Senin, 27 Januari 2014

ANTARA POLITIK DAN MASLAHAT


Bagaimanakah hubungan antara politik dan maslahat, dan bagaimana kategori para politikus menurut syari ‘at Islam?

Politik didefinisikan sebagai pengaturan dan pemeliharaan urusan rakyat, baik urusan dalam negeri maupun luar negeri. Pengaturan ini diselenggarakan berdasarkan sekumpulan peraturan dan undang­-undang yang terpancar dari suatu pemikiran mendasar (ideologi), yang diyakini oleh para politikus yang melaksanakan pengaturan urusan tersebut, juga diyakini oleh rakyat yang tunduk kepada pengaturan tersebut.
Pada dasarnya aktivitas politik itu terpancar dari suatu ideologi, baik ideologi itu kuat (pengaruhnya) maupun lemah, benar ataupun keliru. Di atas dasar ideologi ini ditetap­kan berbagai peraturan dan undang-undang, sekaligus metode penerapannya.
Berbagai aktivitas dan tindakan politik yang merupakan pelaksanaan peraturan dan undang-undang tersebut, pada umumnya dimaksudkan untuk memecahkan problematika tertentu dalam rangka merealisir kepentingan-kepentingan (maslahat) tertentu.
Kepentingan-kepentingan itu sendiri beraneka ragam bentuk dan macamnya. Namun, secara umum dapat dikelompokkan dalam empat macam kepentingan. Pertama, kepentingan ideologis, yaitu kepentingan yang telah ditentukan oleh ideologi yang diyakini oleh para politikus dan rakyat. Misalnya, penyebarluasan/propaganda suatu ideologi secara internasional.
Kedua, kepentingan pribadi, yaitu kepentingan bagi seorang politikus yang melaksanakan pengaturan urusan rakyat. Misalnya, upaya mempertahankan kedudukannya di kursi pemerintah­an, atau untuk memperoleh kemakmuran hidup yang bersangkutan.
Ketiga, kepentingan kelompok atau golongan, yaitu kcpentingan bagi suatu kelompok tertentu—dalam arti luas—seperti madzhab, firqah agama, keluarga besar (klan), partai politik, dan sebagainya. Sebagai contoh, kepentingan untuk mem­pertahankan golongan tertentu di tampuk pemerintahan untuk memperoleh fasilitas dan kemakmuran hidup secara berkelompok.
Keempat, kepentingan pihak asing, yaitu kepentingan bagi negara-negara asing yang mempunyai pengaruh terhadap praktik politik yang diselenggarakan di suatu negara. Negara-­negara asing semacam ini biasanya mempunyai agen, yaitu politikus yang ikut serta berperan dalam berbagai aspek kehi­dupan di suatu negara tertentu.
Politikus yang mempunyai komitmen terhadap kepentingan pribadi atau kelompok—bila kekuatan kelompoknya lemah—secara pasti akan tunduk kepada kepentingan pihak asing, yaitu kepentingan yang dapat membawanya pada posisi sulit. Sebab, tindakannya melayani kepentingan negara asing akan berbenturan dengan tuntutan-tuntutan kepentingannya sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika hal ini terjadi, berarti politikus tersebut telah menjadi pelayan (agen) bagi negara asing tersebut. Dia akan ber­putar mengikuti segala kepentingan negara asing itu. Dalam beberapa kondisi, politikus itu selalu loyal mengikuti instruksi ‘majikannya’ tanpa reserve.
Pembagian kepentingan tadi, dapat membedakan para politikus dari segi kepentingan yang diperjuangkannya, yang bermuara menjadi dua macam saja; politikus terhor­mat dan ikhlas, dan politikus pengkhianat yang menjadi agen (antek-antek) pihak asing.
