ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

Sabtu, 11 Februari 2017

Tinjauan Sejarah Demokrasi 2

Sekitar abad ke V SM, jauh sebelum kelahiran 'Tuhan orang-orang Kristen' - Yesus dari Nazareth, di Yunani telah muncul kota-kota yang dalam sejarah pemikiran politik barat dikenal sebagai negara-negara kota (City States). Negara-negara kota Yunani klasik berbeda dengan bentuk negara-negara modern dewasa ini, baik dilihat dari segi luas wilayah, struktur sosial, jumlah penduduk maupun lembaga-lembaga politiknya. Luas wilayah kekuasaan negara kota Yunani umumnya tidak lebih dari luas 'negara baru' Timor Timur yang dulu pernah menjadi salah satu propinsi Indonesia. Jumlah penduduknya menurut Herodotus dan Aristophanes, sekitar tiga puluh ribu orang. Karena itu komunikasi politik tidak terlalu sukar dilakukan dalam negara kota tersebut dan sistem Demokrasi Langsung bisa dilaksanakan secara baik di negara-negara kota itu. Sebaliknya dalam konteks negara-negara modern dewasa ini, penerapan Demokrasi Langsung tidak mungkin dilaksanakan. Jumlah penduduk yang relatif besar dan struktur sosial politik yang kompleks di negara-negara modern hanya memungkinkan diterapkannya Demokrasi melalui sistem Perwakilan.
Negara kota Yunani dengan Athena sebagai ibu kotanya memiliki struktur masyarakat berkelas yang terdiri atas kelas warganegara (citizen), imigran atau pedagang asing, dan budak yang diperoleh melalui perdagangan maupun peperangan. Warganegara yang merupakan minoritas diangkat sebagai elite sosial politik dengan hak-hak istimewa (previllage), memiliki waktu luang (leisure time) dan kesempatan luas terlibat dalam kegiatan politik negara kota. Status mereka begitu kukuh karena mereka merupakan bagian penting mekanisme kenegaraan. Sedangkan bagian terbesar (mayoritas) penduduk negara adalah pedagang-pedagang asing yang berasal dari kawasan luar Yunani dan budak-budak belian, mereka ini tidak memiliki hak-hak istimewa seperti halnya kaum warganegara.
Dimasa kepemimpinan Pericles - seorang bangsawan Yunani, Athena berhasil mengalami masa kejayaannya, negarawan ini berhasil membangun sistem pemerintahan Demokratis yang dinamakan 'Athenian Democratia'. Demokrasi dalam perspektif Pericles, seperti ditulis Roy C. Macridis dalam buku karangan Eep Saefullah Fatah berjudul 'Prospek Demokrasi di Indonesia', memiliki beberapa kriteria:
1.  pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat secara penuh dan langsung,
2.  kesamaan di depan hukum,
3.  pluralisme, penghargaan atas semua bakat, minta, keinginan, dan pandangan, serta
4. penghargaan terhadap suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian individual.
Penulis ingin menyimpang sedikit dari topik, khusus untuk menjelaskan tentang Pluralisme. Mengenai 'musang berbulu ayam' ini penulis ingin mengutip tulisan Adian Husaini di kolom opini Hidayatullah.com dengan judul 'Kerancuan Istilah dan Tragedi Umat'. Beliau merupakah salah seorang intelektual muda Islam yang sedang mengambil S3 di Malaysia dan tulisannya ini penting untuk dicermati, beliau menulis: Sesuai dengan judul berita di The Jakarta Post, bahwa 'Muslim Voters Favor Pluralism', maka perlu diklarifikasi, apakah yang dimaksud dengan 'Pluralism' pada kalimat tersebut? Pluralisme adalah sebuah paham, sebuah isme. Paham tentang yang plural. 'Pluralisme' berbeda dengan 'pluralitas', seperti halnya 'Komunisme' berbeda dengan 'komunitas'. Pluralisme bukanlah istilah yang bebas nilai, tetapi merupakan satu istilah yang memiliki akar filsafat dan teologi dalam sejarah peradaban Barat. Istilah ini sarat dengan muatan keagamaan... 
Berbagai artikel di media massa memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan 'Pluralisme', khususnya di bidang teologi. Harian Republika, misalnya, pada 24 Juni 2001 memuat satu artikel yang mendefinisikan 'teologi pluralis', adalah teologi yang melihat agama-agama lain dibanding dengan agama-agama sendiri, dalam rumusan: Other religions are equally valid ways to the same truth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid truths (John B Cobb Jr); Each religion expresses an important part of the truth (Raimundo Panikkar); atau setiap agama sebenarnya meng-ekspresikan adanya The One in the many (Sayyed Hossein Nasr). Intinya, dalam semangat Pluralisme, anda tidak boleh meyakini, hanya agama anda saja yang benar. Semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan, sebagai jalan kebenaran dan keselamatan. Dalam sebuah seminar di Universitas Paramadina, saya katakan, bahwa "Sebagai Muslim, saya tentu meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang benar". Ketika itu, seorang doktor dan dosen di Paramadina menyatakan, bahwa keyakinan seperti itu dia miliki 20 tahun yang lalu. Para penganjur Pluralisme menyatakan, bahwa sudah saatnya kaum Muslim meninggalkan klaim, bahwa Islam adalah satu-satunya kebenaran dan jalan keselamatan. Jadi, istilah Pluralisme sebenarnya memiliki akar filosofis dan teologis yang mendalam, khususnya dalam tradisi Kristen. 
