ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

Jumat, 25 April 2014

MAKNA JIHAD MENURUT ISLAM

Banyak orang menafsirkan makna jihad fi sabilillah dengan berbagai macam penafsiran. Mana makna jihad yang benar menurut kaca mata syariat Islam? Dan peperangan seperti apa saja yang dapat dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah?

Ada upaya baru yang diciptakan oleh musuh-musuh Islam, yakni meminggirkan dan menghilangkan makna serta pengaruh istilah-istilah Islam di tengah-tengah kaum Muslim. Salah satu istilah yang berusaha mereka eliminir dan kaburkan adalah istilah jihad. Hal itu dilakukan bukan saja dengan menciptakan stereotipe negatif tentang jihad, mujahid dan syahid, tetapi juga dengan mengalihkan makna jihad secara syar’i ke pengertian jihad secara bahasa (lughawi) yang bersifat lebih umum.
Tidak dipungkiri, kata jihad memiliki pengarih yang amat luas, dan masih memiliki greget yang mendalam di kalangan kaum Muslim. Gaung jihad akan segera menghentakkan kaum Muslim, yang sehari-harinya biasa-biasa saja. Seketika kita berubah wujud menjadi luar biasa. Fenomena semacam ini amat dipahami, baik oleh musuh-musuh Islam maupun kalangan Muslim sendiri. Tidak aneh jika kata jihad sering dipelintir maknanya untuk kepentingan politik negara-negara besar maupun kalangan-kalangan tertentu.
Negara Barat kafir seperti AS, hingga kini tetap giat mempropagandakan pandangan bahwa jihad sama dengan teror, mujahidin sama dengan teroris atau ekstremis yang harus dimusuhi, dilawan, dan dibinasakan. Mereka khawatir dengan bangkitnya semangat kaum Muslim melawan hegemoni sistem kufur yang dipelopori AS. Kaum orientalis dan para pengikutnya mengarahkan makna jihad dalam pengertian yang lebih luas, mencakup jihad pembangunan, jihad menuntut ilmu, jihad mencari nafkah, jihad ekonomi, jihad politik dan sejenisnya. Semua itu mengaburkan makna jihad yang sebenarnya. Dalam skala yang lebih sempit lagi, kata jihad ternyata juga sengaja dipelintir dan dipolitisasi untuk menghadang atau melawan kelompok tertentu yang bertentangan dengan kelompok mereka. Inilah yang sekarang terjadi di negeri ini.
Untuk meluruskan persepsi keliru tentang makna jihad agar tidak digunakan untuk kepentingan politik tertentu, yang dengan gampang mengangkat perkara ini guna menghadang pihak lain yang menghalang-halangi atau mengganggu eksistensi dan kepentingan kelompok mereka, sangatlah penting menjelaskan hakikat jihad yang sebenarnya kepeda seluruh kaum Muslim.
Jihad berasal dari kata jâhada, yujâhidu, jihâd. Artinya adalah saling mencurahkan usaha1. Lebih jauh lagi Imam an-Naisaburi dalam kitab tafsirnya menjelaskan arti kata jihad –menurut bahasa-, yaitu mencurahkan segenap tenaga untuk memperoleh maksud tertentu2.
Al-Quran menggunakan arti kata jihad seperti diatas dalam beberapa ayatnya, seperti ayat berikut:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dalam hal yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (TQS. Luqman [31]: 15)

Makna jihad menurut bahasa (lughawi) adalah kemampuan yang dicurahkan semaksimal mungkin; kadang-kadang berupa aktivitas fisik, baik menggunakan senjata atau tidak; kadang-kadang dengan menggunakan harta benda dan kata-kata; kadang-kadang berupa dorongan sekuat tenaga untuk meraih target tertentu; dan sejenisnya. Makna jihad secara bahasa ini bersifat umum, yaitu kerja keras.
Al-Quran telah mengarahkan makna jihad pada arti yang lebih spesifik, yaitu: Mencurahkan segenap tenaga untuk berperang di jalan Allah, baik langsung maupun dengan cara mengeluarkan harta benda, pendapat, memperbanyak logistik, dan lain-lain3.
Pengertian semacam ini tampak dalam kata jihad yang ada dalam ayat-ayat Madaniyah. Maknanya berbeda dengan kata jihad yang terdapat dalam ayat-ayat Makkiyah. Kata jihad mengandung makna bahasa yang bersifat umum, sebagaimana pengertian yang tampak dalam al-Quran surat al-Ankabut [29]: ayat 6 dan 8 serta surat Luqman [31]: ayat 15.
Tidak kurang dari 26 kata jihad digunakan dalam ayat-ayat Madaniyah. Semuanya mengindikasikan bahwa jihad disini mengandung muatan makna perang menentang orang-orang kafir dan keutamaan orang yang pergi berperang dibandingkan dengan orang yang berdiam diri saja. Pengertian semacam ini diwakili oleh firman Allah Swt:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah. Yang demikian adalah lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (TQS. at-Taubah [9]: 41)

Jihad dengan makna mengerahkan segenap kekuatan untuk berperang di jalan Allah juga digunakan oleh para fuqaha. menurut mazhab Hanafi, jihad adalah mencurahkan pengorbanan dan kekuatan untuk berjuang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta benda, lisan dan sebagainya4. Menurut mazhab Maliki, jihad berarti peperangan kaum Muslim melawan orang-orang kafir dalam rangka menegakkan kalimat Allah hingga menjadi kalimat yang paling tinggi5. Para ulama mazhab Syafi’i juga berpendapat bahwa jihad berarti perang di jalan Allah6.
Sekalipun kata jihad menurut bahasa memliki arti mencurahkan segenap tenaga, kerja keras, dan sejenisnya, tetapi syariat Islam lebih sering menggunakan kata tersebut dengan maksud tertentu, yaitu berperang di jalan Allah. Artinya, penggunaan kata jihad dalam pengertian berperang di jalan Allah lebih tepat digunakan ketimbang dalam pengertian bahasa. Hal ini sesuai dengan kaidah yang sering digunakan para ahli ushul fiqih:

Makna syariat lebih utama dibandingkan dengan makna bahasa maupun makna istilah (urf)7.

