatan’ standar keuangan dan akuntansi AS –yang selama ini digembar gemborkan paling hebat-, apalagi lembaga-lembaga akuntansi tersohor berasal dari AS dan menjadi panutan akuntansi di dunia, seperti Standard and Poors, Arthur Andersen, Ernst and Young, dan lain-lain, muncul pertanyaan-pertanyaan pesimis, apa yang salah dalam sistem keuangan dan akuntansi kapitalis? Apakah ini menandai keruntuhan ekonomi kapitalis? Dan sampai kapan pasar-pasar derivative (pasar saham dan pasar uang dengan berbagai jenisnya) yang booming pada dekade ini mampu ditahan oleh sektor real?
Di penghujung abad ke-20, perkembangan ekonomi yang paling menonjol adalah perkembangan sistem keuangan dunia. Yang spektakular adalah pertumbuhan bond market dan money market, tentu diikuti dengan secondary market yang sangat fantastis. Pertumbuhannya melibas pertumbuhan perdagangan di sektor real. Ini berakibat pada adanya ketidakseimbangan ekonomi, terutama antara pasar uang dan pasar saham –yang bersifat non real- dengan pasar barang atau jasa –yang bersifat real-.
Bayangkan saja, berdasarkan data yang dimiliki sebuah NGO (Non Government Organization) ekonomi di AS, volume transaksi yang terjadi di pasar uang atau yang tercakup dalam currency speculation and derivative market, berjumlah USD 1,5 trilyun per hari. Sementara volume transaksi pada perdagangan sektor real dunia hanya sekitar USD 6 trilyun per tahun. Dan peningkatan perputaran volume perdagangan uang dan saham terus menanjak sesuai dengan deret ukur. Ini artinya sektor real sudah sangat over loaded. Bahkan sudah tidak mampu lagi menopang percepatan sektor non real. Modal yang diinvestasikan dalam bentuk kertas-kertas saham, atau kertas-kertas berharga dan uang kertas jumlahnya sudah sangat menggunung, melebihi nilai real dari aset kekayaan yang ada, baik berbentuk tanah, pabrik, toko, komoditas perdagangan, maupun jasa.
Tampaknya animo dan keyakinan masyarakat –khususnya masyarakat Barat- terhadap sektor non real yang diperdagangkan di dalam pasar saham dan pasar uang yang penuh dengan spekulasi, karena mereka ingin memperoleh keuntungan dalam waktu singkat dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Mereka enggan melakukan investasi di sektor real yang memerlukan waktu dan pengorbanan yang besar, sedangkan keuntungan yang diperoleh sangat sedikit. Fenomena ini dikomentari oleh Robin Hahnel dalam artikelnya, Capitalist Globalism in Crisis: Understanding the Global Economic Crisis (2002)1, dengan mengatakan bahwa financial market hanya membuat pemegang aset makin melipatgandakan jumlah kekayaannya tanpa melakukan apa-apa. Mereka memanfaatkan sarana yang ada di pasar uang untuk melakukan spekulasi guna menumpuk kekayaan mereka.
Peraih hadiah nobel untuk ekonomi tahun 1970, Paul A Samuelson2, mengomentari fenomena di pasar bursa dan pasar uang dengan mengatakan, satu hal yang paling menakjubkan dalam kegiatan spekulatif ini adalah bahwa harapan akan terpenuhi dengan sendirinya. Apabila orang membeli saham dengan harapan nilai saham akan meningkat, maka tindakan pembelian ini akan meningkatkan harga-harga saham. Ini makin membuat orang semakin terdorong untuk melakukan pembelian lagi, dan terus begitu. Namun, tidak seperti permainan kartu atau dadu, disini tidak ada yang menderita rugi sebesar keuntungan pemenang. Setiap orang memperoleh hadiahnya masing-masing. Tentu saja hadiah tersebut semuanya berupa kertas, dan akan hilang begitu orang mulai menguangkannya.
Pasar spekulatif memang sangat rentan dengan gejolak. Jika muncul krisis yang mendera pasar uang, pasar saham, dan pasar derivative lainnya, dan kepercayaan investor dan masyarakat terhadap pasar tersebut punah, maka nilai nominal yang telah mereka investasikan pasti akan dilarikan menuju sektor real. Masalahnya adalah, bahwa nilai seluruh aset sektor real yang ada saat ini sudah tidak mampu lagi menopang volume perdagangan di sektor non real. Dan jika hal itu terjadi, bencana ekonomi kapitalisme benar-benar nyata! Kertas-kertas berharga yang berbentuk uang kertas (fiat money inconvertible), check, kertas saham, surat utang, promes dan lain-lain tidak ada nilainya lagi. Hanya seonggok tumpukan kertas saja, yang tidak bisa digunakan untuk menukar ataupun membeli barang dan jasa.
Di dalam ekonomi kapitalis, dasar-dasar pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dan perdagangannya ditopang oleh ekonomi non real. Meski hal ini dipastikan akan bertemu monster bencana ekonomi, tetapi aktivitas-aktivitas sektor non real justru dilindungi, dipelihara dan ditumbuhkembangkan. Unsur-unsur non real yang sangat dominan pada sistem ekonomi kapitalis antara lain:

1. Pencetakan dan penerbitan uang kertas.
Hingga awal abad ke-20, hampir seluruh negara-negara yang ada di dunia menggunakan uang ‘real’ sebagai alat tukar dan pembayarannya. Saat itu uang disandarkan pada sistem logam emas atau perak. Tidak jarang bentuk fisik mata uangnya juga tersusun dari logam emas atau perak. Bentuk uang seperti ini dikatakan mempunyai nilai intrinsik yang nilainya sama dengan nilai (angka) nominal yang tertera pada mata uang tersebut. Karena uang mempunyai nilai intrinsik yang sama dengan nilai nominalnya, maka pemerintah tidak perlu menjamin nilai uang tersebut. Jumlah uang ditentukan oleh pasar melalui mekanisme penawaran dan permintaan akan emas dan perak.
Dewasa ini uang yang kita bawa, yang kita simpan, yang kita bayarkan untuk membeli barang atau membayar karyawan, yang kita terima sebagai gaji, semuanya adalah uang kertas yang dicetak oleh pemerintah dengan nilai nominal tertentu. Uang kertas ini tidak memiliki nilai intrinsik seperti halnya mata uang emas atau perak. Nilai intrinsiknya hanyalah sehelai kertas biasa, sama dengan kertas-kertas lainnya. Sebab, pemerintah tidak menjaminnya dengan menyediakan cadangan uang berupa emas dan perak di dalam cadangan devisanya yang disimpan di bank-bank sentral. Uang kertas jenis ini dinamakan dengan fiat money. Kertas uang tersebut oleh pemerintah dijadikan ‘uang’ hanya berdasarkan Undang-undang, dan masyarakat ‘dipaksa’ dengan Undang-undang ini supaya ‘percaya’ bahwa kertas itu benar-benar berharga sesuai dengan nilai nominalnya, padahal itu hanyalah kertas biasa yang tidak dijamin oleh pemerintah dengan jaminan apapun! Pemerintah AS misalnya, cukup mencantumkan di dalam mata uang dollarnya kata-kata, ‘legal tender for all debts, public and private’. Jadilah kertas bergambar mantan-mantan presiden AS itu berharga USD 1, USD 5, hingga pecahan USD 1.000.
Lalu berdasarklan logika apa seonggok kertas biasa bergambar mantan presiden AS (yang tidak dijamin oleh pemerintah AS) bisa ditukar untuk membeli atau mendapatkan tanah, rumah, mobil, motor, komputer dan lain-lain (yang benda dan nilainya bersifat real)?! Ini sama saja dengan bermain monopoli-monopolian. Menganggap sesuatu yang tidak real, tidak berharga dan tidak ada nilainya tiba-tiba menjadi berharga, bernilai dan seakan-akan real hanya dengan Undang-undang. Lebih parah lagi umat manusia di seluruh dunia terlibat dalam permainan ‘uang-uangan’ ini. Pantas saja ekonom Malaysia, Abdurrazak Lubis mengatakan3, uang kertas riba adalah satu-satunya ciptaan manusia yang membawa bencana, celaka, kezaliman dan malapetaka kepada seisi bumi. Mencipta artinya menjadikan, dari tidak ada menjadi ada. Ciptaan ini menggunakan kertas, mencetak angka dan memberi nilai padanya.

2. Bunga bank dan transaksi derivative.
Istilah bunga bank (interest) atau lebih dikenal dengan riba, didefinisikan lebih komprehensif oleh Syaikh Abdurrahman Taj sebagai, setiap tambahan yang berlangsung pada salah satu pihak di dalam akad mu’awwadhah tanpa memperoleh imbalan, atau tambahan tersebut diperoleh karena penangguhan4. Oleh karena itu bunga bank termasuk riba, begitu pula transaksi di pasar-pasar saham dan pasar yang menyelenggarakan transaksi derivative. Di dalam sistem ekonomi, transaksi-transaksi tersebut digolongkan ke dalam ekonomi non real. Bahkan di dalam pandangan Keynes sendiri, bunga uang itu adalah pengaruh dari angan-angan manusia, dan setiap tingkat suku bunga uang terpaksa diterima masyarakat yang di dalam pandangan orang-orang terlihat sebagai sesuatu yang menyenangkan. Lebih lanjut Keynes berpendapat bahwa suku bunga di dalam suatu komunitas masyarakat yang normal akan sama dengan nol (tidak ada bunga). Ia meyakini bahwa manusia dapat memperoleh uang melalui jalan usaha5.
Kenyataan menunjukkan bahwa kerberadaan bunga bank, dan transaksi-transaksi derivative di lantai bursa adalah angan-angan manusia dengan menggelembungkan ‘harta kekayaan’ yang dimilikinya. Padahal kekayaannya yang sebenarnya hanya sebatas angka-angka numerik pada transkrip kekayaan mereka. Kekayaan maya.
Investasi yang ditanamkan di lantai bursa dengan menjual belikan saham-saham perusahaan, hakekatnya dibeli oleh para investor bukan untuk dimiliki. Mereka sama sekali tidak terlibat dalam aktivitas real, seperti turut mengelola perusahaan yang sahamnya baru dibeli. Malahan mereka tidak bermaksud untuk memperoleh deviden perusahaan pada akhir tahun buku. Tujuan mereka adalah untuk memperoleh keuntungan (capital gain) yang besar secara cepat, disebabkan lonjakan-lonjakan harga saham yang telah mereka beli sebelumnya. Para investor merekayasa pasar modal sedemikian rupa untuk memperoleh keuntungan, dengan cara mempengaruhi harga-harga saham di berbagai negara, terutama negara-negara miskin. Karena pasar saham di negara-negara miskin dengan mudah dapat dipermainkan oleh para investor asing yang memiliki modal kuat. Akibatnya terjadi pelarian modal ke luar negeri (capital flight), yang semakin menyengsarakan dan memiskinkan negara-negara yang sudah miskin itu.