Istilah ini sudah 'mapan' dalam dunia teologi dan dialog antar agama. Benarkah sebagian besar kaum Muslim sudah menerima paham Pluralisme?... Sebenarnya lebih tepat jika digunakan istilah 'pluralitas', yakni sikap menghargai dan toleran terhadap agama lain, tanpa meninggalkan keyakinan teologisnya. Pada level ini pun, Indonesia jauh lebih maju ketimbang Barat. Di negeri yang mayoritas Muslim, kaum minoritas mendapatkan hak sosial, ekonomi, politik yang tinggi. Mereka dapat menjadi menteri dan pejabat-pejabat tinggi negara lainnya - sesuatu yang masih menjadi mimpi bagi Muslim di Barat, meskipun Islam telah menjadi agama kedua terbesar di beberapa negara Barat. Melalui catatan ini kita mengimbau, seyogyanya kaum Muslim, terutama kalangan media Islam, lebih kritis dalam menggunakan dan menyebarkan istilah-istilah yang dapat menimbulkan kesalahan persepsi atau bahkan penggelinciran aqidah.
Penulis merasa perlu menjelaskan tentang pluralisme ini terutama kepada sesama Muslim, agar kita tidak terjebak kedalam jargon-jargon kamuflase yang digunakan oleh kelompok orientalis atau orang-orang yang sudah terpengaruh dengan mereka, yang bertujuan untuk mengikis secara perlahan-lahan aqidah umat Islam. Keyakinan kita akan kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai oleh Tuhan serta merupakan satu-satunya jalan agar selamat hidup di dunia dan di akhirat tentunya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman:
 …Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.. (Qs. al-Maa’idah [5]: 3).
 Sekarang mari kita kembali ke topik Demokrasi klasik. Perlu dicatat bahwa keempat perspektif Pericles tentang Demokrasi di atas merupakan cikal bakal sistem Demokrasi dan dianut secara fundamental oleh tokoh-tokoh Demokrasi berikutnya. Jika anda meyakini Demokrasi sebagai 'nilai-nilai yang dapat memanusiakan manusia' maka mau tidak mau anda harus menerima keempat perspektif tersebut. Dalam pemerintahan negara Athena, Pericles menerapkan prinsip-prinsip Demokrasi yang terlihat dari sistem pemerintahannya yang dikuasai atau diperintah oleh banyak orang dan bukan diperintah oleh segelintir warganegara (Oligarchy atau Tyrani). Pericles menganggap pemerintahan segelintir orang akan mudah menimbulkan penyimpangan kekuasaan (abuse of power) karena tidak adanya kontrol terhadap penguasa negara. Semua warganegara dianggap memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum dan tidak boleh ada diskriminasi dalam proses perumusan kebijakan negara. Karena itu, dalam perdebatan merumuskan kebijakan negara tidak ada pengecualian hak berbicara, apakah seseorang berasal dari kelas bangsawan ataukah rakyat jelata, miskin ataupun kaya. Yang menjadi tolak ukurnya adalah seberapa besar reputasi dan prestasi yang dimilikinya. Inilah prinsip Demokrasi yang dalam konteks dunia modern dinamakan Egalitarianisme Politik.
Pericles juga membangun rasa pengabdian, kebanggaan diri dan rasa memiliki warganegara terhadap negara Athena. Sehingga sebagai warganegara, Athena merupakan pusat tata nilai, kebanggaan dan kehidupan mereka. Negara menjadi pusat KEHIDUPAN, SENI dan AGAMA. Semua ritual-ritual keagamaan dianggap sebagai ritus negara kota. Disini terlihat betapa ia begitu mengagungkan negara dan menjadikannya sebagai berhala. Selain itu segala perbuatan yang memberikan nilai kebesaran dan keagungan bagi negara Athena merupakan suatu bentuk ritus Heroisme politik tertinggi warganegara. Ritus semacam itu pernah ditekankan Pericles dalam pidato pemakaman prajuritnya yang gugur melawan tentara Sparta, "Saya mengharap saudara setiap hari memusatkan perhatian saudara kepada keagungan negara (Athena), sampai saudara diliputi rasa cinta terhadapnya, dan jikalau saudara terpesona karena keagungan itu, saudara akan menginsyafi, bahwa negara ini telah didirikan oleh orang-orang yang tahu akan kewajibannya dan memiliki tekad untuk berbuat demikian, yang tidak pernah mengenal takut dalam pertempuran-pertempuran, dan yang jika mereka gugur dalam suatu usaha tidak akan mengorbankan kehormatan negaranya, tetapi dengan sukarela akan mengorbankan jiwanya sebagai persembahan yang termulia kepada negaranya". Menurut Ernest Renan, seorang filosof Perancis dari abad XIX dalam bukunya yang berjudul 'Apakah Bangsa Itu?', ritus Heroisme Pericles merupakan suatu bentuk 'Nasionalisme Primitif' yang kemudian menjadi cikal bakal Nasionalisme barat saat ini. Bahkan, menurut penulis hal tersebut sudah mewarnai secara akut Nasionalisme negara-negara di dunia, termasuk negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gagasan barat mengenai negara, kekuasaan, keadilan dan Demokrasi secara genealogis historis-intelektual berakar pada tradisi politik negara-negara kota di zaman peradaban Yunani klasik itu. Disinilah makna pentingnya memahami pemikiran tentang negara-negara kota.
Abad pencerahan (abad XVIII) merupakan masa dimana gagasan-gagasan Demokrasi menjadi perhatian khusus banyak pemikir seperti Rousseau, John Locke, Voltaire, Montesquieu, dan lain-lain. Mereka inilah sebagian dari para perintis gagasan-gagasan Demokrasi barat yang dianut dewasa ini. Rousseau dan John Locke merumuskan teori Kontrak Sosial, sedangkan Montesquieu merumuskan teori Trias Politica.