Para politikus yang terhormat dan ikhlas, adalah mereka yang mengikat­kan aktivitas politiknya dengan kepentingan-kepentingan vital yang telah ditetapkan oleh ideologi yang diyakini oleh rakyatnya. Dengan kata lain, mereka senantiasa berusaha merea­lisir jenis kepentingan yang pertama saja—yakni kepentingan ideologis—bukan yang lain. Sedangkan para politikus yang mengkhianati rakyat dengan kekuasaannya, adalah mereka yang menjalankan aktivitas politiknya mengikuti kepentingan selain jenis kepentingan yang pertama. Ini yang menyebabkan mereka digolongkan sebagai pengkhianat. Jadi, politikus yang menjadi agen, bukan hanya orang-orang yang bekerja pada kantor-kantor berita asing, atau orang-orang yang mendapatkan gaji bulanan dari suatu negara asing, melainkan juga mereka yang lebih mengutamakan perhatiannya bagi kepentingan pihak asing dibandingkan kepentingan rakyatnya sendiri, dengan motif apa pun.
Atas dasar pengelompokkan ini, mereka yang mengamati realitas politik negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam lainnya, akan dapat menyimpulkan bahwa para politikus di negeri-negeri Islam adalah para pengkhianat atau agen-agen negara asing. Pernyataan ini bukan tanpa dasar (bukti), dan bukan pula sekadar lontaran tuduhan. Sebab pernyataan tersebut memiliki realitasnya dalam kehidupan politik suatu negeri.
Sebagai contoh, kita bisa melihat, bagaimana sikap Jabar ash-Shabbah (Emir Kuwait) yang rela me­nyumbangkan dana 10 juta dolar AS untuk sebuah kebun binatang di London. Tindakan ini jelas-jelas merupakan pengkhia­natan terhadap umat Islam. Seharusnya dia mengutamakan kepentingan vital umatnya—kepentingan ideologi Islam—untuk menolong umat Islam yang tengah menderita kelaparan hebat di Somalia saat itu. Contoh lain, pengkhianatan para politikus di negeri-negeri Islam, adalah sikap sekitar 30 penguasa negeri muslim yang menghadiri KTT Internasional Anti Terorisme di Sharm el Sheikh, Mesir, empat tahun lalu (1997). Mereka mengeluarkan deklarasi untuk meneruskan ‘proses perdamaian’ di Timur Tengah, dan memerangi apa yang mereka sebut sebagai ‘terorisme’. Ini jelas-jelas merupakan pengkhianatan terhadap umat Islam. Sebab, tindakan mereka ini berarti makin melegitimasi perampasan bumi Palestina—sebagai negeri Islam—oleh Yahudi. Disamping itu turut membantu negara­-negara kufur dan Zionis untuk menghancurkan Islam, dengan cara menumpas para pejuangnya yang ikhlas. Padahal, kepentingan ideologi Islam telah mewajibkan mereka untuk membebaskan Palestina dari cengkeraman Yahudi, juga untuk mendukung para pejuang Islam yang ikhlas itu dalam perjuangannya membebaskan bumi Palestina dari pendudukan Yahudi. Contoh lain adalah keengganan sebagian penguasa muslim untuk memutuskan kontrak dan hubungannya dengan IMF (yang jelas-jelas ditunggangi oleh negara-negara Barat kufur). Mereka beralasan, bahwa ekonomi dalam negeri masih lemah dan memerlukan bantuan asing dalam menjaga keseimbangan neraca perdagangan atau keseimbangan APBN. Kenyataannya, masyarakat justru menuntut pemutusan hubungan karena mereka menganggapnya mampu mengatasi perekonomian dengan ditopang oleh kemampuan dan kemandirian. Sikap para politisi dan ekonom tersebut hakekatnya adalah melayani kepentingan negara-negara asing dan semakin menambah terpuruknya negeri Islam di dalam jeratan utang luar negeri. Inilah sekilas contoh-contoh yang nyata mengenai para politikus pengkhianat yang menjadi agen Barat dan Yahudi.
