ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

Sabtu, 31 Desember 2016

SUMBANGAN ISLAM TERHADAP PERKEMBANGAN RENAISSANCE DI EROPA

A. Pendahuluan
Kemegahan peradaban Islam, antara pertengahan abad 8 hingga permulaan abad 12 Masehi, telah mencapai puncak kejayaannya. Pada masa itu ilmu pengetahuan dan kebudayaan berkembang sangat pesat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan perdaban ini dipelopori oleh kedua Daulah Islam; Daulah Islam di Timur (Abbasyiyah) yang berpusat di Baghdat maupun Daulah Islam di Barat (Umayyah) yang berpusat di Cordoba. Philip K. Hitti melukiskan keduanya sebagai “Mutiara Dunia”. Pada masa itu peradaban Islam sangat unggul dan berpengaruh terhadap peradaban-peradaban negara lain. Sehingga tidak mengherankan kemajuan yang dicapai umat Islam kala itu menjadi barometer dan ukuran kemoderenan bagi bangsa-bangsa terutama di Eropa.
Untuk tidak bermaksud bernostalgia, bahwa pada zaman keemasan (golden age) dan kemegahannya, umat Islam pernah berperan sebagai bangsa kreator, invetor dan inovator besar yang handal, dimana jasa dan keunggulannya dipakai sebagai dasar-dasar kemajuan yang terjadi di Barat. Kenyataan sejarah yang tidak dapat dibantah bahwa Barat berutang budi pada perdaban Islam. Kemajuan Barat yang spektakuler saat sekarang ini tidak terlepas dari tranformasi peradaban Islam oleh Barat pasca-abad pertengahan.
Dalam makalah ini penulis mencoba menjelaskan berapa besar peranan yang dimainkan umat Islam dalam menghantarkan kebudayaan Islam kedunia Eropa yang menjadikan mereka ketingkat peradaban yang maju.

B. Keunggulan Sarjana Islam
Semangat agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, terekspresi pada masa kekuasaan Bani Abbasiyah, khususnya pada waktu khalifah al-Ma’mun (berkuasa sejak 813-833 M). Penerjemahan buku-buku non-Arab ke dalam bahasaArab terjadi secara besar-besaran dari awal abad kedua hingga akhir abad keempat hijriyah.[1] Perpustakaan besar Bait al-hikmah didirikan oleh khalifah al-Ma’mun di Baghdad yang kemudian menjadi pusat penerjemahan dan intelektual.[2] Sebuah perpustakaan yang sangat bagus sekali yang tidak didapatkan contohnya di dalam kebudayaan Eropa Barat.[3] Para penerjemah yang pada umumnya adalah kamu Nasrani dan Yahudi bahkan penyembah bintang digaji dengan harga yang sangat tinggi.
Kebangunan intelektual dan kebangkitan kultural Islam ditandai terlebih dahulu dengan kerja besar yang serius, yaitu dengan menerjemahkan buku-buku klasik. Buku-buku yang ditejemahkan terdiri dari berbagai bahasa, mulai dari bahasa Yunani, Suryani, Persia, Ibrani, India, Qibti, Nibti dan Latin.[4] Sangat menarik untuk dikaji bahwa dalam menerjemhakan itu para penerjemah memasukan buah pikirannya dan unsur-unsur baru yang disesuaikan dengan nafas ke Islaman sehingga terjelmalah kebudayaan baru yang berbentuk dan bercorak khas kebudayaan Islam.