Gagasan dasar teori Kontrak Sosial adalah: Pertama, kedaulatan negara bukanlah sesuatu yang diberikan begitu saja (taken for granted) atau berasal dari Tuhan (not derived from God). Kedaulatan merupakan sebuah produk proses perjanjian sosial antara individu dalam masyarakat, yang tidak ada sangkut pautnya dengan pendelegasian kekuasaan ataupun berasal dari Tuhan kepada seorang penguasa tertentu. Maka pada dasarnya teori Kontrak Sosial merupakan suatu teori politik yang sepenuhnya bersifat Sekuler dan sangat bertentangan dengan manhaj Islam (ketentuan dan kebiasaan dalam Islam). Padahal Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an:
 Allah, tidak ada Tuhan (Yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi (kekuasaan) Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Qs. al-Baqarah [2]: 255).
Dan Dialah Yang Berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Qs. al-An'aam: 18).
 Kedua, bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam yang mengandung prisip-prinsip keadilan yang universal; artinya berlaku sepanjang waktu dan untuk semua manusia, apakah dia raja, bangsawan atau rakyat jelata. Hukum ini dinamakan Hukum Alam (natural law). Ketiga, karena kekuasaan atau kedaulatan negara berasal dari rakyat maka harus ada jaminan hak-hak individu dalam masyarakat. Hak tersebut antara lain hak-hak sipil dan hak-hak politik. Hak-hak sipil adalah hak untuk hidup, hak memperoleh pendidikan, hak untuk memiliki harta benda, hak untuk berusaha, hak untuk mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan, hak atas kebebasan beragama dan lain-lain. Sedangkan hak-hak politik seperti kebebasan untuk berpartisipasi politik, hak untuk aktif melakukan kritik terhadap pemerintahan dan lain-lain. Keempat, perlunya kontrol kekuasaan agar penguasa negara tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
Dilain pihak teori Trias Politica yang dikembangkan oleh Montesquieu telah memberikan sebuah sumbangan besar bagi perkembangan gagasan Demokrasi. Pada prinsipnya teori ini menghendaki adanya pemisahan kekuasaan negara. Kekuasaan negara tidak boleh tersentralisasi pada seorang penguasa yang berarti kekuasaan tidak boleh bersifat personal atau dikuasai oleh sebuah lembaga politik tertentu saja. Montesquieu kemudian merumuskan tiga tipologi lembaga kekuasaan negara, yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Masing-masing lembaga ini memiliki peran dan fungsinya sendiri-sendiri. Secara teoritis, lembaga legislatif diharapkan dapat melakukan kontrol politik terhadap kekuasaan eksekutif bila menyimpang dari perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh lembaga ini. Montesquieu berpendapat bahwa lembaga atau kekuasaan legislatif adalah lembaga yang tugas utamanya merumuskan undang-undang atau peraturan-peraturan negara. Lembaga legislatif merupakan refleksi kedaulatan rakyat, yang menarik adalah rakyat yang dimaksud Montesquieu disini adalah berupa dewan rakyat dan bukan orang-orang yang mewakili rakyat seperti sekarang ini.
Dewan rakyat dalam pemahaman Montesquieu adalah semacam dewan yang terdapat di zaman Yunani dan Romawi kuno, yang anggotanya merupakan mediator rakyat dan penguasa, menjadi komunikator dan agregator aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Lembaga legislatif atau dewan perwakilan rakyat menjadi cermin kedaulatan rakyat. Dengan demikian lembaga perwakilan rakyat itu memiliki peranan strategis dalam teori kekuasaan Trias Politica. Teori Montesquieu ini dianut oleh sebagian besar negara barat seperti AS, Inggris, Perancis, dan negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Para perumus UUD AS sangat dipengaruhi oleh Montesquieu, maka tidak terlalu mengejutkan jika sistem pemerintahan negara itu sangat kental diwarnai oleh gagasan-gagasannya. Montesquieu sendiri dikenal sebagai penganut Sekulerisme sejati, ia bahkan mengkritik dan menyindir Paus sebagai tukang sulap. Di dalam karyanya 'Surat-Surat Persia' (The Persian Letters) ia menyatakan bahwa Paus telah menyulap apa yang sebenarnya salah menjadi benar, seperti menuntut orang-orang untuk percaya pada doktrin Trinitas bahwa Tuhan terdiri dari tiga oknum tetapi tetap satu, dan bahwa roti dan anggur yang diminum dalam acara pembabtisan bukan roti dan anggur melainkan tubuh dan darah Yesus.
Dari penjelasan panjang di atas dapat ditarik sebuah benang merah tentang Demokrasi.
Bahwa di dalam sistem Demokrasi kekuasaan negara sepenuhnya adalah milik rakyat, suara rakyat adalah suara Tuhan, rakyatlah pemegang supremasi kekuasaan tertinggi, dan lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan cermin atau wujud dari kekuasaan rakyat tersebut. DPR memiliki tugas utama menyusun dan menetapkan undang-undang atau peraturan-peraturan negara. Undang-undang dan peraturan-peraturan negara atau ketetapan-ketetapan hukum yang dihasilkan oleh lembaga perwakilan rakyat tersebut kemudian digunakan oleh penguasa politik untuk mengatur semua sendi-sendi kehidupan warganegara dan secara umum semua manusia yang hidup di dalam negara.


