Demokrasi
berasal dari bahasa Latin, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan), ia selalu
diasosiasikan sebagai suatu bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Demokrasi dinilai sebagai sebuah sistem nilai kemanusiaan yang
paling menjanjikan masa depan umat manusia yang lebih baik dari saat ini. Ia
juga dinilai sesuai dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan 'non material' manusia.
Nilai-nilai Demokrasi itu kemudian diyakini akan dapat memanusiakan manusia,
sebab nilai-nilainya bertitik tolak dari 'nilai-nilai luhur' kemanusiaan.
Anggapan ini terutama muncul karena faktor penderitaan manusia akibat Fasisme,
Totaliterianisme, Komunisme, dan paham-paham anti-Demokrasi lainnya pada
beberapa dekade yang lalu.
Paham
Demokrasi sebenarnya bukanlah sebuah ideologi yang baru, ia merupakan teori tua
yang muncul kembali dari peradaban barat modern. Sedangkan peradaban barat
modern menurut Arnold Toynbee dalam bukunya 'Civilization on Trial', adalah
sebuah peradaban yang lahir dari puing-puing kehancuran peradaban
Yunani-Romawi. Menurutnya apa yang disebut 'Dunia Barat' dewasa ini merupakan
sempalan dari Imperium Romawi. Oleh karena itu pandangan hidup barat (western
way of life) dapat dilihat sebagai kelanjutan pandangan hidup orang-orang
Yunani kuno; cita-cita kebebasan, optimisme, sekularisme, pengagungan terhadap
jasmani dan akal serta pengkultusan pada individualisme. Tradisi keagamaan
mereka juga memantulkan secara transparan tradisi keagamaan Yunani kuno yang
memandang agama sepenuhnya bersifat duniawiyah, praktis dan mengabdi pada
kepentingan manusia (bukan Tuhan). Melalui karya-karya para sarjana dan filosof
Yunani-Romawi, barat mengenal Empririsme dan Rasionalisme. Yunani di satu pihak
mengajarkan kepada barat agar menempatkan akal di atas segalanya, bahwa akal
sebagai sumber kebenaran. Adalah filosof Yunani seperti Plato dan Aristoteles
yang mempengaruhi pemikiran dan filsafat politik barat sejak kelahirannya
hingga perkembangannya dewasa ini. Karya Aristoteles, khususnya 'Politics'
merupakan sumber inspirasi bagi perumusan teoritis konsep bentuk-bentuk negara,
hakikat pemerintahan, hukum-hukum yang mengontrol negara, revolusi sosial, dan
lain-lain. Gagasan barat mengenai negara (state), kekuasaan politik, keadilan,
dan Demokrasi secara genealogis-intelektual juga bisa dilacak dari tradisi
politik negara-negara kota Yunani klasik yang dinamakan 'Polis' atau 'City
States'. Tentang hal ini akan kita uraikan lebih lanjut pada bagian
selanjutnya.
Dilain
pihak, peradaban Romawi telah memberikan sumbangan besar di bidang sistem hukum
pada negara-negara Eropa Barat seperti Perancis, Italia, Swiss, Jerman, Belanda
dan Amerika Selatan, bahkan secara langsung atau tidak, terhadap negara-negara
persemakmuran atau bekas jajahan mereka seperti Indonesia yang dijajah Belanda.
Selama lebih dari 350 tahun menjajah Indonesia, Belanda menerapkan teori hukum
yang berasal dari Code Civil Napoleon yang merupakan produk modifikasi
hukum-hukum Romawi. Dibidang pemikiran politik, Romawi juga memberikan
pemahaman kepada barat tentang teori Imperium. Teori Imperium adalah teori tentang kekuasaan dan otoritas negara
(state authority) dimana kedaulatan dan kekuasaan dianggap sebagai bentuk
pendelegasian kekuatan rakyat kepada penguasa negara. Maka menurut teori
ini pada hakikatnya kedaulatan sepenuhnya milik rakyat. Penguasa politik
hanyalah lembaga yang dipercayakan untuk memegang (bukan menguasai dan
mendominasi) serta mempergunakan kedaulatan demi kebaikan seluruh rakyat.
