ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

Rabu, 12 Maret 2014

DEMOKRASI SYSTEM TIPU-TIPU


Masyarakat ditipu dengan jargon-jargon yang indah tapi tidak pernah terwujud secara nyata
Banyak orang tertipu dengan demokrasi. Alih-alih kehidupan bertambah baik, Indonesia yang katanya akan kian baik jika menerapkan demokrasi secara benar malah terpuruk.
Rakyat kian jauh dari sejahtera. Hanya segelintir warganegara yang merasakan buah nikmat demokrasi. Mereka adalah elite penguasa dan para pengusaha serta kalangan berpunya.
Jargon demokrasi 'suara rakyat adalah suara tuhan' menjadi tipuan memabukkan bagi sebagian besar orang yang dulu hidup dalam penjajahan. Pengagungan suara rakyat sedemikian besar ternyata hanya di jargon. Fakta menunjukkan hal yang sebaliknya. Tidak ada penghargaan terhadap suara rakyat.
Suara rakyat hanya dikeruk saat pemilihan umum berlangsung. Setelah itu, suara rakyat tak lagi diperhitungkan.
Dalam perjalanan berikutnya, suara rakyat telah berubah menjadi suara tuan. Tuan-tuan itu
adalah para pemilik modal, orang-orang kaya yang telah menginvestasikan uang/modalnya
dalam pemilihan umum baik untuk dirinya maupun untuk para penguasa yang diusungnya.

Tidak aneh bila sering terjadi pertentangan antara suara rakyat dengan wakil rakyat dan
penguasa. Ketika rakyat ingin pendidikan murah, negara membuat UU yang mengarah
swastanisasi pendidikan. Saat rakyat ingin mandiri, negara membuka kran impor. Begitu
rakyat ingin menikmati kekayaan alamnya, negara malah menjualnya kepada asing.
Paradok-paradok itu kian kasat mata belakangan seiring pujian-pujian asing bahwa
Indonesia kian demokratis.

Kedaulatan rakyat yang menjadi pilar demokrasi, tak pernah terealisasi. Secara fakta, itu
tak mungkin terealisasi. Hanya negara kampung yang bisa mewujudkan itu, di mana semua
warganya bisa berpartisipasi menyampaikan aspirasinya. Alhasil, yang muncul adalah
modifikasi demokrasi dengan mengambil sistem perwakilan.

Namun, lagi-lagi ini bermasalah. Soalnya, wakil-wakil yang muncul hanya sekadar kamuflase
para cukong dan bandit-bandit politik untuk mengeruk kekayaan alam atas nama rakyat.
Mereka tidak menjadi representasi yang sebenarnya. Buktinya, adanya paradoks tadi.

Lahirnya berbagai peraturan dari lembaga legislatif yang bertentangan dengan kehendak
rakyat merupakan bukti berikutnya bahwa kedaulatan itu tak lagi milik rakyat. Ditambah lagi,
hampir semua peraturan perundang-undangan yang ada dirancang oleh kalangan/pihak
asing. Terus siapa yang berdaulat?

Mimpi rakyat untuk menikmati keadilan ibarat jauh panggang dari api. Hukum berlaku keras
kepada kaum papa sementara sangat lemah kepada mereka yang berkuasa. Pencuri
ecek-ecek di berbagai daerah yang terpaksa mencuri karena tak bisa makan, dikejar-kejar dan dihukum. Sementara banyak pejabat negara yang mencuri uang rakyat bisa berkeliaran
dengan leluasa. Malah ada yang bisa jalan-jalan ke mal di saat masa hukumannya
belum habis.

Dalam beberapa kasus, banyak rakyat yang belum jelas kesalahannya ditembak mati.
Sementara, kalangan elite yang sudah jelas salah malah bisa melenggang ke luar negeri
dengan alasan berobat.

Belum lagi, sudah menjadi rahasia umum, keadilan bisa dibeli. Uang bisa menentukan
status seseorang yang bersalah di muka hukum. Yang benar bisa salah, yang salah bisa
benar, dengan uang. Mafia peradilan tak pernah bisa diberantas. Akhirnya, yang lemah selalu
dikalahkan yang kuat di depan hukum sekalipun. Simbol timbangan yang setara di
pengadilan tak berlaku. Persamaan di depan hukum itu telah lenyap.

Bahkan, hukum bisa menjadi alat kekuasaan. Sebelum seseorang dihukum, hukuman sudah
ditetapkan. Proses pengadilan hanya sekadar ritual untuk mengetukkan palu. Ini terutama
terjadi terhadap orang-orang yang dianggap bersebarangan dengan negara. Hukuman
dipaksakan kendati secara materi tak terbukti.

Tak heran, banyak masyarakat tak berani menyelesaikan sengketa di pengadilan, kalau tidak terpaksa sekali. Biayanya sangat besar. Sampai-sampai muncul pameo di tengah
masyarakat: kalau lapor kehilangan ayam, nanti malah kehilangan sapi. Mengapa?
Semua butuh duit, duit, dan duit.

Masyarakat apatis terhadap jajaran hukum dan penegak hukum. Situasi ini menimbulkan
sikap main hakim sendiri. Konflik-konflik horizontal kian marak. Tawur antarkampung,
antarkampus, antarsekolah, antarsuku jadi pilihan penyelesaian masalah.

Euforia kebebasan membuat rakyat kebablasan. Semua ingin seenaknya. Rakyat melihat
para pejabatnya korupsi, tak ketinggalan mengikutinya dengan caranya sendiri. Situasi kian hari
kian tak terkendali.