Dengan kata lain, sistem Demokrasi menganggap bahwa penetapan hukum menjadi milik rakyat dan bukan milik Allah. Berangkat dari benang merah inilah, untuk selanjutnya pembahasan akan difokuskan pada Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan aktualisasi sistem Demokrasi, untuk mengungkap kesalahan fatal sistem Demokrasi ditinjau dari perspektif Islam yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah.
(diambil dari Tulisan Menggugat Thagut Demokrasi Oleh: Zulfadhli)

Tinjauan Sejarah Demokrasi 1

Demokrasi berasal dari bahasa Latin, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan), ia selalu diasosiasikan sebagai suatu bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi dinilai sebagai sebuah sistem nilai kemanusiaan yang paling menjanjikan masa depan umat manusia yang lebih baik dari saat ini. Ia juga dinilai sesuai dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan 'non material' manusia. Nilai-nilai Demokrasi itu kemudian diyakini akan dapat memanusiakan manusia, sebab nilai-nilainya bertitik tolak dari 'nilai-nilai luhur' kemanusiaan. Anggapan ini terutama muncul karena faktor penderitaan manusia akibat Fasisme, Totaliterianisme, Komunisme, dan paham-paham anti-Demokrasi lainnya pada beberapa dekade yang lalu.
Paham Demokrasi sebenarnya bukanlah sebuah ideologi yang baru, ia merupakan teori tua yang muncul kembali dari peradaban barat modern. Sedangkan peradaban barat modern menurut Arnold Toynbee dalam bukunya 'Civilization on Trial', adalah sebuah peradaban yang lahir dari puing-puing kehancuran peradaban Yunani-Romawi. Menurutnya apa yang disebut 'Dunia Barat' dewasa ini merupakan sempalan dari Imperium Romawi. Oleh karena itu pandangan hidup barat (western way of life) dapat dilihat sebagai kelanjutan pandangan hidup orang-orang Yunani kuno; cita-cita kebebasan, optimisme, sekularisme, pengagungan terhadap jasmani dan akal serta pengkultusan pada individualisme. Tradisi keagamaan mereka juga memantulkan secara transparan tradisi keagamaan Yunani kuno yang memandang agama sepenuhnya bersifat duniawiyah, praktis dan mengabdi pada kepentingan manusia (bukan Tuhan). Melalui karya-karya para sarjana dan filosof Yunani-Romawi, barat mengenal Empririsme dan Rasionalisme. Yunani di satu pihak mengajarkan kepada barat agar menempatkan akal di atas segalanya, bahwa akal sebagai sumber kebenaran. Adalah filosof Yunani seperti Plato dan Aristoteles yang mempengaruhi pemikiran dan filsafat politik barat sejak kelahirannya hingga perkembangannya dewasa ini. Karya Aristoteles, khususnya 'Politics' merupakan sumber inspirasi bagi perumusan teoritis konsep bentuk-bentuk negara, hakikat pemerintahan, hukum-hukum yang mengontrol negara, revolusi sosial, dan lain-lain. Gagasan barat mengenai negara (state), kekuasaan politik, keadilan, dan Demokrasi secara genealogis-intelektual juga bisa dilacak dari tradisi politik negara-negara kota Yunani klasik yang dinamakan 'Polis' atau 'City States'. Tentang hal ini akan kita uraikan lebih lanjut pada bagian selanjutnya.
Dilain pihak, peradaban Romawi telah memberikan sumbangan besar di bidang sistem hukum pada negara-negara Eropa Barat seperti Perancis, Italia, Swiss, Jerman, Belanda dan Amerika Selatan, bahkan secara langsung atau tidak, terhadap negara-negara persemakmuran atau bekas jajahan mereka seperti Indonesia yang dijajah Belanda. Selama lebih dari 350 tahun menjajah Indonesia, Belanda menerapkan teori hukum yang berasal dari Code Civil Napoleon yang merupakan produk modifikasi hukum-hukum Romawi. Dibidang pemikiran politik, Romawi juga memberikan pemahaman kepada barat tentang teori Imperium. Teori Imperium adalah teori tentang kekuasaan dan otoritas negara (state authority) dimana kedaulatan dan kekuasaan dianggap sebagai bentuk pendelegasian kekuatan rakyat kepada penguasa negara. Maka menurut teori ini pada hakikatnya kedaulatan sepenuhnya milik rakyat. Penguasa politik hanyalah lembaga yang dipercayakan untuk memegang (bukan menguasai dan mendominasi) serta mempergunakan kedaulatan demi kebaikan seluruh rakyat. Penguasa bertanggungjawab kepada rakyat dan secara otomatis akan kehilangan legitimasi seandainya praktek kekuasaannya menyalahi kehendak rakyat. Teori Imperium Romawi sangat identik dengan teori Demokrasi, menurut teori ini rakyat memiliki hak-hak politik yang sama dan merupakan esensi tertinggi kedaulatan negara.