3. Transaksi jual beli yang tidak syar’i dan tergolong non real.
Yaitu jual beli yang dilakukan sebelum barangnya sempurna dimiliki oleh si penjual. Belum sempurnanya barang dimiliki oleh salah satu pihak, bisa karena memang benar-benar barang tersebut belum dimilikinya tetapi ia sudah menjualnya kepada pihak ketiga, atau bisa juga ia menjual barang tersebut setelah dibelinya, hanya saja untuk jenis komoditi itu disyaratkan adanya serah terima sebagai syarat sempurnanya pemilikan. Di dalam sistem perdagangan modern, banyak jenis-jenis transaksi yang dilakukan oleh di penjual kepada pihak lain meskipun komoditasnya belum sempurna dimiliki oleh yang bersangkutan. Future trading dengan derivasinya yang sangat banyak, adalah contoh nyata dari maraknya perdagangan sektor non real di dalam aspek ekonomi. Disamping itu di dalam khasanah Islam dikenal pula penipuan di dalam perdagangan yang disebut dengan istilah ghubnul fahisy dan tadlis. Kelebihan dari ‘harga wajar’ atas suatu barang yang sengaja direkayasa oleh si penjual, dapat dimasukkan pada aspek ekonomi non real.

Semua itu menjadi pilar-pilar dari sistem ekonomi kapitalis. Dengan demikian, kita dapat membayangkan rapuhnya jaringan keuangan dan perdagangan sistem kapitalisme yang saat ini telah menggurita seluruh dunia. Dasar-dasar sistem keuangan dan perdagangannya lebih banyak dipenuhi oleh angan-angan dan khayalan. Terbukti dengan makin menggelembungnya sektor non real ratusan kali lipat dibandingkan pertumbuhan sektor real. Sayangnya, mereka tidak mengambil pelajaran dari peristiwa crash-nya pasar saham dan keuangan mereka pada tahun 1929, 1987, 1997. Terakhir dengan terjungkalnya pasar saham dan keuangan AS setelah peristiwa 11 September dengan munculnya kasus-kasus akuntansi perusahaan-perusahaan raksasa AS. Jaringan keuangan dan perdagangan mereka bagaikan jaring laba-laba, sangat rapuh, dan kehancurannya adalah sesuatu yang niscaya. Tinggal menunggu waktu.
Di dalam kehidupan ekonomi Islam setiap transaksi perdagangan harus dijauhkan dari unsur-unsur spekulatif, riba, gharar (mengandung tipuan), majhul (tidak jelas), dlarar (mengandung kerusakan), dan yang sejenisnya. Unsur-unsur tersebut diatas sebagian besarnya tergolong aktivitas-aktivitas non real. Sebagian lainnya mengandung ketidakjelasan pemilikan, dan sisanya mengandung kemungkinan munculnya perselisihan. Islam telah meletakkan transaksi antara dua pihak sebagai sesuatu yang menguntungkan keduanya. Memperoleh manfaat yang real dengan memberikan kompensasi yang juga bersifat real. Transaksinya bersifat jelas, transparan, dan bermanfaat. Jika salah satu pihak atau keduanya dirugikan, maka hal itu adalah kedzaliman, dan harta ataupun keuntungan yang diperoleh di atas penderitaan pihak lain adalah harta dan keuntungan yang bathil. Firman Allah Swt:

وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil. (TQS. al-Baqarah [2]: 188)

Yakni janganlah kamu memakan harta pihak lain dengan cara yang tidak syar’i.
Oleh karena itu di dalam transaksi perdagangan dan keuangan, apapun bentuknya, aspek-aspek non real dicela dan dicampakkan, sedangkan sektor real memperoleh dorongan, perlindungan, dan pujian. Hal itu tampak di dalam instrumen-instrumen ekonomi maupun transaksi-transaksi berikut:

1. Islam telah menjadikan standar mata uang berbasis pada sistem dua logam, yaitu emas dan perak. Sejak masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan, mata uang Islam telah dicetak dan diterbitkan (tahun 77 H). 1 dinar emas nilainya setara dengan 4,25 gram emas, dan 1 dirham perak setara dengan 2,975 gram perak. Dengan standardisasi pada sistem dua logam tersebut, maka berarti Islam telah menjadikan mata uang sebagai alat tukar, memiliki nilai intrinsik (zatnya) dan nominal yang sama. Artinya, nilai nominal yang tercantum pada mata uang benar-benar secara real dijamin dengan zat uang tersebut (nilai intrinsiknya). Bukan ‘uang-uangan’. Dengan kata lain masyarakat dipaksa dengan Undang-undang supaya menganggap bahwa mata uangnya sebagai mata uang ‘betulan’ –sebagaimana yang terjadi saat ini-.
2. Islam telah mengharamkan aktivitas riba apapun jenisnya, melaknat/mencela para pelakunya dan memaklumkan perang terhadap pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Firman Allah Swt:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَفَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahui;lah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (TQS. al-Baqarah [2]: 278-279)

Berdasarkan hal ini, maka transaksi riba yang tampak di dalam sistem keuangan dan perbankan modern (dengan adanya bunga bank), seluruhnya diharamkan secara pasti. Termasuk transaksi-trasnsaksi derivative yang biasa terjadi di pasar-pasar uang maupun pasar-pasar bursa. Penggelembungan harga saham maupun uang sehingga tidak sesuai dengan harganya yang ‘wajar’ dan benar-benar memiliki nilai intrinsik yang sama dengan nilai nominal yang tercantum di dalamnya, adalah tindakan riba. Sabda Rasulullah saw:

الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبر بالبر ولشعير بالشعير والتمر بالتمر الملح بالملح مثلا بمثل ويدا بيد فمن زاد او استزاد فقد أربى
‘Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama-sama (nilai dan kualitasnya) setara, diserahterimakan langsung (dari tangan ke tangan). Barang siapa yang menambahkan (sesuatu nilai) atau meminta tambahan, sungguh ia telah berbuat riba’. (HR. Bukhari dan Ahmad)

3. Transaksi spekulatif, kotor dan menjijikkan nyata-nyata diharamkan oleh Allah Swt, sebagaimana firman-Nya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minmum khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (TQS. al-Maidah [5]: 90)

4. Transaksi perdagangan maupun keuangan yang mengandung dlarar, baik bagi individu maupun bagi masyarakat harus dihentikan dan dibuang jauh-jauh. Kami disini beranggapan bahwa semua transaksi yang diharamkan Allah Swt dan Rasul-Nya adalah transaksi dlarar. Dan semua transaksi yang dibolehkan Allah Swt dan Rasul-Nya adalah transaksi yang benar dan bermanfaat. Sabda Rasulullah saw:

لا ضرر ولا ضرار
Tidak boleh mencelakakan dan tidak boleh membawa celaka6.

5. Al-Ghasy. Yaitu transaksi yang mengandung penipuan, pengkhianatan, rekayasa dan manipulasi. Termasuk di dalamnya transaksi ghubnul fahisy, menyembunyikan cacat/kekurangan, tidak sesuai antara penjelasan (keterangan tertulis) dengan zatnya, dan sejenisnya. Sabda Rasulullah saw:

لا يحل لامرىء مسلم بيع سلعة يعلم أن بها داء إلا أخبره به
Tidak halal seorang muslim menjual barang yang diketahuinya mengandung cacat, kecuali (cacatnya itu) diberitahukan. (HR. Bukhari)

6. Transaksi perdagangan maupun keuangan yang belum memenuhi syarat-syarat sempurnanya kepemilikan. Seperti yang biasa dilakukan di dalam future trading. Rasulullah saw bersabda:

ولا بيع ما ليس عندك
Dan (tidak halal) jual beli yang (barangnya) tidak ada (atau tidak dimiliki) olehmu. (HR. Abu Dawud)

Seluruh jenis transaksi yang dilarang oleh Allah Swt dan Rasul-Nya ini, tergolong transaksi-transaksi non real, atau dzalim, mengakibatkan dlarar terhadap masyarakat dan negara, memunculkan ekonomi yang high cost, dan bermuara pada bencana dan kesengsaraan pada umat manusia. Sifat-sifat tersebut melekat di dalam sistem ekonomi kapitalis dengan berbagai jenis transaksinya. Konsekwensinya, bagi negara dan masyarakat yang menganut atau tunduk dan membebek pada sistem ekonomi kapitalis yang dipaksakan oleh negara-negara Barat kafir, adalah kehancuran ekonomi dan kesengsaraan hidup.
Islam telah menghilangkan seluruh unsur kezhaliman, dlarar, spekulatif, penipuan, sektor non real, dan sejenisnya di dalam transaksi-transaksi ekonominya. Maka yang tampak di depan kita adalah kesederhanaan sistemnya, transparan, jelas, tegas, adil dan bermanfaat. Transaksi seperti inilah yang didamba-dambakan oleh umat manusia.
Sayangnya, negeri-negeri Muslim saat ini, para penguasanya lebih suka mengekor di belakang sistem kapitalis Barat yang terbukti menyengsarakan dan rusak. Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk bisa menjalankan sistem ekonomi Islam yang berbasis pada sektor real hanya mampu dilakukan oleh negara yang berani menghadapi kekuatan sistem ekonomi kapitalis. Dan hal itu dapat dijalankan hanya dengan mewujudkan terlebih dahulu negara Khilafah Islamiyah. Lain tidak!

PERHATIAN NEGARA TERHADAP KESEJAHTERAAN RAKYAT (KEBUTUHAN POKOK)


Sebagian besar dari negeri-negeri muslim adalah negeri-negeri yang kaya dengan sumber alam, dan menjadi incaran rakusnya imperialisme Barat. Kenyataannya, rakyat negeri-negeri muslim jatuh miskin, kecuali segelintir orang –yaitu para penguasa dan kroninya yang kapitalis-. Bagaimana Islam memecahkan problematika kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan dalam bidang ekonomi?

