Jumat, 10 Februari 2017

Paradoks Demokrasi

(Paradoks adalah suatu situasi yang timbul dari sejumlah premis (apa yang dianggap benar sebagai landasan kesimpulan kemudian; dasar pemikiran; alasan; (2) asumsi; (3) kalimat atau proposisi yg dijadikan dasar penarikan kesimpulan di dl logika), yang diakui kebenarannya yang bertolak dari suatu pernyataan dan akan tiba pada suatu konflik atau kontradiksi.)

Disamping menawarkan banyak kemudahan dan nilai-nilai positif terhadap umat manusia, seperti nilai keterbukaan dan pertanggungjawaban (accountibility) dalam sistem pemerintahan, sistem Demokrasi Liberal Barat pun tidak kurang mendapatkan kritik tajam, sepanjang sejarah peradaban Barat sendiri. Demokrasi Liberal bukan hanya memiliki nilai positif. Tetapi, demokrasi juga menyimpan kelemahan-kelemahan internal yang fundamental. Dalam sistem inilah, ilmu pengetahuan tidak dihargai. Orang pintar disamakan haknya dengan orang bodoh. Seorang profesor ilmu politik memiliki hak suara yang sama dengan orang pedalaman yang tidak mengerti baca-tulis dan informasi politik. Seorang yang taat beragama disamakan hak suaranya dengan seorang perampok, koruptor, pembunuh, atau pemerkosa.

Kelemahan dan bahaya internal demokrasi itu pernah diingatkan Plato, filosof Yunani Kuno. Plato (429-347 BC) menyebut empat kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin biasanya dipilih dan diikuti karena faktor-faktor non-esensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latarbelakang keluarga. Plato memimpikan munculnya “the wisest people” sebagai pemimpin ideal di suatu negara, “The wisest people is the best people in the state, who would approach human problems with reason and wisdom derived from knowledge of the world of unchanging and perfect ideas.” Aristoteles (384- 322 BC), murid Plato, juga menyebut demokrasi sebagai bentuk pemerintahan buruk, seperti tirani dan oligarkhi. Tiga bentuk pemerintahan yang baik, menurutnya, adalah monarkhi, aristokrasi, dan polity. Sebelum abad ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi and hampir semua filosof politik menolaknya. Sejak abad ke-18, beberapa aspek dari demokrasi politik mulai diterapkan di Barat. Beberapa ide ini datang dari John Locke, yang banyak memberi sumbangan pemikiran politik terhadap Inggris dan AS. Penyair terkenal Muhammad Iqbal juga banyak memberikan kritik terhadap konsep pemerintahan yang menyerahkan keputusannya kepada massa yang berpikiran rendah. Kata Iqbal, bagaimana pun, para semut tidak akan mampu melampui kepintaran seorang Sulaiman. Ia mengajak meninggalkan metode demokrasi, sebab pemikiran manusia tidak akan keluar dari 200 ‘keledai’. Ini ditulisnya dalam syairnya, Payam-e-Masyriq: “Do you seek the wealth of meaning from low natured men? From ants cannot proceed the brilliance of a Solomon. Flee from the methods of democracy because human thinking can not issue out of the brains of two hundred asses.”

Jadi, meskipun sudah diterima sebagai system pemerintahan di sebagian besar Negara di dunia, demokrasi memang masih terus menyisakan kontroversialnya. Hanya, saja, ada yang berpendapat, bahwa sistem ini memungkinkan untuk mengoreksi dirinya sendiri. Franz Magnis-Suseno, dalam makalahnya yang berjudul “Demokrasi sebagai Proses Pembebasan: Tinjauan Filosofis dan Historis” – yang disampaikan dalam Seminar 23 November 1991, menulis: “Demokrasi jauh dari sempurna. Tetapi ia adalah bentuk kenegaraan di mana ketidaksempurnaan dapat disuarakan dengan paling bebas, dimana siapa saja yang ingin menyempurnakannya dapat saja membawa gagasannya ke depan masyarakat.”

Menurut Franz Magnis-Suseno, baru dalam abad ini (abad ke-20. Pen.) agamaagama membuka diri terhadap cita-cita Pencerahan dan Revolusi Perancis. “Gereja Katolik misalnya baru dalam Konsili Vatikan II, 30 tahun lalu, menyatakan dengan tegas bahwa demokrasi, hak-hak asasi manusia, kebebasan beragama dan toleransi wajib dibela, justru karena didorong oleh Injil. Barangkali dapat dirumuskan begini: Akhirnya disadari juga oleh agama-agama bahwa hormat terhadap Tuhan Pencipta menuntut tekad untuk memperlakukan segenap orang ciptaan Tuhan itu sesuai dengan martabatnya sebagai manusia,” tulis Franz Magnis-Suseno.