Penguasa bertanggungjawab kepada rakyat dan secara otomatis akan kehilangan
legitimasi seandainya praktek kekuasaannya menyalahi kehendak rakyat. Teori
Imperium Romawi sangat identik dengan teori Demokrasi, menurut teori ini rakyat
memiliki hak-hak politik yang sama dan merupakan esensi tertinggi kedaulatan
negara.
Disamping
peradaban Yunani-Romawi terdapat dua peradaban lain yang telah mempengaruhi
peradaban barat yaitu peradaban Judeo-kristiani (Yahudi-Kristen) dan peradaban
Islam. Peradaban Yahudi-Kristen merupakan peradaban kedua yang meletakkan
dasar-dasar intelektual dan filosofis yang kokoh bagi pembentukan dan
perkembangan peradaban barat. Adalah Hegel, seorang pemikir Yahudi yang
menciptakan suatu aliran filsafat Hegelianisme yang kemudian membawa pengaruh
yang sangat besar terhadap tradisi intelektual Eropa sejak abad ke XIX hingga
dewasa ini. Selain Hegel ada juga Marx, ia sebagaimana Hegel juga telah
memberikan kontribusi luar biasa bagi perkembangan pemikiran barat. Tokoh
Yahudi yang lahir di Jerman ini telah mengajarkan metodologi ilmiah dalam
memahami perkembangan dan dinamika sosial, ekonomi dan sejarah kemanusiaan.
Yaitu melalui gagasannya tentang Determinisme Ekonomi, Materialisme Sejarah,
Dialektika Materialisme, teori Nilai Lebih (surplus value), dan lain-lain.
Ajarannya menjadi inspirasi terbentuknya berbagai aliran pemikiran baru seperti
Komunisme, Sosialisme Demokrasi, Feminisme Marxis, Kiri Baru (New Left), Aliran
Frankfurt (Frankfurt School) dan Marxisme Barat (Western Marxism). Ketika hidup
Marx mungkin tidak pernah membayangkan kalau pemikirannya akan mengubah wajah
dunia dan melahirkan berbagai aliran pemikiran lain yang tidak saja mendominasi
Eropa, tapi juga dunia, dan kemudian juga membawa penderitaan yang teramat
besar bagi peradaban manusia. Sepanjang abad XIX dan XX minoritas Yahudi Eropa
telah melahirkan banyak tokoh-tokoh besar di berbagai bidang pengetahuan dan
filsafat, seperti Hegel, Marx, Sigmund Freud, Nietzsche Bertrand Russell,
Schopenhauer, John Stuart Mill, Charles Darwin, Herbert Spencer, Henry Bergson,
Albert Einstein dan lain-lain. Dalam dunia intelektual barat, mereka merupakan
pelopor utama atau pendiri aliran-aliran
pemikiran (school of thoughts) seperti Marxisme, Liberalisme, Kapitalisme,
Komunisme, Darwinisme, Psikoanalisa dan Evolusionisme Sosial.
Sedangkan
sumbangan Kristen terhadap peradaban barat telah dimulai sejak agama ini diakui
sebagai agama negara di kekaisaran imperium Romawi. Diantara pemikir-pemikir
mereka adalah Thomas Aquinas dengan teori Skolastisisme (Scholasticism) yang
inti ajarannya adalah tentang bagaimana mencari kebenaran melalui dua cara
yaitu melalui Wahyu (Revelation) dan Akal (Reason). Selain Thomas terdapat
tokoh-tokoh seperti Martin Luther, Zwingli, dan Johanes Calvin yang melahirkan
gerakan reformasi Protestan sebagai protes terhadap kebijaksanaan Gereja
Ortodoks. Doktrin reformasi Protestan ini berdampak luas pada prilaku ekonomi
orang-orang kristen di Barat yang didasari pada etika kerja atau etos
Kapitalisme. Mereka menjadi pekerja dan pengusaha yang tekun bekerja,
mengumpulkan harta dan hidup hemat tanpa merasa apa yang dilakukannya itu
sebagai suatu kekeliruan. Dengan kata lain etika Protestan telah dijadikan
pijakan dasar bagi perkembangan Kapitalisme Eropa.