Dengan demikian, makna jihad yang lebih tepat diambil oleh kaum Muslim adalah berperang di jalan Allah melawan orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Allah.
Pengaburan makna jihad dalam pengertian syariat ini, dengan cara mengalihkannya ke pengertian yang lebih umum, seperti jihad pembangunan, me untut ilmu, mencari nafkah, berpikir keras mencari penyelesaian, dan sejenisnya yang dianggap sebagai aktivitas jihad- merupakan upaya untuk menghilangkan makna jihad dalam pengertian al-qitâl, al-harb, atau al-ghazwu, yaitu berperang (di jalan Allah).
Untuk menentukan bahwa suatu pertempuran itu tergolong jihad fi sabilillah (sesuai dengan definisi diatas) atau termasuk perang saja, maka kita perlu mencermati fakta tentang jenis-jenis peperangan yang dikenal dalam khasanah Islam. Di dalam Islam terdapat kurang lebih 12 jenis peperangan, yaitu:
1.Perang melawan orang-orang murtad.
2.Perang melawan para pengikut bughât.
3.Perang melawan kelompok pengacau (al-hirabah atau quthâ at-thuruq) dari kalangan perompak dan sejenisnya.
4.Perang mempertahankan kehormatan secara khusus (jiwa, harta benda dan kehormatan).
5.Perang mempertahankan kehormatan secara umum (yang menjadi hak Allah atau hak masyarakat).
6.Perang menentang penyelewengan penguasa.
7.Perang fitnah (perang saudara).
8.Perang melawan perampas kekuasaan.
9.Perang melawan ahlu dzimmah.
10.Perang ofensif untuk merampas harta benda musuh.
11.Perang untuk menegakkan Daulah Islam.
12.Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam.8

Perang melawan orang-orang murtad
Murtad, menurut Imam Nawawi, adalah orang yang keluar dari agama Islam, mengeluarkan kata-kata atau tindakan kekufuran, dengan disertai niat, baik niatnya mencela, karena kebencian, atau pun berdasarkan keyakinan9. Orang yang murtad di beri batas waktu, bisa tiga hari atau pun lebih untuk bertobat10. Jika jangka waktu yang diberikan berakhir, sementara yang bersangkutan tetap tidak berubah, maka ia wajib dibunuh.
Jika yang murtad itu merupakan satu komunitas, baik didukung oleh negara kafir atau pun berdiri sendiri, hukumnya juga sama, yaitu wajib diperangi sebagaimana halnya memerangi musuh, bukan seperti memerangi bughât11.

Perang melawan para pengikut bughat
Bughat adalah mereka yang memiliki kekuatan, kemudian menyatakan keluar atau memisahkan diri dari Daulah Islamiyah, melepaskan ketaatannya kepada negara (Khalifah), mengangkat senjata, dan mengumumkan perang terhadap negara. Tidak dibedakan lagi apakah mereka memisahkan diri dari Khalifah yang adil atau zhalim; baik mereka memisahkan diri karena adanya perbedaan (penafsiran) dalam agama atau mungkin ada motivasi dunia. Semuanya tergolong bughat selama mereka mengangkat senajata atau pedang terhadap kekuasaan Islam12.
Jika ada kelompok orang semacam ini, menurut Imam Nawawi, yang harus dilakukan oleh kepala negara adalah memberinya nasehat agar mereka kembali dan bertobat13. Jika tidak kembali mereka harus diperangi agar jera. Dalam perkara ini, peperangan yang dimaksud adalah peperangan untuk mendidik mereka, bukan perang untuk membinasakan mereka. Alasannya, mereka adalah kaum Muslim yang tidak sadar, dan kesadarannya harus dikembalikan14.
Oleh karena itu, perang melawan bughat tidak tergolong ke dalam aktivitas jihad fi sabilillah. Ada dua alasan penting: (1) yang diperangi adalah kaum Muslim; (2) korban yang terbunuh dalam peperangan ini tidak termasuk syahid.

Perang melawan kelompok pengacau
Kelompok pengacau adalah mereka yang melakukan tindak kriminal dalam wujud sekumpulan orang bersenjata dan memiliki kekuatan. Tujuannya adalah merampok, menyamun, membunuh, menebar teror atau ketakutan terhadap masyarakat umum15. Para pelakunya bisa terdiri dari empat jenis: (1) orang-orang murtad; (20 orang kafir ahlu dzimmah; (3) orang-orang kafir musta’man; (4) orang Islam.
Jika di dalam Daulah Islamiyah muncul kelompok semacam ini, mereka wajib diperintahkan untuk meletakkan senjata dan menyerahkan diri, setelah sebelumnya diberikan nasehat. Apabila mereka tidak mengindahkan seruan negara, maka mereka wajib diperangi. Daulah Islamiyah wajib melenyapkan ancaman mereka atas kaum Muslim.
Perang melawan mereka dapat dimasukkan ke dalam golongan jihad fi sabilillah, jika sasarannya adalah orang-orang murtad, ahlu dzimmah dan orang-orang kafir musta’man. Sebaliknya, jika sasarannya adalah kaum Muslim yang melakukan kekacauan, peperangan melawan mereka tidak tergolong sebagai jihad fi sabilillah16.

Perang mempertahankan kehormatan pribadi
Para fuqaha memberinya istilah lain dalam peperangan jenis ini, yaitu as-siyâl. As-Siyâl adalah tindakan ancaman atas harta benda, jiwa dan kehormatan. Ketiga perkara tersebut merupakan perkara-perkara yang harus dijaga. Hukum mempertahankan ketiga jenis perkara tersebut disyariatkan oleh Islam. Jika pihak yang merampas kehormatan, harta benda, atau pun jiwa itu adalah orang-orang kafir, maka peperangan melawan mereka dimasukkan sebagai jihad fi sabilillah. Akan tetapi jika pihak yang mertampas kehormatan, jiwa dan harta benda kaum Muslim adalah juga dari kaum Muslim, maka jenis peperangan melawan mereka tidak digolongkan sebagai jihad17.

Perang mempertahankan kehormatan secara umum
Sekalipun obyeknya sama dengan jenis peperangan sebelumnya, yaitu mencakup kehormatan, harta benda dan jiwa, akan tetapi terdapat perbedaan yang mendasar dalam perkara ini. Perang dalam rangka mempertahankan kehormatan secara umum, ditujukan kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran atas kehormatan, harta benda dan jiwa, yang dimilikinya sendiri. Misalnya, sekelompok orang yang melacurkan diri, mengambil harta orang lain secara sukarela untuk berjudi, atau sekelompok orang yang bermaksud membunuh diri mereka sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pelanggaran terhadap hak-hak Allah dan hak-hak masyarakat, karena dapat merusak kesucian jiwa dan kebersihan hidup masyarakat.
Berperang untuk mengikis habis pelanggaran hak Allah dan hak masyarakat ini, di dalam fiqih Islam lebih dikenal dengan taghyir al-munkar. Negara wajib memelihara kesucian jiwa dan kebersihan hidup masyarakat dengan memerangi mereka yang akan membinasakan kehormatan, harta benda dan jiwa mereka sendiri. Perang dalam rangka ini tidak termasuk ke dalam aktivitas jihad.

Perang menentang penguasa yang menyimpang
Peperangan jenis ini, dalam fiqih Islam dikenal dengan beberapa istilah, seperti al-khurûj (pemisahan diri), ats-tsaurah (pemberontakan atau kudeta), an-nuhûdl (kebangkitan), al-fitnah (fitnah), qitâl azh-zhulmah (memerangi kezhaliman), qitâl al-umarâ (memerangi penguasa), inqilâb (revolusi), harakat tahririyah li tashîh al-auda (gerakan pembebasan untuk perbaikan), harb ahliyah (perang saudara), dan lain-lain18.
Yang perlu diingat, peperangan jenis ini berada dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah, yakni tatkala di dalamnya tampak penyelewengan penguasa dalam:
1. Meninggalkan shalat, puasa, atau rukun Islam lainnya.
2. Tidak menegakkan rukun Islam di tengah-tengah masyarakat.
3. Melakukan kemaksiatan secara terang-terangan.
4. Melakukan kekufuran secara terang-terangan.

