Sabtu, 11 Februari 2017

Tinjauan Sejarah Demokrasi 1

Demokrasi berasal dari bahasa Latin, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan), ia selalu diasosiasikan sebagai suatu bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi dinilai sebagai sebuah sistem nilai kemanusiaan yang paling menjanjikan masa depan umat manusia yang lebih baik dari saat ini. Ia juga dinilai sesuai dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan 'non material' manusia. Nilai-nilai Demokrasi itu kemudian diyakini akan dapat memanusiakan manusia, sebab nilai-nilainya bertitik tolak dari 'nilai-nilai luhur' kemanusiaan. Anggapan ini terutama muncul karena faktor penderitaan manusia akibat Fasisme, Totaliterianisme, Komunisme, dan paham-paham anti-Demokrasi lainnya pada beberapa dekade yang lalu.
Paham Demokrasi sebenarnya bukanlah sebuah ideologi yang baru, ia merupakan teori tua yang muncul kembali dari peradaban barat modern. Sedangkan peradaban barat modern menurut Arnold Toynbee dalam bukunya 'Civilization on Trial', adalah sebuah peradaban yang lahir dari puing-puing kehancuran peradaban Yunani-Romawi. Menurutnya apa yang disebut 'Dunia Barat' dewasa ini merupakan sempalan dari Imperium Romawi. Oleh karena itu pandangan hidup barat (western way of life) dapat dilihat sebagai kelanjutan pandangan hidup orang-orang Yunani kuno; cita-cita kebebasan, optimisme, sekularisme, pengagungan terhadap jasmani dan akal serta pengkultusan pada individualisme. Tradisi keagamaan mereka juga memantulkan secara transparan tradisi keagamaan Yunani kuno yang memandang agama sepenuhnya bersifat duniawiyah, praktis dan mengabdi pada kepentingan manusia (bukan Tuhan). Melalui karya-karya para sarjana dan filosof Yunani-Romawi, barat mengenal Empririsme dan Rasionalisme. Yunani di satu pihak mengajarkan kepada barat agar menempatkan akal di atas segalanya, bahwa akal sebagai sumber kebenaran. Adalah filosof Yunani seperti Plato dan Aristoteles yang mempengaruhi pemikiran dan filsafat politik barat sejak kelahirannya hingga perkembangannya dewasa ini. Karya Aristoteles, khususnya 'Politics' merupakan sumber inspirasi bagi perumusan teoritis konsep bentuk-bentuk negara, hakikat pemerintahan, hukum-hukum yang mengontrol negara, revolusi sosial, dan lain-lain. Gagasan barat mengenai negara (state), kekuasaan politik, keadilan, dan Demokrasi secara genealogis-intelektual juga bisa dilacak dari tradisi politik negara-negara kota Yunani klasik yang dinamakan 'Polis' atau 'City States'. Tentang hal ini akan kita uraikan lebih lanjut pada bagian selanjutnya.
Dilain pihak, peradaban Romawi telah memberikan sumbangan besar di bidang sistem hukum pada negara-negara Eropa Barat seperti Perancis, Italia, Swiss, Jerman, Belanda dan Amerika Selatan, bahkan secara langsung atau tidak, terhadap negara-negara persemakmuran atau bekas jajahan mereka seperti Indonesia yang dijajah Belanda. Selama lebih dari 350 tahun menjajah Indonesia, Belanda menerapkan teori hukum yang berasal dari Code Civil Napoleon yang merupakan produk modifikasi hukum-hukum Romawi. Dibidang pemikiran politik, Romawi juga memberikan pemahaman kepada barat tentang teori Imperium. Teori Imperium adalah teori tentang kekuasaan dan otoritas negara (state authority) dimana kedaulatan dan kekuasaan dianggap sebagai bentuk pendelegasian kekuatan rakyat kepada penguasa negara. Maka menurut teori ini pada hakikatnya kedaulatan sepenuhnya milik rakyat. Penguasa politik hanyalah lembaga yang dipercayakan untuk memegang (bukan menguasai dan mendominasi) serta mempergunakan kedaulatan demi kebaikan seluruh rakyat. Penguasa bertanggungjawab kepada rakyat dan secara otomatis akan kehilangan legitimasi seandainya praktek kekuasaannya menyalahi kehendak rakyat. Teori Imperium Romawi sangat identik dengan teori Demokrasi, menurut teori ini rakyat memiliki hak-hak politik yang sama dan merupakan esensi tertinggi kedaulatan negara.