Pemenuhan kebutuhan pokok (primer) merupakan persoalan penting bagi manusia. Berbagai persoalan, diakui atau tidak, tetap bermuara pada perjuangan manusia untuk memenuhi kebutuhan pokok ini. Islam, dalam hal jaminan pemenuhan kebutuhan pokok memiliki seperangkat sistem dan aturan yang luar biasa, dilihat dari aspek peran dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh masing-masing lapisan masyarakat maupun negara terhadap pemenuhan kebutuhan pokok ini.
Pemecahan Islam dalam hal ini amat berbeda dengan ideologi dan sistem kapitalisme maupun sosialisme ataupun ideologi lainnya yang ada di dunia. Islam amat memperhatikan problema-problema individu dalam pemenuhan kebutuhan pokok tanpa mengabaikan aspek-aspek makro yang berkait dengan problema masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Sebaliknya, jika Islam memperhatikan kebutuhan pokok masyarakat secara makro, pada saat yang sama Islam pun memperhatikan dengan adil problema-problema individu yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan pokok ini.
Bekerja, diwajibkan oleh Islam kepada kaum laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga, atau kaum laki-laki yang memiliki tanggungan nafkah atas keluarga maupun orang-orang yang ditanggungnya. Oleh karena itu melalaikan tanggungan nafkah yang dibebankan kepada pihak laki-laki atas orang-orang yang ditanggungnya merupakan perbuatan dosa, sama seperti melalaikan perbuatan wajib lainnya dalam ajaran Islam. Sama seperti melalaikan kewajiban shalat, shaum, zakat, haji, mengemban dakwah, menuntut ilmu, amar ma’ruf nahi munkar dan lain-lain. Allah Swt berfirman :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اْلأَرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segenap penjurunya, dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. (TQS. al-Mulk [67]: 15)

Ayat ini mendorong manusia untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan pokok.
Sedangkan firman Allah Swt:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ
Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik/pantas (ma’ruf). Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. (TQS. al-Baqarah [2]: 233)
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ
Tempatkanlah mereka (para isteri) di tempat kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. (TQS. at-Thalaq [65]: 6)

Adalah ayat-ayat yang dengan gamblang menunjukkan kewajiban atas para suami/ayah terhadap orang-orang yang ditanggungnya (seperti isteri dan anak-anaknya), agar orang-orang itu tercukupi kebutuhan pokoknya.
Begitu pula bahwa seorang laki-laki wajib menjamin dan bertanggung jawab terhadap ayah ibunya jika mereka berdua dalam keadaan kekurangan atau sudah tidak mampu lagi menghidupi diri mereka. Rasulullah saw bersabda kepada seorang laki-laki yang bertanya mengenai persoalan ini :
أنت و مالك لأبيك
Kamu dan hartamu adalah untuk (keluarga dan) bapakmu. (HR. Ibnu Majah)

Jika dijumpai orang-orang yang mengabaikan kewajiban nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya, padahal ia mampu (dalam pekerjaan maupun penghasilan), maka negara dalam hal ini berhak untuk memaksanya agar memberikan nafkah yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya.
Demikian pentingnya Islam mendorong manusia (terutama kaum laki-laki) untuk bekerja sampai-sampai Rasulullah saw memuji orang-orang yang giat bekerja dan digembirakan dengan pahala yang amat besar. Sabda Rasulullah saw:
إن من الذنوب ذنوبا لا يكفرها الصوم ولا الصلاة، قيل: فما يكفرها يارسول الله؟ قال: الهموم في طلب المعيشة
Sesungguhnya ada sebagian dosa yang tidak bisa terhapus oleh ibadah shaum dan shalat. Ditanyakan kepada beliau : ‘Apakah yang dapat menghapuskannya, wahai Rasulullah ?’ Jawab beliau : ‘ Bekerja mencari nafkah (penghidupan)’. (HR. Abu Nu’aim dalam al-Hilyah)
ما أكل أحدكم طعاما قط خيرا من أن يأكل من عمل يده
Tidaklah seseorang diantara kamu, makan sesuatu makanan, melainkan ia lebih baik memakan dari hasil keringatnya sendiri. (HR. Baihaqi)

Bahkan negara dalam hal inipun tidaklah berlaku pasif, menyerahkan urusan ini kepada masing-masing individu. Perhatikanlah bagaimana sikap dan tindakan negara (Khilafah Islamiyah) di masa Umar bin Khaththab menjadi kepala kegara (Khalifah). Suatu hari ia memasuki masjid di luar waktu shalat lima waktu, dan ia menjumpai ada dua orang yang tengah berdoa kepada Allah Swt, kemudian ia bertanya : ‘Apa yang sedang kalian kerjakan, sementara orang-orang (lain) sedang sibuk bekerja ?’ Mereka menjawab : ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah Swt.’ (Mendengar jawaban seperti itu), Umarpun marah, seraya berkata : ‘Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak (dinar mas dan dirham perak).’ Lalu Umar mengusir mereka keluar masjid, sembari memberikan kepada mereka setakar biji-bijian, dan berkata kepada mereka : ‘Tanamlah dan bertawakalah kepada Allah’
Dari sini Imam Al-Ghazali mengatakan bahwasanya wajib atas Waliyul Amri (pemerintah) memberikan dan menyediakan sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari kerja. Menciptakan lapangan kerja adalah kewajiban negara dan merupakan bagian dari tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat (ri’ayatu as-syuûn). Itulah kewajiban pertama yang diputuskan oleh syariat Islam, yang dipelihara, dijaga dan diterapkan oleh negara di masa Daulah Islamiyah berada pada puncak-puncak kejayaannya. Oleh karena itu negara wajib menyediakan lapangan kerja yang mencukupi seluruh jumlah para pencari kerja, agar tingkat pengangguran dapat ditekan serendah mungkin, sehingga setiap laki-laki yang bekerja dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, serta kebutuhan hidup orang-orang yang ditanggungnya.
Lalu, bagaimana jika seorang individu tidak mampu bekerja (karena cacat atau sakit ataupun usia tua) dan tetap tidak mampu mencukupi nafkah atas orang-orang yang ditanggungnya (karena fakir, miskin dan lain-lain) meskipun ia sudah bekerja ?
Apabila keadaan ini terjadi, maka Islam mengalihkan kewajiban nafkah itu dengan dibebankan kepada para kerabat dan muhrimnya, sebagimana firman Allah Swt::
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ
وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya, dan (ahli) warispun berkewajiban demikian… (TQS. al-Baqarah [2]: 233)

Jadi, seorang anak dalam hal ini bertanggung jawab terhadap ibu bapaknya, seorang kakak atas adik-adiknya, dan seorang adik (laki-laki) atas kakaknya (yang perempuan), seorang paman (dari ayah) atas kemenakannya, dan seterusnya.
Islam mewajibkan dan mendorong orang-orang kaya untuk menyantuni orang-orang miskin yang tidak mampu, siapapun orang-orang miskin itu. Sebagaimana firman Allah Swt:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
Dan pada harta-harta mereka terdapat hak untuk orang-orang yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapatkan bagian. (TQS. adz-Dzariyat [51]: 19)

Malahan, kaum Muslim yang tidak mempedulikan keadaan ekonomi dari tetangga-tetangganya (lingkungan sekitarnya) dengan bersikap masa bodoh terhadap penderitaan dan kesulitan ekonomi mereka, dapat dikelompokkan pada orang-orang yang tidak beriman, sebagaimana disampaikan Rasulullah saw dalam hadits qudsi:
ما آمن بي من بات شبعان و جاره جائع وهو يعلم
Tidaklah (dianggap) beriman kepadaKu, orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara ia tahu tetangganya dalam keadaan kelaparan.

Disamping itu, Islam memberikan pujian yang amat tinggi serta kedudukan yang mulia, terhadap orang-orang yang memberikan shadaqah, infaq, hibah, hadiah, waqaf dan lain-lain terhadap orang-orang yang tidak mampu.
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ
Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali. Akan tetapi jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu, dan Allah pasti menghapus kesalahan-kesalahanmu. (TQS. al-Baqarah [2]: 271)

Sabda Rasulullah saw:
سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا يظل إلا ظله ... و رجل تصدق بصدقة فأخفأها حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه
Ada tujuh golongan yang akan memperoleh perlindungan Allah pada hari dimana tidak ada lagi tempat berlindung disana … (salah satunya) adalah seseorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi, sehingga (seolah-olah) tangan kirinya tidak tahu apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dipersaudarakannya kita karena akidah yang sama, yaitu Islam oleh Allah Swt, harus ditampakkan dalam bentuk perhatian kita kepada saudara kita yang lain. Rasulullah saw dalam hal ini membuat pemisalan yang amat tinggi sebagaimana dalam sabdanya:
لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
Tidaklah sempurna iman seseorang diantara kamu (kaum muslimin), hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (HR. Bukhari dan Muslim)

Para sahabat Rasulullah saw sebagai generasi terbaik yang menerapkan ajaran Islam dalam persoalan ini telah menjalankannya secara sempurna, sampai-sampai mereka dipuji oleh Allah Swt atas kepedulian mereka terhadap sahabat lainnya serta pengorbanan mereka yang luar biasa dalam memberikan hartanya kepada saudara-saudaranya dari kalangan kaum Muslim lain. Firman Allah Swt:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
Dan mereka (kaum Anshar) lebih mengutamakan (orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka itu dalam kesusahan…. (TQS. al-Hasyr [59]: 9)

Kaum Muslim adalah orang-orang yang menjalani kehidupan bersama antar mereka sesuai dengan apa yang diperintahkan Islam terhadap mereka. Mereka saling tolong menolong, saling mengasihi, saling menjaga hubungan satu dengan yang lainnya, termasuk saling memperhatikan dan peduli dengan lainnya dalam perkara-perkara pemenuhan kebutuhan pokok. Hubungan ini dilakukan antar sesama muslim antar masyarakat, terhadap orang-orang yang amat membutuhkan, sehingga masyarakat sendiri terdorong untuk mengatasi kefakiran dan kemiskinan di wilayahnya. Sistem pemenuhan antar individu ini paling tidak dapat menutupi kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh individu tertentu.
Namun, bagaimana jika sistem antar individu inipun belum berhasil menutupi kekurangan-kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan pokok ?
Islam telah mengembalikan seluruh persoalan-persoalan yang tidak dapat dipecahkan oleh individu dan masyarakat, dengan menyerahkannya kepada negara (Khalifah/kepala negara). Dalam hal ini tidak ada alasan bagi negara untuk melalaikan kewajibannya dalam memelihara dan mengatur urusan msyarakat. Sebab ia telah diberi wewenang oleh Allah Swt untuk menerapkan hukum Islam dalam sistem ekonomi, khususnya jaminan atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok rakyatnya. Dan Allah Swt sudah mempersiapkan dunia dan seisinya ini untuk dijadikan sumber-sumber yang diperlukan bagi negara untuk memelihara dan mengatur urusan manusia. Termasuk perangkat-perangkat hukum dan sistem ekonominya yang ditawarkan oleh Allah Swt, jika saja manusia (kaum Muslim) itu bersedia beriman dan mentaati Allah Swt, dengan jalan menerapkan sistem/hukum syariat Islam. Karena hanya Islamlah yang meghasilkan kesempurnaan dan keadilan. Bukan sistem ekonomi atau ideologi lainnya yang menjadi produk buatan manusia yang lemah dan rusak.
Prinsip dasar seorang kepala negara (Khalifah dalam negara Khilafah Islamiyah) adalah sebagai Imam, pemimpin bagi seluruh rakyatnya, dan bertanggung jawab terhadap seluruh persoalan-persoalan rakyatnya. Sabda Rasulullah saw:
الإمام راع وهو مسؤول عن رعيته
Seorang Imam (kepala negara) adalah pemimpin (yang mengatur dan memelihara) urusan rakyatnya, maka ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap orang-orang yang dipimpinnya itu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw, selaku kepala negara (bukan sebagai Nabi dan Rasul) telah mengalihkan tanggung jawab mengenai pemenuhan kebutuhan pokok, jika orang-orang yang wajib memenuhinya itu tidak mampu. Beliau menekankan kewajibannya sebagai kepala negara atas rakyatnya dengan bersabda:
فأيما مؤمن مات وترك مالا فليرثه عصبته من كانوا ومن ترك دينا أو ضياعا فليأتني وأنا مولاه
Oleh karena itu, jika seorang mukmin meninggal, serta meninggalkan warisan, silakan orang-orang yang berhak memperoleh warisan itu mengambilnya. Namun jika ia meninggal sembari meninggalkan hutang atau orang-orang terlantar, maka hendaklah mereka datang kepadaku (sebagai kepala negara), sebab aku adalah wali (penanggung jawab)-nya. (HR. Ashabu as-Sittah)