Peperangan jenis ini memerlukan burhân (bukti) yang pasti bahwa Khalifah benar-benar telah menyimpang dari hukum Islam yang qath’i dengan menjalankan kekufuran. Dalam kondisi semacam ini, seorang Khalifah harus dilengserkan dan dianggap murtad. Jika ia melawan, maka perang melawannya dapat dikategorikan sebagai jihad. Jika Khalifah hanya melakukan penyelewengan saja, tidak sampai melakukan kekufuran secara terang-terangan tetapi mengharuskan dirinya dilengserkan dari kedudukannya sebagai Khalifah, sementara ia tidak bersedia diturunkan, maka perang melawannya sama dengan melawan bughât, tidak dikategorikan sebagai jihad19.

Perang fitnah (perang saudara)
Perang saudara disini maksudnya adalah perang antara dua pihak atau lebih yang melibatkan kaum Muslim yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam. Contoh yang paling mudah untuk perang saudara ini adalah apa yang terjadi dan dialami oleh kaum Muslim di Afghanistan (pada masa pemerintahan Thaliban).
Perang saudara semacam ini tidak digolongkan sebagai jihad fi sabilillah. Bahkan, banyak hadits yang melarangnya, sementara para pelakunya diancam akan dimasukkan ke dalam neraka.

Perang melawan perampas kekuasaan
Kekuasaan itu ada di tangan rakyat (umat). Demikian kesimpulan dari berbagai hadits yang menyangkut bai’at. Bai’at berasal dari umat yang diberikan kepada Rasulullah saw, atau para Khalifah setelah beliau. Artinya, orang yang memperoleh kekuasaan bukan melalui tangan umat atau melalui paksaan dianggap sebagai pihak yang merampas kekuasaan.
Perang melawan pihak yang merampas kekuasaan tidak digolongkan sebagai jihad. Meskipun demikian, dalam kasus ini, terdapat dua pendapat yang berbeda di kalangan sahabat. Ali bin Abi Thalib ra menganggapnya sebagai jihad. Sikap beliau diwujudkan dalam tindakannya, yakni tidak memandikan jenazah para sahabatnya yang gugur dalam perang Shiffin. Sebaliknya adalah pendapat Asma binti Abubakar. Ia memandikan anaknya, yakni Abdullah bin Zubair tatkala berperang melawan pihak yang merampas kekuasan, yaitu Marwan bin Hakam20.

Perang melawan ahlu dzimmah
Ahlu dzimmah adalah setiap orang non muslim yang menjadi rakyat (warga negara) Daulah Islamiyah dan dibiarkan memeluk agamanya21. Ahlu dzimmah adalah orang yang terikat perjanjian dengan Daulah Islamiyah serta memperoleh dzimmah (jaminan) dari negara atas jiwa, kehormatan dan harta bendanya. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap perjanjian tersebut dapat menggugurkan status dzimmah mereka.
Pelanggaran tersebut mencakup setiap perkara yang mengganggu atau menghilangkan harta benda, jiwa dan kehormatan kaum Muslim, seperti (1) membantu menyerang kaum Muslim, (2) membunuh kaum Muslim, (3) merampok harta benda kaum Muslim, (4) menjadi perusuh, (5) membocorkan rahasia kaum Muslim kepada musuh, (6) menodai kehormatan wanita muslimah, (7) mempengaruhi kaum Muslim agar memeluk agama mereka yang kafir.
Berbagai pelanggaran ini jika dilakukan oleh ahlu dzimmah dapat menggugurkan dzimmah (jaminan) negara atas keselamatan harta benda, kehormatan dan jiwa mereka.
Perang melawan ahlu dzimmah semacam ini termasuk jihad fi sabilillah. Alasannya, status mereka pada kondisi demikian telah berubah menjadi kafir harbi, karena mereka telah kehilangan dzimmahnya. Kasus semacam ini akan dihadapi jika mereka benar-benar melakukan konspirasi bersama dengan orang-orang kafir harbi untuk menyerang kaum Muslim22.

Perang untuk menegakkan Daulah Islamiyah
Untuk mengetahui pakah perang jenis ini temasuk jihad fi sabilillah atau bukan, harus dicermati dulu faktanya. Pertama, jika sasaran perang dalam rangka menegakkan Daulah Islamiyah itu berasal dari kalangan kaum Muslim yang tidak setuju dengan tegaknya Daulah Islamiyah, maka perang jenis ini dimasukkan ke dalam perang melawan bughat. Kedua, perang melawan ahlu dzimmah yang tidak mau tunduk kepada Daulah Islamiyah yang baru berdiri, maka peperangannya dianggap sebagai jihad melawan orang-orang kafir harbi. Ketiga, perang melawan negeri-negeri Islam yang tidak mau bergabung dalam naungan Daulah Islamiyah. Perang jenis ini dimasukkan sebagai perang melawan bughât. Keempat, perang melawan penjajah atau negara-negara kafir yang tidak ingin melihat berdirinya Daulah islamiyah. Perang jenis ini digolongkan sebagai jihad fi sabilillah.

Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam
Perang untuk menyatukan negeri-negeri Islam pada dasarnya tergolong perang untuk menegakkan kalimat Allah. Meskipun demikian, perlu dicermati sasarannya. Jika yang diperangi adalah orang-orang kafir atau ahlu dzimmah yang telah mencampakkan perjanjiannya, maka melawan mereka dikategorikan sebagai jihad. Akan tetapi, jika yang diperangi adalah sesama kaum Muslim yang teguh pada nasionalisme atau kebangsaannya, sementara mereka dijadikan alat oleh negara-negara kafir untuk melawan sesama kaum Muslim, maka perang melawan mereka tidak dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah23.

Berdasarkan uraian singkat ini, kaum Muslim bisa lebih berhati-hati dalam menyikapi provokasi, ajakan, maupun seruan-seruan jihad yang disalahgunakan oleh banyak pihak yang didasarkan pada kepentingan politik tertentu. Alih-alih mengharapkan mati syahid, yang diperoleh ternyata mati konyol. Na’udzi billahi min dzalika.

HUKUM TENTANG PRIVATISASI

Pada era globalisasi saat ini kita sering mendengar istilah privatisasi. Apalagi perkara tersebut tertuang dalam LoI (Letter of Intent) antara IMF dan pemerintah. Bagaimana hukum dan pandangan Islam mengenai privatisasi?