Disamping peradaban Yunani-Romawi terdapat dua peradaban lain yang telah mempengaruhi peradaban barat yaitu peradaban Judeo-kristiani (Yahudi-Kristen) dan peradaban Islam. Peradaban Yahudi-Kristen merupakan peradaban kedua yang meletakkan dasar-dasar intelektual dan filosofis yang kokoh bagi pembentukan dan perkembangan peradaban barat. Adalah Hegel, seorang pemikir Yahudi yang menciptakan suatu aliran filsafat Hegelianisme yang kemudian membawa pengaruh yang sangat besar terhadap tradisi intelektual Eropa sejak abad ke XIX hingga dewasa ini. Selain Hegel ada juga Marx, ia sebagaimana Hegel juga telah memberikan kontribusi luar biasa bagi perkembangan pemikiran barat. Tokoh Yahudi yang lahir di Jerman ini telah mengajarkan metodologi ilmiah dalam memahami perkembangan dan dinamika sosial, ekonomi dan sejarah kemanusiaan. Yaitu melalui gagasannya tentang Determinisme Ekonomi, Materialisme Sejarah, Dialektika Materialisme, teori Nilai Lebih (surplus value), dan lain-lain. Ajarannya menjadi inspirasi terbentuknya berbagai aliran pemikiran baru seperti Komunisme, Sosialisme Demokrasi, Feminisme Marxis, Kiri Baru (New Left), Aliran Frankfurt (Frankfurt School) dan Marxisme Barat (Western Marxism). Ketika hidup Marx mungkin tidak pernah membayangkan kalau pemikirannya akan mengubah wajah dunia dan melahirkan berbagai aliran pemikiran lain yang tidak saja mendominasi Eropa, tapi juga dunia, dan kemudian juga membawa penderitaan yang teramat besar bagi peradaban manusia. Sepanjang abad XIX dan XX minoritas Yahudi Eropa telah melahirkan banyak tokoh-tokoh besar di berbagai bidang pengetahuan dan filsafat, seperti Hegel, Marx, Sigmund Freud, Nietzsche Bertrand Russell, Schopenhauer, John Stuart Mill, Charles Darwin, Herbert Spencer, Henry Bergson, Albert Einstein dan lain-lain. Dalam dunia intelektual barat, mereka merupakan pelopor utama  atau pendiri aliran-aliran pemikiran (school of thoughts) seperti Marxisme, Liberalisme, Kapitalisme, Komunisme, Darwinisme, Psikoanalisa dan Evolusionisme Sosial.
Sedangkan sumbangan Kristen terhadap peradaban barat telah dimulai sejak agama ini diakui sebagai agama negara di kekaisaran imperium Romawi. Diantara pemikir-pemikir mereka adalah Thomas Aquinas dengan teori Skolastisisme (Scholasticism) yang inti ajarannya adalah tentang bagaimana mencari kebenaran melalui dua cara yaitu melalui Wahyu (Revelation) dan Akal (Reason). Selain Thomas terdapat tokoh-tokoh seperti Martin Luther, Zwingli, dan Johanes Calvin yang melahirkan gerakan reformasi Protestan sebagai protes terhadap kebijaksanaan Gereja Ortodoks. Doktrin reformasi Protestan ini berdampak luas pada prilaku ekonomi orang-orang kristen di Barat yang didasari pada etika kerja atau etos Kapitalisme. Mereka menjadi pekerja dan pengusaha yang tekun bekerja, mengumpulkan harta dan hidup hemat tanpa merasa apa yang dilakukannya itu sebagai suatu kekeliruan. Dengan kata lain etika Protestan telah dijadikan pijakan dasar bagi perkembangan Kapitalisme Eropa.
Warisan peradaban Islam merupakan pilar ketiga yang memberikan kontribusi bagi kelahiran peradaban barat. Sebelum abad ke XIII, pemikiran dan tradisi keilmuan barat sulit dikatakan modern dan progresif. Sebelum abad itu, Eropa masih diliputi abad-abad kegelapan (dark ages). Tradisi ilmiah masih dianggap musuh agama dan pengkhianatan terhadap ajaran Al-Kitab dan Yesus Kristus. Para ilmuwan tercerahkan kemudian menjadi korban keganasan inkuisisi Gereja. Eropa baru mengalami proses 'pencerahan intelektual' setelah terjadi kontak dan interaksi dengan peradaban Islam, baik melalui perdagangan maupun pengiriman mahasiswa-mahasiswa mereka ke dunia Islam. Dalam konteks ini, Perang Salib (Crusades) selama dua abad merupakan salah satu tonggak penting dalam proses interaksi antara peradaban Islam dengan barat (Kristen). Dengan terjadinya perang tersebut, mulai pula terjadi kontak dagang, pertumbuhan Merkatilisme dan proses pertukaran budaya, meskipun tidak seimbang. Ketidak seimbangan ini terjadi karena pada kenyataannya barat jauh lebih banyak belajar dan mengambil manfaat dari interaksinya dengan dunia Islam, ketimbang sebaliknya. Kasus serupa juga terjadi beberapa abad sebelumnya, yaitu ketika panglima tentara Islam, Tariq Ibn Ziyad, menaklukkan Spanyol dan membangun peradaban Islam di kawasan itu. Selama tujuh abad (VIII-XV), peradaban Islam Spanyol secara  gemilang berhasil mentransmisikan kebesarannya ke penjuru Eropa. Dari pusat peradaban Islam Spanyol itulah Eropa mulai merambah jalan ke arah perncerahan intelektual. Proses yang sama juga terjadi di pusat-pusat peradaban Islam lainnya seperti di Sicilia, Kairo, Baghdad dan Alexandriah. Dengan pengaruh Islam, barat kemudian berhasil secara gemilang menghancurkan tembok-tembok dogmatik yang telah mengungkungnya selama berabad-abad dan merintis jalan bagi usaha pengembangan pemikiran dan tradisi keilmuan. Diantara intelektual Islam yang telah memberikan sumbangan bagi peradaban barat adalah Ibnu Khaldun dengan karya monumentalnya 'Muqaddimah' dan Ibnu Haitham - seorang ahli matematika, astronomi dan ilmu optik. Robert Bacon, salah satu pemikir populer barat - yang memperkenalkan dan merintis metode eksperimental di barat - banyak belajar dari karya-karya Ibnu Haitham ketika menjadi mahasiswa di Universitas Islam Spanyol. Selain itu terdapat juga Ibnu Rusyd, seorang ahli filsafat Rasionalisme meskipun ia juga adalah seorang rasionalis pengikut aliran Mu'tazilah. Tan Malaka dalam bukunya 'Madilog' (Materialisme, Dialektika, Logika) menyatakan bahwa mahasiswa-mahasiswa Kristen yang selesai belajar ilmu pengetahuan dari filosof-filosof Muslim Arab Andalusia (Spanyol) dan kemudian kembali ke Eropa, dianggap sebagai kaum revolusioner oleh pendeta-pendeta Kristen di negerinya, karena kedatangan mereka membawa perubahan-perubahan besar dan radikal di Eropa.