Mungkin orang akan bertanya, dari mana negara yang tidak memiliki pendapatan atau devisa yang besar dapat menyantuni, mengatur dan mengurus urusan rakyat ? Maka, pertanyaan-pertanyaan seperti menunjukkan bahwa gambaran sistem ekonomi Islam yang dimiliki oleh umat benar-benar nol, begitu pula yang dimiliki oleh para penguasa kaum Muslim, sehingga bayangan yang ada dalam benak mereka hanya mengandalkan pajak, yang jelas-jelas amat memberatkan dan menyengsarakan rakyat banyak. Padahal sistem ekonomi yang berbasis pada pajak adalah sistem ekonomi yang diperkenalkan oleh negara-negara yang menjadi gembong sistem Kapitalis. Pajak juga dikenal dalam sistem kerajaan yang pernah hidup di negeri kita pada masa lampau. Mereka tidak mengetahui bahwa sistem Islam telah mengatur sistem pemilikan (ada pemilikan individu, pemilikan masyarakat/kaum Muslim secara bersama yang dikelola oleh negara untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, ada pula pemilikan negara). Mereka tidak pernah membayangkan bahwa sistem ekonomi Islam terkait pula dengan apsek-aspek lain yang harus diterapkan secara terintegrasi dalam Islam, karena berhubungan dengan konsekwensi-konsekwensi perekonomian. Perhatikan saja, istilah ghanimah (harta rampasan perang), fa’i (harta rampasan), jizyah (pungutan tahunan atas orang non muslim yang memperoleh jaminan di dalam masyarakat Islam), kharaj (pungutan tahunan atas tanah yang ditaklukan oleh kaum Muslim), dan lain-lain.
Jika saja umat ini memahami sistem Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan secara sempurna, maka mereka akan menjumpai keadilan dan ketakjuban yang luar biasa, yang jauh berbeda dengan sistem lain (seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme ataupun sistem yang berdasarkan suatu ideologi tertentu buatan manusia yang hanya menghasilkan keresahan, kezhaliman, dan kehancuran). Yang patut disayangkan adalah sikap para penguasa kaum Muslim yang buta dan enggan dengan penerapan sistem Islam, disebabkan rasa khawatir dan ketakutan yang amat berlebihan. Padahal mereka di sisi Allah tanggung jawabnya amat berat.
Seorang kepala negara bertanggung jawab penuh terhadap persoalan ini, maka renungkanlah nasehat Rasulullah saw:
إن الله سائل كل راع عما استرعاه، حفظ أم ضيع
Sungguh Allah Swt akan meminta pertanggungjawaban kepada setiap pemimpin atas apa yang dipimpinnya, apakah ia menjaganya (dengan hukum-hukum Islam) atau bahkan menyia-nyiakannya.

SOSIALISME – KOMUNISME (BAGIAN 1)

(diambil dari buku Filsafat Materialisme dan Sosialisme Dalam Kritik Ilmiah, karya Syamsuddin Ramadlan)
Pada dasarnya, sosialisme muncul sebagai bentuk penolakan dari kapitalisme. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, kapitalisme telah berimplikasi buruk terhadap nasib kaum buruh Eropa pada abad ke 19.
Di satu sisi, industrialisasi dengan kapitalisasinya telah mendorong dengan pesat laju produksi barang dan jasa, akan tetapi, di sisi yang lain, keduanya juga bertanggung jawab terhadap kesenjangan dan krisis sosial yang merugikan kaum buruh. Upah kerja rendah, jam kerja panjang, eksploitasi tenaga anak dan wanita, serta pabrik yang kurang --bahkan tidak-- memperhatikan keamanan kerja dan kesejahteraan kaum buruh,[1] telah mendorong para pemikir untuk meninjau kembali paradigma dasar kapitalisme.
Muncul kemudian Robert Owen (1771-1858) di Inggris, Saint Simon (1760-1825) dan Fourier (1772-1837) di Perancis. Mereka berusaha memperbaiki kondisi buruk akibat sistem kapitalisme dan mulai menyerukan gagasan sosialisme. Namun, usaha mereka tidak dibarengi dengan tindakan nyata, maupun konsepsi nyata mengenai tujuan dan strategi dari perbaikan itu. Akibatnya, teori-teori mereka dianggap sebagai khayalan semata (sosialisme utopis), terutama oleh Marx dan Engels.[2]
Karl Mark (1818-1883) dari Jerman, tampil ke depan. Ia juga mengecam keadaan ekonomi dan sosial yang bobrok akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalistik. Untuk mengubah kondisi masyarakat yang bobrok, Karl Mark berpendapat bahwa masyarakat harus diubah dengan perubahan radikal (revolusioner) bukan dengan perubahan tambal sulam.[3] Selanjutnya, Marx menyusun teori-teori sosial yang bertumpu pada hukum-hukum ilmiah. Ia menamakan teori sosialnya dengan nama Sosialisme Ilmiah (Scientific Socialism), untuk membedakan pahamnya dengan Sosialisme Utopis. Dalam menyusun teori-teori sosialnya Mark banyak dipengaruhi oleh filsuf Jerman Hegel (1770-1831, terutama filsafat Hegel tentang dialektika.[4] Ia dan seorang kawan dekatnya, Engels, menerbitkan berbagai macam karangan, salah satunya yang paling masyhur adalah Manifesto Komunis dan Das Kapital.[5]
Walaupun Mark pada satu sisi menyerang konsep filsafat idealisme[6], namun pada sisi lain ia mengadopsi filsafat ini untuk menjelaskan perkembangan (evolusi) masyarakat. Di tangan Karl Mark, konsep dialektika dijadikan sebagai pisau analisa sosial --terutama untuk menjelaskan kebobrokan sistem kapitalisme--, karena di dalamnya terkandung unsur yang lebih maju. Unsur dialektis ini ia perlukan untuk menjelaskan perkembangan masyarakat mulai dari masyarakat feudal, kapitalis, hingga sosialis. Untuk itu, Mark merumuskan teori dialektika materialisme (dialectical materialism). Selanjutnya, teori ini ia gunakan untuk menganalisa sejarah perkembangan masyarakat, yang ia sebut dengan materialisme historis (historical materialism).
Berdasar materialisme sejarah, Karl Mark menguraikan, bahwa kapitalisme akan runtuh oleh revolusi yang digerakkan kaum proletar untuk membuka jalan terwujudnya masyarakat sosialis-komunis.
Salah satu ide pokok yang membangun sosialisme-komunisme adalah konsep alienasi. Alienasi adalah suatu hubungan antara dua atau lebih orang atau bagian-bagian dirinya, dimana orang itu terpisah dari, menjadi asing pada, atau diasingkan dari, orang lain. Hal ini telah menjadi tema utama dalam literatur modern, seperti The Stranger (1942) Alber Camus, Nausea (1938) dan No Exit (1945) Jean Paul Sartre. Menurut Marx, kapitalisme akan membawa suatu konsekuensi dimana suatu individu menjadi terpisah dari dirinya sendiri, keluarga, teman dan pekerjaannya. Individu tidak menjadi individu yang utuh[7]. Menurut Marx alienasi berhubungan erat dengan kepemilikan individu. Bentuk alienasi yang paling pokok adalah alienasi buruh yang dijual bagaikan suatu benda. Seorang buruh telah menjual tenaga, keahliannya, waktunya kepada orang lain. Bisa dikatakan, bahwa seorang buruh telah menjual sebagian besar dari hidupnya kepada orang lain, atau karena orang lain --terutama pemilik modal-- telah menguasai atau memiliki buruh; sehingga berhak untuk "membeli" sebagian besar dari kehidupan sang buruh --ini tercermin dari panjangnya waktu kerja buruh. Buruh akhirnya benar-benar tidak memiliki arti diri yang utuh. Buruh benar-benar teralienasi hingga tidak dapat mengembangkan suatu hubungan yang lebih manusiawi dengan orang lain dalam situasi yang sama. Inilah yang disebut oleh Karl Marx sebagai manusia kapitalisme, yakni orang yang terpisah dari diri sendiri, orang lain, dan pekerjaannya. Kondisi inilah yang hendak diubah oleh Marx[8].
Konsep dasar lain yang membangun sosialisme-komunisme adalah filsafat materialisme. Secara umum Marx menyebutkan bahwa teori harus selalu dikaitkan dengan dunia nyata (materi), dan sebaliknya. Menurutnya, perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat lebih banyak disebabkan oleh perubahan-perubahan faktor ekonomi. Masyarakat berevolusi sejalan dengan berevolusinya alat-alat produksi. Walaupun ia menyerang madzhab Idealismenya Hegel, namun pokok-pokok filsafat aliran Idealisme terlihat masih berpengaruh kuat pada teori-teorinya. Marx hanya mengganti Absolute Spirit/Realitas Mutlak --yang oleh Hegel disebut dengan Tuhan--, dengan materi. Menurut Hegel, eksistensi jiwa yang mutlak ini secara bertahap akan semakin berkembang menjadi suatu tahap yang lebih tinggi dari kemerdekaan manusia. Jiwa dan materi adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, keduanya saling terikat, saling bergantung, saling mempengaruhi, walaupun menurut Hegel, jiwa lebih penting dari materi.[9]
Marx menyerang idealisme Hegel ini, dengan memaparkan penekanan kepada materi --terutama hubungan-hubungan ekonomi, bukan pada ide. Dengan menekankan kepada materi, Marx mengklaim bahwa pandangannya adalah ilmiah, karena benda atau materi tunduk dengan analisa-analisa ilmiah. Dalam hubungan-hubungan ekonomi pun berjalan sesuai dengan hukum materi, ia juga tunduk dengan analisa-analisa ilmiah; Begitu pula sejarah, serta perubahan-perubahan masyarakat semuanya tunduk dengan analisa ilmiah.
Sedangkan evolusi masyarakat diterangkan dalam dialektika sejarah. Untuk memahami analisa Mark tentang sejarah, kita harus memahami terlebih dahulu dialektika materialisme.

Materialisme Dialektis
Ada dua paradigma dasar yang diambil oleh Mark dari ajaran Hegel. Pertama, gagasan mengenai dialektika, atau pertentangan antar segi-segi yang berlawanan. Kedua, gagasan bahwa semua akan berkembang terus. Mark menolak anggapan penganut aliran Idealisme yang menyatakan, bahwa dialektika hanya terjadi di alam abstrak; yakni dalam pikiran manusia. Mark menyatakan bahwa dialektika juga terjadi pada dunia kebendaan (materi).
Lahirlah kemudian konsep dialektika materialisme. Inti dari ajaran ini adalah bahwa setiap benda atau keadaan (phenomenon) selain mengandung kebenaran, pada saat yang sama ia memiliki lawanannya (opposite). Segi-segi yang berlawanan dan bertentangan satu dengan yang lain disebut dengan kontradiksi. Dari pertentangan-pertentangan ini akhirnya berakhir dengan kesetimbangan; atau benda tersebut telah dinegasikan. [10]
Berdasarkan hukum dialektik ini, akan terjadi gerak terus-menerus, sehingga timbul suatu negasi yang lebih baru. Negasi baru akan menjadi thesa baru, yang kemudian akan dicarikan anti thesanya, sampai muncul negasi-negasi baru. Begitu seterusnya. Negasi baru, dinyatakan sebagai kemenangan atas negasi lama, atau akibat terjadinya kontradiksi-kontradiksi dalam dirinya sendiri. Sehingga, baik obyek (materi) atau fenomena melahirkan benih-benih kontradiksi yang akan menjadi penghancur dirinya sendiri, yang kemudian diubah menjadi obyek atau fenomena yang lebih maju dari yang lama. Dengan demikian, negasi, lahir dari proses penghancuran atas negasi yang lama, yang dihasilkan dari kontradiksi-kontradiksi intern. Obyek atau fenomena akan terus bergerak dari arah yang rendah mutunya ke arah bentuk yang lebih tinggi mutunya. Dari yang sederhana ke arah yang lebih kompleks, sampai tercapai wujud sempurna (absolute) yang akan memutuskan rantai dialektis.