Apa yang dilakukan pemerintah dengan menjual perusahaan-perusahaan dan badan-badan usaha milik negara kepada pihak-pihak perorangan atau kepada investor asing, adalah tindakan yang haram menurut syara, karena alasan-alasan berikut:
Pertama, negara tidak berhak menjual aset-aset kepemilikan umum, karena aset ini bukan miliknya, tetapi milik umum. Islam telah melarang menjual suatu barang yang tidak dimiliki oleh penjual. Jika jual beli seperti ini terjadi, maka jual belinya bathil alias tidak sah.

Islam telah menjelaskan bahwa kepemilikan umum adalah, benda-benda yang kepemilikannya telah dijadikan oleh asy-Syâri bagi jamaah kaum Muslim, dan mereka seluruhnya berserikat atas benda-benda tersebut. Dibolehkan bagi individu memanfaatkannya, tetapi mencegah individu untuk memilikinya1. Islam telah menentukan tiga jenis kepemilikan umum:
1. Barang yang menjadi kebutuhan orang banyak, yang jika tidak ada maka masyarakat akan berpencar-pencar mencarinya; seperti air, padang penggembalaan, dan sejenisnya. Nabi saw bersabda:
«النَّاسُ شُرَكَاءُ فِيْ ثَلاَثٍ: اَلْمَاءُ وَالْكَلاَءُ وَالنَّارُ»
Masyarakat itu berserikat dalam tiga perkara (barang): air, padang gembalaan dan api. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ada riwayat bahwa Rasulullah saw membolehkan perorangan (individu) untuk memiliki air yang tidak dibutuhkan oleh orang banyak. Dari hadits-hadits ini diistinbath bahwa segala sesuatu yang menjadi kebutuhan orang banyak, yakni yang jika tidak ada (barangnya) maka orang-orang akan berpencar-pencar mencarinya, dipandang sebagai kepemilikan umum, baik hal itu termasuk dalam tiga jenis barang, seperti yang disebutkan dalam hadits tadi, maupun (barang) lainnya yang tidak disebut.
2. Barang tambang yang memiliki deposit amat besar. Telah diriwayatkan dari Abyadl bin Jamal, bahwa dia pernah datang kepada Rasulullah saw, lalu meminta beliau agar memberinya tambang garam. Rasulullah pun memberikannya. Ketika Abyadl pergi, salah seorang sahabat di (dalam) majelis berkata kepada Rasulullah: ‘Tahukan engkau, apa yang engkau telah berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan kepadanya sesuatu (yang bagaikan) air mengalir’. Rasulullah kemudian menarik kembali pemberian tersebut. Salah seorang sahabat tadi menyerupakan tambang garam dengan air mengalir, karena banyaknya deposit pada tambang garam tersebut. Hal ini mencakup juga setiap barang tambang yang depositnya sangat banyak, atau secara ekonomi sangat menguntungkan; seperti minyak, gas, pospat, tembaga, timah, emas, perak dan lain-lain.
3. Barang-barang yang dilihat dari tabiat bentuknya tidak mungkin dimiliki oleh individu; seperti laut, sungai, atmosfer udara dan lain-lain.

Inilah ketiga jenis barang yang merupakan kepemilikan umum yang dapat dimanfaatkan secara bersama-sama. Dalam hal ini peran negara hanyalah pengelola dan pengontrol pemanfaatannya, bukan pemilik.
Maka dari itu, negara tidak boleh menjual atau memberikan kepada siapa pun, apalagi pihak asing aset-aset yang menjadi milik umum. Sebab, ketiga jenis barang itu adalah milik umum, bukan milik negara. Andaikata negara meminta persetujuan rakyat untuk menjualnya, dan rakyat pun menyetujuinya, maka negara tetap tidak boleh menjualnya. Sebab, status kepemilikan umum didasarkan kepada fakta tentang barangnya, bukan didasarkan pada yang lain, seperti persetujuan dan sebagainya. Jika faktanya adalah tambang minyak, misalnya, maka statusnya adalah tetap sebagai kepemilikan umum, meskipun kita mencoba mengubah statusnya menjadi kepemilikan individu agar dapat dijual.
Lalu, jika aset yang dijual adalah milik negara, bolehkah negara menjual atau memberikannya?
Perlu dipahami lebih dahulu bahwa disamping membenarkan keberadaan kepemilikan individu dan kepemilikan umum, Islam juga
membenarkan kepemilikan negara. Definisinya adalah, setiap harta atau aset yang didalamnya ada hak untuk seluruh kaum Muslim (tetapi tidak tergolong kepemilikan umum) dan pengaturannya berada di tangan Khalifah2. Dengan demikian, pada asalnya, kepemilikan negara dimungkinkan untuk berubah statusnya menjadi kepemilikan individu. Negara boleh menjual atau memberikannya kepada individu. Namun demikian perlu diingat bahwa kepemilikan negara berkaitan dengan hak-hak kaum Muslim dimana pengaturan Khalifah terhadapnya tidak boleh menimbulkan mudharat kepada kaum Muslim. Maka dari itu meskipun hukum asalnya mubah, tetapi penjualan aset-aset milik negara oleh pemerintah –sebagaimana yang terjadi dalam program privatisasi- hukumnya menjadi haram. Karena privatisasi telah menimbulkan kemudharatan, seperti yang telah diterangkan. Kaidah syara menetapkan:
«اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ»
Segala sarana (yang menghantarkan) kepada keharaman, hukumnya haram pula.

Kedua, privatisasi menyebabkan harta hanya beredar di kalangan orang kaya saja, baik perorangan maupun perusahaan. Dengan demikian orang banyak tidak dapat memanfaatkan harta tersebut dan pada gilirannya distribusi kekayaan akan semakin timpang. Hal ini tidak dibenarkan manurut Islam, sesuai dengan firman Allah Swt:
كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)

Memang, ayat diatas mengharamkan beredarnya harta hanya di kalangan orang-orang kaya diantara umat Islam (aghniyâ’i minkum). Namun demikian ayat itu juga berlaku untuk orang kaya di kalangan kaum kafir. Sebab, jika harta tidak dibolehkan hanya beredar diantara orang kaya muslim, maka jika hanya beredar diantara orang-orang kaya kafir jelas-jelas lebih tidak dibolehkan lagi. Ini sesuai dengan mafhum muwâfaqah dalam ilmu ushul.

