Jumat, 25 April 2014

HUKUM MEMBUAT KONSTITUSI NEGARA

Sebagian kalangan Muslim mungkin ada yang menduga bahwa sekiranya ke-Khilafahan Islam ditakdirkan tegak kembali, secara teknis tidak lagi diperlukan konstitusi negara Khilafah secara tertulis karena telah ada al-Quran dan Sunnah. Apalagi, secara historis, ihwal pembuatan konstitusi negara Islam ini sulit menemukan contohnya dalam rentang sejarah Islam yang demikian panjang. Akan tetapi, sebagian lagi boleh jadi ada yang berpendapat bahwa konstitusi atau UUD negara tetap diperlukan—selama mengacu pada al-Quran dan Sunnah—sebagai penjabaran atas keduanya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pertanyaannya, bagaimana sebetulnya pandangan Islam dalam masalah ini?

Sebagaimana diketahui, masyarakat itu tersusun dari sejumlah individu yang diikat oleh pemikiran, perasaan, dan peraturan tertentu. Peraturan, sebagai salah satu unsur pembentuk masyarakat biasanya disandarkan pada keyakinan/ideologi yang menjadi asas hidup para anggotanya. Peraturan itu sendiri berfungsi untuk mengatur dan memelihara urusan masyarakat dan negara, agar tumbuh ketertiban, kedisiplinan, dan kewibawaaan peraturan itu sendiri. Karena itu, dalam negara dan masyarakat manapun diperlukan adanya ketegasan pelaksanaan peraturan (hukum).
Undang Undang Dasar (UUD) termasuk dalam salah satu peraturan. Hanya saja, undang-undang dasar lebih bersifat umum dan diletakkan sebagai atap yang menaungi segala bentuk peraturan yang berada di bawahnya. UUD adalah peraturan yang mengatur kekuasaan negara atau lembaga-lembaga pemerintah, menentukan hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyat, dan sebaliknya, menentukan hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintah.
Islam terdiri dari akidah dan syariat atau terdiri dari ide (fikrah) dan metode (tharîqah). Dalam Islam juga dijumpai banyak hukum/syariat, baik yang berhubungan dengan pemerintahan, lembaga-lembaga pemerintahan (seperti peradilan, angkatan bersenjata, kepala negara dan lain-lain), kewajiban pemerintah terhadap rakyat, kewajiban rakyat terhadap pemerintah, dan sejenisnya. Bahkan, di dalam al-Quran sendiri banyak dijumpai ayat-ayat hukum. Semua itu berfungsi untuk mengatur dan memelihara seluruh urusan masyarakat dengan hukum-hukum Allah Swt. Begitu pula halnya dengan hadits-hadits Rasulullah saw.
Meskipun ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah saw pada masa Nabi saw hidup tidak dibuat sebagaimana halnya UUD tertulis seperti yang ada pada negara-negara modern saat ini (yakni terdiri dari beberapa bab dan beberapa pasal), tetapi para sahabat dan kaum Muslim waktu itu banyak yang menghafalkan al-Quran dan hadits, atau langsung menanyakannya kepada Rasulullah saw apabila mereka menjumpai permasalahan atau menghadapi perselisihan di antara mereka. Walaupun saat itu tidak ada UUD maupun UU tertulis resmi yang dikeluarkan oleh negara/pemerintah, kepatuhan kaum Muslim terhadap hukum/syariat Islam sangat tinggi. Artinya, fungsi dari hukum/UU yaitu mengatur dan memelihara urusan masyarakat dan negara telah terpenuhi, walaupun sistematika UU dan peraturan belum dibuat dengan sistematika yang dijumpai pada masa sekarang.
Seandainya sistematika UUD seperti itu adalah wajib, pasti Rasulullah saw telah menyusunnya. Dengan demikian, penyusunan UUD sebagaimana yang kita jumpai saat ini—yang tersusun dari berbagai bab dan pasal, yang menjelaskan kedudukan dan fungsi struktur dan lembaga-lembaga pemerintah, termasuk hak-hak dan kewajiban negara terhadap masyarakat maupun sebaliknya—adalah mubah. Susunan semacam itu adalah bagian dari cara (uslûb) atau hal yang bersifat teknis.