Materialisme Historis
Dialektika materialisme digunakan dasar oleh Marx untuk menerangkan perkembangan masyarakat mulai dari masyarakat sederhana (feodal) menuju masyarakat sosialis.[11] Inilah sebenarnya yang disebut dengan Materialisme Historis (historical materialism). Dalam Manifesto Partai Komunis, Karl Marx dan Friedrich Engels (1848), menyebutkan pada bab I. Kaum Borjuis dan Kaum Proletar," Sejarah dari semua masyarakat[12]: yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Orang-merdeka dan budak, patrisir dan plebejer[13], tuan bangsawan dan hamba, tukang-ahli[14] dan tukang pembantu, pendeknya: penindas dan yang tertindas, senantiasa ada dalam pertentangan satu dengan yang lain, melakukan perjuangan yang tiada putus-putusnya, kadang-kadang dengan tersembunyi, kadang-kadang dengan terang-terangan, suatu perjuangan yang setiap kali berakhir dengan penyusunan-kembali masyarakat umumnya atau dengan sama-sama binasanya kelas-kelas yang bermusuhan. Dalam zaman permulaan sejarah, hampir di mana saja kita dapati suatu susunan rumit dari masyarakat yang terbagi menjadi berbagai golongan, menjadi banyak tingkatan kedudukan sosial. Di Roma purbakala terdapat kaum patrisir, kaum ksatria, kaum plebejer, kaum budak, dalam Zaman Tengah kaum tuan feodal, kaum vasal, kaum tukang-ahli, kaum tukang-pembantu, kaum malang, kaum hamba; di dalam hampir semua kelas ini terdapat lagi tingkatan-tingkatan bawahan. Masyarakat borjuis modern yang timbul dari runtuhan masyarakat feodal tidak menghilangkan pertentangan-pertentangan kelas. Ia hanya menciptakan kelas-kelas baru, syarat-syarat penindasan baru, bentuk-bentuk perjuangan baru sebagai ganti yang lampau.."[15]
Dengan hukum dialektikanya, Mark menganalisa perkembangan masyarakat ditinjau dari perkembangan ekonomi -- perkembangan alat produksi--, mulai masyarakat feodal, menuju masyarakat kapitalis, kemudian berakhir dengan masyarakat ideal (sosialis). Walaupun di kemudian hari teori yang melandasi lahirnya masyarakat sosialis tidak berjalan sesuai dengan rancang bangun teori Dialektika Sejarah, namun Mark berhasil menyakinkan pengikutnya bahwa pertentangan kelas hanya bisa diakhiri dengan lahirnya masyarakat sosialis.[16]
Pada dialektika sejarah, Marx menempatkan keadaan ekonomi sebagai "materi". Akibatnya, dialektika sejarah sering juga disebut dengan "analisa ekonomi terhadap sejarah" (economic interpretation of history). Dengan hukum dialektis, masyarakat berkembang dari satu kondisi, yakni masyarakat feodal, menuju masyarakat dengan kondisi yang lebih maju (masyarakat kapitalis kemudian menuju sosialis)[17]. Menurut Marx, perkembangan dialektis mula-mula terjadi dalam basis (struktur bawah) dari masyarakat, yang kemudian menggerakkan struktur di atasnya. Basis dari masyarakat itu bersifat ekonomis dan terdiri dari dua aspek yaitu cara berproduksi (misalnya teknik dan alat-alat) dan hubungan ekonomi (misalnya sistem hak milik, pertukaran (exchange), dan distribusi barang). Di atas basis ekonomi berkembanglah struktur atas yang terdiri dari kebudayaan, ilmu pengetahuan, konsep-konsep hukum, kesenian, agama, dan ideologi. Sedangkan perubahan sosial politik disebabkan karena adanya perubahan pada basis ekonomi yang dilatarbelakangi pertentangan, atau kontradiksi dalam kepentingan-kepentingan terhadap tenaga-tenaga produktif. Sedangkan lokomotif dari perkembangan masyarakat adalah pertentangan antar kelas sosial.[18]
Dengan hukum dialektis, masyarakat berevolusi dari masyarakat feudal menuju masyarakat sosialis.` Pada masyarakat feodal, keadaan ekonomi masih sangat sederhana. Alat-alat produksi juga masih sederhana. Hukum-hukum sosial yang tumbuh di masyarakat feodalpun sangat sederhana. Dalam masyarakat semacam ini, biasanya menganut sistem ekonomi tertutup. Pertukaran dilakukan dengan barter barang.
Dengan sistem ini, pada masyarakat feodal tidak dijumpai sekelompok orang yang mendominasi pasar. Namun, pada saat produksi mengalami surplus, alat-alat produksi mulai berkembang, dan munculnya exchanger (alat tukar), masyarakat feodal berubah menuju masyarakat kapitalis. Ciri masyarakat kapitalis, adalah adanya pemilik modal, dan pekerja (buruh). Kapitalis, adalah orang yang memiliki modal produksi, sedangkan buruh adalah orang yang bekerja pada suatu industri, atau bekerja pada pemilik modal. Gerak dialektis akan terus berjlan, hingga pada suatu titik, kaum proletar akan memenangkan dialektika itu dengan membentuk masyarakat komunis.[19]
Marx berpendapat bahwa, perubahan masyarakat dari feodal menuju kapitalis, hingga berakhir pada masyarakat komunis, adalah perubahan yang tidak terhindarkan lagi. Ia berjalan dengan hukum dialektika sejarah. Dialektika sejarah adalah hukum sosial, ia adalah takdir bagi masyarakat. Dalam mewujudkan masyarakat komunis, kaum proletar memegang peranan penting, untuk merebut kekuasaan dari tangan kaum kapitalis, dan mengambil alih seluruh alat produksi melalui tahap transisi yang dinamakan diktatur proletariat, sebagai pintu gerbang tercapainya masyarakat komunis. Mark berkata, "Between capitalist and communist society lies the period of the revolutionary tranformation of the one into the other. There corresponds to this also a political transition period in which the state can be nothing but the revolutionary dictatorship of the proletariat"[20].(Antara masyarakat kapitalis dan komunis terdapat satu periode transisi revolusioner dari masyarakat kapitalis menuju masyarakat komunis. Ini sesuai dengan dengan adanya peralihan politik di mana sebuah negara tidak lain tidak bukan adalah diktator revolusioner dari kaum proletar").
Menurut Mark, pertarungan antara kapitalis dengan proletar merupakan pertentangan kelas terakhir yang akan mengakhiri proses dialektis; yaitu terbentuknya masyarakat komunis yang tidak mengenal adanya kelas (classes society) dimana masyarakat dibebaskan dari keterikatannya dengan milik pribadi, tidak ada eksploitasi, penindasan, dan paksaan. Namun anehnya, masyarakat komunis yang demikian itu harus dicapai dengan kekerasan dan paksaan. Marx menyatakan, " Force is the midwife of every old society pregnant with a new one" (Kekerasan adalah bidan untuk setiap masyarakat lama yang hamil tua dengan masyarakat baru".[21]