Ketiga, privatisasi menimbulkan dominasi dan hegemoni kaum kafir atas kaum Muslim. Dengan privatisasi, individu atau pun perusahaan kapitalislah yang nantinya akan menguasai dan mengendalikan perekonomian negeri-negeri Islam. Negeri-negeri Islam akan terjeremus dalam cengkeraman imperialisme ekonomi. Hal ini diharamkan oleh Islam. Allah Swt berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin. (TQS. an-Nisa [4]: 141)

Keempat, privatisasi merupakan perantara (washilah) munculnya kemudharatan bagi kaum Muslim. Kita menyaksikan implikasi-implikasi langsung, bahwa privatisasi akan menimbulkan pengangguran akibat PHK, memperbanyak kemiskinan akibat pengurangan gaji karyawan, menghilangkan sumber-sumber pendapatan bagi negara, membebani konsumen dengan harga-harga atau tarif-tarif yang melambung akibat pajak tinggi yang dibebankan keada perusahaan terprivatisasi, menghambur-hamburkan kekayaan negara pada sektor non produktif, menghalangi rakyat untuk memanfaatkan aset kepemilikan umum, serta memberi peluang masuknya serangan pemikiran dan budaya kapitalisme atas kaum Muslim. Semua ini merupakan kemudharatan yang diharamkan keberadaannya atas kaum Muslim. Dan privatisasi adalah salah satu cara yang melempangkan jalan ke arah itu, maka haram pula hukumnya. Kaidah syara menetapkan:
«اَلْوَسِيْلَةُ إِلَى الْحَرَامِ حَرَامٌ»

Segala sarana (yang menghantarkan) kepada keharaman, hukumnya haram pula.

Privatisasi adalah program imperialis yang jahat, yang bertujuan untuk merampas harta kekayaan kaum Muslim dan menghancurkan perekonomian mereka. Privatisasi tidak boleh didiamkan oleh kaum Muslim, karena kaum Muslim akan turut berdosa jika berdiam diri dan ridha terhadap kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, kaum Muslim harus bangkit untuk mengkritik program tersebut, membantah siapa saja yang mempropagandakannya, serta melakukan segala daya upaya untuk mencegah dan menggagalkannya.
Kaum Muslim juga hendaknya sadar bahwa negara dan pemerintah mereka yang melaksanakan program tersebut, sebenarnya berbuat hanya untuk memuaskan kaum kafir penjajah, bukan demi kepentingan rakyat dan umat. Dengan demikian sudah sepatutnya rezim yang seperti ini harus segera diganti dengan yang baru, yang benar-benar dapat menjalankan fungsinya sebagai pemelihara urusan rakyat.

Mengapa (negara) Khilafah Belum Berdiri (Kembali)?

Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian. (QS Muhammad [47]: 7)

Banyak gerakan dan berbagai kelompok di tengah-tengah kaum Muslim yang memperjuangkan penerapan sistem hukum Islam melalui tegaknya kembali Negara Khilafah Islamiyah. Akan tetapi, mengapa sampai saat ini negara Khilafah tersebut belum juga tegak?

Sebagaimana kita ketahui, jika Allah Swt dan Rasul-Nya telah memerintahkan sesuatu kepada kaum Muslim, maka tidak boleh ada pilihan lain bagi mereka untuk menolaknya. Perintah Allah Swt dan Rasul-Nya yang terpenting adalah menjalankan hukum-hukum yang diturunkan Allah dalam seluruh aspek kehidupan. Allah Swt berfirman:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ
أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ
Hendaklah kamu memutuskan perkara (pengadilan, pemerintahan dan lain-lain) di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka agar jangan sampai mereka memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (TQS. al-Maidah [5]: 49)

Di antara perkara-perkara yang diturunkan Allah Swt kepada kita untuk dijalankan adalah penerapan sistem hukum Islam yang berkaitan dengan aspek pemerintahan, politik, ekonomi, pengadilan dan sejenisnya.
Sejak Negara Khilafah Islamiyah berhasil dirobohkan melalui tangan Mustafa Kamal Attaturk, upaya untuk membangun kembali bangunan Khilafah Islamiyah banyak dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam. Di antara mereka ada yang telah berjuang puluhan tahun. Namun demikian, upaya perjuangan tersebut, berupa tegaknya negara Khilafah Islamiyah, belum menuai hasilnya. Apa penyebabnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dulu harus dipisahkan dua perkara yang selalu dihubung-hubungkan, yaitu: (1) Tahapan aktivitas/perjuangan yang mengarah pada tegaknya Negara Khilafah; (2) Pertolongan Allah kepada kaum Muslim dengan berdirinya kembali Negara Khilafah.
Tahapan aktivitas/perjuangan yang mengarah pada tegaknya Negara Khilafah wajib mengikuti tahapan yang telah dilalui oleh Rasulullah saw. Allah Swt berfirman:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kalian kepada Allah dengan hujjah yang nyata’. (TQS. Yusuf [12]: 108)
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ
Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah; apa saja yang dilarangnya ataskalian, tinggalkanlah; dan bertakwalah kalian kepada Allah. (TQS. al-Hasyr [59]: 7)

Ayat-ayat ini mengharuskan kaum Muslim yang berjuang untuk menerapkan sistem hukum Islam dalam bingkai Negara Khilafah menyesuaikan seluruh langkah-langkahnya, baik besar maupun kecil, dengan langkah-langkah Rasulullah saw. Sebab, beliaulah yang memberikan kepada kita metode (tharîqah) untuk membangun Daulah Islamiyah, sejak dakwah beliau di kota Makkah hingga berdirinya Negara Islam di kota Madinah.
Gerakan Islam mana saja yang memiliki tujuan untuk mengembalikan kembali sistem hukum Islam melalui tegaknya Negara Khilafah, namun langkah-langkahnya menyimpang atau bahkan bertentangan dengan langkah-langkah dakwah Rasulullah saw, baik sedikit maupun banyak, pasti akan menjumpai kegagalan; di samping amal perbuatannya sia-sia dan tertolak. Rasulullah saw bersabda:

«مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَرَدٌّ»
Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang bukan berasal dariku, maka amal perbuatannya itu tertolak. (HR Muslim)

Jadi, aktivitas membangun/mendirikan Negara Khilafah itu dianggap benar apabila memenuhi dua unsur: ikhlas semata-mata karena Allah, dan langkah-langkahnya sesuai dengan syariat Islam.
Oleh karena itu, siapa pun yang berupaya mengembalikan penerapan sistem hukum Islam melalui bingkai Negara Khilafah tidak boleh menggunakan metode Sosialis, menghalalkan segala cara (metode Machiavelli), metode Demokrasi, atau metode-metode lainnya. Hanya satu metode yang menjamin keberhasilan tujuan tersebut, yaitu metode (tharîqah) Rasulullah saw. Dengan demikian, ketidakberhasilan suatu gerakan untuk meraih tujuan tersebut dapat disebabkan karena tidak tepatnya langkah-langkah mereka mengikuti metode yang dicontohkan Rasulullah saw. Semakin jauh mereka menyimpang dari metode Rasulullah saw, semakin besarlah peluang gagalnya tujuan mereka.
Namun demikian, apakah gerakan yang telah mengikuti metode Rasulullah saw, dengan sendirinya akan memperoleh tujuan yang dicita-citakannya itu? Di sini kita harus memahami makna nashrullâh (pertolongan Allah).
Nashrullâh (pertolongan Allah) tidak mengikuti kaidah sebab akibat. Meskipun Allah Swt memberikan janjinya kepada orang-orang Mukmin yang menaati segala perintah-Nya, bahwa Dia pasti akan memberikan pertolongan dan akan membela hamba-hamba-Nya, tetapi pertolongan Allah tidak serta-merta mengikuti kaidah sebab akibat, seperti orang yang makan mengakibatkan kenyang. Alasannya, pertolongan Allah adalah hak prerogatif Allah Swt. Dialah Yang memiliki kehendak untuk memberikannya, kapan pun diinginkan-Nya. Allah Swt berfirman:

