Oleh: Dr. U Maman Kh., M.Sc (Direktur Pusbangsitek UIN Jakarta)
untuk agan-agan yang terhormat
download materi pembahasan Teori berfikir Tingkat 1 di sini gan Power Pointnya di sini
download materi pembahasan Teori berfikir Tingkat 2 di sini gan Power Pointnya di sini
download materi pembahasan Teori berfikir Tingkat 3 di sini gan Power Pointnya di sini
Apa yang dimaksud dengan aqal? Apa kaitan aqal dan berfikir? Mungkin
inilah salah satu terma yang selalu dibahas dari dulu hingga sekarang.
Yang jelas aqal bukanlah benda atau materi yang memiliki tempat, akan
tetapi aqal lebih bersifat proses berfikir. Kemudian, apakah sebenarnya
berfikir itu, hakikat dan hasilnya? Tulisan ini mencoba menjawab
beberapa pertanyaan di atas. Silahkan dinikmati…
Pengertian Berfikir
Integrasi keilmuan dapat ditinjau berdasarkan proses berpikir dengan asumsi bahwa pengetahuan, baik knowledge maupun
sains merupakan hasil dari proses berpikir. Al-Quran mengajari manusia
untuk berpikir. Berpikir identik dengan menggunakan akal. Berbeda dengan
otak, akal bukanlah organ dari tubuh manusia. Akal identik dengan
kemampuan dan proses berpikir. Berpikir dalam arti berusaha untuk
memahami realitas untuk sampai pada kesimpulan tertentu.
Berpikir memiliki karakteristik tersendiri. Berpikir lebih bersifat
empiris-faktual. Karena itu, berpikir akan menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan dalam bentuk teori yang bersifat empiris, memiliki
implikasi bagi pemecahan permasalahn umat manusia, serta mewujudkan
kehidupan yang lebih baik. Melakukan kajian terhadap sesuatu yang tidak
bersifat empiris tidak termasuk proses berpikir. Hoodbhoy mengkritik
para ilmuan Pakistan pada zaman Presiden Zia ul-Haq yang mengembangkan
sains Islam yang tidak bersifat empiris, seperti analisis tentang
struktur kimia-fisika jin, derajat kemunafikan, dan rembetan panas api
neraka.[1]
Dengan menjadikan realitas sebagai obyek berpikir, Taqyuddin an-Nabhani[2] membagi metode berpikir menjadi dua bagian: metode berpikir rasional (at-thariqah al-‘aqliyyah) dan metode berpikir sains (at-thariqah al-‘ilmiyyah).
Kedua metode berpikir tersebut sebenarnya tidak berbeda. Berpikir sains
bersifat rasional, sistematis dan terorganisasi. Hanya saja, berpikir
rasional cenderung mengandung perspektif tertentu sebagai pengaruh dari
informasi yang dimiliki, baik berasal dari lingkungan sosial budaya,
ideologi, kepercayaan, keyakinan atau agama. Berpikir rasional
mengandung unsur subyektivitas; sedangkan berpikir sains lebih bersifat
netral, obyektif dan bersifat eksperimental-laboratoris. Al-Quran
mengajarkan metode berpikir rasional yang bertolak dari fakta. Metode
berpikir rasional ialah metode al-Quran, metode Islam. Karena itu,
berpikir rasional dapat menjadi acuan dalam merumuskan perspektif
berpikir untuk mewujudkan integrasi keilmuan. Berpikir itu sendiri
merupakan sesuatu yang paling berharga bagi manusia, paling mahal
harganya dalam kehidupan, sekaligus menjadi tempat bergantungnya jalan
kehidupan. Oleh karena itu, kita harus bersungguh-sungguh untuk
memperhatikan aktivitas berpikir ini.
Hakikat dan Unsur-unsur Berpikir
Apakah berpikir itu? Berpikir pada hakikatnya merupakan usaha untuk memahami fakta (realitas empiris). Karena itu, salah satu unsur berpikir yang penting ialah fakta.