Melalui Lembaga penerjemahan Bait al-Hikmah yang mencapai puncak kegiatannya dibawah patronase khalifah al-Ma’mun sangat mengagumkan.[5] Ilmu-ilmu yang tercakup dalam gerakan penerjemahan ini adalah kedokteran, matematika, fisika, mekanika, botanika, optika, astronomi, dan filsafat serta logika. Di antara buku-buku yang diterjemahkan tersebut adalah karangan-karangan dari Galinus, Hipokritus, Ptolomeus, Euclidus, Plato, Aristoteles, dan lain-lain. Buku-buku tersebut kemudian dipelajari oleh ulama-ulama Islam. Meskipun karya-karya tersebut umumnya diterjemahkan secara literal, tetapi tampaknya dalam pengkajian, karya-karya yang mengandung komentar lebih disukai, karena lebih mudah dipahami.[6]
Ilmuwan dan ulama Islam zaman silam bukan hanya menguasai ilmu dan filsafat yang mereka peroleh dari peradaban Yunani kuno, tapi mereka juga mengembangkan dan menambah serta mengkritisi karya-karya tersebut ke dalam hasil penyelidikan dan penelitian mereka sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pemikiran mereka dalam bidang filsafat dan logika. Dengan demikian, lahirlah para ilmuwan di samping ulama yang ahli agama juga ahli ilmu pengetahuan. Untuk pengembangan ilmu-ilmu itu didirikan universitas-universitas yang terkemuka, di antaranya adalah Universitas Cordoba di Spanyol, al-Azhar di Kairo, dan Universitas an-Nidzamiyyah di Baghdad. Universitas Cordoba ikut menyertakan orang-orang non-muslim dari negara-negara Eropa lainnya dalam penerjemahan itu.[7]
Ilmu yang pertama menarik perhatian Khalifah dan ulama waktu itu adalah kedokteran. ‘Ali bin Rabbar al-Thabari, pengarang buku Firdaus al-Hikmah, adalah dokter pertama yang terkenal dalam Islam, Abu Bakar Ar-Razi (865-925 M) yang terkenal dengan nama Rhazes pernah menjadi pimpinan rumah sakit terkenal di Baghdad. Kedua magnum opusnya dalam bidang kedokteran, kitab Athibb al-Manshuri dan al–Hawi diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Ada juga filosof Islam yang juga dikenal dalam bidang kedokteran, yaitu Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Al-Qanun fi at-Thibb-nya Ibn Sina dan al-Kulliyyat fi at-Thibb-nya Ibn Rusyd juga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan dipergunakan selama ratusan tahun sebagai ‘buku wajib’ di Eropa.[8]
Di samping itu, juga muncul ilmuwan Islam dalam bidang astronomi dan aljabar, sebut saja Alfaraganus (Abu Abbas Al-Farghani) dan Albattegnius (Muhammad bin Jabir Al-Battani), dimana buku al-Farghani tentang Ringkasan Astronomi diterjemahkan oleh Gerard of Cremona.[9] Ada juga Umar Khayyam, yang menurut Hitti, kalender hasil karyanya lebih tepat dibanding kalender Gregorius. Teori Heliosentris ternyata juga sudah lama dikemukakan oleh Al-Biruni jauh sebelum Copernicus dan Galileo. Dalam matematika, nama Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi sangat masyhur.
Dalam optika dikenal nama Abu Ali Hasan bin Al-Haytsam dengan magnum opusnya Al-Manazib yang di dalamnya ia menentang Teori Euclid. Ia berpendapat bahwa bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan bukan sebaliknya. Dari proses pengiriman cahaya itulah timbul gambaran benda dalam mata. Dalam bidang geografi ada Al-Mas’udi, pengarang bukuMuruj al-Dzahab dan Ma’adin al-Jawhar, konon ia juga pernah singgah di kepulauan Indonesia disaat menjelajah dunia. Disamping Al-Mas’udi ada Ibnu Batutah dengan buku Rihlah Ibn Batutah.
Dalam ilmu pengetahuan alam, ulama-ulama Islam mewariskan berbagai macam buku dari ilmu hewan, tumbuh-tumbuhan, hingga geologi. Bahkan, menurut Hitti, Al-Jahiz dalam buku Kitab Al-Hayawan berbicara tentang Evolusi dan Antropologi.
Dalam lapangan falasafat, nama-nama seperti al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd sangat terkenal. al-Farabi mengarang buku-buku dalam falsafah, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi tentang falsafah Aristoteles. Sebagian karya-karyanya itu diterjemhakan kedalam bahasa Latin dan masih dipakai di Eropa di abad 17. Ibnu Sina juga banyak mengarang dan yang termashur adalah al-Syifa’, enslikopedi fisika, metafisika dan matematika yang terdiri dari 18 jilid. Bagi Eropa Ibnu Sina dengan tafsiran yang dikarangnya tentang falsafat Aristoteles lebih mashur daripada al-Farabi. Tetapi di antara semuanya, Ibnu Rusyd yang banyak berpengaruh di Eropa dalam bidang falsafat, sehingga disana terdapat aliran Averroisme.[10] Dan masih berderet nama-nama serta penemuan yang telah dihasilkan oleh sarjana Islam terdahulu.