وَمَا النَّصْرُ إِلاَّ مِنْ عِنْدِ اللهِ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (TQS. Al-Anfal [8]: 10)

Berdasarkan hal ini, dapat dimengerti, bahwa meskipun suatu gerakan Islam telah berjuang puluhan tahun atau mungkin ratusan tahun, dan mengikuti langkah-langkah perjuangan Rasulullah saw dengan benar, tetapi keberhasilan berupa pertolongan Allah dan kemenangan belum terwujud. Sebab, pertolongan Allah dan kemenangan ada di tangan Allah, bukan di tangan manusia. Allahlah yang mengetahui rahasia dan hikmah di balik semua itu (yaitu mengapa pertolongan Allah terlambat tiba). Bagi kita, yang terpenting adalah melakukan amal perbuatan sebagaimana yang dituntut oleh syariat Islam, yakni mengikuti jejak Nabi saw dalam membangun Negara Khilafah. Itulah yang menjadi bekal kita menuju hari Perhitungan. Meskipun demikian, keyakinan terhadap janji Allah tidak pernah pudar. Allah Swt berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan meneguhkan kedudukan kalian. (QS Muhammad [47]: 7)

HUKUM MEMBUAT KONSTITUSI NEGARA

Sebagian kalangan Muslim mungkin ada yang menduga bahwa sekiranya ke-Khilafahan Islam ditakdirkan tegak kembali, secara teknis tidak lagi diperlukan konstitusi negara Khilafah secara tertulis karena telah ada al-Quran dan Sunnah. Apalagi, secara historis, ihwal pembuatan konstitusi negara Islam ini sulit menemukan contohnya dalam rentang sejarah Islam yang demikian panjang. Akan tetapi, sebagian lagi boleh jadi ada yang berpendapat bahwa konstitusi atau UUD negara tetap diperlukan—selama mengacu pada al-Quran dan Sunnah—sebagai penjabaran atas keduanya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pertanyaannya, bagaimana sebetulnya pandangan Islam dalam masalah ini?

Sebagaimana diketahui, masyarakat itu tersusun dari sejumlah individu yang diikat oleh pemikiran, perasaan, dan peraturan tertentu. Peraturan, sebagai salah satu unsur pembentuk masyarakat biasanya disandarkan pada keyakinan/ideologi yang menjadi asas hidup para anggotanya. Peraturan itu sendiri berfungsi untuk mengatur dan memelihara urusan masyarakat dan negara, agar tumbuh ketertiban, kedisiplinan, dan kewibawaaan peraturan itu sendiri. Karena itu, dalam negara dan masyarakat manapun diperlukan adanya ketegasan pelaksanaan peraturan (hukum).
Undang Undang Dasar (UUD) termasuk dalam salah satu peraturan. Hanya saja, undang-undang dasar lebih bersifat umum dan diletakkan sebagai atap yang menaungi segala bentuk peraturan yang berada di bawahnya. UUD adalah peraturan yang mengatur kekuasaan negara atau lembaga-lembaga pemerintah, menentukan hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyat, dan sebaliknya, menentukan hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintah.
Islam terdiri dari akidah dan syariat atau terdiri dari ide (fikrah) dan metode (tharîqah). Dalam Islam juga dijumpai banyak hukum/syariat, baik yang berhubungan dengan pemerintahan, lembaga-lembaga pemerintahan (seperti peradilan, angkatan bersenjata, kepala negara dan lain-lain), kewajiban pemerintah terhadap rakyat, kewajiban rakyat terhadap pemerintah, dan sejenisnya. Bahkan, di dalam al-Quran sendiri banyak dijumpai ayat-ayat hukum. Semua itu berfungsi untuk mengatur dan memelihara seluruh urusan masyarakat dengan hukum-hukum Allah Swt. Begitu pula halnya dengan hadits-hadits Rasulullah saw.
Meskipun ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Rasulullah saw pada masa Nabi saw hidup tidak dibuat sebagaimana halnya UUD tertulis seperti yang ada pada negara-negara modern saat ini (yakni terdiri dari beberapa bab dan beberapa pasal), tetapi para sahabat dan kaum Muslim waktu itu banyak yang menghafalkan al-Quran dan hadits, atau langsung menanyakannya kepada Rasulullah saw apabila mereka menjumpai permasalahan atau menghadapi perselisihan di antara mereka. Walaupun saat itu tidak ada UUD maupun UU tertulis resmi yang dikeluarkan oleh negara/pemerintah, kepatuhan kaum Muslim terhadap hukum/syariat Islam sangat tinggi. Artinya, fungsi dari hukum/UU yaitu mengatur dan memelihara urusan masyarakat dan negara telah terpenuhi, walaupun sistematika UU dan peraturan belum dibuat dengan sistematika yang dijumpai pada masa sekarang.
Seandainya sistematika UUD seperti itu adalah wajib, pasti Rasulullah saw telah menyusunnya. Dengan demikian, penyusunan UUD sebagaimana yang kita jumpai saat ini—yang tersusun dari berbagai bab dan pasal, yang menjelaskan kedudukan dan fungsi struktur dan lembaga-lembaga pemerintah, termasuk hak-hak dan kewajiban negara terhadap masyarakat maupun sebaliknya—adalah mubah. Susunan semacam itu adalah bagian dari cara (uslûb) atau hal yang bersifat teknis.
