Rabu, 18 Desember 2013

APA ITU BERFIKIR...???

Oleh: Dr. U Maman Kh., M.Sc (Direktur Pusbangsitek UIN Jakarta)

untuk agan-agan yang terhormat 
download materi pembahasan Teori berfikir Tingkat 1 di sini gan Power Pointnya di sini
download materi pembahasan Teori berfikir Tingkat 2 di sini gan Power Pointnya di sini
download materi pembahasan Teori berfikir Tingkat 3 di sini gan Power Pointnya di sini 

Apa yang dimaksud dengan aqal? Apa kaitan aqal dan berfikir? Mungkin inilah salah satu terma yang selalu dibahas dari dulu hingga sekarang. Yang jelas aqal bukanlah benda atau materi yang memiliki tempat, akan tetapi aqal lebih bersifat proses berfikir. Kemudian, apakah sebenarnya berfikir itu, hakikat dan hasilnya? Tulisan ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan di atas. Silahkan dinikmati…

Pengertian Berfikir
Integrasi keilmuan dapat ditinjau berdasarkan proses berpikir dengan asumsi bahwa pengetahuan, baik knowledge maupun sains merupakan hasil dari proses berpikir. Al-Quran mengajari manusia untuk berpikir. Berpikir identik dengan menggunakan akal. Berbeda dengan otak, akal bukanlah organ dari tubuh manusia. Akal identik dengan kemampuan dan proses berpikir. Berpikir dalam arti berusaha untuk memahami realitas untuk sampai pada kesimpulan tertentu.
Berpikir memiliki karakteristik tersendiri. Berpikir lebih bersifat empiris-faktual. Karena itu, berpikir akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan dalam bentuk teori yang bersifat empiris, memiliki implikasi bagi pemecahan permasalahn umat manusia, serta mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Melakukan kajian terhadap sesuatu yang tidak bersifat empiris tidak termasuk proses berpikir. Hoodbhoy mengkritik para ilmuan Pakistan pada zaman Presiden Zia ul-Haq yang mengembangkan sains Islam yang tidak bersifat empiris, seperti analisis tentang struktur kimia-fisika jin, derajat kemunafikan, dan rembetan panas api neraka.[1]

Dengan menjadikan realitas sebagai obyek berpikir, Taqyuddin an-Nabhani[2] membagi metode berpikir menjadi dua bagian: metode berpikir rasional (at-thariqah al-‘aqliyyah) dan metode berpikir sains (at-thariqah al-‘ilmiyyah). Kedua metode berpikir tersebut sebenarnya tidak berbeda. Berpikir sains bersifat rasional, sistematis dan terorganisasi. Hanya saja, berpikir rasional cenderung mengandung perspektif tertentu sebagai pengaruh dari informasi yang dimiliki, baik berasal dari lingkungan sosial budaya, ideologi, kepercayaan, keyakinan atau agama. Berpikir rasional mengandung unsur subyektivitas; sedangkan berpikir sains lebih bersifat netral, obyektif dan bersifat eksperimental-laboratoris. Al-Quran mengajarkan metode berpikir rasional yang bertolak  dari fakta. Metode berpikir rasional ialah metode al-Quran, metode Islam.  Karena itu, berpikir rasional dapat menjadi acuan dalam merumuskan perspektif berpikir untuk mewujudkan integrasi keilmuan. Berpikir itu sendiri merupakan sesuatu yang paling berharga bagi manusia, paling mahal harganya dalam kehidupan, sekaligus menjadi tempat bergantungnya jalan kehidupan. Oleh karena itu, kita harus bersungguh-sungguh untuk memperhatikan aktivitas berpikir ini.

Hakikat dan Unsur-unsur Berpikir
Apakah berpikir itu? Berpikir pada hakikatnya merupakan usaha untuk memahami fakta (realitas empiris). Karena itu, salah satu unsur berpikir yang penting ialah fakta. Berusaha untuk memahami sesuatu yang berada di luar jangkauan indera (tidak empiris) bukan termasuk kegiatan berpikir. Berpikir harus menyimpulkan sesuatu yang berkaitan dengan realitas. Karena itu, berpikir memiliki implikasi yang sangat produktif bagi perumusan teori yang bersifat empiris, bagi pemecahan persoalan umat manusia dan bagi pengembangan masyarakat. Penemuan ilmiah hanya bisa dilakukan jika seseorang melakukan pengamatan terhadap reaslitas. Hoodbhoy[3] mengkritik para ilmuan Pakistan yang berusaha melakukan islamisasi sains dengan menjadikan obyek kajian hal-hal yang tidak empiris seperti struktur kimia dan fisika jin, derajat kemunafikan, rambatan panas api neraka, dan lain sebagainya yang tidak bersifat empiris.  Berpikir tentang realitas memerlukan fakta yang terindera. Karena itu, unsur berpikir yang kedua ialah indera. Yang dimaksud dengan fakta yang terindera ialah fakta yang dapat diindera,  baik langsung ataupun tidak langsung. Peralatan sebenarnya merupakan perpanjangan indera manusia, seperti kaca pembesar atau instrumen lainnya.

