ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

Jumat, 29 November 2013

PENJAJAHAN GAYA BARU

VOC Ditendang, VOC Diundang

Para kapitalis-imperialis berkolusi dengan para penguasa agar dapat mempertahankan dominasinya di Indonesia. Andai saja para pejuang kemerdekaan Indonesia masih hidup dan tahu tentang nasib negeri ini, mereka akan menangis. Ribuan nyawa mereka korbankan untuk mengusir kaum kafir, eh ternyata sekarang justru kaum kafir itulah yang menguasai kekayaan Indonesia.

Zamrud khatulistiwa yang memiliki sumber daya alam melimpah tak berpengaruh signifikan terhadap perekonomian rakyat. Pundi-pundi keuntungan dari kekayaan alam mengalir deras ke luar negeri, ke negeri para kompeni. Sementara rakyat hanya menikmati cipratan kenikmatan yang tak seberapa.

Era Reformasi yang dulunya digadang-gadang sebagai era yang mampu memperbaiki kondisi, ternyata justru sebaliknya. Kalau di era Orde Baru sudah banyak sumber daya Indonesia yang dikangkangi negara-negara asing melalui multinational corporation (MNC)-nya, di era sekarang kondisinya jauh lebih parah. Kekayaan alam Indonesia diobral habis-habisan ke pihak asing. Bahkan mereka tidak datang sendiri, malah diundang dan diberi kesempatan yang istimewa. Di sisi lain, perusahaan negara justru dikebiri. Aneh kan?

Pantas jika mantan Presiden BJ Habibie menyebut kondisi itu sebagai penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah, suatu "VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru."
Munculnya VOC gaya baru merupakan dampak liberalisasi di bidang politik dan ekonomi. Memang, jika ditelusur ke belakang, proses penjajahan dengan model baru tersebut telah berlangsung lama, jauh sebelum reformasi itu sendiri. Kemerdekaan Indonesia hanya menjadi asesoris bagi berkuasanya penjajah baru dengan bajunya yang baru pula.
Modus penjajahan baru ini sebenarnya tak banyak berubah yakni tekanan dan kolusi antara negara besar dan para penguasa. Melalui berbagai jenis perjanjian, Indonesia kemudian disandera dan dipaksa menyerahkan kekayaan alamnya. Yang lain, para imperialis sengaja mendudukkan anteknya kemudian meminta balasan atas apa yang telah diberikan berupa kekuasaan itu.

Di era reformasi, ketika kran liberalisasi dibuka, kompeni masuk dan terlibat aktif dalam mendesain jalannya negeri ini. Mereka berkolusi dengan wakil rakyat sebagai pihak yang memiliki hak legislasi hukum. Mereka mengeluarkan dana yang cukup besar—dari kacamata orang Indonesia, bagi keperluan penyusunan draft perundang-undangan. Sebelumnya mereka mendidik orang-orang Indonesia melalui beasiswa dan sejenisnya agar menjadi corong kepentingan kompeni.

Di sisi lain, demokrasi yang mahal menjadikan para politisi mencari dana bagi kepentingan kekuasaan mereka. Seperti peribahasa, gayung bersambut air, dua kepentingan itu bertemu.
Para begundal negeri —seperti demang di zaman VOC— menuruti saja apa kemauan para kompeni. Mereka mendesain ulang ketatanegaraan Indonesia agar sesuai dengan Barat melalui perubahan perundang-undangan dan peraturan di bawahnya.

Jadilah Indonesia tempat yang nyaman bagi asing. Mereka tak perlu lagi gerah dan khawatir beroperasi di Indonesia karena semuanya legal. Mereka telah memiliki penjaga-penjaga yakni para begundal yang duduk di kursi kekuasaan.
Indonesia dikerat-kerat dan dikavling-kavling. “Negara kehilangan kedaulatan atas sumber daya alamnya. Ini jelas melanggar konstitusi,” kata pengamat perminyakan Kurtubi.

Membalik Keadaan
Situasi itu sebenarnya bisa diatasi bila pengelolaan sumber daya alam Indonesia didasarkan pada syariah. Islam telah memberikan batasan-batasan yang
tegas dalam pengelolaan harta milik umum ini. Secara konseptual, sistem pengelolaan sumber daya alam cukup layak diterapkan dan tidak akan bertentangan dengan kehendak rakyat.
Sistem pengelolaan sumber daya alam ini berpijak pada kepemilikan yang jelas atas benda/barang/harta. Pemisahan antara kepemilikan negara, kepemilikan umum, dan kepemilikan individu akan menjadikan pemerataan hasil kekayaan alam bagi rakyat.