Pada masa Rasulullah saw hidup, kondisi masyarakatnya belum memerlukan sistematika semacam itu. Lagi pula, sistematika tersebut belum lazim dikenal oleh masyarakat. Dengan berkembangnya kehidupan masyarakat dan tingkat kompleksitasnya yang sangat tinggi, barulah dirasakan perlunya disusun UUD yang sistematikanya persis sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Contoh yang sama adalah tersusunnya kodifikasi hadits dan ilmu hadits. Dalam bidang ini, orang pertama yang menyusunnya (dan menuliskannya dalam sebuah buku) dengan sistematika yang teratur adalah Imam Malik, penyusun al-Muwatha’. Sementara itu, dalam bidang ushul fiqih, orang pertama yang menuliskan dan menyusunnya dengan teratur adalah Imam Syafi’i, penyusun ar-Risâlah. Padahal, pada masa Rasulullah saw tidak ada seorang sahabat pun yang menuliskan atau menyusun ushul fiqih. Meskipun demikian, para sahabat tentu saja adalah orang-orang yang sangat memahami kaedah-kaedah fiqih, bahkan mampu melakukan ijtihad.
Setelah Rasulullah saw wafat, pemerintahan Islam berganti ke masa pemerintahan al-Khulafâ’ ar-Râsyidûn. Pada masa itu, para Khalifah turut terlibat dalam memutuskan perkara yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Kadang-kadang dibuat keputusan hukum yang menyeluruh dan mengikat seluruh lapisan masyarakat, layaknya undang-undang pada masa sekarang. Abubakar, misalnya, pernah menetapkan talak satu bagi suami yang mengucapkan talak meskipun tiga kali; menggolongkan orang yang enggan membayar zakat sebagai orang-orang murtad yang harus diperangi sampai mereka bertobat dan kembali tunduk pada seluruh hukum-hukum Islam. Pada masa ‘Umar ibn al-Khaththab, beliau menetapkan tarikh (penanggalan) pada setiap surat-surat resmi negara; menjatuhkan hukum cambuk 80 kali bagi peminum khamar; menetapkan manajemen administratif di dalam perkantoran dan lembaga-lembaga negara; menetapkan bahwa kharaj atas tanah-tanah Irak, Syam, dan Mesir sebagai milik kaum Muslim dan tidak dibagikan kepada para prajurit yang turut dalam peperangan; dan lain-lain. Semua itu adalah cara-cara (asâlîb) yang ditempuh oleh para Khalifah kaum Muslim dengan menetapkan peraturan resmi (semacam undang-undang). Para sahabat mendengarkan dan menyaksikan penetapan-penetapan tersebut sehingga hal itu merupakan Ijma sahabat.
Hal yang sama dijumpai pula pada masa Harun al-Rasyid, misalnya, yang menetapkan bahwa untuk urusan keuangan dan ekonomi, negara (yaitu Daulah Islam Abbasiyah) harus merujuk pada kitab al-Kharaj, karya Abu Yusuf, yang menjadi qâdhî (hakim) pada pemerintahannya. Lebih luas lagi, pasa masa Daulah Islamiyah Utsmaniyah madzhab Imam Hanafi ditetapkan sebagai undang-undang negara, dengan dilegalisasikannya Qânûn al-Majalla.
Contoh-contoh itu menunjukkan bahwa keadaan masyarakatlah yang menentukan apakah suatu uslûb layak dipakai atau tidak. Pada masa Rasulullah saw, uslûb penyusunan/penulisan UUD belum diperlukan, karena memang tidak terlalu mendesak untuk dibuat dengan kerangka susunan undang-undang dasar. Hal itu berbeda dengan kondisi masyarakat sekarang, yang menuntut disusunnya UUD maupun UU secara sistematis.
Meskipun tergolong mubah, keberadaan susunan/sistematika UUD di dalam negara Khilafah di masa depan sangatlah penting untuk mendisiplinkan, mengatur, dan memelihara hubungan lembaga-lembaga negara dengan Khalifah; juga antara pemerintah dan rakyat. Di samping itu, adanya UUD (dustûr) negara Khilafah sangat mendukung upaya pemahaman kaum Muslim saat ini mengenai gambaran aktivitas Khilafah Islamiyah jika kelak berdiri, insya Allah. Sebab, sebagian besar kaum Muslim tidak mengerti dan tidak mengetahui gambarana real kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara Islami. Karena itu, penjelasan tentang lembaga-lembaga pemerintah, peradilan, militer/angkatan bersenjata, majelis syura (majelis umat), para gubernur (wali), Khalifah dan para pembantunya—yang mengatur kemaslahatan dan pelayanan terhadap rakyat dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, sumberdaya alam, pekerjaan umum, transportasi dan komunikasi, Baitul Mal, dan lain-lain; termasuk menjelaskan kedudukan, fungsi, dan kewajibannya terhadap rakyat—adalah perkara yang sangat urgen disosialisaikan kepada masyarakat.
Dengan demikian, kesadaran akan perlunya hidup di dalam negara Khilafah Islamiyah adalah sesuatu yang niscaya, bukan khayalan.