Berusaha untuk memahami sesuatu yang berada di luar jangkauan indera
(tidak empiris) bukan termasuk kegiatan berpikir. Berpikir harus
menyimpulkan sesuatu yang berkaitan dengan realitas. Karena itu,
berpikir memiliki implikasi yang sangat produktif bagi perumusan teori
yang bersifat empiris, bagi pemecahan persoalan umat manusia dan bagi
pengembangan masyarakat. Penemuan ilmiah hanya bisa dilakukan jika
seseorang melakukan pengamatan terhadap reaslitas. Hoodbhoy[3]
mengkritik para ilmuan Pakistan yang berusaha melakukan islamisasi
sains dengan menjadikan obyek kajian hal-hal yang tidak empiris seperti
struktur kimia dan fisika jin, derajat kemunafikan, rambatan panas api
neraka, dan lain sebagainya yang tidak bersifat empiris. Berpikir
tentang realitas memerlukan fakta yang terindera. Karena itu, unsur berpikir yang kedua ialah indera.
Yang dimaksud dengan fakta yang terindera ialah fakta yang dapat
diindera, baik langsung ataupun tidak langsung. Peralatan sebenarnya
merupakan perpanjangan indera manusia, seperti kaca pembesar atau
instrumen lainnya.
Kesimpulan tentang fakta sebagai hasil dari proses berpikir disimpan dalam benak. Karena itu, benak/otak manusia (ad-dimag) merupakan salah satu unsur penting dalam proses berpikir.
Unsur lain yang paling penting dalam berpikir ialah adaya informasi yang sudah dimiliki (ma’lumat sabiqah).
Informasi dapat berasal dari lingkungan sosial, budaya, keyakinan,
kepercayaan, ideologi, agama, termasuk keyakinan tentang tidak adanya
Tuhan (atesis).
Berpikir atau sebut saja berpikir rasional atau metode ‘aqliyyah,
merupakan proses pengkajian untuk mengetahui realitas sebagai obyek
kajian dengan cara mentransfer fakta ke otak melalui indera, disertai
dengan adanya sejumlah informasi pendahulu yang sudah dimiliki (ma’lumat sabiqah)
yang akan digunakan untuk menafsirkan/menilai fakta yang ada. Penilaian
ini, menurut Taqyuddin an-Nabhani, pada hakikatnya merupakan pemikiran (fikr) atau kesadaran rasional (al-idrak al-‘aqli).
Karena itu, berpikir merupakan proses yang melibatkan: (1)
fakta/realitas; (2) indera; (3) otak; dan (4) informasi yang dimiliki.
Dengan proses berpikir ini akan terbentuklah sebuah kesadaran. Apa yang
disebut ‘teori ilmiah’ pada hakikatnya merupakan kesadaran seseorang
terhadap realitas. Dengan sendirinya ‘teori’ itu sarat nilai, baik nilai
yang berasal dari agama (wahyu), ideologi maupun lingkungan
social-budaya tertentu. Dalam konteks ini, an-Nabhani mempertanyakan
obyektivitas teori-teori ilmiah yang tidak bersifat fisikal dan
eksperimen yang melakukan kontrol variabel.[4]
Pendapat MM Ismail tampak memperkuat pandangan Taqyuddin an-Nabhani. Ismail menyatakan:
Pola pikir rasional adalah suatu metode pengkajian yang dilakukan
agar seseorang sampai pada tahap mengetahui hakikat sesuatu yang sedang
dikaji, melalui indera yang menyerap obyek. Proses penyerapan itu
dilakukan melalui panca indera menuju ke otak, dibantu oleh
pengetahuan/informasi sebelumnya yang akan menafsirkan dan memberikan
sikap atas fakta tersebut. Keputusan tersebut dinamakan pemikiran atau
ide, yaitu pemahaman yang diperoleh akal secara langsung. Metode ini
mencakup pengkajian obyek yang dapat diindera maupun yang abstrak yang
berkaitan dengan pemikiran.[5]
Hampir disepakati oleh para ilmuwan, bahwa teori-teori ilmu sosial,
politik, ekonomi dan budaya sering merupakan refleksi seseorang terhadap
realitas; atau dibangun berdasarkan interpretasi atas realitas.