Mending kalau rakyat tambah sejahtera, demokrasi telah melahirkan jurang menganga antara
si kaya dan si miskin. Jutaan orang hidup di bawah garis kemiskinan. Sebagian mereka
rela makan nasi aking. Busung lapar menjadi pemandangan yang biasa di tengah para
pejabat yang biasa berpesta.

Rakyat tercekik biaya pendidikan dan layanan kesehatan. Pelan-pelan negara melepaskan
diri dari tanggung jawabnya mengurus rakyat. Pembiaran berlangsung secara sistematis. Dan
negara lebih sibuk mengurus para pengusaha dan tuan-tuan mereka dari mancanegara. Yah,
karena memang ada fulus yang telah menantinya.

Itulah hasil sebuah demokratisasi. Akankah kita rela hidup dalam cengkeraman ideologi
seperti ini?[] humaidi

Selasa, 04 Maret 2014

Adab Berbeda Pendapat

Apakah sesama kaum Muslim dibolehkan berbeda pendapat (ikhtilaf)? Dalam perkara apa saja ikhtilaf dibolehkan?

Memang benar, bahwa sesama kaum Muslim dilarang untuk berbeda pendapat dan terpecah belah dalam berbagai firqah (kelompok-kelompok). Allah Swt berfirman:
وَلاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ
Janganlah kalian menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. (TQS. Ali Imran [3]: 105)
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
Berpeganglah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai berai. (TQS. Ali Imran [3]: 103)

Namun demikian, ayat-ayat tersebut maupun nash-nash lainnya yang melarang adanya ikhtilaf dan adanya firqah-firqah tidak mencakup seluruh perkara agama. Larangan tersebut hanya mencakup perkara ushûl (pokok) dari agama, bukan perkara furû’ (cabang). Jadi, konteks ayat di atas berkaitan dengan larangan bagi kaum Muslim untuk berikhtilaf dan bercerai berai dalam perkara-perkara ushûl (pokok) dari agama ini.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus dipahami:
Pertama, kita dilarang untuk berikhtilaf dan bercerai berai; seperti halnya orang-orang kafir yang berselisih dan bercerai berai dalam perkara-perkara pokok dari agama mereka. Misalnya, perselisihan mereka tentang ke-Nabian, Hari Kebangkitan; tentang kehidupan dan kematian; juga tentang kitab suci mereka. Di antara mereka ada yang menganggap bahwa al-Masih adalah anak Allah. Yang lainnya menganggap bahwa ‘Uzair adalah anak Allah. Yang lainnya lagi berpendapat bahwa siksa Neraka itu hanya beberapa hari saja, tidak selamanya. Banyak lagi contoh-contoh lainnya, yang seluruhnya berakibat pada munculnya banyak aliran dan sekte-sekte. Allah Swt berfirman:
مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَلاَ تَكُونُوا
مِنَ الْمُشْرِكِينَ  مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا
كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
Janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecahbelah agama mereka, dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (TQS. ar-Rum [30]: 31-32)

Kedua, kaum Muslim dibolehkan berbeda pendapat di antara mereka dalam perkara-perkara furû’ (cabang) agama. Bahkan, pada sebagian perkara, penyatuan berbagai pendapat adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan dan melanggar makna dari teks nash-nash yang ada. Jika dipaksakan juga, hal itu akan berakibat pada kesulitan dan kesengsaraan. Rasulullah saw bersabda:

«إِذَا اجْـتَهَدَ الحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ
فَلَهُ أَجْرٌ»
Apabila seorang hakim berijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka ia (memperoleh) dua ganjaran. Sebaliknya, jika ijtihadnya salah ia (memperoleh) satu ganjaran.

«لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْعَصْرَ إِلاَّ فِيْ بَنِيْ قُرَيْظَةَ»
Janganlah kalian melaksanakan shalat ‘ashar kecuali (sesampainya) di kabilah Quraidhah.