Kesimpulan tentang fakta sebagai hasil dari proses berpikir disimpan dalam benak. Karena itu, benak/otak manusia (ad-dimag) merupakan salah satu unsur penting dalam proses berpikir.
Unsur lain yang paling penting dalam berpikir ialah adaya informasi yang sudah dimiliki (ma’lumat sabiqah). Informasi dapat berasal dari lingkungan sosial, budaya, keyakinan, kepercayaan, ideologi, agama, termasuk keyakinan tentang tidak adanya Tuhan (atesis).

Berpikir atau sebut saja berpikir rasional atau metode ‘aqliyyah, merupakan proses pengkajian untuk mengetahui realitas sebagai obyek kajian dengan cara mentransfer fakta ke otak melalui indera, disertai dengan adanya sejumlah informasi pendahulu yang sudah dimiliki (ma’lumat sabiqah) yang akan digunakan untuk menafsirkan/menilai fakta yang ada. Penilaian ini, menurut Taqyuddin an-Nabhani, pada hakikatnya merupakan pemikiran (fikr)  atau kesadaran rasional (al-idrak al-‘aqli). Karena itu, berpikir merupakan proses yang melibatkan: (1) fakta/realitas; (2) indera; (3) otak; dan (4) informasi yang dimiliki. Dengan proses berpikir ini akan terbentuklah sebuah kesadaran. Apa yang disebut ‘teori ilmiah’ pada hakikatnya merupakan kesadaran seseorang terhadap realitas. Dengan sendirinya ‘teori’ itu sarat nilai, baik nilai yang berasal dari agama (wahyu), ideologi maupun lingkungan social-budaya tertentu. Dalam konteks ini, an-Nabhani mempertanyakan obyektivitas teori-teori ilmiah yang tidak bersifat fisikal dan eksperimen yang melakukan kontrol variabel.[4]

Pendapat MM Ismail tampak memperkuat  pandangan Taqyuddin an-Nabhani. Ismail menyatakan:
Pola pikir rasional adalah suatu metode pengkajian yang dilakukan agar seseorang sampai pada tahap mengetahui hakikat sesuatu yang sedang dikaji, melalui indera yang menyerap obyek. Proses penyerapan itu dilakukan melalui panca indera menuju ke otak, dibantu oleh pengetahuan/informasi sebelumnya yang akan menafsirkan dan memberikan sikap atas fakta tersebut. Keputusan tersebut dinamakan pemikiran atau ide,  yaitu pemahaman yang diperoleh akal secara langsung. Metode ini mencakup pengkajian obyek yang dapat diindera maupun yang abstrak yang berkaitan dengan pemikiran.[5]

Hampir disepakati oleh para ilmuwan, bahwa teori-teori ilmu sosial, politik, ekonomi dan budaya sering merupakan refleksi seseorang terhadap realitas; atau dibangun berdasarkan interpretasi atas realitas. Teori-teori sosial dan ekonomi Marxisme, misalnya, merupakan hasil refleksi Karl Marx terhadap kesenjangan sosial akibat laju industrialisasi masyarakat Jerman pada pertengahan abad ke-19. Ketika membangun sebuah teori, tentu ada nilai-nilai yang mendorong seseorang untuk bersikap terhadap realitas tersebut. Dengan demikian, teori-teori ilmu sosial tidak bebas nilai. Michael Kunczik mengingatkan bahwa teori-teori perubahan sosial dan pembangunan sering sarat dengan etnosentrisme. Kesadaran budaya sering menjadi standar penilaian terhadap budaya lain. Karena itu, rumusan-rumusan teori tidak lepas dari kesadaran budaya. Mengacu pada Edward B. Taylor (1873), Kunzcik menyebutkan budaya meliputi: pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat dan kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh dari sebuah sistem sosial.[6]