Warisan
peradaban Islam merupakan pilar ketiga yang memberikan kontribusi bagi
kelahiran peradaban barat. Sebelum abad ke XIII, pemikiran dan tradisi keilmuan
barat sulit dikatakan modern dan progresif. Sebelum abad itu, Eropa masih
diliputi abad-abad kegelapan (dark ages). Tradisi ilmiah masih dianggap musuh
agama dan pengkhianatan terhadap ajaran Al-Kitab dan Yesus Kristus. Para
ilmuwan tercerahkan kemudian menjadi korban keganasan inkuisisi Gereja. Eropa
baru mengalami proses 'pencerahan intelektual' setelah terjadi kontak dan
interaksi dengan peradaban Islam, baik melalui perdagangan maupun pengiriman
mahasiswa-mahasiswa mereka ke dunia Islam. Dalam konteks ini, Perang Salib
(Crusades) selama dua abad merupakan salah satu tonggak penting dalam proses
interaksi antara peradaban Islam dengan barat (Kristen). Dengan terjadinya perang
tersebut, mulai pula terjadi kontak dagang, pertumbuhan Merkatilisme dan proses
pertukaran budaya, meskipun tidak seimbang. Ketidak seimbangan ini terjadi
karena pada kenyataannya barat jauh lebih banyak belajar dan mengambil manfaat
dari interaksinya dengan dunia Islam, ketimbang sebaliknya. Kasus serupa juga
terjadi beberapa abad sebelumnya, yaitu ketika panglima tentara Islam, Tariq
Ibn Ziyad, menaklukkan Spanyol dan membangun peradaban Islam di kawasan itu.
Selama tujuh abad (VIII-XV), peradaban Islam Spanyol secara gemilang berhasil mentransmisikan
kebesarannya ke penjuru Eropa. Dari pusat peradaban Islam Spanyol itulah Eropa
mulai merambah jalan ke arah perncerahan intelektual. Proses yang sama juga
terjadi di pusat-pusat peradaban Islam lainnya seperti di Sicilia, Kairo,
Baghdad dan Alexandriah. Dengan pengaruh Islam, barat kemudian berhasil secara
gemilang menghancurkan tembok-tembok dogmatik yang telah mengungkungnya selama
berabad-abad dan merintis jalan bagi usaha pengembangan pemikiran dan tradisi
keilmuan. Diantara intelektual Islam yang telah memberikan sumbangan bagi
peradaban barat adalah Ibnu Khaldun dengan karya monumentalnya 'Muqaddimah' dan
Ibnu Haitham - seorang ahli matematika, astronomi dan ilmu optik. Robert Bacon,
salah satu pemikir populer barat - yang memperkenalkan dan merintis metode
eksperimental di barat - banyak belajar dari karya-karya Ibnu Haitham ketika
menjadi mahasiswa di Universitas Islam Spanyol. Selain itu terdapat juga Ibnu
Rusyd, seorang ahli filsafat Rasionalisme meskipun ia juga adalah seorang
rasionalis pengikut aliran Mu'tazilah. Tan Malaka dalam bukunya 'Madilog'
(Materialisme, Dialektika, Logika) menyatakan bahwa mahasiswa-mahasiswa Kristen
yang selesai belajar ilmu pengetahuan dari filosof-filosof Muslim Arab Andalusia
(Spanyol) dan kemudian kembali ke Eropa, dianggap sebagai kaum revolusioner
oleh pendeta-pendeta Kristen di negerinya, karena kedatangan mereka membawa
perubahan-perubahan besar dan radikal di Eropa.
Di abad-abad
lampau kontribusi warisan intelektual Islam ini agaknya enggan diakui sebagai
faktor penting yang ikut membidani lahirnya peradaban dan perkembangan tradisi
pemikiran politik barat. Selama ratusan tahun mereka menyangkal hal ini. Hanya
baru-baru ini saja mulai muncul banyak sarjana kritis barat yang secara
objektif mengungkapkan bahwa Islam ternyata berperan penting menumbuhkan
tradisi keilmuan dan peradaban barat. Diantara mereka adalah Roger Garaudy,
Bernard Lewis, Maurice Bucaille, Marcel Boisard, Bertrand Russell, Louis
Massignon, dan lain-lain.
lanjut baca ke Tinjauan Sejarah Demokrasi 2
(diambil dari tulisan Menggugat
Thagut Demokrasi Oleh:
Zulfadhli)
Demokrasi
berasal dari bahasa Latin, demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan), ia selalu
diasosiasikan sebagai suatu bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat. Demokrasi dinilai sebagai sebuah sistem nilai kemanusiaan yang
paling menjanjikan masa depan umat manusia yang lebih baik dari saat ini. Ia
juga dinilai sesuai dengan tuntutan-tuntutan kebutuhan 'non material' manusia.