Para sahabat Rasulullah saw terbagi dua dalam memahami hadits ini. Ada yang kemudian melaksanakan shalat ashar (jama’ taqdîm) dan ada pula yang melaksanakan shalat ashar setelah sampai di Kabilah Quraidhah (jama’ ta’khîr). Rasulullah saw mendiamkan keduanya.
Yang dimaksud dengan perkara-perkara ushul adalah perkara-perkara i’tiqâdiyah, yang terbagi menjadi dua: (1) Yang diperoleh melalui pengkajian dan penelaahan akal (‘aqlî) seperti iman terhadap wujud Allah, iman bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah, dan sebagainya. (2) Yang diperoleh melalui penukilan (naqlî) dan pemberitaan (khabar) seperti iman terhadap malaikat-malaikat; iman terhadap adanya surga dan neraka; iman terhadap hari kebangkitan; iman bahwa Allah adalah Pemberi rezeki, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan; dan sejenisnya.
Sementara itu, yang dimaksud dengan perkara-perkara furû’ adalah perkara-perkara fiqih yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Perkara-perkara fiqih yang bersifat praktis pun dapat dibagi lagi menjadi dua: (1) Perkara-perkara yang sumbernya bersifat pasti (qath‘î ats-tsubût) dan penunjukkan dalilnya bersifat pasti pula (qath‘î ad-dalâlah), yaitu yang bersumber dari nash al-Quran dan hadis mutawatir, serta hanya memiliki satu makna saja (tidak ada penafsiran lainnya) terhadap teks (matan)-nya; seperti haramnya riba, minum khamar, membunuh, mencuri, berzina, dan lain-lain. (2) Perkara-perkara zhannî (baik menyangkut sumber maupun penunjukkan dalilnya atau salah satu di antara keduanya). Jika yang dimaksud adalah zhannî sumbernya (zhannî ats-tsubût), berarti berasal dari selain hadits-hadits mutawatir (yaitu khabar ahad maupun masyhur). Sedangkan yang penunjukkan dalilnya zhannî, berarti mengandung makna lebih dari satu macam.
Dari pengelompokan tersebut, kaum Muslim dibolehkan berikhtilaf dalam perkara-perkara yang penunjukkan maknanya zhannî (zhannî ad-dalâlah), baik teksnya berasal dari sumber yang pasti—yakni al-Quran dan hadits mutawatir— maupun yang bersumber dari yang zhannî—yaitu hadits ahad dan masyhur.
Para fuqaha kaum Muslim memasukkan pembahasan ini dalam topik besar dan luas, yaitu ijtihad. Ijtihad (penggalian hukum) tidak berlaku dalam perkara-perkara yang penunjukkan maknanya satu (qath’‘î ats-tsubût) dan dalam perkara-perkara ushûl yang bersifat qath‘î. Ijtihad dalam perkara-perkara ushuluddin maupun qath‘î ad-dalâlah akan berakibat pada kerusakan, kezhaliman, bahkan kekufuran. Misalnya, menyatakan bahwa ada Nabi lagi setelah Muhammad Rasulullah saw, Demokrasi dan sistem Kapitalis lebih tinggi dan lebih layak dibandingkan dengan Islam dan sistem hukum Islam; mengganti hukuman had dengan denda, penjara, dan sejenisnya. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
Berpeganglah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai berai. (TQS. Ali Imran [3]: 103)

Yang dimaksud dengan hablullâh adalah al-Quran. Demikian menurut pendapat Ali, Ibn Mas’ud, dan Sa’id al-Khudri.
Dengan demikian, perbedaan pendapat (ikhtilaf) itu ada dua jenis. Pertama, ikhtilaf yang terpuji, yaitu yang tercakup dalam perkara-perkara zhannî ad-dalâlah yang menyangkut wilayah furû’ (cabang) agama kita. Kedua, ikhtilaf yang tercela, yaitu yang tercakup dalam perkara-perkara ushuluddin dan perkara-perkara yang penunjukkan maknanya qath‘î (qath‘î ad-dalâlah).
Oleh karena, jika kaum Muslim—terutama para aktivis dakwah—memahami perkara ini, maka mereka akan dapat menentukan mana perkara-perkara yang saat ini termasuk urgen, penting, dan sangat vital bagi umat sehingga mereka bisa saling mengisi, bersatu, dan saling tolong-menolong dengan yang lainnya; serta mana perkara-perkara yang tergolong furu’ (cabang) sehingga umat tidak terjebak dan dijebak dalam polemik berkepanjangan yang tidak akan pernah selesai, bahkan dapat melemahkan mereka dan memalingkan mereka dari perjuangan yang sebenarnya, yaitu menegakkan dan menerapkan sistem (hukum) Islam secara total melalui tegaknya Negara Khilafah.

NEGARA ISLAM, SEPERTI APA?

Apakah negara-negara seperti Iran, Sudan, dan Arab Saudi termasuk negara Islam (Daulah Islamiyah)?

Banyak kaum Muslim yang salah kaprah dalam menggunakan istilah negara Islam (Daulah Islamiyah). Di antara mereka banyak yang menganggap bahwa negara-negara seperti Iran, Sudan, dan Arab Saudi sebagai negara Islam. Menurut mereka, sebutan tersebut pantas diberikan karena, paling tidak, tampak dalam pelaksanaan sebagian hukum-hukum Islam; seperti hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam bagi pelaku zina, hukum cambuk bagi peminum khamar (minuman keras), dan sejenisnya.
Untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan di atas, kita mesti mendalami lebih dulu apa yang dimaksud dengan negara Islam (Daulah Islamiyah), dan apa yang menjadi ciri-ciri sebuah negara sehingga dapat digolongkan sebagai negara Islam.
Kata negara, yang dalam bahasa Arab merupakan padanan kata daulah, sebenarnya merupakan kata asing. Artinya, kata ini tidak dikenal sebelumnya oleh orang-orang Arab pada masa jahiliyah maupun pada masa datangnya Islam. Wajar, jika kata tersebut—yang dipadankan dengan kata negara dalam bahasa Indonesia—tidak ditemukan dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Ibn al-Mandzur (w. 711H/1211M), yang mengumpulkan seluruh perkatan orang Arab asli di dalam kamusnya yang amat terkenal, Lisân al-‘Arab, juga membuktikan bahwa kata daulah tidak pernah digunakan oleh orang-orang Arab dengan pengertian negara. Ia hanya mengatakan bahwa kata daulah atau dûlah sama maknanya dengan al-‘uqbah fî al-mâl wa al-harb (perputaran kekayaan dan peperangan); artinya suatu kumpulan secara bergilir menggantikan kumpulan yang lain. Kata daulah dan dûlah memiliki makna yang berbeda. Di antaranya ada yang berarti al-idâlah al-ghâlabah (kemenangan). Adâlanâ Allâh min ‘aduwwinâ (Allah telah memenangkan kami dari musuh kami) merupakan arti dari kata daulah1.