Dengan semangat penalaran yang kuat, sarjana-sarjana Islam menjadi manusia penyelidik yang cerdik, menjadi penganalisa yang cerdas, mereka berhasil mengolah dan mengembangkan ilmu pengetahuan itu dengan metode berpikit ijtihad, riset, eksprimen sehingga terciptalah kebudayaan Islam yang mengagumkan.
Gelombang kebudayaan pra-Islam tidaklah dapat dipisahkan dari perkembangan peradaban Islam klasik yang banyak disebut oleh sejarahwan muslim sebagai masa-masa kejayaan Islam atau golden age. Proses penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Persia dan India hanya salah satu pintu dialog antar peradaban, sementara tanpa proses reproduksi, penerjemahan hanya menjadi tumpukan karya yang sudah dialihbahasakan belaka. Karenanya, dukungan penguasa saat itu dan dengan gairah keilmuan umat Islam yang luar biasa menjadikan gelombang kebudayaan ini tidak sia-sia. Segala upaya, baik materil maupun semangat juang yang telah ditorehkan dalam bentuk maha karya telah menjadi pilar-pilar peradaban Islam yang sangat menentukan.

C. Sumbangan Islam
Jika diteliti secara seksama, peranan, jasa dan sumbangan Islam pada bangsa Eropa dapat dibagi menjadi dua segi.
Pertama, umat Islam menyelamatkan warisan kebudayaan klasik Yunani yang terancam akan kehilangan dan kemusnahannya sehingga penyelidikan-penyelidikan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Aristoteles, Galenus, Ptolemious dan lainnya tidak hilang.[11] Tugas penyelamatan, pengembangan dan penyelidikan yang dilakukan sarjana-sarjana Islam terhadap kebudayaan klasik Yunani itu tidak lebih kecil dari tugas mencipta yang asli. Sebab kalau ilmu pengetahuan yang asli itu hilang maka seperti yang dikatakan Hitti sarjana Barat asal Libanon itu, dunia akan tinggal miskin seolah-olah ilmu pengetahuan itu tidak pernah ada.[12]
Kedua, umat Islam berjasa dalam mengolah dan mengembangkan kebudayaan klasik Yunani dengan penambahan unsur-unsur baru; ia kemudian menjadi sumbangan besar bagi Eropa sehingga benua ini memasuki babak baru dengan munculnya renaissance.[13]Penyelamatan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi perkembangan kegiatan ilmiah dalam peradaban Islam.
Tidak dapat dipungkiri memang banyak sekali sumbangan dan jasa umat Islam bagi kebangkitan dan kebangunan kebudayaan Barat, baik dilapangan Kedokteran, filsafat, ilmu pasti, kimia astronomi, seni sastra dan sebagainya. Jasa dan sumbangan Islam inilah yang menjadi dasar bagi munculnya masa renaissance., di Eropa pada abad 16, sehingga Eropa terbangun dari kegelapan dan kelelapan tidurnya. Karena begitu banyaknya sumbangan Islam kepada kebudayaan Eropa, maka banyaklah istilah-istilah yang berasal dari kebudayaan Islam yang sekaligus sebagai bukti nyata peninggalan dan jasa umat Islam kepada dunia Barat. Seperti nama-nama binatang dalam bahasa Latin-Eropa berpangkal dari bahasa Arab seperti acrab (aqrab – lipan), al-tair (al-ta’ir -rajawali), dheneb (dhanab-ekor).

D. Renaissance di Eropa
Ketika peradaban Islam mulai mundur, diikuti dengan cara pandang umatnya yang sempit, dunia Barat (Eropa) mulai bangun dan beramai-ramai menerjemahkan karya-karya ilmuwan Islam ke dalam bahasa Latin dan mengkajinya. Suatu hal yang ironis, padahal penyebab kebangkitan dunia Barat itu berkat mengkaji kebudayaan muslim. Dunia Barat yang menyadari keterbelakangan kebudayaanya datang belajar ke Timur. Buku-buku yang ditulis dalam bahasa Arab (bahasa Al-quran) disalin kedalam bahasa Latin (bahasa standar Injil) melalui masa penterjemahan.