Teori-teori sosial dan ekonomi Marxisme, misalnya, merupakan hasil
refleksi Karl Marx terhadap kesenjangan sosial akibat laju
industrialisasi masyarakat Jerman pada pertengahan abad ke-19. Ketika
membangun sebuah teori, tentu ada nilai-nilai yang mendorong seseorang
untuk bersikap terhadap realitas tersebut. Dengan demikian, teori-teori
ilmu sosial tidak bebas nilai. Michael Kunczik mengingatkan bahwa
teori-teori perubahan sosial dan pembangunan sering sarat dengan
etnosentrisme. Kesadaran budaya sering menjadi standar penilaian
terhadap budaya lain. Karena itu, rumusan-rumusan teori tidak lepas dari
kesadaran budaya. Mengacu pada Edward B. Taylor (1873), Kunzcik
menyebutkan budaya meliputi: pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum,
adat dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh dari sebuah sistem
sosial.[6]
Berbagai rumusan teori ilmu-ilmu sosial, menurut perspektif ini,
sebenarnya merupakan pengambilan keputusan atau sikap terhadap realitas
yang dipengaruhi oleh informasi atau pengetahuan awal yang sudah
dimiliki seseorang. Demikian halnya teori-teori yang terkait dengan
materi yang bukan merupakan hasil eksperimen laboratorium, seperti
persoalan penciptaan dan asal-usul manusia. Karena itu, ilmu tidak bebas
nilai. Teori Darwin tentang asal-usul manusia jelas merupakan refleksi
terhadap realitas yang diilhami oleh keyakinan tertentu. Demikian halnya
teori-teori sosial Marxisme, umpamanya. MM Ismail yang sejalan dengan
Taqyuddin an-Nabhani menegaskan, berpikir rasional pada intinya
merupakan proses interaksi yang melibatkan: fakta empiris, otak, indera
dan pengetahuan atau informasi yang dimiliki. Berpikir dalam perspektif
pola pikir rasional (metode ‘aqliyyah) merupakan proses
transformasi fakta empiris ke otak, dilanjutkan dengan
interpretasi/penilaian atas fakta tersebut berdasarkan informasi yang
ada, yang akhirnya melahirkan sikap terhadap fakta tersebut.[7]
Dari sini sesungguhnya berpikir berarti penyerapan fakta yang
terindera ke dalam benak berdasarkan informasi yang sudah dimiliki.
Denga kata lain, berpikir pada intinya merupakan rekonstruksi terhadap
realitas berdasarkan perspektif tertentu yang terkait dengan informasi
yang dimiliki. Kesimpulan tentang realitas dengan sendirinya berada
dalam sudut pandang tertentu. Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi
Islam secara normatif, tetapi bersifat umum bagai setiap proses
berpikir. Setiap teori yang merupakan hasil pemikiran dengan sendirinya
mengandung unsur-unsur keyakinan perumusnya, baik pemikiran Islam,
atheis, atau keyakinan lainnya.
Informasi yang dimiliki merupakan faktor bagi keragaman mode berpikir
dan ini merupakan sudut pandang dalam memahami realitas. Manusia dapat
merekonstruksi realitas berdasarkan sudut pandang tersebut. Relaitas
yang sama dapat dipahami secara berbeda, bergantung pada sudut pandang
tersebut. Mengacu pada pandangan Thomas Kuhn, berasarkan informasi yang
dimiliki, manusia memiliki mode of thought atau mode of inquiry. Menurut Kuhn, seseorang merekonstruksi realitas sosial berdasarkan mode of thought atau mode inquiry sehingga menghasilkan mode of knowing.[8]Terkait dengan pembahasan sebelumnya, cara berpikir merupakan paradigma untuk menghasilkan pengetahuan (knowledge). Realitas yang sama bisa menghasilkan kesimpulan dan teori yang berbeda hanya karena perbedaaan paradigm saat memahaminya.