Kepastian tentang kapan kata daulah digunakan oleh orang Arab dengan pengertian negara tidak diketahui secara pasti. Namun demikian, di dalam Muqaddimah-nya Ibn Khaldun (ditulis tahun 779H) terdapat kata daulah dengan pengertian negara. Kata ini tercantum dalam bab fî ma‘nâ al-khilâfah wa al-imâmah2.

Meskipun kata daulah dengan pengertian negara tidak tercantum di dalam al-Quran dan as-Sunah, bukan berarti realitas dari kata tersebut tidak ada di dalam Islam. Alasannya, nash menggunakan kata lain yang unik, yaitu al-khilâfah, yang menunjukkan makna yang sama dengan daulah (negara). Di dalam banyak hadits dapat dijumpai kata al-khilâfah. Di antaranya adalah hadits berikut:
«كَانَتْ بَنُوْا إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٍّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَأَنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ، وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاء فَتَكْثُرُ»
Dulu, urusan Bani Israel diatur dan dipelihara oleh para nabi. Jika seorang nabi wafat, segera digantikan oleh nabi yang lain. Akan tetapi, sepeninggalku tidak ada lagi nabi. Yang (akan) ada adalah para khalifah dan jumlahnya banyak. (HR. Muslim dalam bab Imârah)

Walhasil, gambaran real yang dimaksud oleh kata daulah (negara) telah disinggung oleh Islam dengan menggunakan kata lain, yaitu khilafah.
Ibn Khaldun juga menggunakan kata Daulah Islâmiyyah (Negara Islam). Artinya, kata daulah disifati dengan kata Islamiyyah untuk menyebut al-khilâfah3. Ia memberikan sifat Islamiyah (Islam) terhadap kata daulah (negara), karena kata daulah (negara) memiliki arti umum, mencakup negara Islam dan bukan Islam. Akan tetapi, jika kata daulah digandengkan dengan kata Islamiyyah, maka artinya sama dengan al-khilâfah. Oleh karena itu, kata Daulah Islamiyah (Negara Islam) hanya memiliki satu makna, yaitu Khilafah. Di luar itu (selain Negara Islam), Ibn Khaldun sendiri cenderung menggunakan istilah al-mulk (kerajaan) atau ad-daulah (negara) saja.
Sesungguhnya terdapat juga istilah lain yang banyak digunakan oleh para fuqaha yang menggambarkan realitas yang sama dengan Daulah Islamiyah atau Khilafah, yaitu Dâr al-Islâm. Kata Dâr al-Islâm juga merujuk pada nash-nash syariat dan memiliki makna syar‘î (al-haqîqah as-syar‘iyyah). Kata tersebut dijumpai, antara lain, dalam hadits berikut:

Ajaklah mereka kepada Islam. Jika mereka memenuhi ajakanmu, terimalah mereka, dan cegahlah (tanganmu) untuk memerangi mereka. Kemudian, ajaklah mereka berhijrah dari negeri mereka (dâr al-kufr) ke negeri kaum Muhajirin (dâr al-Muhajirîn). Beritahukanlah kepada mereka, jika mereka melakukannya, mereka akan memperoleh hak-hak dan kewajiban yang sama dengan kaum Muhajirin. (HR Muslim)

Lawan kata dari dâr al-Islam adalah dâr al-kufr, dâr al-musyrik, atau dâr al-harb. Kata Dâr al-Islâm sendiri acapkali disamakan dengan kata dâr al-Hijrah atau dâr al-Muhâjirîn.
Dari sini, sebenarnya terdapat kesepadanan pengertian dan realitas yang sama pada kata Daulah Islamiyah, Khilafah, dan dâr al-Islam.
Selanjutnya, apa yang menjadi ciri sebuah negara yang tergolong sebagai dâr al-Islam, atau Daulah Islamiyah, atau Khilafah?
Imam Abu Hanifah menjelaskannya melalui pengertian yang terbalik. Beliau menjelaskan syarat-syarat sebuah dâr al-kufr, yaitu: (1) Di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur; (2) Bertetangga (dikelilingi) dengan negeri kufur; (3) Kaum Muslim dan non-Muslim (dari kalangan ahlu dzimmah) tidak memperoleh jaminan keamanan dengan keamanan Islam4.
Sementara itu, Syaikh ‘Abdul Wabhab Khallaf, dalam bukunya, as-Siyâsah asy-Syar‘iyyah, lebih gamblang mendefinisikannya sebagai berikut:

Dâr al-Islam adalah dâr (daerah/negeri) yang di dalamnya dijalankan hukum-hukum Islam, sementara sistem keamanan di dalamnya berada dalam sistem keamanan Islam, baik mereka itu Muslim ataupun ahlu dzimmah5.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan lagi bahwa suatu tempat/negeri dapat digolongkan sebagai dâr al-Islam jika memenuhi dua syarat: (1) Diterapkannya sistem hukum Islam; (2) Sistem keamanannya berada di tangan sistem keamanan Islam, yaitu berada di bawah kekuasaan mereka6. Beliau menambahkan lagi bahwa jika salah satu syarat dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, secara otomatis, tempat/negeri tersebut tidak bisa digolongkan sebagai dâr al-Islam.
Berdasarkan uraian di atas, negara-negara seperti Iran, Sudan, dan Arab Saudi, tidak bisa dikategorikan sebagai dâr al-Islam, atau Daulah Islamiyah (Negara Islam), atau Khilafah Islamiyah. Memang benar, negara-negara tersebut menerapkan hukum Islam, tetapi secara parsial, yakni terbatas pada hukum hudûd, jinâyat, dan al-ahwâl as-syakhshiyyah (hukum perdata). Sebaliknya, negara-negara tersebut tidak menjalankan hukum-hukum di bidang ekonomi, pemerintahan, politik dalam dan luar negeri, militer, pergaulan sosial, pendidikan, dan lain-lain. Apalagi negara seperti Arab Saudi, sistem keamanannya sangat bergantung pada AS dan sekutunya (Ingat keberadaan ribuan tentara AS di Arab Saudi). Bahkan, saat ini, tidak ada satu negeri Islam pun yang terkategori sebagai Daulah Islamiyah (Negara Islam), Khilafah Islamiyah, atau dâr al-Islam. Yang ada hanyalah negeri-negeri Islam (bilâd Islamiyah).