Pada masa Rasulullah saw hidup, kondisi masyarakatnya belum memerlukan sistematika semacam itu. Lagi pula, sistematika tersebut belum lazim dikenal oleh masyarakat. Dengan berkembangnya kehidupan masyarakat dan tingkat kompleksitasnya yang sangat tinggi, barulah dirasakan perlunya disusun UUD yang sistematikanya persis sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Contoh yang sama adalah tersusunnya kodifikasi hadits dan ilmu hadits. Dalam bidang ini, orang pertama yang menyusunnya (dan menuliskannya dalam sebuah buku) dengan sistematika yang teratur adalah Imam Malik, penyusun al-Muwatha’. Sementara itu, dalam bidang ushul fiqih, orang pertama yang menuliskan dan menyusunnya dengan teratur adalah Imam Syafi’i, penyusun ar-Risâlah. Padahal, pada masa Rasulullah saw tidak ada seorang sahabat pun yang menuliskan atau menyusun ushul fiqih. Meskipun demikian, para sahabat tentu saja adalah orang-orang yang sangat memahami kaedah-kaedah fiqih, bahkan mampu melakukan ijtihad.
Setelah Rasulullah saw wafat, pemerintahan Islam berganti ke masa pemerintahan al-Khulafâ’ ar-Râsyidûn. Pada masa itu, para Khalifah turut terlibat dalam memutuskan perkara yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kadang-kadang dibuat keputusan hukum yang menyeluruh dan mengikat seluruh lapisan masyarakat, layaknya undang-undang pada masa sekarang. Abubakar, misalnya, pernah menetapkan talak satu bagi suami yang mengucapkan talak meskipun tiga kali; menggolongkan orang yang enggan membayar zakat sebagai orang-orang murtad yang harus diperangi sampai mereka bertobat dan kembali tunduk pada seluruh hukum-hukum Islam. Pada masa ‘Umar ibn al-Khaththab, beliau menetapkan tarikh (penanggalan) pada setiap surat-surat resmi negara; menjatuhkan hukum cambuk 80 kali bagi peminum khamar; menetapkan manajemen administratif di dalam perkantoran dan lembaga-lembaga negara; menetapkan bahwa kharaj atas tanah-tanah Irak, Syam, dan Mesir sebagai milik kaum Muslim dan tidak dibagikan kepada para prajurit yang turut dalam peperangan; dan lain-lain. Semua itu adalah cara-cara (asâlîb) yang ditempuh oleh para Khalifah kaum Muslim dengan menetapkan peraturan resmi (semacam undang-undang). Para sahabat mendengarkan dan menyaksikan penetapan-penetapan tersebut sehingga hal itu merupakan Ijma sahabat.
Hal yang sama dijumpai pula pada masa Harun al-Rasyid, misalnya, yang menetapkan bahwa untuk urusan keuangan dan ekonomi, negara (yaitu Daulah Islam Abbasiyah) harus merujuk pada kitab al-Kharaj, karya Abu Yusuf, yang menjadi qâdhî (hakim) pada pemerintahannya. Lebih luas lagi, pasa masa Daulah Islamiyah Utsmaniyah madzhab Imam Hanafi ditetapkan sebagai undang-undang negara, dengan dilegalisasikannya Qânûn al-Majalla.
Contoh-contoh itu menunjukkan bahwa keadaan masyarakatlah yang menentukan apakah suatu uslûb layak dipakai atau tidak. Pada masa Rasulullah saw, uslûb penyusunan/penulisan UUD belum diperlukan, karena memang tidak terlalu mendesak untuk dibuat dengan kerangka susunan undang-undang dasar. Hal itu berbeda dengan kondisi masyarakat sekarang, yang menuntut disusunnya UUD maupun UU secara sistematis.
Meskipun tergolong mubah, keberadaan susunan/sistematika UUD di dalam negara Khilafah di masa depan sangatlah penting untuk mendisiplinkan, mengatur, dan memelihara hubungan lembaga-lembaga negara dengan Khalifah; juga antara pemerintah dan rakyat. Di samping itu, adanya UUD (dustûr) negara Khilafah sangat mendukung upaya pemahaman kaum Muslim saat ini mengenai gambaran aktivitas Khilafah Islamiyah jika kelak berdiri, insya Allah. Sebab, sebagian besar kaum Muslim tidak mengerti dan tidak mengetahui gambarana real kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara Islami. Karena itu, penjelasan tentang lembaga-lembaga pemerintah, peradilan, militer/angkatan bersenjata, majelis syura (majelis umat), para gubernur (wali), Khalifah dan para pembantunya—yang mengatur kemaslahatan dan pelayanan terhadap rakyat dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, sumberdaya alam, pekerjaan umum, transportasi dan komunikasi, Baitul Mal, dan lain-lain; termasuk menjelaskan kedudukan, fungsi, dan kewajibannya terhadap rakyat—adalah perkara yang sangat urgen disosialisaikan kepada masyarakat.
Dengan demikian, kesadaran akan perlunya hidup di dalam negara Khilafah Islamiyah adalah sesuatu yang niscaya, bukan khayalan.

0 komentar:

Posting Komentar