Cakupan dan Hasil Proses Berpikir
Apakah seseorang harus langsung memahami realitas sebagai persyaratan
agar ia bisa dikatakan berpikir? Secara faktual seseorang tidak mudah
memahami realitas. Bahkan terdapat kecenderungan, pemahaman seseorang
terhadap realitas sering didasarkan pada pemahaman orang lain atau
melalui media tertentu. Bahkan dalam ilmu komunikasi, relitas terbagi menjadi dua bagian: realitas media dan realitas yang sesungguhnya.
Realitas media ialah realitas yang disajikan oleh media massa melalui
proses pemilihan yang tidak lepas dari perspektif tertentu. Pemahaman
terhadap realitas menurut media massa masih masuk kategori berpikir,
walaupun seseorang yang berusaha memahaminya perlu mengkritisi setiap
fakta yang disajikan media. Pemahaman terhadap realitas menurut
pemahaman orang lain, atau mengikuti proses berpikir yang dilakukan
orang lain, masih termasuk kategori berpikir rasional, walaupun tentu
saja kualitas berpikirnya masih rendah. Mengutip penyataan Ahmad Syafii
Maarif dalam sebuah seminar, para pemikir di Indonesia cenderung hanya
sebagai “pemamah biak”. Artinya, mereka hanya berpikir mengikuti cara
orang lain berpikir, belum menghasilkan pemikiran orisinal. Mereka
cenderung memahamai atau mengambil kesimpulan tentang realitas
berdasarkan pemahaman dan kesimpulan orang lain.
Lalu apa saja cakupan dan lingkup berpikir? Berpikir berada dalam
tatanan filosofis, mendasar dan menyeluruh. Berpikir tidak mengenal
adanya spesialisasi. Berpikir akan mengantarkan seseorang pada penemuan
berbagai teori. Dalam konteks ini, ilutrasi Will Durant dapat menjadi
acuan. Berpikir bagaikan pasukan marinir yang berusaha merebut pantai
untuk pendaratan pasukan infantri.[9] Pasukan infantri ialah pengetahuan, baik pada tataran knowledge maupun
sains. Artinya, berfikir merupakan proses untuk menghasilkan berbagai
teori ilmiah yang berimplikasi bagi pemecahan persoalan umat manusia.
Demikian pula, tidak ada batasan obyek berpikir. Seseorang dapat
berpikir tentang fenomena alam, fenomena sosial, fenomena ekonomi, dan
lain sebagainya. Yang penting, berpikir harus dilakukan terhadap fakta
yang bersifat empiris. Isac Newton (1642-1627) mengamati berbagai
fenomena alam, yang ditulis dalam sebuah buku yang berjudul, Philoshpopiae Naturalis Principia Mathematica (1686).
Belakangan orang mengenal Newton sebagai ahli fisika, bahkan sebagai
peletak dasar teori-teori fisika. Adam Smith (1723-1790) melakukan
pengamatan terhadap masalah-masalah etika, ekonomi dan sosial. Ia
menuliskan hasil pengamatannya dalam buku The Welth of Nation (1776).
Belakangan orang mengenal Adam Smith sebagai peletak dasar teori-teori
ekonomi kapitalis, padahal ia sebagai guru besar filsafat moral.[10]
Demikianlah, proses berpikir telah menghasilkan pengetahuan (knowledge).