Minggu, 02 Maret 2014

‘Jalan Tengah’, Bukan Jalan Islam

Pada saat ini, banyak kaum Muslim yang melakukan praktik-praktik kompromi, baik dalam bidang politik dalam negeri, politik luar negeri dengan negara-negara asing, dan berbagai interaksi lainnya. Mereka akhirnya terperangkap dalam kesukaannya bersikap moderat (jalan tengah); seolah-olah sikap moderat itulah yang benar, yang paling selamat, dan yang paling diterima semua pihak. Apa sesungguhnya jalan tengah atau sikap moderat itu? Bagaimana sikap kita, kaum Muslim, terhadap penggunaan istilah tersebut?

Istilah jalan tengah (sikap moderat) tidak pernah muncul di tengah-tengah kaum Muslim dan bukan berasal dari ajaran Islam. Jalan tengah adalah istilah asing yang bersumber dari Barat dengan ideologi Kapitalismenya. Ideologi inilah yang telah membangun akidahnya di atas dasar jalan tengah. Jalan tengah itu sendiri merupakan kompromi yang lahir akibat pertarungan atau konfrontasi berdarah antara gereja dan para raja yang mengikutinya di satu pihak dengan para pemikir dan filosof Barat di pihak lain. Pihak pertama memandang Kristen sebagai agama yang layak untuk mengatur seluruh urusan kehidupan, sementara pihak kedua memandang bahwa agama Kristen tidak layak untuk itu—karena Kristen dianggap sebagai penyebab kehinaan dan ketertinggalan—dan bahwa akal manusialah yang mampu menciptakan peraturan yang layak untuk mengatur segala urusan kehidupan.
Setelah pertarungan yang sengit di antara kedua belah pihak ini, keduanya menyepakati suatu jalan tengah, yaitu: mengakui eksistensi agama untuk mengatur interaksi manusia dengan Tuhan, tetapi agama (Tuhan) tidak diberi hak untuk turut campur dalam kehidupan; pengaturan urusan kehidupan sepenuhnya diserahkan kepada manusia. Dari sini, mereka lantas menjadikan ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) sebagai akidah bagi ideologi mereka, yakni kapitalisme. Di atas dasar ideologi yang bertumpu pada sekularisme inilah, mereka mampu meraih kebangkitan dan kemudian menyebarluaskan ideologinya kepada manusia lain melalui jalan penjajahan (imperialisme).

Prinsip jalan tengah atau sikap moderat—yang berbau kompromistik itu—yang menjadi landasan akidah mereka akhirnya menjadi ciri menonjol dalam setiap hukum atau perilaku penganut ideologi kapitalisme, terutama dalam masalah-masalah politik. Dalam masalah Palestina, misalnya, kaum Muslim menuntut agar seluruh bumi Palestina menjadi negeri mereka. Pada saat yang sama, pihak Yahudi mengklaim Palestina sebagai tanah yang dijanjikan Allah bagi mereka, sehingga semuanya adalah milik mereka. Negara-negara Barat yang Kapitalis pun kemudian menyodorkan suatu solusi jalan tengah—yang juga berbau kompromistik—pada tahun 1948, yaitu rencana pembagian tanah untuk mendirikan dua negara di Palestina: satu untuk Arab dan satu lagi untuk Yahudi. Pemecahan jalan tengah ini tampak jelas pula dalam berbagai masalah internasional yang dikendalikan oleh negara-negara Kapitalis; seperti dalam masalah Kashmir, Cyprus, Bosnia, dan sebagainya.
Prinsip tersebut selanjutnya menjadikan kebijakan mereka selalu bertumpu pada kedustaan dan penghindaran diri dari masalah; tidak ditujukan untuk memperoleh semua hak yang seharusnya dimiliki, tetapi hanya sebagian hak saja, entah sedikit atau banyak. Artinya, prinsip tersebut tidak ditujukan untuk meraih semua hak, tetapi untuk mencapai suatu kompromi dari kedua belah pihak. Prinsip demikian ditempuh bukan karena benar, melainkan karena mempertimbangkan kondisi kekuatan dan kelemahan setiap pihak. Pihak yang kuat mengambil bagian yang diinginkannya jika memang mampu, sedangkan pihak yang lemah melepaskan bagian yang tidak mampu didapatkannya (prinsip take and give).
Alih-alih mengkritik serta membongkar kekeliruan atau kepalsuan ide jalan tengah, sebagian kaum Muslim malah mengambilnya dan menyerukan bahwa ide tersebut juga ada dalam ajaran Islam. Islam bahkan, menurut mereka, berdiri di atas prinsip jalan tengah. Mereka selanjutnya menyatakan bahwa Islam itu terletak di antara spiritualisme dan materialisme, di antara individualisme dan kolektivisme, di antara sikap ‘realistis’ dan ‘idealis’, serta di antara kemapanan dan perubahan. Lebih jauh, Islam, kata mereka, tidak mengenal sikap berlebih-lebihan atau sikap lalai; tidak juga melampaui batas atau kurang dari batas; dan seterusnya.
Untuk membuktikan pendapatnya, mereka lalu melakukan pengkajian terhadap segala fakta yang ada. Mereka menyimpulkan bahwa segala sesuatu mempunyai dua ujung dan titik tengah. Titik tengah adalah daerah yang aman, sementara kedua ujung selalu terancam bahaya dan kerusakan. Titik tengah adalah pusat kekuatan serta daerah kesetaraan dan keseimbangan bagi dua ujung. Selama titik tengah atau jalan tengah memiliki keistimewaan-keistimewaan ini, maka tidak aneh jika prinsip jalan tengah senantiasa tampak dalam setiap segi ajaran Islam. Walhasil, kata mereka, Islam adalah pertengahan antara keyakinan dan peribadatan, antara hukum dan akhlak, dan seterusnya.