Secara prinsip, Islam melarang kepemilikan umum dijadikan kepemilikan individu. Bersama dengan itu syariah menentukan kategori mana yang termasuk barang/harta milik umum. Ini sekaligus menjawab bahwa individu masih tetap boleh memiliki hak terhadap kekayaan alam dalam batasan tertentu.
Inilah salah satu hal yang membedakan dengan sistem kapitalis sekuler yang membolehkan semua benda/barang/harga dimiliki siapapun tanpa melihat apakah itu menguasai hajat hidup orang banyak atau tidak. Akibatnya bisa terjadi penguasaan kekayaan alam milik umum sehingga keuntungannya tidak bisa dinikmati secara maksimal oleh rakyat sebagai pemiliknya.

Bersama dengan itu syariah memiliki sejumlah kebijakan yang melarang terjadinya kolusi antara perusahaan dan para penguasa/pejabat/wakil rakyat. Negara pun tak boleh sembarangan berhubungan dengan pihak asing. Harus dilihat terlebih dahulu status negara yang bersangkutan.

Dengan kombinasi regulasi dan policy (kebijakan) sebenarnya, kekayaan alam Indonesia bisa diselamatkan. Beberapa perhitungan menunjukkan, jika kekayaan alam Indonesia dikelola secara mandiri, tanpa dominasi asing, kita akan memperoleh pendapatan yang luar biasa. Tak perlu lagi rakyat diporoti dengan pajak. Bahkan utang luar negeri tak perlu lagi. Rakyat akan bisa merasakan kenikmatan atas kekayaan alamnya itu secara nyata.
Persoalannya, mau nggak bangsa ini menerapkan sistem yang sangat adil tersebut dalam mengelola kekayaan alam negeri kaya ini? Atau, memang kita lebih memilih menjadi budak bangsa lain, menjadi inlander seperti di zaman penjajahan?

Orang yang cerdas pasti memilih syariah, apa pun agamanya. Karena syariah berasal dari Yang Maha Adil, penerapannya akan membawa keadilan bagi seluruh manusia. Inilah konsep rahmatan lil alamin. Hidup sejahtera di bawah naungan khilafah!

mujiyanto | mediaumat.com

Selasa, 26 November 2013

DESAIN UNTUK SLIDE






Emha Ainun Nadjib: SAYA ANTI DEMOKRASI

Emha yang kerap menobok-obok silam ini menelurkan pernyataan kontroversial, buku baru yang ia terbitkan berjudul "Iblis Nusantara Dajjal Dunia". Berikut sekilas apa yang ia tuangkan dalam bukunya yang cukup menarik untuk disimak, yaitu "Anti Demokrasi"

ia menandaskan, Kalau ada bentrok antara Ustadz dengan Pastur, pihak Depag, Polsek, dan Danramil harus menyalahkan Ustadz, sebab kalau tidak itu namanya diktator mayoritas. Mentang-mentang Ummat Islam mayoritas, asalkan yang mayoritas bukan yang selain Islam - harus mengalah dan wajib kalah. Kalau mayoritas kalah, itu memang sudah seharusnya, asalkan mayoritasnya Islam dan minoritasnya Kristen. Tapi kalau mayoritasnya Kristen dan minoritasnya Islam, Islam yang harus kalah. Baru wajar namanya.

Kalau Khadhafi kurang ajar, yang salah adalah Islam. Kalau Palestina banyak teroris, yang salah adalah Islam. Kalau Saddam Hussein nranyak, yang salah adalah Islam. Tapi kalau Belanda menjajah Indonesia 350 tahun, yang salah bukan Kristen. Kalau amerika Serikat jumawa dan adigang adigung adiguna kepada rakyat Irak, yang salah bukan Kristen. Bahkan sesudah ribuan bom dihujankan di seantero Bagdad, Amerika Serikatlah pemegang sertifikat kebenaran, sementara yang salah pasti adalah Islam.

"Agama" yang paling benar adalah demokrasi. Anti demokrasi sama dengan setan dan iblis. Cara mengukur siapa dan bagaiman yang pro dan yang kontra demokrasi, ditentukan pasti bukan oleh orang Islam. Golongan Islam mendapat jatah menjadi pihak yang diplonco dan dites terus menerus oleh subyektivisme kaum non-Islam.