Di abad-abad lampau kontribusi warisan intelektual Islam ini agaknya enggan diakui sebagai faktor penting yang ikut membidani lahirnya peradaban dan perkembangan tradisi pemikiran politik barat. Selama ratusan tahun mereka menyangkal hal ini. Hanya baru-baru ini saja mulai muncul banyak sarjana kritis barat yang secara objektif mengungkapkan bahwa Islam ternyata berperan penting menumbuhkan tradisi keilmuan dan peradaban barat. Diantara mereka adalah Roger Garaudy, Bernard Lewis, Maurice Bucaille, Marcel Boisard, Bertrand Russell, Louis Massignon, dan lain-lain. 
lanjut baca ke Tinjauan Sejarah Demokrasi 2
(diambil dari tulisan Menggugat Thagut Demokrasi Oleh: Zulfadhli)

Jumat, 10 Februari 2017

Paradoks Demokrasi

(Paradoks adalah suatu situasi yang timbul dari sejumlah premis (apa yang dianggap benar sebagai landasan kesimpulan kemudian; dasar pemikiran; alasan; (2) asumsi; (3) kalimat atau proposisi yg dijadikan dasar penarikan kesimpulan di dl logika), yang diakui kebenarannya yang bertolak dari suatu pernyataan dan akan tiba pada suatu konflik atau kontradiksi.)