Berbagai rumusan teori ilmu-ilmu sosial, menurut perspektif ini, sebenarnya merupakan pengambilan keputusan atau sikap terhadap realitas yang dipengaruhi oleh informasi atau pengetahuan awal yang sudah dimiliki seseorang.  Demikian halnya teori-teori yang terkait dengan materi yang bukan merupakan hasil eksperimen laboratorium, seperti persoalan penciptaan dan asal-usul manusia. Karena itu, ilmu tidak bebas nilai. Teori Darwin tentang asal-usul manusia jelas merupakan refleksi terhadap realitas yang diilhami oleh keyakinan tertentu. Demikian halnya teori-teori sosial Marxisme, umpamanya. MM Ismail yang sejalan dengan Taqyuddin an-Nabhani menegaskan, berpikir rasional pada intinya merupakan proses interaksi yang melibatkan: fakta empiris, otak, indera dan pengetahuan atau informasi yang dimiliki. Berpikir dalam perspektif pola pikir rasional (metode ‘aqliyyah) merupakan proses transformasi fakta empiris ke otak, dilanjutkan dengan interpretasi/penilaian atas fakta tersebut berdasarkan informasi yang ada, yang akhirnya melahirkan sikap terhadap fakta tersebut.[7]

Dari sini sesungguhnya berpikir berarti penyerapan fakta yang terindera ke dalam benak berdasarkan informasi yang sudah dimiliki. Denga kata lain, berpikir pada intinya merupakan rekonstruksi terhadap realitas berdasarkan perspektif tertentu yang terkait dengan informasi yang dimiliki. Kesimpulan tentang realitas dengan sendirinya berada dalam sudut pandang tertentu. Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi Islam secara normatif, tetapi bersifat umum bagai setiap proses berpikir. Setiap teori yang merupakan hasil pemikiran dengan sendirinya mengandung unsur-unsur keyakinan perumusnya, baik pemikiran Islam, atheis, atau keyakinan lainnya.

Informasi yang dimiliki merupakan faktor bagi keragaman mode berpikir dan ini merupakan sudut pandang dalam memahami realitas. Manusia dapat merekonstruksi realitas berdasarkan sudut pandang tersebut. Relaitas yang sama dapat dipahami secara berbeda, bergantung pada sudut pandang tersebut. Mengacu pada pandangan Thomas Kuhn, berasarkan informasi yang dimiliki, manusia memiliki mode of thought atau mode of inquiry. Menurut  Kuhn, seseorang merekonstruksi realitas sosial  berdasarkan mode of thought atau mode inquiry sehingga  menghasilkan mode of knowing.[8]Terkait dengan pembahasan sebelumnya, cara berpikir merupakan paradigma untuk menghasilkan pengetahuan (knowledge). Realitas yang sama bisa menghasilkan kesimpulan dan teori yang berbeda hanya karena perbedaaan paradigm saat memahaminya.