Setelah melakukan analogi melalui jalan rasionalisasi terhadap hukum-hukum Islam dengan fakta benda-benda yang ada, mereka mencari bukti lain dalam nash-nash syariat. Mereka lantas memperkosa nash-nash syariat tersebut, dan kemudian menundukkannya di bawah pemahaman baru mereka agar bisa cocok dengan pendapat mereka itu. Mereka selanjutnya mengutip firman Allah Swt:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Demikian pula, Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kalian. (TQS. al-Baqarah [2]: 143)

Mengenai ayat tersebut, mereka menyatakan bahwa kedudukan pertengahan umat Islam diambil dari metode (manhaj) dan peraturan hidup (nizhâm) umat yang bersifat tengah-tengah. Di dalamnya, tidak ada sikap berlebih-lebihan ala Yahudi atau sikap meremehkan ala Nasrani. Mereka mengatakan bahwa kata wasath artinya adalah adil. Adil, menurut sangkaan mereka, adalah pertengahan antara dua ujung yang saling bertentangan. Dengan demikian, mereka mengartikan adil dalam konteks ‘perdamaian’ (shulh) demi mendukung prinsip jalan tengah.
Padahal, makna yang shahih untuk ayat itu adalah, bahwa umat Islam itu merupakan umat yang adil. Sementara itu, keadilan (‘adâlah) adalah termasuk salah satu syarat seorang saksi dalam Islam. Dengan kata lain, ayat di atas mengandung makna bahwa umat Islam kelak akan menjadi saksi yang adil bagi umat-umat lain (pada hari Kiamat) karena umat Islam telah menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Meskipun berbentuk kalimat berita (ikhbâr), ayat ini mengandung tuntutan (thalab) dari Allah Swt kepada umat Islam agar menyampaikan Islam kepada umat-umat lain. Jika umat Islam tidak mengerjakan tugas ini, mereka akan berdosa. Dengan demikian, umat Islam akan menjadi hujjah (saksi yang adil) bagi umat-umat lain. Hal ini sama halnya dengan Rasulullah saw yang kelak akan menjadi hujjah (saksi yang adil) atas umat Islam karena beliau telah menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Allah Swt. berfirman:
لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ
Supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian. (TQS al-Hajj [22]: 78)

Ayat di atas menerangkan bahwa Rasulullah saw akan menjadi hujjah atas umat Islam pada hari Kiamat nanti, karena beliau telah menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Rasulullah saw juga telah memerintahkan umat Islam untuk menyampaikan risalah Islam kepada umat yang lain. Rasulullah saw bersabda:

Perhatikanlah, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir.

Selain itu, mereka juga berdalil dengan firman Allah Swt:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
(Hamba-hamba Allah yang baik adalah) orang-orang yang jika membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir; pembelanjaan itu berada di tengah-tengah yang demikian. (TQS. al-Furqan [25]: 67)

Berdasarkan ayat ini, mereka menetapkan bahwa dalam konteks pembelanjaan harta (infak), ada dua ujung; yaitu berlebih-lebihan (isyrâf) dan kikir (taqtîr, bakhil). Mereka menetapkan adanya jalan tengah dalam infak, yaitu pertengahan (qawam). Sikap demikian, menurut pandangan mereka, adalah dalil mengenai jalan tengah dalam berinfak.
Mereka tidak menyadari bahwa makna ayat itu adalah bahwa terdapat 3 (tiga) macam infa, yaitu: berlebih-lebihan, kikir, dan pertengahan.
Berlebih-lebihan (isyrâf, tabdzîr) adalah tindakan membelanjakan harta dalam perkara-perkara yang haram, baik sedikit ataupun banyak. Jika seseorang membelanjakan harta satu dirham saja untuk membeli khamar, atau untuk berjudi, atau untuk menyuap, maka tindakan demikian termasuk tindakan berlebih-lebihan (isyrâf). Hukumnya adalah haram.
Kikir (taqtîr, bakhil) adalah mencegah diri untuk menginfakkan harta dalam perkara yang wajib. Artinya, kalau, misalnya, seseorang tidak membayar satu dirham dari ketentuan zakat mal yang wajib dikeluarkannya, atau tidak menafkahi orang-orang yang wajib dia beri nafkah, maka ini adalah kikir. Hukumnya juga adalah haram.
Sementara itu, infak yang pertengahan (qawam), adalah membelanjakan harta sesuai dengan tuntunan hukum-hukum syariat, baik banyak maupun sedikit. Memuliakan seorang tamu dengan menyuguhkan seekor kambing, atau seekor ayam, atau seekor unta, adalah infak yang pertengahan. Hukumnya adalah halal. Sikap demikian didasarkan pada potongan firman Allah Swt:
وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ
.…di antara yang demikian itu.... (TQS. al-Furqan [25]: 67)