Disamping menawarkan banyak kemudahan dan nilai-nilai positif terhadap umat manusia, seperti nilai keterbukaan dan pertanggungjawaban (accountibility) dalam sistem pemerintahan, sistem Demokrasi Liberal Barat pun tidak kurang mendapatkan kritik tajam, sepanjang sejarah peradaban Barat sendiri. Demokrasi Liberal bukan hanya memiliki nilai positif. Tetapi, demokrasi juga menyimpan kelemahan-kelemahan internal yang fundamental. Dalam sistem inilah, ilmu pengetahuan tidak dihargai. Orang pintar disamakan haknya dengan orang bodoh. Seorang profesor ilmu politik memiliki hak suara yang sama dengan orang pedalaman yang tidak mengerti baca-tulis dan informasi politik. Seorang yang taat beragama disamakan hak suaranya dengan seorang perampok, koruptor, pembunuh, atau pemerkosa.

Kelemahan dan bahaya internal demokrasi itu pernah diingatkan Plato, filosof Yunani Kuno. Plato (429-347 BC) menyebut empat kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin biasanya dipilih dan diikuti karena faktor-faktor non-esensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latarbelakang keluarga. Plato memimpikan munculnya “the wisest people” sebagai pemimpin ideal di suatu negara, “The wisest people is the best people in the state, who would approach human problems with reason and wisdom derived from knowledge of the world of unchanging and perfect ideas.” Aristoteles (384- 322 BC), murid Plato, juga menyebut demokrasi sebagai bentuk pemerintahan buruk, seperti tirani dan oligarkhi. Tiga bentuk pemerintahan yang baik, menurutnya, adalah monarkhi, aristokrasi, dan polity. Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi and hampir semua filosof politik menolaknya. Sejak abad ke-18, beberapa aspek dari demokrasi politik mulai diterapkan di Barat. Beberapa ide ini datang dari John Locke, yang banyak memberi sumbangan pemikiran politik terhadap Inggris dan AS. Penyair terkenal Muhammad Iqbal juga banyak memberikan kritik terhadap konsep pemerintahan yang menyerahkan keputusannya kepada massa yang berpikiran rendah. Kata Iqbal, bagaimana pun, para semut tidak akan mampu melampui kepintaran seorang Sulaiman. Ia mengajak meninggalkan metode demokrasi, sebab pemikiran manusia tidak akan keluar dari 200 ‘keledai’. Ini ditulisnya dalam syairnya, Payam-e-Masyriq: “Do you seek the wealth of meaning from low natured men? From ants cannot proceed the brilliance of a Solomon. Flee from the methods of democracy because human thinking can not issue out of the brains of two hundred asses.”

Jadi, meskipun sudah diterima sebagai system pemerintahan di sebagian besar Negara di dunia, demokrasi memang masih terus menyisakan kontroversialnya. Hanya, saja, ada yang berpendapat, bahwa sistem ini memungkinkan untuk mengoreksi dirinya sendiri. Franz Magnis-Suseno, dalam makalahnya yang berjudul “Demokrasi sebagai Proses Pembebasan: Tinjauan Filosofis dan Historis” – yang disampaikan dalam Seminar 23 November 1991, menulis: “Demokrasi jauh dari sempurna. Tetapi ia adalah bentuk kenegaraan di mana ketidaksempurnaan dapat disuarakan dengan paling bebas, dimana siapa saja yang ingin menyempurnakannya dapat saja membawa gagasannya ke depan masyarakat.”

Menurut Franz Magnis-Suseno, baru dalam abad ini (abad ke-20. Pen.) agamaagama membuka diri terhadap cita-cita Pencerahan dan Revolusi Perancis. “Gereja Katolik misalnya baru dalam Konsili Vatikan II, 30 tahun lalu, menyatakan dengan tegas bahwa demokrasi, hak-hak asasi manusia, kebebasan beragama dan toleransi wajib dibela, justru karena didorong oleh Injil. Barangkali dapat dirumuskan begini: Akhirnya disadari juga oleh agama-agama bahwa hormat terhadap Tuhan Pencipta menuntut tekad untuk memperlakukan segenap orang ciptaan Tuhan itu sesuai dengan martabatnya sebagai manusia,” tulis Franz Magnis-Suseno.