Bersamaan dengan itu, di Eropa berkembang pemikiran-pemikiran filosof Islam terutama Ibnu Rusyd, yang menyatakan bahwa agama sama sekali tidak bertentangan dengan filsafat, ajaran agama dan inti filsafat sejalan. Berkembanglah kemudian di Eropa, Averroisme dalam sejarah pemikirannya, meskipun Barat salah dalam memahami Ibn Rusyd. Pemikiran Ibn Rusyd membawa balancing antara agama dan filsafat. Di Eropa, Averroisme membawa kepada double truth (kebenaran ganda). Kebenaran yang dibawa oleh agama adalah benar, demikian juga kebenaran ilmiah dan filsafat).[14]
Tonggak awal kebangkitan Eropa yang dinamakan dengan Renaissance, sedikit banyak lahir atas pengaruh Averroisme (Ar-Rusydiyyah) dan atas pengaruh penerjemahan karya-karya ilmiah ilmuwan Islam ke dalam bahasa Latin.[15] Pemindahan ilmu pengetahuan yang berkembang dalam Islam ke Eropa pada abad 12 M dan seterusnya paling tidak melalui beberapa jalur.
Pertama, jalur Andalus dengan Universitas-Universitas handal yang dikunjungi oleh kaum terpelajar Eropa. Sejarah telah mencatat bahwa pada abad 9 misalnya, khlaifah Abdurrahman III (912-961 M) telah mendirikan dan menempatkan Universitas Cordoba. Di dalam universitas Cordoba tersebut banyak mahasiswa dan sarjana Islam maupun Eropa-Kristen untuk menggali dan menimba ilmu-ilmu Islam. Pada waktu itu universitas Cordoba telah menyelenggrakan deferensiasi ilmu pengetahuan kedalam fakultas-fakultas; hukum, kedokteran, ilmu ukur dan astronomi. Pada waktu itu belum ada universitas di dunia Eropa-Kristen. Eropa baru mengenal dan mendirikan universitas pada tahun 1000 (universiats Salerno). Menyusul setelah itu dibangun universiats Bologna (1150), dan universitas Oxford (1168), yang pada waktu itu banyak mencontoh kurikulum dan pola universiats Islam.[16]
Walaupun Islam akhirnya terusir dari Andalusia dengan cara yang sangat kejam, tetapi telah membidani gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah; kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik (renessaince) pada abad ke-14 M yang bermuladi Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16 M, gerakan rasionalisme abad ke-17 M, dan pencerahan (aufklaerung) pada abad ke-18 M.[17]
Kedua, Sisilia, yang pernah dikuasai umat Islam dari tahun 831 hingga 1091. Di pulau ini ilmu pengetahuan serta penemuan ilmiah para ilmuwan Islam meningkat dengan pesat.[18]Bahkan setelah jatuhnya Sisilia ditangan kaum Norman yang dipimpin oleh Roger, pengaruh peradaban Islam masih sangat terasa disana. Mereka dikelilingi oleh para filosof dan ilmuwan muslim. Kepada mereka diperkenankan menjalankan ibadah agamanya dengan leluasa. Lebih dari seabad sesudah masa ini, masih tetap merupakan satu kerajaan Kristen yang unik dimana beberapa jabatan tinggi dipegang oleh orang Islam.[19]
Dari Sisilia, ilmu pengetahuan Islam meluas kedataran Italia, apalagi semenjak didirikannya universitas Napels pada tahun 1224 M. dianatara siswa universiats Napels ini adalah Thomas Aquinas, pemimpin Keristen Katolik. Di sini Federick II menghimpun naskah-naskah Arab. Buku-buku Aristoteles dan Averoes diterjemahkan dan dipergunakan sebagai buku pelajaran. Terjemahan tersebut juga di kirim ke universitas-universitas Paris dan Bologna.[20]
Pengaruh pemikiran rasional ilmu pengetahuan dalam perkembangan Barat diakui oleh ilmuwan Barat sendiri seperti Gustav Le Bon, Henry Trece, Anthony Nutting, C. Rsiler, Alferd Guillame, Rom Landau, dan yang lainnya. Di samping pengakuan penulis-penulis Barat yang objektif terhadap pengaruh peradaban Islam terhadap lahirnya Renaissance dan peradaban Barat modern, beberapa penulis Barat juga mengakui pengaruh pemakaian akal dalam Islam terhadap kebebasan berpikir di Eropa dari belenggu agama (baca : Kristen).
Nama-nama yang cukup terkenal dalam karya penterjemahan ini antara lain:
1. Gerard dari Cremona (Italia, w. 1187), ketua dewan penterjemah di Toledo. Ia menerjemahkan 87 buku tentang filsafat, kedokteran, matematika dan ilmu Falak. Dianatara terjemhannua itu adalah al-Qanun fi Tibb (Canon) tulisan Ibn Sina yang telah menjadi buku pegangan pokok mahasiswa kedokteran Barat selama berabad-abad.