Dengan sendirinya pengetahuan merupakan hasil proses interaksi antara
fakta empiris, pengalaman, kepercayaan, ideologi dan/atau budaya
tertentu. Manusia memperoleh pengetahuan, menurut Suriasumantri,
berdasarkan kemampuannya selaku makhluk yang berpikir, merasa dan
mengindera. Di samping itu, manusia memperoleh pengetahuan melalui
intuisi dan wahyu.[11]
Wikipedia meyebutkan, antara pengetahuan (knowledge) dan kepercayaan (belief)
memiliki hubungan yang sangat erat, walaupun pengetahuan berbeda dengan
kepercayaan dan opini. Dalam pengetahuan terdapat unsur kebenaran dan
kepercayaan bahwa hal itu benar. “Knowledge is both true and believed to be true,” (Pengetahuan adalah kebenaran dan kepercayaan bahwa itu benar), demikian Wikipedia.[12] Menurut pandangan Edwards pengetahuan adalah kepercayaan yang benar.[13]
Sementara itu, menurut Sidi Gazalba, pengetahuan ialah semua milik atau
isi pikiran. Dengan kata lain, pengetahuan merupakan hasil dari proses
berpikir yang berinteraksi dengan kepercayaan dan opini.[14]
Sejalan dengan beberapa pernyataan tersebut, seseorang memperoleh
pengetahuan — menurut Charles Peirce seperti dikutip Kerlinger– sering
dengan cara keteguhan/kegigihan (method of tenacity). Artinya,
seseorang menganggap pengetahuan itu benar karena ia sudah lama
menganggap bahwa hal itu benar, dan ia memegang teguh kebenaran
tersebut. Anggapan masyarakat bahwa hal itu benar semakin meningkatkan
‘validitas’ kebenaran tersebut. Bahkan dengan sangat ekstrem, Peirce
mengemukakan, orang sering bersandar pada kepercayaannya dalam
menghadapi fakta yang jelas-jelas berlawanan; dan mungkin seseorang
menyimpulkan pengetahuan baru berdasarkan proposisi yang keliru.
Peirce mengakui bahwa ‘metode keteguhan’ cenderung ditinggalkan untuk
memperoleh pengetahuan yang lebih obyektif. Namun, ia mengakui bahwa
adanya unsur keyakinan dalam pengetahuan tidak terhindarkan. Selain itu,
lanjut Peirce, pengetahuan tidak terlepas dari otoritas dan kewenangan.
Orang akan lebih percaya pada pernyataan-pernyataan teoretis yang
dikemukakan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas. Dalam kenyataan,
lanjut Peirce, kehidupan tidak akan dapat berjalan tanpa cara kewenangan
dalam mengukuhkan pengetahuan yang dianggap benar.
Peirce selanjutnya mengemukakan cara lain untuk memperoleh
pengetahuan, yakni: intuisi. Seseorang memperoleh pengetahuan melalui
nalar atau proses berpikir, dan tidak harus selaras dengan pengalaman.
Melalui pergaulan dan komunikasi, orang dapat mencapai kebenaran karena
ia memiliki kecenderungan alami ke arah kebenaran. Karena itu, Kerlinger
yang mengutip Peirce menegaskan, tidak menutup kemungkinan adanya
pengetahuan teoretis yang berbeda sebagai hasil dari perbedaan penalaran
yang dilakukan oleh orang yang berbeda.[15]
Proses berpikir berusaha untuk mencapai kesimpulan dalam bentuk knowledge. Menurut MM Ismail,[16]
kesimpulan dari proses berpikir sering terkait dengan ada atau tidak
adanya sesuatu, dan hal ini bersifat pasti; tidak mungkin mengandung
faktor kesalahan. Alat indera manusia tidak mungkin salah dalam
menentukan eksistensi (keberadaan) sesuatu yang bersifat nyata. Kesalahan yang mungkin terjadi dalam proses berpikir hanyalah dalam menentukan esensi
(hakikat) sesuatu akibat ‘kesalahan’ penginderaan. Misal: fatamorgana
sering disangka air; benda lurus dalam wadah berair tampak bengkok.
Namun, ‘kesalahan’ dalam mengindera esensi fakta-fakta ini tidak menafikan kebenaran tentang eksistensi-nya. Fatamorgana tersebut tetaplah bisa dipastikan keberadaannya. Demikian pula benda lurus yang dimasukkan ke dalam wadah berair. Dengan demikian, kesimpulan tentang eksistensi sesuatu pada dasarnya bersifat pasti.
Siapapun yang mengamati realitas yang ada akan sampai pada kesimpulan
tentang eksistensi (keberadaan) sang Pencipta, Allah SWT. Ini bersifat
pasti. Memahami Allah SWT dengan menggunakan metode ‘aqliyyah akan menghasilkan kesimpulan yang pasti tentang keberadaan-Nya; keberadaan-Nya tidak mungkin salah.