Tapi, benarkah demokrasi adalah pemerintahan yang dipilih mayoritas rakyat? Jika gabungan kata ‘demos’ dan ‘kratos’ diartikan sebagai ‘pemerintahan oleh rakyat’ (government by the people), maka biasanya pemerintahan yang demokratis diindikasikan dengan dukungan mayoritas rakyat terhadap. Namun, itulah yang justru terjadi pada kasus pemilihan presiden AS tahun 2000. Pada 5 Desember 2000, Mahkamah Agung AS (US Supreme Court), memenangkan George W. Bush atas calon Demokrat, Al-Gore. Kasus ini telah memunculkan perdebatan sengit di AS. Vincent Bugliosi, misalnya, menulis sebuah buku berjudul The Betrayal of America: How The Supreme Court Undermined The Constitution and Chose Our President. Bugliosi mengungkap sebuah realitas ironis tentang demokrasi: ‘Pengkhianatan Amerika’. Bagaimana sebuah pemilihan kepala negara terkuat dan negara demokrasi terbesar di dunia, akhirnya justru diserahkan keputusannya kepada lima orang hakim satu lembaga tinggi negara. Padahal, popular vote, suara rakyat, lebih banyak berpihak kepada Gore. Dengan jumlah pemilih kurang dari 60 persen dari rakyat AS, maka faktanya, Presiden AS juga hanya didukung oleh minoritas rakyatnya. Pemenangan Bush oleh Mahkamah Agung AS itu digambarkan Bugliosi sebagai “like the day of Kennedy assasination”.

Setelah memangku jabatan Presiden AS, kontroversi demi kontroversi terus merebak ke seluruh penjuru dunia. Pada tataran global, Demokrasi pun lebih digunakan sebagai slogan dan alat kepentingan politik. Tidak ada istilah “demokrasi” ketika Bush memerintahkan tentaranya menduduki Irak, Maret 2003. Puluhan tahun, AS menjadikan Irak sebagai sekutunya. Tapi, ketika kepentingannya tidak terakomodir, maka digunakankah isu ”demokrasi” untuk menumbangkan Saddam Hussein.

Di dunia Islam, berbagai kasus semacam ini terlihat begitu mencolok, seperti dalam kasus Pakistan dan Taliban. Jika di masa Perang Dingin dan sampai tahun 1996, Pakistan adalah pendukung kuat Taliban, maka situasi itu berubah total setelah AS menetapkan Taliban sebagai musuhnya. Mengapa Taliban yang dulunya sahabat dan mendapat dukungan AS – juga Pakistan, Arab Saudi – kemudian dihabisi? Tidak terlalu sulit untuk membaca adanya misi kepentingan AS di Afghan. Sebuah pepatah Arab menyatakan: “Mukhthi’un man zhanna yawman anna li-asysya’labi diinaa.” (Adalah keliru, orang yang menyatakan, bahwa serigala itu punya agama).

Apakah “darah serigala” itu yang kemudian mengalir di tubuh peradaban Romawi dan pewarisnya? Sejarah perjalanan peradaban Barat sendiri jauh dari nilai-nilai demokrasi dan pluralisme. Sejarah menunjukkan, bagaimana sebuah peradaban yang bernama “Barat” melakukan berbagai tindakan yang sulit dibayangkan oleh akal sehat. Ketika mereka mulai bangkit, mereka melakukan berbagai penindasan dan pemusnahan terhadap berbagai kelompok dan suku umat manusia: suku Indian, suku Inca, Aborigin, dan sebagainya. Mereka juga mengangkut dan memperjualbelikan budak-budak dari Afrika. Dalam lintasan sejarah Afrika, tidak ada yang lebih kontroversial selain kasus perdagangan budak trans-atlantik dari Afrika ke Barat. J.D. Fage, dalam bukunya, A History of Africa (1988), menyebutkan, bahwa dalam tempo 220 tahun (1650-1870), sekitar 10 juta manusia, dieksport sebagai budak dari Afrika ke ‘Dunia Baru’.

Bartolome de Las Casas (1474-1567), seorang pastor Dominican, menceritakan perilaku tentara Kristen Spanyol terhadap penduduk asli Amerika. Mereka membantai siapa saja yang ditemui, tanpa peduli wanita, anak-anak atau orang tua. Dan juga dibuat aturan, jika ada seorang Kristen terbunuh, maka sebagai balasannya, 100 orang Indian juga harus dibunuh. (The Christians, with their horses and swords and lances, began to slaughter and practice strange cruelties among them. They penetrated into the country and spared neither children nor the aged, nor pregnant women, nor those in childbirth, all of whom they ran through the body and lacerated, as though they were assaulting so many lambs herded into the sheepfold… and because sometimes, though rarely, the Indians killed a few Christians for just cause, they made a law among themselves that for one Christian whom the Indians might kill, the Christians should kill a hundred Indians).

Demokrasi tidak selalu identik dengan kemanusiaan dan kebenaran. Serangan Israel atas Gaza yang dimulai pada penghujung tahun 2008, telah menewaskan ribuan penduduk Palestina. Sebagian besarnya adalah wanita dan anak-anak. Atas nama demokrasi, serangan itu mendapat dukungan mayoritas rakyat Palestina. Sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, AS pun tidak mempedulikan semua kecaman terhadap Israel dan menolak memberikan sanksi apa pun terhadap Israel.

di anbil dari Demokrasi, Sejarah, Makna, Dan Respon Muslim - Adian Husaini