[1] Lihat Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik; ed.xvi; 1995; PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,bab v, Komunisme dan Istilah Demokrasi dalam Terminologi Komunis; hal. 77-78. Bandingkan pula dengan, ABC Dialektika Materialis; Leon Trotsky (1939); diterjemahkan dan diedit oleh Anonim (Desember 1998) dari Leon Trotsky, The ABC of Materialist Dialectics diterjemahkan sesuai teks dalam website In Defence of Marxism.
[2] ibid, hal. 78. Lihat juga dalam pengantar (edisi Inggris yang ditulis oleh Engels) Manifesto Partai Komunis, Karl Marx & Friedrich Engels (1848); Cetakan Ketiga Yayasan Pembaruan, Jakarta 1959. Sedangkan buku aslinya adalah Manifesto of the Communist Party, Balai Penerbitan Bahasa Asing, Moskow 1959, edisi bahasa Jerman Manifest der Kommunistischen Partei, Dietz Verlag, Berlin 1958, dan edisi bahasa Belanda Het Communistisch Manifest, Pegasus, Amsterdam 1948.
[3] Paham Marxisme mengkritik kontradiksi-kontradiksi di dalam sistem kapitalis yang muncul dari individu yang secara rasional memaksimalkan kepentingan-kepentingan pribadi mereka, tanpa memperhitungkan konsekuensinya bagi keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat secara keseluruhan. Maksimalisasi kepentingan individu, menurut thesis Marxis, mendorong produksi yang berlebihan, kemudian diikuti oleh kontraksi ekonomi dan pengangguran. Para pekerja menjadi semakin miskin dan kesenjangan antar kelas borjuis dan proletar atau kelas pekerja akhirnya akan memicu suatu revolusi sosialis tanpa kelas yang berlandaskan persamaan dan solidaritas. [Robert A. Isaak, International Political Economy (terj. Ekonomi Politik Internasional; pentj. Muhadi Sugiono; ed.I, Juli 1995, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta]
[4] Hegel berpendapat, bahwa apa yang dianggap kebenaran (truth) sebenarnya hanya merupakan sebagian saja dari kebenaran itu. Kebenaran dalam keseluruhannya hanya dapat ditangkap oleh pikiran melalui proses dialektik (proses dari thesis, anti thesis, ke sinthesis, kemudian dimulai lagi dari permulaan), sampai kebenaran yang ditangkap sempurna. Ketika kebenaran menyeluruh itu (absolute idea) tertangkap, maka putuslah rantai dialektika. Dengan demikian, Hegel telah mengenalkan jenis filsafat baru sebagai bantahan atas filsafat konvensional. Dengan kata lain, ia mengenalkan, bahwa sesuatu yang mengandung sebuah kebenaran, maka pada dasarnya pada sesuatu itu mengandung unsur kebalikannya juga. Lihat Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik; ed.xvi; 1995; PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,bab v, Komunisme dan Istilah Demokrasi dalam Terminologi Komunis.Lihat pula dalam, ABC Dialektika Materialis, Leon Trotsky (1939); Diterjemahkan dan diedit oleh Anonim (Desember 1998) dari Leon Trotsky, The ABC of Materialist Dialectics diterjemahkan sesuai teks dalam website In Defence of Marxism.
[5] Ibid, hal. 78
[6] Filsuf Hegel yang pemikirannya banyak mempengaruhi Mark, adalah penganut madzhab Idealisme. Mark menyerang madzhab idealisme, namun ia juga banyak menyerap pemikiran dari Hegel, salah satunya adalah filsafat dialektika
[7] Lyman Tower Sargent; A.R. Henry Sitanggang (pentj); Ideologi-ideologi Politik Kontemporer Sebuah Analisis Komparatif; 1987; Penerbit Erlangga; hal. 76-77
[8] ibid.hal. 80
[9] ibid, hal. 81
[10] Bandingkan dengan ABC Dialektika Materialis, Leon Trotsky (1939), Diterjemahkan dan diedit oleh Anonim (Desember 1998) dari Leon Trotsky, The ABC of Materialist Dialectics diterjemahkan sesuai teks dalam website In Defence of Marxism. Lihat pula literatur mereka, semisal, Takdir Historis bagi Doktrin Karl Marx, Vladimir Lenin (1913), diterbitkan dalam Pravda No. 50, 1 Maret 1913, diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Stepan Apresyan (1963). Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Anonim (November 1998), diterjemahkan dari teks dalam Marxists' Internet Archive. Bandingkan pula dengan Ludwig Feuerbach dan Achir Filsafat Klasik Jerman, Friedrich Engels,1888, terbit di Stuttgart dalam tahun 1888. Di dalam buku ini juga dimuat ide-ide pokok mengenai dialektika materialis, keterpengaruhan terhadap pandangan-pandangan Hegel, dan lain-lain
[11] Lihat Karl Marx dan Friedrich Engels (1848), Manifesto Partai Komunis, Cetakan Ketiga Yayasan Pembaruan, Jakarta 1959.
[12] Borjuasi adalah klas kaum Kapitalis modern, pemilik-pemilik alat-alat produksi sosial dan pemakai-pemakai kerja upahan. Proletariat adalah klas kaum pekerja-upahan modern yang karena tidak mempunyai alat-alat produksi sendiri, terpaksa menjual tenaga kerja mereka untuk dapat hidup (Keterangan Engels pada edisi Inggris tahun 1888).
[13] Kaum patrisir dan plebejer adalah klas-klas di Roma Kuno. Kaum patrisir adalah klas pemilik tanah besar yang menguasai tanah dan negara. Kaum plebeyer (dari perkataan pleb -rakjat jelata) adalah klas wargakota yang merdeka, tetapi tidak mempunyai hak penuh sebagai wargakota. Untuk mengetahui klas-klas di Roma hingga soal yang sekecil-kecilnya lihatlah buku Engels, Asal-usul Keluarga, Hak Milik Perseorangan dan Negara.
[14] Tukang-ahli, yaitu seorang anggota penuh dari suata gilde, seorang ahli di dalam gilde, tetapi bukan kepala gilde.(Keterangan Engels pada edisi Inggris tahun 1888).
[15] Karl Marx dan Friedrich Engels (1848), Manifesto Partai Komunis, Cetakan Ketiga Yayasan Pembaruan, Jakarta 1959
[16] Tukang-ahli, yaitu seorang anggota penuh dari suata gilde, seorang ahli di dalam gilde, tetapi bukan kepala gilde.(Keterangan Engels pada edisi Inggris tahun 1888).
[17] Ibid. hal. 81
[18] Bandingkan dengan, Takdir Historis bagi Doktrin Karl Marx, Vladimir Lenin (1913), Diterbitkan dalam Pravda No. 50, 1 Maret 1913. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Stepan Apresyan (1963). Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Anonim (November 1998);diterjemahkan dari teks dalam Marxists' Internet Archive
[19] op.cit. hal. 82
[20] Vladimir. I. Lenin, State and Revolution, International Publishers, New York, 1932, hal. 71.
[21] Prof. Miriam Budiardjo, hal. 83.

SIKAP ISLAM TERHADAP IDE NASIONALISME

Kaum Muslim terpecah belah dalam berpuluh-puluh negara, membangga-banggakan bangsanya masing-masing, dan menonjolkan ide tentang nasionalismenya lebih tinggi dibandingkan apa pun. Tidak jarang, nasionalisme dijadikan dalih untuk membela kepentingan orang sebangsa dengan mengabaikan bangsa lain, padahal sama-sama muslim. Bagaimana sikap Islam terhadap ide nasionalisme?

Islam adalah agama yang bersifat universal. Allah Swt menurunkan dinul Islam kepada Muhammad saw, tidak lain ditujukan untuk seluruh umat manusia. Firman Allah Swt:
]وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ[
Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (TQS. Saba [34]: 28)

Ayat ini menunjukkan kelayakan risalah Islam beserta hukum-hukum Islam di dalamnya bagi seluruh umat manusia, tanpa memperhatikan lagi ras, suku bangsa, bangsa, jenis kelamin, zaman (waktu), tempat dan sebagainya. Syariat Islam sangat layak bagi umat manusia di masa Rasulullah saw hidup, masa sekarang, maupun masa yang akan datang.
Konsekuensi dari hal itu adalah kewajiban untuk menjalankan dakwah Islam ke seluruh pelosok dunia, ke setiap orang yang tidak menganut agama Islam (orang-orang kafir). Rasulullah saw bersabda:
أعطيت خمسا لم يعطهن أحد قبلي كان كل نبي يبعث الى قومه وبعثت الى كل أحمر وأسود

Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku. Dahulu setiap Nabi diutus hanya untuk kaumnya, sedang aku diutus untuk setiap orang, baik yang berkulit merah maupun hitam (untuk seluruh umat manusia)…. (HR. Ahmad)

Disamping itu, Allah Swt dan Rasul-Nya mempersaudarakan sesama muslim, tanpa melihat lagi bangsa, suku, maupun tempat tinggalnya. Dan kenyataan ini merupakan nikmat tersendiri bagi kaum Muslim yang dianugerahkan Allah Swt.
]إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ[
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. (TQS. al-Hujurat [49]: 10)
]فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا[
Maka menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara. (TQS. Ali Imran [3]: 103)

Rasulullah saw bersabda:
المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يسلمه

Seorang muslim itu adalah saudara muslim lainnya, dia tidak boleh menzhaliminya dan tidak boleh membiarkannya dizhalimi (oleh musuh). (HR. Bukhari dan Muslim)
ولا يقتل مؤمن مؤمنا في كافر ولا ينصر كافرا على مؤمن و إن ذمة الله واحدة يجير عليهم أدناهم و أن المؤمنين بعضهم موالي بعض من دون الناس

Seorang mukmin itu tidak boleh membunuh orang mukmin lainnya karena (membela) orang kafir. Seorang mukmin tidak boleh menolong orang kafir untuk (melawan) orang mukmin. Sesungguhnya jaminan (perlindungan) Allah adalah satu, yang menjaungkau orang terendah dari mereka. Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah penolong bagi sebagian lainnya. Mereka sangat berbeda dengan manusia lainnya1.

Seruan Islam adalah seruan yang bersifat universal, yaitu menyelamatkan umat manusia dari kegelapan (kekafiran dan kemusyrikan) menuju cahaya (yaitu dinul Islam). Seruan ini tidak mungkin dipalingkan menjadi seruan yang bersifat kedaerah atau kebangsaan (qaumiyah).
Nasionalisme merupakan ikatan yang dilandasi pada perasaan emosional manusia yang dimiliki secara bersama-sama dengan manusia lainnya di dalam suatu bangsa2. Ikatan ini lahir dari naluri untuk survive (untuk mempertahankan diri), perasaan senasib dan sepenanggungan, yang mendorongnya untuk melahirkan perlawanan dan keinginan untuk memimpin. Ikatan ini bukan lahir dari suatu pemikiran (ide). malah bisa dikatakan bahwa ikatan nasionalisme itu kosong dari pemikiran.
Islam telah mengharamkan propaganda kepada nasionalisme (ashabiyah, yakni fanaitsme golongan) maupun kebangsaan (qaumiyah). Islam telah mencela nasionalisme dengan kata-kata yang sangat menjijikkan, sehingga tidak patut dijadikan pengikat bagi kaum Muslim. Celaan-celaan terhadap fanatisme golongan, termasuk di dalamnya adalah ikatan kesukuan dan kebangsaan atau nasionalisme dilontarkan sendiri oleh Rasulullah saw:
من دعا إلى عصبية فليس منا

Siapa saja yang menyeru kepada ashabiyah (fanatisme golongan), maka dia tidak termasuk kita (kaum Muslim). (HR. Abu Daud)

Islam memasukkan orang-orang yang tengah berperang dan menyerukan ashabiyah, lalu mati, maka matinya sama dengan mati dalam keadaan jahiliah. Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw:
ومن قاتل تحت راية عمية يغضب لعصبية أو يدعو إلى عصبية أو ينصر عصبية فقتل فقتلة جاهلية

Siapa saja yang berperang di bawah panji kejahilan, dia marah karena ashabiyah, atau menyerukan ashabiyah, atau ikut menolong (membantu) dalam rangka ashabiyah, lalu dia mati, maka matinya adalah mati jahiliah. (HR. Muslim)

Seruan kepada nasionalisme atau kebangsaan termasuk seruan-seruan jahiliah, karena pada masa jahiliah, ikatan kesukuan berada di atas segalanya, mengalahkan kebenaran. Berbangga-bangga dengan seruan jahiliah juga dikecam oleh Rasulullah saw, dan dikelompokkan sama dengan hewan-hewan yang menjijikkan yang pekerjaannya mengais-ngais tumpukan sampah, sebagaimana sabdanya:
من تعزى بعزاء الجاهلية فأعضوه هن أبيه ولا تكنوه

Siapa saja yang berbangga-bangga dengan kebanggaan jahiliah, maka hendaklah kalian menyuruh mereka menggigit kemaluan bapaknya, dan janganlah kalian mengatakan hal itu secara samar-samar. (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Hibban, dan Thabrani)
لينتهين أقوام يفتخرون بأبائهم أو ليكونن أهون على الله من الجعل يدهده النتن بأنفه
Sungguh hina dina kaum yang membangga-banggakan nenek moyang mereka. Atau mereka itu akan benar-benar menjadi lebih hina di sisi Allah dari pada seekor ju’al (sejenis hewan) yang mengais-ngais sampah dengan menggunakan hidungnya. (HR. Ahmad dan Thabrani)