Di sini perlu dijelaskan pula, bahwa keikhlasan seorang politikus terhadap ideologi dan kepentingan vital rakyatnya, tidak berarti bahwa aktivitas politiknya selalu benar dan tepat. Keikh­lasan politikus adalah satu hal, sedangkan kebenaran aktivitas politiknya adalah perkara lain. Con­tohnya, para politikus Barat. Pada umumnya, mereka adalah orang-orang yang ikhlas terha­dap ideologi dan kepentingan vital rakyatnya yang telah ditetapkan oleh ideologi Kapitalis­me atau Demokrasi. Akan tetapi—kendati pun aktivitas politik mereka dapat dikatakan ber­sifat ideologis/demi kepentingan ideologis—sebenarnya aktivitas politik mereka itu keliru. Ini karena aktivitas politik mereka terpancar dari ideologi yang bathil, baik dari sisi fikrah (pemikiran) maupun thariqah-nya (hukum dan peraturannya).
Fikrah ideo­logi Kapitalisme berdiri di atas asas pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Sementara itu peraturan-peraturan hidup yang dibuat oleh akal manusia, yang memang terbatas dan hanya mampu menjangkau sesuatu yang terindera, juga sangat terikat dengan tolok ukur-tolok ukur tertentu yang bersifat terbatas, yang tidak dapat dilampaui lagi.
Adapun aktivitas politik Islam yang hakiki—yang kini telah lenyap keberadaan dan pengaruhnya di pentas politik internasional pasca runtuhnya Khilafah Islamiyah pada tahun 1924—sesungguhnya merupakan satu­-satunya aktivitas politik yang benar dan tepat untuk suatu pemerintahan. Sebab, aktivitas politik ini berdiri di atas ideologi yang benar. Satu-satunya ideologi yang mampu memberikan jawaban shahih—yakni akidah Islam—yang mampu memuaskan akal. Atas dasar akidah Islam tersebut, ideologi ini menetapkan bagi manusia suatu jalan hidup—yaitu syari’at Islam—yang telah dikehendaki oleh Allah, Sang Pencipta dan Pengatur, juga yang Maha Mengetahui apa yang diciptakan-Nya, termasuk peraturan hidup apa yang sesuai untuk ciptaan-Nya itu.
Mereka yang menjalankan aktivitas politik berdasarkan ideologi ini, adalah benar-benar para politikus yang terhormat dan ikhlas, karena mereka akan melakukan akti­vitas politik atas dasar takwa kepada Allah Swt. Disamping itu juga ideologi mereka—yakni Islam—telah menyerunya untuk terikat dengan hukum syara’. Hal ini akan meng­anggap bahwa aktivitas politik itu tidak lain adalah hukum-hukum syara’, yang bertujuan untuk meraih ridha Allah semata. Oleh karena itu, pengawas/pengendali sejati terhadap keikhlasan mereka, berasal dari ketakwaannya kepada Allah.
Disamping itu, kepentingan-kepentingan yang diupayakan oleh para politikus Islam tersebut, adalah kepentingan yang telah ditentukan oleh ideologi Islam, yang telah meniadakan unsur egoisme dan individualisme dalam kehidupan bermasyarakat di satu pihak. Bersamaan dengan itu—di pihak lain—yakni masyarakat, juga berupaya untuk merealisir kesejahteraan individu-individunya.
Perlu dipahami, lenyapnya aktivitas politik Islam di pentas politik internasional saat ini, tidak berarti para politikus Islam itu tidak ada. Bahkan bisa dikatakan jumlahnya cukup banyak. Persoalannya adalah, urusan pemerintahan saat ini tidak berada di tangan mereka—setelah hak memerintah dan mengangkat Khalifah dirampas secara paksa dari tangan kaum Muslim.
Dengan demikian, diharapkan umat akan segera sadar, lalu bersama-sama para politikus Islam itu mereka akan bangkit menjadi satu kekuatan politik yang dahsyat untuk meng­gulingkan sistem pemerintahan kufur yang ada sekarang—dalam waktu dekat ini, insya Allah—dan kemudian, di atas reruntuhannya itu mereka akan menegakkan Daulah Khilafah Islami­yah dan menjalankan aktivitas politik Islam.

0 komentar:

Posting Komentar