Apabila kesimpulan dari proses berpikir, lanjut MM Ismail, berkaitan
dengan esensi (hakikat), fenomena atau sifat sesuatu, maka kesimpulan
tersebut tidak bersifat pasti dan mengandung kemungkinan terjadinya
kesalahan. Sebab, kesimpulan tersebut diambil berdasarkan informasi yang
diperoleh atau interpretasi terhadap fakta yang terindera melalui
informasi yang telah ada, namun informasi tersebut mungkin mengandung
unsur kesalahan. Hanya saja, hasil pemikiran tersebut dianggap benar
sampai terbukti kesalahannya. Jika terbukti salah, maka sejak saat itu
kesimpulan dianggap salah, peneliti menggunakan kesimpulan baru yang
lebih sahih.
Dengan demikian, knowledge sebagai kesimpulan dari proses
berpikir bersifat relatif, memungkinkan di dalamnya terjadi kesalahan.
Relativitas yang dimaksud bersifat kontinum, yakni suatu garis yang
tidak memiliki batasan yang tegas. Pada titik terendah, ketidakpastian
cenderung lebih tinggi sehingga probabilitas error cukup besar;
sedangkan pada titik lain, kepastian yang lebih menonjol, bahkan tidak
mungkin terjadinya kesalahan. Demikiian juga kesimpulan tersebut
dipengaruhi oleh keyakinan ata agama yang tidak sesuai dengan Islam.
Pemahaman terhadap hakikat atau makna yang terkandung dalam ayat
al-Quran dapat ditempatkan dalam perspektif ini. Memahami ayat-ayat yang
bersifat zhanny memungkinkan terjadinya kesalahan. Jika
seseorang berijtihad dan benar, maka ia memperoleh dua pahala, yakni
pahala benar dan pahala ijtihad. Jika seseorang berijtihad dan salah,
maka ia memperoleh satu pahala, yakni pahala ijtihad. Sebaliknya,
pemahaman terhadap ayat yang qath’i ats-tsubut bersifat pasti,
tidak mungkin salah. Kewajiban salat, zakat, puasa dan menurut aurat
serta batasan aurat masuk kategori terakhir.
Demikilanlah pengetahuan merupakan hasil dari proses berpikir yang
sarat dengan nilai. Pengetahuan merupakan produk dari konteksnya.
Mulyanto menjelaskan bahwa ilmu merupakan produk dari konteks
sosio-kultural dan kepercayaan. Jika lingkungan atau keyakinan umum
bersifat ateis, maka pengetahuan atau ilmu pengetahuan yang dihasilkan
bersifat materialis. Jika ilmu dihasilkan dari proses berpikir yang
sarat dengan nuansa akidah, maka ilmu (knowledge) akan sarat
dengan nilai-nilai keimanan. Karena itu, dalam konteks ini Mulyanto
mengingatkan perlunya mengkritisi konteks kelahiran ilmu. Teori-teori
fisika mengenai kekebalan energy—yang meyakini materi sebagai sesuatu
yang kekal dan menolak proses penciptaan—lahir dalam konteks masyarakat
ateis.[17]
Walhasil, teori-teori ilmiah dalam konteks ini ternyata tidak lepas
dari nilai yang menjadi keyakinan seseorag pada saat perumusan teori;
dan keyakinan tersebut seringkali bertolak belakang dengan Islam.
Dalam konteks ini gagasan Islamisasi sains sangat relevan dan
diperlukan, dengan melakukan langkah-langkah untuk mengoreksi atau
mengganti teori-teori yang bertentangan dengan Islam.
[2] Taqyuddin An-Nabhani, At-Tafkir, cetakan pertama (Hizbut Tahrir, 1973) hal. 27-39
[6] Kunczik, Michael, Communication and Social Change (Bon: Friedrich-Ebert-Stiftung, 1986) hal. 59
[13] Edwards, Paul (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, Vol. V, edisi 2 (New York: Collie McMillan Publishing Company, 1972) hal. 187
0 komentar:
Posting Komentar