Ide nasionalisme adalah ide yang asing bagi kaum Muslim. Ide ini diusung oleh peradaban Barat kafir ke negeri-negeri muslim pada awal masa penjajahan Barat (sekitar abad ke-16). Manuver kaum imperialis itu menjadi satu bagian dari serangan mereka di bidang pemikiran terhadap kaum Muslim. Di satu sisi mereka secara politis dan militer memperlemah kekuatan dan kekuasaan negara Khilafah Islamiyah Utsmaniyah dengan cara menjajah dan mengkapling-kapling negeri-negeri Islam yang satu, menjadi puluhan negara jajahan. Di sisi lain mereka menjejalkan ke dalam benak pemikiran kaum Muslim perasaan/sentimen kedaerahan, kesukuan, dan kebangsaan. Tujuannya untuk memecahbelah kaum Muslim, dan menjauhkan umat Islam dari kebangkitannya di bawah naungan negara yang satu, yaitu negara Khialafah Islamiyah.
Siapa saja yang mengkaji sejarah Islam di masa negara Utsmaniyah, dan mencermati langkah-langkah imperialis kafir di negeri-negeri muslim yang dijajah mereka, akan menjumpai penyebarluasan propaganda kebangsaan atau nasionalisme. Merekalah yang menyerukan rasa bangga akan negeri Mesir dan peradaban Fir’aun sehingga diikuti oleh kaum Muslim Mesir; mereka juga yang mempropagandakan sentimen ke-Melayuan, ke-India-an, ke-Pakistan-an, ke-Indonesia-an, dan lain-lain. Kaum imperialislah yang berada di belakang tumbuh dan berkembangnya gerakan-gerakan nasionalisme di dunia Islam. Kaum imperialis meninggalkan wilayah jajahannya dengan menanam benih-benih yang bakal mereka panen di kemudian hari.
Kita juga akhirnya mengerti bahwa kemerdekaan banyak bangsa –yang seluruhnya adalah kaum Muslim- pada periode tahun 1940-an dan 1950-an merupakan panen pertama bagi para penjajah; yaitu terhalangnya umat Islam oleh dinding yang sangat tebal untuk bangkit kembali menjadi sebuah peradaban besar di bawah satu bendera, bendera negara Khilafah. Umat Islam terpecah belah menjadi puluhan negara, yang memiliki banyak pemimpin/penguasa, berbeda-beda UU dan konstitusinya, padahal agama mereka satu, Tuhan mereka juga satu, dan peraturan mereka (yakni syariat Islam) juga satu. Lalu, atas dasar apa mereka berpecah belah dan terkotak-kotak menjadi puluhan negara?
Berdasarkan hal ini, nasionalisme atau sentimen kebangsaan, kesukuan, golongan, ras dan sebagainya tidak mempunyai tempat di dalam Islam, dan bertolak belakang dengan ajaran Islam. Ikatan yang harus kita tumbuhkan di tengah-tengah masyarakat muslim adalah ikatan ukhuwah Islamiyah, yaitu ikatan yang menyatukan seluruh orang muslim berdasarkan akidah dan sistem (hukum) Islam yang diterapkan secara praktis di dalam Daulah Islamiyah. Selain ikatan Islam adalah bathil!
]وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ
مِنَ الْخَاسِرِينَ[
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (TQS. Ali Imran [3]: 85)

1 Ibnu Hisyam., Sirah Nabi saw., jilid I/501., Darul Fikr
2 Taqiyuddin an-Nabhani., Nizham al-Islam., p. 21., Hizbut Tahrir

MEMPERJUANGKAN ISLAM VIA PARLEMEN


Ada sebagian partai yang menamakan diri partai Islam yang memperjuangkan tegaknya Islam melalui cara bergabung dengan sistem pemerintahan (yang ada). Mereka bergabung dengan sistem pemerintahan yang tegak di atas dasar bukan Islam dan menerapkan sistem hukum bukan Islam. Bagaimanakah pandangan syariat Islam tentang bergabungnya partai-partai tersebut dalam sistem pemerintahan yang tidak menerapkan syariat Islam, malahan menegakkan sistem hukum kufur?

Allah Swt telah menjadikan Dînul Islam ini sebagai agama yang paripurna. Nikmat-Nya pun telah Dia sempurnakan. Semua ini merupakan ketetapan Zat Maha Mulia yang tidak akan pernah berubah. Allah Swt berfirman:
]وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ[
Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu (al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah kalimat-kaliamat-Nya. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (TQS. al-An’aam [6]: 115) 9)

Demikian pula firman-Nya:
]الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا[
Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian din kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku, serta Aku ridlai hanya Islam menjadi dien bagi kalian. (TQS. al-Maidah [5]: 3 )

Sungguh, kesempurnaan din dan kecukupan nikmat ini merupakan karunia tak terhingga dari Allah Swt bagi hamba-hamba-Nya. Tidak hanya itu, karunia lainnya adalah Dia-lah Zat Maha Gagah menjaga dan memelihara al-Quran dari tangan-tangan yang mencoba untuk merubah atau menggantinya.
]إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ[
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran (adz-Dzikr), dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (TQS. al-Hijr [15]: 9)

Penyempurnaan dan pemeliharaan Allah Swt ini menunjukkan bahwa al-Quran tersebut merupakan hujjah bagi manusia hingga hari kiamat. Oleh sebab itu, setiap muslim berkewajiban mengikuti semua yang dibawa Rasulullah saw dengan cara berpegang teguh kepada al-Quran dan terikat dengan as-Sunnah sekuat-kuatnya, termasuk di dalam metode dakwah untuk menegakkan Islam. Rasulullah saw telah diberi oleh Allah Swt suatu jalan (sabil/thariqah) dalam upayanya menegakkan Islam.
]قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ[
Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik. (TQS. Yusuf [12]: 108)

Di dalam sirah Rasulullah saw, yang diriwayatkan secara mutawatir bahwa beliau saw tidak pernah bergabung dengan pemerintahan/kekuasaan yang menerapkan hukum-hukum kufur. Ini saja cukup menjelaskan bahwa tauladan yang diberikan oleh utusan pilihan Allah Swt tersebut berupa tidak bergabung dengan (sistem) pemerintahan mana pun yang tidak menerapkan Islam, apalagi menerapkan hukum-hukum kufur. Padahal, Allah Swt menegaskan:
]لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ[
Sungguh, di dalam diri Rasulullah itu terdapat tauladan baik bagi kalian. (TQS. al-Ahzab [33] : 21)

Ada sedikit orang yang terpengaruh cara berpikir Barat mengatakan, dengan alasan kemaslahatan boleh bergabung dengan pemerintahan yang menerapkan hukum selain Islam. Padahal, kemaslahatan bukanlah sumber hukum Islam. Lagi pula yang lebih mengetahui kemaslahatan bagi manusia adalah Pencipta Manusia, bukan manusia itu sendiri. Jadi, dalam kacamata Islam kemaslahatan sejati justru terletak dalam pelaksanaan hukum syara. Kaidah ushul menyebutkan: ‘Dimana ada hukum syara, di situlah ada kemaslahatan’.
Begitu juga dalih bahwa pemerintahan jahiliyah pada zaman Nabi berbeda dengan pemerintahan masa sekarang, tidak dapat dijadikan sebagai alasan kebolehan bergabung dengan sistem pemerintahan yang menerapkan hukum kufur. Sebab, bila dilihat dengan jeli dan teliti inti keduanya itu sama; yaitu sama-sama tegak di atas dasar bukan Islam dan menerapkan hukum-hukum kufur. Realitasnya, pemerintahan dimana pun saat ini dasarnya berpijak pada ‘kedaulatan berada di tangan rakyat’ (Demokrasi). Artinya, rakyatlah yang menentukan hukum macam apa yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat, bukan Allah Swt. Anggota-anggota lembaga perwakilan rakyatlah (MPR/DPR) –termasuk anggota yang mengaku beragama Islam- yang membuat dasar negara, UUD, dan berbagai macam produk hukum atas dasar kehendak mereka sendiri. Sebab, lembaga itulah yang dianggap sebagai lembaga legislatif yang membuat undang-undang dan peraturan. Jadi, hukum-hukum yang diterapkan tersebut bukan berpijak atas dasar ruhiy (atas dasar iman kepada Allah Swt).
Selain itu, kebijakan politik suatu pemerintahan ditetapkan oleh negara secara kolektif. Suara seorang menteri muslim -yang katakan saja akan memperjuangkan Islam- tidak lebih dari satu suara yang hanyut oleh mayoritas suara lainnya. Bahkan, dalam prakteknya, pada saat seseorang dipilih menjadi menteri, kebijakan (haluan) politik pemerintah tentang kementriannya tersebut sudah tersedia dan dibuat oleh kepala negara maupun oleh lembaga legislatif. Menteri terpilih itu hanya memiliki dua pilihan: menjadi menteri atas dasar haluan politik yang sudah tersedia, atau menolaknya. Dia tidak berhak membuat haluan politik kementriannya itu. Sementara itu setiap menteri bertanggung jawab atas seluruh keputusan dan tindakan yang dilakukan pemerintah. Sebab, di dalam undang-undang dinyatakan bahwa pertanggungjawaban kabinet bersifat kolektif. Dengan demikian, dalam sistem pemerintahan yang ada saat ini, baik MPR/DPR, kepala negara, menteri, atau lembaga tinggi lainnya, sama-sama terlibat dalam proses pembuatan, penerapan, dan pelanggengan perundang-undangan dan hukum buatan akal dan hawa nafsu manusia. Inilah realitas sistem pemerintahan dewasa ini.
Mensikapi persoalan itu, Allah Swt dalam banyak ayat al-Quran menegaskan keharaman seorang muslim bergabung dalam sistem pemerintahan demikian. Diantaranya adalah:
1. Allah Swt mewajibkan hukum Allah-lah yang menjadi dasar pembentukan berbagai perundang-undangan dan peraturan, melarang kaum mukmin berhukum kepada syariat selain syariat Allah Swt.
]فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا[
Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (TQS. an-Nisa [4]: 65)
]وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا[
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (TQS. al-Ahzab [33]: 36)

2. Allah Zat Maha Penghisab mewajibkan penguasa muslim untuk menerapkan sistem hukum Islam. Jika tidak, Allah Swt mengkategorikannya sebagai kafir, fasik, atau zalim.
]وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ[
Barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir. (TQS. al-Maidah [5]: 44)
]وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ[
Barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang zhalim. (TQS. al-Maidah [5]: 45)
]وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ[
Barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang fasik. (TQS. al-Maidah [5]: 47)
]وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ[
Dan hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah supaya mereka tidak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS. al-Maidah [5]: 49)

3. Penentuan hukum merupakan hak Allah Swt semata.
]إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ[
Hukum itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar engkau tidak menyembah selain Dia. (TQS. Yusuf [12]: 40)

4. Salah satu karakter orang munafik adalah mengaku beriman tetapi berhukum pada hukum thâghut (hukum selain hukum Islam). Padahal Allah Swt mengharamkan berhukum kepada thâghut.
]أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا[
Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya beriman kepada apa yang diturunkan kepada engkau dan kepada apa yang diturunkan sebelum engkau? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka tela diperintahkan mengingkari thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. (TQS. an-Nisa [4] : 60)

5. Tidak boleh meninggalkan hukum Allah beralih kepada hukum selain-Nya.
]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS. al-Maidah [5]: 50)

6. Allah Swt mengharamkan seorang muslim menjadi teman dekat (bithânah) penguasa yang memerintah bukan dengan sistem hukum Islam.
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ[
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian ambil menjadi teman dekatmu orang-orang yang di luar kalanganmu (tidak beriman kepada apa yang diturunkan Allah). (TQS. Ali Imran [3]: 118)

7. Allah Swt mengharamkan kaum Muslim bermuwâlât kepada selain orang-orang Islam.
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ % فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ[
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali kalian; sebagian mereka wali bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kalian mengambil mereka sebagai wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim. Maka kalian akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: ‘Kami takut akan mendapat bencana’. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka. (TQS. al-Maidah [5]: 51 – 52)

Ayat-ayat itu dengan tegas melarang orang Yahudi, Nasrani, dan orang yang bermuwâlât kepada mereka, sebagai wâli. Memang benar, para penguasa yang ada di negeri-negeri muslim sekarang bukan Yahudi, Nasrani ataupun kaum musyrik. Namun, sikap mereka menunjukkan secara gamblang adanya muwâlât mereka kepada kaum kafir tersebut. Oleh sebab itu, siapa saja yang bermuwâlât kepada orang yang berwâli kepada Yahudi dan Nasrani, maka berarti ia telah bermuwâlât kepada Yahudi dan Nasrani.
Berdasarkan pemaparan di atas, nash-nash al-Quran secara qath’i tsubut (pasti sumber pengambilan dalilnya) dan qath’i dilalah (pasti penunjukkan dalilnya) menetapkan haram hukumnya bergabung dengan sistem pemerintahan yang menerapkan sistem hukum selain Islam.