Tapi, benarkah demokrasi adalah pemerintahan yang dipilih mayoritas rakyat? Jika gabungan kata ‘demos’ dan ‘kratos’ diartikan sebagai ‘pemerintahan oleh rakyat’ (government by the people), maka biasanya pemerintahan yang demokratis diindikasikan dengan dukungan mayoritas rakyat terhadap. Namun, itulah yang justru terjadi pada kasus pemilihan presiden AS tahun 2000. Pada 5 Desember 2000, Mahkamah Agung AS (US Supreme Court), memenangkan George W. Bush atas calon Demokrat, Al-Gore. Kasus ini telah memunculkan perdebatan sengit di AS. Vincent Bugliosi, misalnya, menulis sebuah buku berjudul The Betrayal of America: How The Supreme Court Undermined The Constitution and Chose Our President. Bugliosi mengungkap sebuah realitas ironis tentang demokrasi: ‘Pengkhianatan Amerika’. Bagaimana sebuah pemilihan kepala negara terkuat dan negara demokrasi terbesar di dunia, akhirnya justru diserahkan keputusannya kepada lima orang hakim satu lembaga tinggi negara. Padahal, popular vote, suara rakyat, lebih banyak berpihak kepada Gore. Dengan jumlah pemilih kurang dari 60 persen dari rakyat AS, maka faktanya, Presiden AS juga hanya didukung oleh minoritas rakyatnya. Pemenangan Bush oleh Mahkamah Agung AS itu digambarkan Bugliosi sebagai “like the day of Kennedy assasination”.

Setelah memangku jabatan Presiden AS, kontroversi demi kontroversi terus merebak ke seluruh penjuru dunia. Pada tataran global, Demokrasi pun lebih digunakan sebagai slogan dan alat kepentingan politik. Tidak ada istilah “demokrasi” ketika Bush memerintahkan tentaranya menduduki Irak, Maret 2003. Puluhan tahun, AS menjadikan Irak sebagai sekutunya. Tapi, ketika kepentingannya tidak terakomodir, maka digunakankah isu ”demokrasi” untuk menumbangkan Saddam Hussein.

Di dunia Islam, berbagai kasus semacam ini terlihat begitu mencolok, seperti dalam kasus Pakistan dan Taliban. Jika di masa Perang Dingin dan sampai tahun 1996, Pakistan adalah pendukung kuat Taliban, maka situasi itu berubah total setelah AS menetapkan Taliban sebagai musuhnya. Mengapa Taliban yang dulunya sahabat dan mendapat dukungan AS – juga Pakistan, Arab Saudi – kemudian dihabisi? Tidak terlalu sulit untuk membaca adanya misi kepentingan AS di Afghan. Sebuah pepatah Arab menyatakan: “Mukhthi’un man zhanna yawman anna li-asysya’labi diinaa.” (Adalah keliru, orang yang menyatakan, bahwa serigala itu punya agama).

Apakah “darah serigala” itu yang kemudian mengalir di tubuh peradaban Romawi dan pewarisnya? Sejarah perjalanan peradaban Barat sendiri jauh dari nilai-nilai demokrasi dan pluralisme. Sejarah menunjukkan, bagaimana sebuah peradaban yang bernama “Barat” melakukan berbagai tindakan yang sulit dibayangkan oleh akal sehat. Ketika mereka mulai bangkit, mereka melakukan berbagai penindasan dan pemusnahan terhadap berbagai kelompok dan suku umat manusia: suku Indian, suku Inca, Aborigin, dan sebagainya. Mereka juga mengangkut dan memperjualbelikan budak-budak dari Afrika. Dalam lintasan sejarah Afrika, tidak ada yang lebih kontroversial selain kasus perdagangan budak trans-atlantik dari Afrika ke Barat. J.D. Fage, dalam bukunya, A History of Africa (1988), menyebutkan, bahwa dalam tempo 220 tahun (1650-1870), sekitar 10 juta manusia, dieksport sebagai budak dari Afrika ke ‘Dunia Baru’.

Bartolome de Las Casas (1474-1567), seorang pastor Dominican, menceritakan perilaku tentara Kristen Spanyol terhadap penduduk asli Amerika. Mereka membantai siapa saja yang ditemui, tanpa peduli wanita, anak-anak atau orang tua. Dan juga dibuat aturan, jika ada seorang Kristen terbunuh, maka sebagai balasannya, 100 orang Indian juga harus dibunuh. (The Christians, with their horses and swords and lances, began to slaughter and practice strange cruelties among them. They penetrated into the country and spared neither children nor the aged, nor pregnant women, nor those in childbirth, all of whom they ran through the body and lacerated, as though they were assaulting so many lambs herded into the sheepfold… and because sometimes, though rarely, the Indians killed a few Christians for just cause, they made a law among themselves that for one Christian whom the Indians might kill, the Christians should kill a hundred Indians).

Demokrasi tidak selalu identik dengan kemanusiaan dan kebenaran. Serangan Israel atas Gaza yang dimulai pada penghujung tahun 2008, telah menewaskan ribuan penduduk Palestina. Sebagian besarnya adalah wanita dan anak-anak. Atas nama demokrasi, serangan itu mendapat dukungan mayoritas rakyat Palestina. Sebagai negara demokrasi terbesar di dunia, AS pun tidak mempedulikan semua kecaman terhadap Israel dan menolak memberikan sanksi apa pun terhadap Israel.

di anbil dari Demokrasi, Sejarah, Makna, Dan Respon Muslim - Adian Husaini

0 komentar:

Posting Komentar