Disamping peradaban Yunani-Romawi terdapat dua peradaban lain yang telah mempengaruhi peradaban barat yaitu peradaban Judeo-kristiani (Yahudi-Kristen) dan peradaban Islam. Peradaban Yahudi-Kristen merupakan peradaban kedua yang meletakkan dasar-dasar intelektual dan filosofis yang kokoh bagi pembentukan dan perkembangan peradaban barat. Adalah Hegel, seorang pemikir Yahudi yang menciptakan suatu aliran filsafat Hegelianisme yang kemudian membawa pengaruh yang sangat besar terhadap tradisi intelektual Eropa sejak abad ke XIX hingga dewasa ini. Selain Hegel ada juga Marx, ia sebagaimana Hegel juga telah memberikan kontribusi luar biasa bagi perkembangan pemikiran barat. Tokoh Yahudi yang lahir di Jerman ini telah mengajarkan metodologi ilmiah dalam memahami perkembangan dan dinamika sosial, ekonomi dan sejarah kemanusiaan. Yaitu melalui gagasannya tentang Determinisme Ekonomi, Materialisme Sejarah, Dialektika Materialisme, teori Nilai Lebih (surplus value), dan lain-lain. Ajarannya menjadi inspirasi terbentuknya berbagai aliran pemikiran baru seperti Komunisme, Sosialisme Demokrasi, Feminisme Marxis, Kiri Baru (New Left), Aliran Frankfurt (Frankfurt School) dan Marxisme Barat (Western Marxism). Ketika hidup Marx mungkin tidak pernah membayangkan kalau pemikirannya akan mengubah wajah dunia dan melahirkan berbagai aliran pemikiran lain yang tidak saja mendominasi Eropa, tapi juga dunia, dan kemudian juga membawa penderitaan yang teramat besar bagi peradaban manusia. Sepanjang abad XIX dan XX minoritas Yahudi Eropa telah melahirkan banyak tokoh-tokoh besar di berbagai bidang pengetahuan dan filsafat, seperti Hegel, Marx, Sigmund Freud, Nietzsche Bertrand Russell, Schopenhauer, John Stuart Mill, Charles Darwin, Herbert Spencer, Henry Bergson, Albert Einstein dan lain-lain. Dalam dunia intelektual barat, mereka merupakan pelopor utama  atau pendiri aliran-aliran pemikiran (school of thoughts) seperti Marxisme, Liberalisme, Kapitalisme, Komunisme, Darwinisme, Psikoanalisa dan Evolusionisme Sosial.
Sedangkan sumbangan Kristen terhadap peradaban barat telah dimulai sejak agama ini diakui sebagai agama negara di kekaisaran imperium Romawi. Diantara pemikir-pemikir mereka adalah Thomas Aquinas dengan teori Skolastisisme (Scholasticism) yang inti ajarannya adalah tentang bagaimana mencari kebenaran melalui dua cara yaitu melalui Wahyu (Revelation) dan Akal (Reason). Selain Thomas terdapat tokoh-tokoh seperti Martin Luther, Zwingli, dan Johanes Calvin yang melahirkan gerakan reformasi Protestan sebagai protes terhadap kebijaksanaan Gereja Ortodoks. Doktrin reformasi Protestan ini berdampak luas pada prilaku ekonomi orang-orang kristen di Barat yang didasari pada etika kerja atau etos Kapitalisme. Mereka menjadi pekerja dan pengusaha yang tekun bekerja, mengumpulkan harta dan hidup hemat tanpa merasa apa yang dilakukannya itu sebagai suatu kekeliruan. Dengan kata lain etika Protestan telah dijadikan pijakan dasar bagi perkembangan Kapitalisme Eropa.