SYURA DAN DEMOKRASI

Demokrasi adalah bagian dari Islam. Itu menurut sebagian orang. Pernyataan ini terlontar karena mereka menganggap syura (di dalam Islam) itu sama dengan Demokrasi. Apakah benar syura itu sama dengan Demokrasi?

Sebelum menyinggung benar tidaknya syura sama dengan demokrasi, ada baiknya kita mengupas lebih dahulu apa itu demokrasi dan apa itu syura. Setelah itu baru bisa ditarik persamaan-persamaannya (jika ada) dan perbedaan-perbedaannya.
Demokrasi adalah istilah yang menggambarkan sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat1. Rakyat dianggap sebagai penguasa mutlak dan pemilik kedaulatan. Rakyat berhak mengatur sendiri urusannya serta melaksanakan dan menjalankan sendiri kehendaknya. Rakyat tidak bertanggung jawab pada kekuasaan siapa pun selain kepada dirinya sendiri. Rakyat berhak membuat sendiri perturan dan undang-undang –karena mereka adalah pemilik kedaulatan- melalui para wakil mereka yang mereka pilih. Rakyat berhak pula menerapkan peraturan dan undang-undang yang telah mereka buat melalui tangan para penguasa dan hakim yang mereka pilih. Keduanya mengambilalih kekuasaan dari rakyat karena rakyat adalah sumber kekuasaan. Setiap individu rakyat, sebagaimana individu lainnya, berhak menyelenggarakan pemerintahan negara, mengangkat penguasa, serta membuat peraturan dan undang-undang2. Dengan kata lain, dalam sistem demokrasi, rakyat bertindak selaku musyarri’ (pembuat hukum) karena posisinya sebagai pemilik kedaulatan, sekaligus berperan sebagai munaffidz (pelaksana hukum) karena posisinya sebagai sumber kekuasaan.
Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang bersandar pada suara mayoritas. Penetapan/pembuatan peraturan dan undang-undang dilakukan oleh ‘wakil-wakil rakyat’ berdasarkan suara mayoritas. Suara mayoritas pula yang dilakukan untuk memilih wakil-wakil rakyat, memilih kepala negara, menjatuhkan pemerintahan dengan penggunaan mosi tidak percaya. Artinya, suara mayoritas merupakan salah satu ciri yang sangat menonjol dalam sistem demokrasi, dan mewakili pencerminan suara rakyat.
Pendek kata, demokrasi itu sangat tampak ciri-cirinya dalam hal:
1. Demokrasi itu adalah produk dari akal manusia, bukan berasal dari Allah Swt. Demokrasi tidak didasarkan pada wahyu, bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan wahyu.
2. Demokrasi lahir dari akidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan atau pemisahan urusan politik/negara dengan agama).
3. Demokrasi mengusung konsep: kedaulatan berada di tangan rakyat; rakyat adalah sumber kekuasaan.
4. Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang bersandar pada mekanisme suara mayoritas, sebagai pencerminan keinginan rakyat.
5. Demokrasi menjamin pelaksanaan dan pemeliharaan tentang: (1) kebebasan beragama/berkeyakinan, (2) kebebasan berpendapat, (3) kebebasan pemilikan, dan (4) kebebasan bertingkah laku.

Berdasarkan hal ini, demokrasi merupakan suatu pandangan hidup dan di dalamnya terangkum sekumpulan ketentuan yang berkaitan dengan peraturan, undang-undang dan mekanisme dalam suatu sistem pemerintahan.
Sedangkan syura memiliki arti meminta pendapat (thalab ar-ra’yi)3. Kata syura tercantum di dalam al-Quran, seperti:
وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. (TQS. Ali Imran [3]: 159)

Ayat tersebut mengungkapkan realitas mengenai tuntutan untuk meminta pendapat. Meskipun demikian tidak bisa dimaknai begitu saja bahwa syura itu adalah wajib. Untuk memastikan bahwa syura itu bisa dimaknai wajib, sunnah, atau mubah diperlukan indikasi-indikasi (qarinah).
Pada prakteknya, syura dilakukan oleh para pengambil kebijakan sebelum memutuskan suatu perkara. Dalam sistem pemerintahan Islam, syura dipraktekkan oleh Khalifah terhadap anggota-anggota majlis umat (majlis syura) dalam menentukan kebijakan pemerintahannya. Permintaan pendapat (syura) di dalam Islam itu mencakup perkara-perkara:
Pertama, untuk perkara-perkara yang telah ditentukan status hukumnya oleh syariat (berdasarkan teks nash-nash syara), tidak diperlukan lagi adanya pengambilan keputusan berdasarkan suara mayoritas atau pun suara minoritas. Khalifah, anggota-anggota majlis umat (majlis syura) maupun masyarakat wajib terikat dengan ketetapan Syâri, dan ketetapan tersebut wajib dilaksanakan oleh mereka seluruhnya. Jadi, ketetapan haramnya riba, haramnya zina, haramnya wanita sebagai kepala negara (Khalifah), wajibnya penerapan sistem hukum Islam secara total, wajibnya jihad fi sabilillah, dan lain-lain; semua itu tidak akan gugur meskipun mayoritas atau bahkan seluruh kaum Muslim menghendaki pembatalannya.
Contoh nyata bahwa Rasulullah saw menyelisihi pendapat mayoritas para sahabat adalah peristiwa disetujuinya oleh beliau klausul-klausul yang ada pada perjanjian Hudaibiyah. Karena disepakatinya perjanjian itu berdasarkan perintah Allah Swt, bukan berdasarkan pendapat mayoritas atau pun minoritas para sahabat. Dalam perkara ini Rasulullah saw tidak meminta pendapat kepada kaum Muslim Terhadap sahabat-sahabat beliau yang keberatan dengan klausul perjanjian itu beliau bersabda:
إني عبد الله ورسوله ولن أخالف أمره
Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua, untuk perkara-perkara yang berhubungan dengan ide, definisi, pemikiran, keahlian atau profesi, dan sejenisnya; maka yang dirujuk adalah kebenaran dan ketepatannya; bukan berdasarkan pertimbangan suara mayoritas atau minoritas. setiap perkara yang tergolong kriteria ini harus merujuk kepada ahlinya, karena mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dalam perkara-perkara tersebut.
Pendapat yang terkait dengan senjata nuklir –misalnya- yang harus dirujuk adalah pendapat pakar senjata nuklir, bukan senjata biologi. Pendapat yang terkait dengan bahasa Arab –misalnya- maka harus merujuk pada ahli bahasa Arab, bukan ahli bahasa Melayu. Pendapat yang menyangkut teori-teori sains maupun prinsip-prinsip dasar teknologi, harus merujuk pada insinyur-insinyur yang bersangkutan, bukan kepada yang lain! Pendapat seorang ahli kedokteran jauh lebih diutamakan dan layak dijadikan rujukan dari pada suara mayoritas masyarakat yang awam tentang kedokteran. Demikianlah, Rasulullah saw pernah mempraktekkan pengambilan pendapat semacam ini dalam peristiwa penentuan tempat di medan Badar. Hubab bin Mundzir bin Jamuh berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah penentuan tempat (yang dijadikan basis perkemahan/pertahanan) ini ditetapkan (berdasarkan keputusan) Allah sehingga kita tidak boleh mendahului dan mengakhirkan (yakni menetapi dengan sebenar-benarnya-pen), ataukah (penentuan tempat ini) berdasarkan pendapat yang terkait dengan perang dan strategi (tipu daya)nya? Jawab Rasulullah saw: ‘(Penentuan tempat ini) berdasarkan pendapat yang terkait dengan perang dan strategi (tipu daya)nya’4. Kemudian Hubab mengusulkan tempat lain yang lebih baik dari sisi ketersediaan logistik (kecukupan air minum) sekaligus menimbun sumber-sumber air yang bisa dimanfaatkan oleh musuh. Dan Rasulullah pun menerimanya.
Ketiga, untuk perkara-perkara yang menyangkut amal/perbuatan praktis dan tidak terkait dengan pemikiran-pemikiran dasar dan mendalam, pengambilan pendapat bisa berdasarkan mekanisme voting (suara terbanyak). Misalnya, sikap Rasulullah saw yang mengikuti suara mayoritas (yang didukung para pemuda) untuk menghadapi musuh di luar kota Madinah pada peristiwa perang Uhud. Meski beliau sendiri cenderung untuk bertahan dan menghadapi musuh di kota Madinah, tetapi beliau akhirnya mengambil pendapat mayoritas yang dilontarkan kaum Muslim. Ini menyangkut masalah praktis, tidak terkait dengan ide dan tidak akan merubah (mengganggu gugat ide dasar). Pemikiran (ide dasarnya) adalah bahwa musuh harus dihadapi oleh kaum Muslim. Adapun menghadapinya ada dua cara, yaitu, dihadapi dengan bertahan di kota Madinah, atau menyongsong musuh di luar kota Madinah. Jadi, tidak berhubungan dengan ide (yaitu apakah musuh harus dihadapi atau tidak), melainkan langsung berhubungan dengan cara-cara praktis menghadapi musuh. Seandainya yang dipilih adalah bertahan (menghadapi) musuh di kota Madinah, hal itu tidak melalaikan (membatalkan) perintah jihad fi sabilillah. Dalam perkara semacam ini mekanisme voting (berdasarkan suara mayoritas) bisa diambil.
Dari paparan tersebut tampak jelas bahwa demokrasi dengan syura itu sangat berbeda dan tidak layak dibandingkan, karena obyeknya berbeda. Syura itu hanya mekanisme pengambilan pendapat, sedangkan demokrasi merupakan visi (pandangan) hidup yang menyangkut aspek dasar (ideologis), termasuk di dalamnya pengambilan suara mayoritas di dalam parlemen.
Perbedaan lain yang mencolok adalah, syura merupakan hak kaum Muslim, yang digunakan oleh Khalifah untuk meminta pendapat tentang perkara-perkara yang menyangkut urusan kaum Muslim. Orang-orang kafir (dzimmi) tidak diperkenankan terlibat di dalam proses syura. Sedangkan suara mayoritas dalam sistem demokrasi tidak mempedulikan lagi apakah mereka itu muslim atau kafir.
Pebedaan syura dan demokrasi ibarat perbedaan antara siang dan malam. Dengan demikian, apanya yang bisa disamakan antara syura dan demokrasi?