Kaum Muslimin diwajibkan menjadi penganut demokrasi agar diakui oleh peradaban dunia. Dan untuk mempelajari demokrasi, mereka dilarang membaca kelakuan kecurangan informasi jaringan media massa Barat atas kesunyatan Islam.

Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka.

Maka kalau penghuni peradaban global dunia bersikap anti-Islam tanpa melalui apresiasi terhadap Qur'an, saya juga akan siap menyatakan diri sebagai anti-demokrasi karena saya jembek dan muak terhadap kelakuan Amerika Serikat di berbagai belahan dunia. Dan dari sudut itulah demokrasi saya nilai, sebagaimana dari sudut yang semacam juga menilai Islam.

Di Yogya teman-teman musik Kiai Kanjeng membuat nomer-nomer musik, yang karena bersentuhan dengan syair-syair saya, maka merekapun memasuki wilayah musikal Ummi Kaltsum, penyanyi legendaris Mesir. Musik Kiai Kanjeng mengandung unsur Arab, campur Jawa, jazz Negro dan entah apa lagi. Seorang teman menyapa: "Banyak nuansa Arabnya ya? Mbok lain kali bikin yang etnis 'gitu..."

Lho kok Arab bukan etnis?

Bukan. Nada-nada arab bukan etnis, melainkan nada Islam. Nada Arab tak diakui sebagai warga etno-musik, karena ia indikatif Islam. Sama-sama kolak, sama-sama sambal, sama-sama lalap, tapi kalau ia Islam-menjadi bukan kolak, bukan sambal, dan bukan lalap.

Kalau Sam Bimbo menyanyikan lagu puji-puji atas Rasul dengan mengambil nada Espanyola, itu primordial namanya. Kalau Gipsy King mentransfer kasidah "Yarim Wadi-sakib...", itu universal namanya. Bahasa jelasnya begini: apa saja, kalau menonjol Islamnya, pasti primordial, tidak universal, bodoh, ketinggalan jaman, tidak memenuhi kualitas estetik dan tidak bisa masuk jamaah peradaban dunia.

Itulah matahari baru yang kini masih semburat. Tetapi kegelapan yang ditimpakan oleh peradapan yang fasiq dan penuh dhonn kepada Islam, telah terakumulasi sedemikian parahnya. Perlakuan-perlakuan curang atas Islam telah mengendap menjadi gumpalan rasa perih di kalbu jutaan ummat Islam. Kecurangan atas Islam dan Kaum Muslimin itu bahkan diselenggarakan sendiri oleh kaum Muslimin yang mau tidak mau terjerat menjadi bagian dan pelaku dari mekanisme sistem peradaban yang dominan dan tak ada kompetitornya.

"Al-Islamu mahjubun bil-muslimin". Cahaya Islam ditutupi dan digelapkan oleh orang Islam sendiri.

Endapan-endapan dalam kalbu kollektif ummat Islam itu, kalau pada suatu momentum menemukan titik bocor - maka akan meledak. Pemerintah Indonesia kayaknya harus segera mervisi metoda dan strategi penanganan antar ummat beragama. Kita perlu menyelenggarakan 'sidang pleno' yang transparan, berhati jernih dan berfikiran adil. Sebab kalau tidak, berarti kita sepakat untuk menabuh pisau dan mesiu untuk peperangan di masa depan.

Muslimdaily.com/ http://www.goodreads.com/book/show/1380373.Iblis_Nusantara_Dajjal_Dunia
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2011/02/18/13394/emha-ainun-nadjib-saya-anti-demokrasi/#sthash.tOFl7FTA.dpuf

ISLAM BUKAN DEMOKRASI...

29 Oktober 2013 pukul 17:34

laparku menuntut kemelutmu..

yang berbara di kepalamu tak padam..

coba keluarkan..

biar kutelan bara di kepalamu..

mungkin saja engkau tak mampu,

sebab bebalmu hanya mengenyangkan perutmu sendiri..

sini kuajari membaca,

beberapa huruf saja dahulu..

ISLAM BUKAN DEMOKRASI...

FAHAM...!!!!!!!!!!!!!!!!


(jika ada aktifis demokrasi sebegitu takutnya Islam tegak lewat system demokrasi, maka dipastikan ia adalah seorang yang BEBAL..tapi jika ada seorang aktifis Islam begitu yakin bahwa Islam akan tegak lewat system demokrasi, maka dipastikan ia adalah seorang yang SANGAT BEBAL)