Nilai-nilai Demokrasi itu kemudian diyakini akan dapat memanusiakan manusia,
sebab nilai-nilainya bertitik tolak dari 'nilai-nilai luhur' kemanusiaan.
Anggapan ini terutama muncul karena faktor penderitaan manusia akibat Fasisme,
Totaliterianisme, Komunisme, dan paham-paham anti-Demokrasi lainnya pada
beberapa dekade yang lalu.
Paham
Demokrasi sebenarnya bukanlah sebuah ideologi yang baru, ia merupakan teori tua
yang muncul kembali dari peradaban barat modern. Sedangkan peradaban barat
modern menurut Arnold Toynbee dalam bukunya 'Civilization on Trial', adalah
sebuah peradaban yang lahir dari puing-puing kehancuran peradaban
Yunani-Romawi. Menurutnya apa yang disebut 'Dunia Barat' dewasa ini merupakan
sempalan dari Imperium Romawi. Oleh karena itu pandangan hidup barat (western
way of life) dapat dilihat sebagai kelanjutan pandangan hidup orang-orang
Yunani kuno; cita-cita kebebasan, optimisme, sekularisme, pengagungan terhadap
jasmani dan akal serta pengkultusan pada individualisme. Tradisi keagamaan
mereka juga memantulkan secara transparan tradisi keagamaan Yunani kuno yang
memandang agama sepenuhnya bersifat duniawiyah, praktis dan mengabdi pada
kepentingan manusia (bukan Tuhan). Melalui karya-karya para sarjana dan filosof
Yunani-Romawi, barat mengenal Empririsme dan Rasionalisme. Yunani di satu pihak
mengajarkan kepada barat agar menempatkan akal di atas segalanya, bahwa akal
sebagai sumber kebenaran. Adalah filosof Yunani seperti Plato dan Aristoteles
yang mempengaruhi pemikiran dan filsafat politik barat sejak kelahirannya
hingga perkembangannya dewasa ini. Karya Aristoteles, khususnya 'Politics'
merupakan sumber inspirasi bagi perumusan teoritis konsep bentuk-bentuk negara,
hakikat pemerintahan, hukum-hukum yang mengontrol negara, revolusi sosial, dan
lain-lain. Gagasan barat mengenai negara (state), kekuasaan politik, keadilan,
dan Demokrasi secara genealogis-intelektual juga bisa dilacak dari tradisi
politik negara-negara kota Yunani klasik yang dinamakan 'Polis' atau 'City
States'. Tentang hal ini akan kita uraikan lebih lanjut pada bagian
selanjutnya.
Dilain
pihak, peradaban Romawi telah memberikan sumbangan besar di bidang sistem hukum
pada negara-negara Eropa Barat seperti Perancis, Italia, Swiss, Jerman, Belanda
dan Amerika Selatan, bahkan secara langsung atau tidak, terhadap negara-negara
persemakmuran atau bekas jajahan mereka seperti Indonesia yang dijajah Belanda.
Selama lebih dari 350 tahun menjajah Indonesia, Belanda menerapkan teori hukum
yang berasal dari Code Civil Napoleon yang merupakan produk modifikasi
hukum-hukum Romawi. Dibidang pemikiran politik, Romawi juga memberikan
pemahaman kepada barat tentang teori Imperium. Teori Imperium adalah teori tentang kekuasaan dan otoritas negara
(state authority) dimana kedaulatan dan kekuasaan dianggap sebagai bentuk
pendelegasian kekuatan rakyat kepada penguasa negara. Maka menurut teori
ini pada hakikatnya kedaulatan sepenuhnya milik rakyat. Penguasa politik
hanyalah lembaga yang dipercayakan untuk memegang (bukan menguasai dan
mendominasi) serta mempergunakan kedaulatan demi kebaikan seluruh rakyat.