Ayat di atas tujuannya untuk menunjukkan adanya 3 (tiga) macam infak, yaitu: berlebih-lebihan, kikir, dan pertengahan. Satu dari ketiga macam infak itu adalah perkara yang dituntut oleh syariat, yaitu yang pertengahan (qawam). Allah tidak mengatakan bayna dzalikumâ (di antara keduanya) untuk menunjukkan pertengahan di antara dua hal yang berbeda.
Atas dasar itu, dalam Islam, tidak ada yang namanya sikap kompromi atau jalan tengah. Sebab, Allah Swt—Yang menciptakan manusia dan mengetahui hakikatnya dengan suatu pengetahuan yang tidak mungkin diketahui oleh manusia itu sendiri—adalah Zat satu-satunya Yang mampu mengatur kehidupan manusia secara cermat dan teliti yang tidak akan mungkin dicapai oleh seorang pun. Hukum-hukum Allah datang dengan batas-batas yang tegas, tidak ada kesan sedikit pun bahwa di dalamnya ada kompromi atau jalan tengah. Sebab, memang tidak ada kompromi atau jalan tengah dalam nash-nash dan hukum-hukum Islam. Bahkan sebaliknya, berbagai nash dan hukum Islam sangatlah teliti, terang, dan jelas batas-batasnya. Karena itulah, Allah menamakannya dengan istilah hudûd (batas-batas) karena ketelitian dan kecermatan di dalam hukum-hukum-Nya. Allah Swt berfirman:
وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Itulah hukum-hukum Allah; diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (TQS. al-Baqarah [2]: 230)
وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya. (TQS. an-Nisa’ [4]: 14)

Adakah kompromi atau jalan tengah dalam sabda Rasulullah saw kepada pamannya, Abu Thalib, ketika kaum Quraisy menawarkan kepada beliau pangkat, harta, dan kehormatan agar beliau mau meninggalkan Islam? Yang ada pada saat itu justru ketegasan sikap Rasulullah saw ketika beliau berkata:

Demi Allah, wahai Paman, andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini (Islam), niscaya aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan perkara itu atau aku binasa karenanya.

Adakah pula sikap moderat atau jalan tengah dalam sabda Rasulullah kepada kabilah ‘Amir ibn Sha’sha’ah ketika mereka meminta kekuasaan sepeninggal beliau sebagai kompensasi dari pertolongan yang mereka berikan kepada beliau? Pada saat itu pun, secara tegas Rasulullah saw menyatakan:
«الأَمْرُ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَضْعُهُ حَيْثُ يَشَاءُ»
Perkara ini (kekuasaan) adalah milik Allah azza wa jalla yang akan diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Walhasil, sikap kompromi atau jalan tengah adalah ide yang sangat asing dalam pandangan Islam. Ide semacam ini disusupkan ke dalam ajaran Islam oleh orang-orang Barat dan agen-agennya dari kalangan kaum Muslim. Mereka memasarkan ide tersebut kepada kaum Muslim atas nama keadilan dan toleransi. Tujuannya adalah untuk menyimpangkan kaum Muslim dari berbagai ketentuan dan hukum Islam yang telah jelas batas-batasnya.

Demonstrasi: Yang Boleh dan Yang Terlarang

Beberapa tahun terakhir ini, aktivitas demonstrasi, unjuk rasa, atau aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat semakin marak. Apa sesungguhnya hukum demonstrasi menurut pandangan Islam?

Demonstrasi ataupun unjuk rasa merupakan salah satu cara untuk menampakkan aspirasi ataupun pendapat masyarakat (ta‘bîr ar-ra’yi) secara berkelompok. Secara umum, aktivitas menampakkan aspirasi atau pendapat (ta‘bîr ar-ra’yi) di dalam Islam adalah perkara yang dibolehkan (mubah). Hukumnya sama seperti kita mengungkapkan pandangan atau pendapat tentang suatu perkara. Hanya saja, hal ini dilakukan oleh sekelompok orang.
Di dalam terminologi bahasa Arab, demonstrasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Muzhâharah (demonstrasi), yaitu aksi sekelompok masyarakat di tempat-tempat umum untuk menuntut perkara-perkara tertentu yang sudah menjadi tugas negara atau para penanggung jawabnya. Para demonstran dalam aksinya tersebut biasanya melakukan pengrusakan, penghancuran, dan pembakaran barang-barang milik negara ataupun barang-barang milik individu.
2. Masîrah (unjuk rasa), hampir sama dengan demonstrasi, yaitu aksi sekelompok masyarakat untuk mendukung atau menuntut sesuatu. Akan tetapi, tidak disertai pengrusakan, penghancuran, dan pembakaran atas barang-barang milik umum maupun khusus (milik individu).

Dengan demikian, muzhâharah (demonstrasi) tidak diperbolehkan (diharamkan) oleh Islam. Alasannya, di dalamnya disertai beberapa aktivitas yang diharamkan oleh syariat Islam, seperti: mengganggu ketertiban umum; merusak, menghancurkan, dan membakar fasilitas umum maupun barang-barang milik individu masyarakat. Tidak jarang pula, demonstrasi mengakibatkan perkelahian, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Pengharamannya di dasarkan pada fakta bahwa di dalam demonstrasi terdapat sejumlah tindakan yang diharamkan oleh syariat Islam.