Klasifikasi Harakah Islamiyah

Sumber Buku : Soal-Jawab Seputar Gerakan Islam, Oleh Abdurrahman Muhammad Khalid, Pustaka Thoriqul Izzah, Januari 1994.

Pertanyaan :
Istilah Harakah Islamiyah (gerakan Islam) sering muncul belakangan ini. Apa sebenarnya syarat-syarat yang harus ada pada suatu harakah, agar dapat dianggap sebagai "Harakah Islamiyah"?


Jawab :
Kata harakah menurut etimologi bahasa Arab, diambil dari akar kata at taharruk yang artinya bergerak. Istilah tersebut kemudian menjadi populer dengan arti "Sekelompok orang atau suatu gerakan yang mempunyai suatu target tertentu, dan mereka berusaha bergerak serta berupaya untuk mencapainya". Makna istilah ini masih termasuk dalam kategori makna lughawi untuk kata tersebut.
Aktifitas suatu gerakan dapat dilakukan oleh satu individu walaupun belum mempunyai suatu kelompok da'wah yang berjuang bersamanya. Jamaluddin Al Afghani misalnya, walaupun yang bergerak hanyalah seorang individu saja --bukan orang banyak, namun gerakannya dapat dianggap sebagai salah satu macam harakah yang pernah ada di dunia Islam.
Aktifitas gerakan dapat juga dilakukan oleh suatu jama'ah, yaitu sekumpulan orang yang mempunyai pemimpin dan memiliki metode/ strategi da'wah tertentu. Misalnya Jama'ah Tabligh di India dan Pakistan, Ikhwanul Muslimin dan Tanzhimul Jihad di Mesir, serta yang sejenisnya.
Gerakan da'wah dapat pula dilakukan oleh suatu organisasi, seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan yang sejenisnya. Aktifitas gerakan dapat pula dilakukan suatu partai politik, baik partai tersebut memiliki ideologi tertentu sehingga dapat dikategorikan sebagai partai politik yang sebenarnya, misalnya Hizbut Tahrir di Yordania, Front Penyelamat Islam (FIS) di Al Jazair; atau partai yang hanya sekedar nama tanpa memiliki ideologi tertentu, seperti yang ada pada puluhan bahkan ratusan jumlahnya yang tersebar di seluruh dunia Islam. Seluruh perkumpulan semacam ini dapat diklasifikasikan sebagai suatu harakah, asalkan mereka bergerak untuk mencapai tujuan tertentu.
Diantara harakah-harakah tersebut ada yang bersifat islami dan menjadikan Islam sebagai asas, seperti yang disebutkan di atas. Namun ada juga yang tidak islami, bahkan memusuhi Islam, seperti partai Komunis, partai Wafd di Mesir, partai Ba'ath di Syiria dan Irak, gerakan Ahmadiyah di India dan Pakistan, dan sebagainya.
Melihat keadaan berbagai gerakan yang ada, dapatlah ditentukan tiga aspek yang menunjukkan identitas sebuah gerakan, yaitu:
(1) Mempunyai target tujuan yang diusahakan dan hendak dicapai oleh sebuah harakah,
(2) Mempunyai bentuk pemikiran yang telah ditentukan oleh harakah dalam aktifitas perjuangannya, dan
(3) Mempunyai arah dan kecenderungan tertentu pada orang-orang yang tergabung di dalam harakah tersebut.
Untuk menentukan identitas suatu harakah agar dapat dikategorikan sebagai Harakah Islam, maka ketiga aspek dia atas harus terpenuhi. Dengan kata lain, tidak cukup hanya mempunyai target tujuan yang disahkan dan diakui oleh Islam, tetapi juga harus ditujukan untuk melayani dan mengembangkan Islam. Sebagai contoh, Islam mengakui keberadaan suatu harakah yang bergerak dalam bidang olahraga. Sebab, target semacam ini hukumnya mubah. Tetapi harakah yang bergerak di bidang olahraga seperti ini tidak dapat disebut sebagai harakah Islamiyah, karena keberadaannya tidak sampai melayani dan mengembangkan Islam.
Begitu pula halnya dengan aneka ragam harakah Islam yang aktifitasnya menitikberatkan pada usaha pemeliharaan/penerbitan Al Qurâan dan terjemahannya atau penerbitan buku-buku Islam; pembangunan proyek dan perusahaan Islam, seperti Bank Islam, Koperasi Islam, masjid-masjid dan sekolah Islam, serta lembaga pendidikan yang sejenisnya; menyalurkan dana kepada fakir-miskin, anak-anak yatim, orang-orang cacat; melakukan amar ma'ruf nahi munkar, menyampaikan nasehat kepada penguasa; dan sebagainya. Satu atau lebih dari berbagai macam aktifitas yang telah disebutkan di atas dapat dijadikan target tujuan untuk sebuah harakah Islam. Namun demikian, perlu diingat bahwa target-target tersebut belum cukup mampu melayani dan mengembangkan Islam hingga seluruh aktivitas harakah terkait erat dengan hukum-hukum Islam. Dengan kata lain, metode yang digunakan harus sesuai dan terikat dengan ide maupun hukum Islam.
Selain ketiga persyaratan di atas, agar suatu gerakan da'wah dapat disebut sebagai harakah Islamiyah, maka keanggotaannya harus pula dari kalangan kaum Muslimin saja. Jika suatu harakah terbentuk dari kalangan non muslim, seperti para orientalis yang mengkaji dan mempelajari khazanah Islam lalu mengeluarkan dan menyebarkan hasil kajiannnya setelah terlebih dahulu meneliti dan menganalisisnya, maka harakah semacam itu tidak dapat dinamakan harakah Islam.
Akan halnya mengapa kita boleh menamakan harakah Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh sebagai harakah Islam, walaupun keduanya merupakan tokoh Free Masonry di negeri-negeri Islam, ini disebabkan karena label Free Masonry bukanlah bagian dari gerakan keislaman mereka1). Oleh karena itu, gerakannya masih dapat dikategorikan sebagai harakah Islamiyah.
Kita juga dapat mengkategorikan Jama'ah Tabligh, Jama'ah Salafiyah, Islam Jama'ah, Jama'atul Muslimin Hizbullah sebagai harakah Islamiyah, sekalipun pada gerakan-gerakan tersebut terdapat kekurangan, atau bahkan kadang-kadang terdapat langkah atau pemikiran yang tidak islami. Jama'ah Tabligh misalnya, mereka mengambil Islam secara parsial dengan menolak membicarakan masalah politik atau menempuh jalan politik dalam berda'wah. Sedangkan Jama'ah Salafiyah lebih banyak memfokuskan masalah aqidah, ibadah dan akhlaq. Islam Jama'ah suka mengkafir-kafirkan sesama kaum Muslimin yang tidak berbai'at kepada imam mereka, menolak shalat di masjid yang imamnya bukan dari golongan mereka. Sementara Jama'atul Muslimin Hizbullah menolak mengakui Rasulullah saw sebagai figur politik, bahkan menurut mereka, di dalam Islam tidak dikenal adanya aktifitas politik.
-------------------
1) Keterlibatan kedua tokoh ini dalam gerakan Free Masonry dapat dibaca dalam kitab Al Islam wal Hadlarah Al Gharbiyah, Dr M Muhammad Husain, halaman 63-107; Zu'amul Ishlah fil 'Ashril Hadits, Ahmad Amin, halaman 73-115; atau Shahwah Ar Rajulul Al Maridl, Mouaffaq Bani Al Marjih, halaman 337.
Diantara berbagai harakah Islam yang bersifat politik dan bergerak di kawasan Timur Tengah serta dunia Islam lainnya, tercatat nama-nama antara lain Jama'ah Ikhwanul Muslimin (di Mesir), Hizbullah (di Libanon), Hizbut Tahrir (di Yordania), Gerakan Jihad Islam (di Mesir), Jabhatul Ingadz Al Islami FIS (di Aljazair), Partai Islam PAS (di Malaysia), dan masih banyak lagi harakah Islam yang tersebar di Pakistan, India, Afghanistan, Turki dan tempat-tempat lain di negeri-negeri Islam.
Adapun kelompok Al Liqaâ Al Islamiy (di Beirut) yang merupakan perkumpulan sekuler, tidak bisa dikelompokkan ke dalam harakah Islamiyah. Begitu pula Majlis Syi'i Tertinggi (di Beirut) yang juga merupakan perkumpulan sekuler, bukanlah merupakan harakah Islam. Contoh lain yang sama adalah harakah Al Ittijahul Islamiy di Tunisia (Harakah Nahdlah sekarang). Sebab, kelompok-kelompok seperti Al Liqaâ Al Islamiy, Majlis Syi'i Tertinggi, dan harakah Al Ittijahul Islamiy, semuanya menyerukan dan menyebarluaskan sekulerisme secara terang-terangan dan tujuannya bukan untuk melayani Islam. Tambahan lagi, metodanya tidak terikat dengan hukum-hukum Islam.
Informasi Mailing List Syabab Hizbut Tahrir


---------------------------------------------
Link resmi Hizbut Tahrir yang terkait :
1. www.al-islam.or.id (Indonesia) : Buletin Jum'at, Berita Aktual, Forum Diskusi (Fiqh, Web Site, Partai Politik), Al-Waie : Jurnal Dakwah dan Politik - Ekonomi, Kitab Islami

2. www.hizb-ut-tahrir.org (English, Arab) : Profil Partai Islam, Analisis Politik, Buku dan Leaflet Islam, Publikasi Fikroh Islami, Kajian Hukum Syara

3. www.khilafah.com (English) : Majalah Islam, Buku-buku Islam, Berita Dunia Islam, Pemikiran Islam, Jurnal Materi

4. www.ramadhan.org (English) : Informasi Shaum, Ceramah Ramadhan, Tafsir Al-Qur'an, Al-Hadits (Audio & Video), e-Cards, Screen Saver

5. www.al-aqsa.org (English) : Berita Aktual dari Palestina, Khutbah Jum'at Masjid Al-Aqsa