Penguasa bertanggungjawab kepada rakyat dan secara otomatis akan kehilangan
legitimasi seandainya praktek kekuasaannya menyalahi kehendak rakyat. Teori
Imperium Romawi sangat identik dengan teori Demokrasi, menurut teori ini rakyat
memiliki hak-hak politik yang sama dan merupakan esensi tertinggi kedaulatan
negara.
Disamping
peradaban Yunani-Romawi terdapat dua peradaban lain yang telah mempengaruhi
peradaban barat yaitu peradaban Judeo-kristiani (Yahudi-Kristen) dan peradaban
Islam. Peradaban Yahudi-Kristen merupakan peradaban kedua yang meletakkan
dasar-dasar intelektual dan filosofis yang kokoh bagi pembentukan dan
perkembangan peradaban barat. Adalah Hegel, seorang pemikir Yahudi yang
menciptakan suatu aliran filsafat Hegelianisme yang kemudian membawa pengaruh
yang sangat besar terhadap tradisi intelektual Eropa sejak abad ke XIX hingga
dewasa ini. Selain Hegel ada juga Marx, ia sebagaimana Hegel juga telah
memberikan kontribusi luar biasa bagi perkembangan pemikiran barat. Tokoh
Yahudi yang lahir di Jerman ini telah mengajarkan metodologi ilmiah dalam
memahami perkembangan dan dinamika sosial, ekonomi dan sejarah kemanusiaan.
Yaitu melalui gagasannya tentang Determinisme Ekonomi, Materialisme Sejarah,
Dialektika Materialisme, teori Nilai Lebih (surplus value), dan lain-lain.
Ajarannya menjadi inspirasi terbentuknya berbagai aliran pemikiran baru seperti
Komunisme, Sosialisme Demokrasi, Feminisme Marxis, Kiri Baru (New Left), Aliran
Frankfurt (Frankfurt School) dan Marxisme Barat (Western Marxism). Ketika hidup
Marx mungkin tidak pernah membayangkan kalau pemikirannya akan mengubah wajah
dunia dan melahirkan berbagai aliran pemikiran lain yang tidak saja mendominasi
Eropa, tapi juga dunia, dan kemudian juga membawa penderitaan yang teramat
besar bagi peradaban manusia. Sepanjang abad XIX dan XX minoritas Yahudi Eropa
telah melahirkan banyak tokoh-tokoh besar di berbagai bidang pengetahuan dan
filsafat, seperti Hegel, Marx, Sigmund Freud, Nietzsche Bertrand Russell,
Schopenhauer, John Stuart Mill, Charles Darwin, Herbert Spencer, Henry Bergson,
Albert Einstein dan lain-lain. Dalam dunia intelektual barat, mereka merupakan
pelopor utama atau pendiri aliran-aliran
pemikiran (school of thoughts) seperti Marxisme, Liberalisme, Kapitalisme,
Komunisme, Darwinisme, Psikoanalisa dan Evolusionisme Sosial.
Sedangkan
sumbangan Kristen terhadap peradaban barat telah dimulai sejak agama ini diakui
sebagai agama negara di kekaisaran imperium Romawi. Diantara pemikir-pemikir
mereka adalah Thomas Aquinas dengan teori Skolastisisme (Scholasticism) yang
inti ajarannya adalah tentang bagaimana mencari kebenaran melalui dua cara
yaitu melalui Wahyu (Revelation) dan Akal (Reason). Selain Thomas terdapat
tokoh-tokoh seperti Martin Luther, Zwingli, dan Johanes Calvin yang melahirkan
gerakan reformasi Protestan sebagai protes terhadap kebijaksanaan Gereja
Ortodoks. Doktrin reformasi Protestan ini berdampak luas pada prilaku ekonomi
orang-orang kristen di Barat yang didasari pada etika kerja atau etos
Kapitalisme. Mereka menjadi pekerja dan pengusaha yang tekun bekerja,
mengumpulkan harta dan hidup hemat tanpa merasa apa yang dilakukannya itu
sebagai suatu kekeliruan. Dengan kata lain etika Protestan telah dijadikan
pijakan dasar bagi perkembangan Kapitalisme Eropa.