2. Adelard dari Bath menterjemahkan buku-buku Musa al-Khawarizmi dalam bidang matematika dan astronomi.
3. Robert dari Chester (abad 12) yang belajar di Andalusia selama 12 tahun, menerjemahkanal-Jabar wal muqabalah. Robert de Chester ini bersama-sma Hermanus Dalmata pada tahun 1141 menerjemahkan Al-quran ke dalam bahasa Latin.
4. Michael Scott (w. 1235) yang juga belajar di Toledo, menterjemhkan komentar-komentar Ibn Rusyd terhadap Aristoteles.[21]
Dengan diterjemahkannya buku-buku itu termasuk Al-quran, yang telah menyebabkan lahirnya era renaisansi di dunia Barat. Isi era resaisansi ini adalah terjadinya revolusi-revolusi. Revolusi pertama di bidang ketatanegaraan. Lahirlah negara-negara yang membebaskan diri dari kristendom. Kedua, negara revolusi ilmu pengetahuan seperti yang telah disebutkan dimuka. Ketiga revolusi agama dengan lahirnya gerakan-gerakan pemurni dan gerakan-gerakan protes terhadap kehidupan geraja, khususnya kekuasaan Paus. Gerakan pemurnian ialah sekte Jezuit sedang gerakan protes dapat dikemukakan nama-nama Ximanse de Cisneros (Spanyol, wafat 1517); Girolamo Savanarola (Italy, wafat 1496); Martin Luther (Jerman, wafat 1546); Ulrich Zwingli (Swiss, wafat 1531); John Calvin (Prancis, wafat 1564) dan di Inggris lahir gereja Anglica yang pemimpin pertamanya adalah ratu Elizabeth I. Berangkat dari revolusi ilmu pengetahuan pula maka abad 11/17 lahir revolusi yang dimulai di Inggris yang berakibat lahirnya revolusi social abad 12/18.
Sebagaimana pernah terjadi di dunia Muslim dengan kelahiran Mu’tazilah yang mngedepankan ratio, pada abad 2 H/8 M di dunia Barat lahir gerakan Aufklarung/Englightenment pada abad 11H/17M. Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Aufklarungpun menolak trinitas sebagai sifat Tuhan. Isac Newton (wafat 1721) dalam bukunya Two Notable Coruptions of Scripture dan Observation of the Prophesiss of Daniel and the Apocalypse of St. John, menolak doktrn trinitas karena tidak sesuai dengan akal.

D. Penutup
Bila peradaban Islam klasik banyak ditopang oleh kebudayaan sebelumnya, hal yang sama juga dialami oleh bangsa Barat pada beberapa abad. Semangat kelahiran kembali (renaissans) yang dikobarkan oleh masyarakat Eropa Barat tidak bisa dilepaskan dari peran ilmuwan muslim yang telah menularkan semangat pengetahuan pada masayarakat Eropa saat itu. Khusus dalam bidang filsafat, Jamil Shaliba pernah memberikan catatannya atas pengaruh pemikir Islam di dunia Barat (Eropa). Menurutnya pengaruh peradaban Islam klasik bagi peradaban Barat Modern masih lebih besar dibandingkan dengan pengaruh peradaban Yunani bagi peradaban Islam klasik. Pada saat ini, setelah terjadi kebangkitan di dunia Islam, umat kembali harus banyak belajar dari para pemikir Barat yang sudah jauh meninggalkan dunia Islam.
________________________________________
[1] Jamil Shaliba, Al-Falsafah Al-‘Arabiyah (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1973) hal. 96
[2] Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1955) hal. 303
[3] Frederick Meyer, A History of Ancient and Medieval Philosophy (American Book Company, 1950) hal. 391
[4] Harun Nasution Op. Cit., , hal. 68,
[5] R. Walzer, Greek Into Arabic: Essays on Islamic Philosophy ( Cambridge: Harvard University Press, 1962)
[6] Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam, terj. Emily dan Jenny Marmorstein (London: Routledge, 1975), hal. 10
[7] Seperti Hunain ibn Ishaq al-Abadi yang merupakan seorang Kristen Nestorian (194-260 H/ 810-873 M)
[8] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Bebabagi Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1985) hal. 72-74
[9] Ibid., hal. 71