Meskipun demikian, ‘demonstrasi’ yang dilakukan dengan tertib; memperhatikan syariat Islam, termasuk menyangkut pendapat/aspirasi yang disampaikan; tanpa kekerasan; tidak mengganggu ketertiban umum dan hak-hak masyarakat; tidak membakar, merusak, dan menghancurkan barang-barang milik umum, negara, maupun milik individu adalah diperbolehkan. Inilah yang disebut dengan masîrah (unjuk rasa).

Masîrah (unjuk rasa) merupakan salah satu cara (uslûb) di antara berbagai cara pengungkapan aspirasi atau pendapat (ta‘bîr ar-ra’yi). Oleh karena itu, aktivitas masîrah (unjuk rasa) bukanlah metode (tharîqah)—menurut Islam—dalam melakukan proses perubahan di masyarakat. Apabila kondisinya memungkinkan, masîrah (unjuk rasa) dapat dilakukan. Sebaliknya, apabila kondisinya tidak memungkinkan, masîrah (unjuk rasa) tidak perlu dilakukan. Hal ini sesuai dengan hukum kebolehannya.
Rasulullah saw tidak pernah menjadikan dan menggunakan unjuk rasa sebagai metode untuk mengubah masyarakat jahiliah di kota Makkah menjadi masyarakat Islam. Memang, beliau pernah melakukan aktivitas masîrah satu kali di kota Makkah. Beliau memerintahkan kaum Muslim keluar dan berjalan membentuk dua shaf barisan. Satu dipimpin oleh ‘Umar ibn al-Khaththab dan lainnya dipimpin oleh Hamzah ibn ‘Abdul Muthalib r.a. Dengan diiringi suara takbir, kaum Muslim berjalan mengelilingi Ka’bah. Yang dilakukan Rasulullah saw adalah mengambil salah satu cara (uslûb) yang tidak pernah dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat lain sebelumnya, yang ditujukan dalam rangka mengekspose dakwah Islam.

Pandangan Islam yang menjadikan masîrah (unjuk rasa) sebagai uslûb mengungkapkan aspirasi atau pendapat, yang bisa dilakukan bisa juga tidak, sangat berbeda dengan pandangan masyarakat Sosialis dan Komunis. Mereka menganggap muzhâharah (demonstrasi) sebagai salah satu metode baku (tharîqah) dalam melakukan perubahan masyarakat. Bagi mereka, demonstrasi adalah semacam antitesa untuk menggerakkan proses perubahan masyarakat ke arah yang mereka inginkan. Oleh karena itu, apa pun akan mereka lakukan; termasuk dengan jalan merusak, menghancurkan, dan membakar fasilitas-fasilitas umum, negara, maupun barang-barang milik individu.
Berdasarkan hal ini, masyarakat Sosialis atau Komunis telah menjadikan muzhâharah (demonstrasi) sebagai metode baku dan ciri khas masyarakat mereka dalam melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat. Keberadaan demonstrasi adalah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi agar proses perubahan dapat bergulir. Dalam skala yang lebih luas lagi, mereka menyebutnya dengan revolusi rakyat. Dengan mengatasnamakan rakyat, mereka berhak menghancurkan, merusak, dan membakar fasilitas dan milik umum maupun milik individu. Tujuannya adalah untuk menghasilkan sebuah sintesa, yaitu sebuah masyarakat Sosialis atau Komunis yang mereka angan-angankan.

Bagi kaum Muslim, haram hukumnya melakukan demonstrasi (muzhâharah) seperti yang dilakukan oleh kaum Sosialis maupun Komunis; yakni dengan cara merusak, menghancurkan, dan membakar barang-barang milik masyarakat, negara, maupun milik individu. Bagi kita, kaum Muslim, darah seorang Muslim, harta kekayaan yang dimilikinya, dan kehormatannya haram ditumpahkan, dirampas, dan dilanggar oleh Muslim lainnya. Syariat Islam bahkan menjaga tiga perkara tersebut dalam pagar yang sangat rapat. Pelanggaran terhadap tiga perkara itu digolongkan ke dalam hukum-hukum hudûd, yaitu hukum yang bentuk pelanggaran dan sanksinya hanya ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Di samping itu, kita, kaum Muslim, tidak mengenal prinsip dan kaidah ‘menghalalkan segala cara’ (al-ghâyah lâ tubarriru al-washîlah), sebagaimana yang dianut oleh masyarakat Sosialis, Komunis, dan Kapitalis. Tindak-tanduk seorang Muslim, masyarakat Muslim, dan penguasa Muslim wajib terikat dengan syariat Islam; termasuk dalam mengungkapkan aspirasi atau pendapat dengan berunjuk rasa maupun dalam melakukan proses perubahan di tengah-tengah masyarakat. Tidak pantas seorang Muslim mengaku beriman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, sementara dalam mengungkapkan aspirasi/pendapat dan melakukan proses perubahan masyarakat agar menjadi masyarakat Islam, mereka lakukan dengan menghalalkan segala cara, mencampakkan tolok ukur halal-haram, dan membuang tuntunan syariat Islam. Allah Swt berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُـؤْمِنٍ وَلاَ مُـؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا
أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada pilihan (selain hukum Islam) tentang urusan mereka. (QS al-Ahzab [33]: 36)