Warisan peradaban Islam merupakan pilar ketiga yang memberikan kontribusi bagi kelahiran peradaban barat. Sebelum abad ke XIII, pemikiran dan tradisi keilmuan barat sulit dikatakan modern dan progresif. Sebelum abad itu, Eropa masih diliputi abad-abad kegelapan (dark ages). Tradisi ilmiah masih dianggap musuh agama dan pengkhianatan terhadap ajaran Al-Kitab dan Yesus Kristus. Para ilmuwan tercerahkan kemudian menjadi korban keganasan inkuisisi Gereja. Eropa baru mengalami proses 'pencerahan intelektual' setelah terjadi kontak dan interaksi dengan peradaban Islam, baik melalui perdagangan maupun pengiriman mahasiswa-mahasiswa mereka ke dunia Islam. Dalam konteks ini, Perang Salib (Crusades) selama dua abad merupakan salah satu tonggak penting dalam proses interaksi antara peradaban Islam dengan barat (Kristen). Dengan terjadinya perang tersebut, mulai pula terjadi kontak dagang, pertumbuhan Merkatilisme dan proses pertukaran budaya, meskipun tidak seimbang. Ketidak seimbangan ini terjadi karena pada kenyataannya barat jauh lebih banyak belajar dan mengambil manfaat dari interaksinya dengan dunia Islam, ketimbang sebaliknya. Kasus serupa juga terjadi beberapa abad sebelumnya, yaitu ketika panglima tentara Islam, Tariq Ibn Ziyad, menaklukkan Spanyol dan membangun peradaban Islam di kawasan itu. Selama tujuh abad (VIII-XV), peradaban Islam Spanyol secara  gemilang berhasil mentransmisikan kebesarannya ke penjuru Eropa. Dari pusat peradaban Islam Spanyol itulah Eropa mulai merambah jalan ke arah perncerahan intelektual. Proses yang sama juga terjadi di pusat-pusat peradaban Islam lainnya seperti di Sicilia, Kairo, Baghdad dan Alexandriah. Dengan pengaruh Islam, barat kemudian berhasil secara gemilang menghancurkan tembok-tembok dogmatik yang telah mengungkungnya selama berabad-abad dan merintis jalan bagi usaha pengembangan pemikiran dan tradisi keilmuan. Diantara intelektual Islam yang telah memberikan sumbangan bagi peradaban barat adalah Ibnu Khaldun dengan karya monumentalnya 'Muqaddimah' dan Ibnu Haitham - seorang ahli matematika, astronomi dan ilmu optik. Robert Bacon, salah satu pemikir populer barat - yang memperkenalkan dan merintis metode eksperimental di barat - banyak belajar dari karya-karya Ibnu Haitham ketika menjadi mahasiswa di Universitas Islam Spanyol. Selain itu terdapat juga Ibnu Rusyd, seorang ahli filsafat Rasionalisme meskipun ia juga adalah seorang rasionalis pengikut aliran Mu'tazilah. Tan Malaka dalam bukunya 'Madilog' (Materialisme, Dialektika, Logika) menyatakan bahwa mahasiswa-mahasiswa Kristen yang selesai belajar ilmu pengetahuan dari filosof-filosof Muslim Arab Andalusia (Spanyol) dan kemudian kembali ke Eropa, dianggap sebagai kaum revolusioner oleh pendeta-pendeta Kristen di negerinya, karena kedatangan mereka membawa perubahan-perubahan besar dan radikal di Eropa.

Di abad-abad lampau kontribusi warisan intelektual Islam ini agaknya enggan diakui sebagai faktor penting yang ikut membidani lahirnya peradaban dan perkembangan tradisi pemikiran politik barat. Selama ratusan tahun mereka menyangkal hal ini. Hanya baru-baru ini saja mulai muncul banyak sarjana kritis barat yang secara objektif mengungkapkan bahwa Islam ternyata berperan penting menumbuhkan tradisi keilmuan dan peradaban barat. Diantara mereka adalah Roger Garaudy, Bernard Lewis, Maurice Bucaille, Marcel Boisard, Bertrand Russell, Louis Massignon, dan lain-lain. 
lanjut baca ke Tinjauan Sejarah Demokrasi 2
(diambil dari tulisan Menggugat Thagut Demokrasi Oleh: Zulfadhli)

0 komentar:

Posting Komentar