Warisan
peradaban Islam merupakan pilar ketiga yang memberikan kontribusi bagi
kelahiran peradaban barat. Sebelum abad ke XIII, pemikiran dan tradisi keilmuan
barat sulit dikatakan modern dan progresif. Sebelum abad itu, Eropa masih
diliputi abad-abad kegelapan (dark ages). Tradisi ilmiah masih dianggap musuh
agama dan pengkhianatan terhadap ajaran Al-Kitab dan Yesus Kristus. Para
ilmuwan tercerahkan kemudian menjadi korban keganasan inkuisisi Gereja. Eropa
baru mengalami proses 'pencerahan intelektual' setelah terjadi kontak dan
interaksi dengan peradaban Islam, baik melalui perdagangan maupun pengiriman
mahasiswa-mahasiswa mereka ke dunia Islam. Dalam konteks ini, Perang Salib
(Crusades) selama dua abad merupakan salah satu tonggak penting dalam proses
interaksi antara peradaban Islam dengan barat (Kristen). Dengan terjadinya perang
tersebut, mulai pula terjadi kontak dagang, pertumbuhan Merkatilisme dan proses
pertukaran budaya, meskipun tidak seimbang. Ketidak seimbangan ini terjadi
karena pada kenyataannya barat jauh lebih banyak belajar dan mengambil manfaat
dari interaksinya dengan dunia Islam, ketimbang sebaliknya. Kasus serupa juga
terjadi beberapa abad sebelumnya, yaitu ketika panglima tentara Islam, Tariq
Ibn Ziyad, menaklukkan Spanyol dan membangun peradaban Islam di kawasan itu.
Selama tujuh abad (VIII-XV), peradaban Islam Spanyol secara gemilang berhasil mentransmisikan
kebesarannya ke penjuru Eropa. Dari pusat peradaban Islam Spanyol itulah Eropa
mulai merambah jalan ke arah perncerahan intelektual. Proses yang sama juga
terjadi di pusat-pusat peradaban Islam lainnya seperti di Sicilia, Kairo,
Baghdad dan Alexandriah. Dengan pengaruh Islam, barat kemudian berhasil secara
gemilang menghancurkan tembok-tembok dogmatik yang telah mengungkungnya selama
berabad-abad dan merintis jalan bagi usaha pengembangan pemikiran dan tradisi
keilmuan. Diantara intelektual Islam yang telah memberikan sumbangan bagi
peradaban barat adalah Ibnu Khaldun dengan karya monumentalnya 'Muqaddimah' dan
Ibnu Haitham - seorang ahli matematika, astronomi dan ilmu optik. Robert Bacon,
salah satu pemikir populer barat - yang memperkenalkan dan merintis metode
eksperimental di barat - banyak belajar dari karya-karya Ibnu Haitham ketika
menjadi mahasiswa di Universitas Islam Spanyol. Selain itu terdapat juga Ibnu
Rusyd, seorang ahli filsafat Rasionalisme meskipun ia juga adalah seorang
rasionalis pengikut aliran Mu'tazilah. Tan Malaka dalam bukunya 'Madilog'
(Materialisme, Dialektika, Logika) menyatakan bahwa mahasiswa-mahasiswa Kristen
yang selesai belajar ilmu pengetahuan dari filosof-filosof Muslim Arab Andalusia
(Spanyol) dan kemudian kembali ke Eropa, dianggap sebagai kaum revolusioner
oleh pendeta-pendeta Kristen di negerinya, karena kedatangan mereka membawa
perubahan-perubahan besar dan radikal di Eropa.
Di abad-abad
lampau kontribusi warisan intelektual Islam ini agaknya enggan diakui sebagai
faktor penting yang ikut membidani lahirnya peradaban dan perkembangan tradisi
pemikiran politik barat. Selama ratusan tahun mereka menyangkal hal ini. Hanya
baru-baru ini saja mulai muncul banyak sarjana kritis barat yang secara
objektif mengungkapkan bahwa Islam ternyata berperan penting menumbuhkan
tradisi keilmuan dan peradaban barat. Diantara mereka adalah Roger Garaudy,
Bernard Lewis, Maurice Bucaille, Marcel Boisard, Bertrand Russell, Louis
Massignon, dan lain-lain.
lanjut baca ke Tinjauan Sejarah Demokrasi 2
lanjut baca ke Tinjauan Sejarah Demokrasi 2
(diambil dari tulisan Menggugat
Thagut Demokrasi Oleh:
Zulfadhli)
0 komentar:
Posting Komentar