Cakupan dan Hasil Proses Berpikir
Apakah seseorang harus langsung memahami realitas sebagai persyaratan agar ia bisa dikatakan berpikir? Secara faktual seseorang tidak mudah memahami realitas. Bahkan terdapat kecenderungan, pemahaman seseorang terhadap realitas sering didasarkan pada pemahaman orang lain atau melalui media tertentu. Bahkan dalam ilmu komunikasi, relitas terbagi menjadi dua bagian: realitas media dan realitas yang sesungguhnya. Realitas media ialah realitas yang disajikan oleh media massa melalui proses pemilihan yang tidak lepas dari perspektif tertentu. Pemahaman terhadap realitas menurut media massa masih masuk kategori berpikir, walaupun seseorang yang berusaha memahaminya perlu mengkritisi setiap fakta yang disajikan media. Pemahaman terhadap realitas menurut pemahaman orang lain, atau mengikuti proses berpikir yang dilakukan orang lain, masih termasuk kategori berpikir rasional, walaupun tentu saja kualitas berpikirnya masih rendah. Mengutip penyataan Ahmad Syafii Maarif dalam sebuah seminar, para pemikir di Indonesia cenderung hanya sebagai “pemamah biak”. Artinya, mereka hanya berpikir mengikuti cara orang lain berpikir, belum menghasilkan pemikiran orisinal. Mereka cenderung memahamai atau mengambil kesimpulan tentang realitas berdasarkan pemahaman dan kesimpulan orang lain.
Lalu apa saja cakupan dan lingkup berpikir? Berpikir berada dalam tatanan filosofis, mendasar dan menyeluruh. Berpikir tidak mengenal adanya spesialisasi. Berpikir akan mengantarkan seseorang pada penemuan berbagai teori. Dalam konteks ini, ilutrasi Will Durant dapat menjadi acuan. Berpikir bagaikan pasukan marinir yang berusaha merebut pantai untuk pendaratan pasukan infantri.[9] Pasukan infantri  ialah pengetahuan, baik pada tataran knowledge maupun sains. Artinya, berfikir merupakan proses untuk menghasilkan berbagai teori ilmiah yang berimplikasi bagi pemecahan persoalan umat manusia.
Demikian pula, tidak ada batasan obyek berpikir. Seseorang dapat berpikir tentang fenomena alam, fenomena sosial, fenomena ekonomi, dan lain sebagainya. Yang penting, berpikir harus dilakukan terhadap fakta yang bersifat empiris. Isac Newton (1642-1627) mengamati berbagai fenomena alam, yang ditulis dalam sebuah buku yang berjudul, Philoshpopiae Naturalis Principia Mathematica (1686). Belakangan orang mengenal Newton sebagai ahli fisika, bahkan sebagai peletak dasar teori-teori fisika. Adam Smith (1723-1790) melakukan pengamatan terhadap  masalah-masalah etika, ekonomi dan sosial. Ia menuliskan hasil pengamatannya dalam buku The Welth of Nation (1776). Belakangan orang mengenal Adam Smith sebagai peletak dasar teori-teori ekonomi kapitalis, padahal ia sebagai guru besar filsafat moral.[10]
Demikianlah, proses berpikir telah menghasilkan pengetahuan (knowledge). Dengan sendirinya pengetahuan merupakan hasil proses interaksi antara fakta empiris, pengalaman, kepercayaan, ideologi dan/atau budaya tertentu. Manusia memperoleh pengetahuan, menurut Suriasumantri, berdasarkan kemampuannya selaku makhluk yang berpikir, merasa dan mengindera. Di samping itu, manusia memperoleh pengetahuan melalui intuisi dan wahyu.[11]

Wikipedia meyebutkan, antara pengetahuan (knowledge) dan kepercayaan (belief) memiliki hubungan yang sangat erat, walaupun pengetahuan berbeda dengan kepercayaan dan opini. Dalam pengetahuan terdapat unsur kebenaran dan kepercayaan bahwa hal itu benar. “Knowledge is both true and believed to be true,” (Pengetahuan adalah kebenaran dan kepercayaan bahwa itu benar), demikian Wikipedia.[12] Menurut pandangan Edwards pengetahuan adalah kepercayaan yang benar.[13] Sementara itu, menurut Sidi Gazalba, pengetahuan ialah semua milik atau isi pikiran. Dengan kata lain, pengetahuan merupakan hasil dari proses berpikir yang berinteraksi dengan kepercayaan dan opini.[14]

Sejalan dengan beberapa pernyataan tersebut, seseorang memperoleh pengetahuan — menurut  Charles Peirce seperti dikutip Kerlinger–  sering dengan cara keteguhan/kegigihan (method of tenacity). Artinya, seseorang menganggap pengetahuan itu benar karena ia sudah lama menganggap bahwa hal itu benar, dan ia memegang teguh kebenaran tersebut. Anggapan masyarakat bahwa hal itu benar semakin meningkatkan ‘validitas’ kebenaran tersebut. Bahkan dengan sangat ekstrem, Peirce mengemukakan, orang sering bersandar pada kepercayaannya dalam menghadapi fakta yang jelas-jelas berlawanan; dan mungkin seseorang menyimpulkan pengetahuan baru berdasarkan proposisi yang keliru.
Peirce mengakui bahwa ‘metode keteguhan’ cenderung ditinggalkan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih obyektif. Namun, ia mengakui bahwa adanya unsur keyakinan dalam pengetahuan tidak terhindarkan. Selain itu, lanjut Peirce, pengetahuan tidak terlepas dari otoritas dan kewenangan. Orang akan lebih percaya pada pernyataan-pernyataan teoretis  yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas. Dalam kenyataan, lanjut Peirce, kehidupan tidak akan dapat berjalan tanpa cara kewenangan dalam mengukuhkan pengetahuan yang dianggap benar.

Peirce selanjutnya mengemukakan cara lain untuk memperoleh pengetahuan, yakni: intuisi. Seseorang memperoleh pengetahuan melalui nalar atau proses berpikir, dan tidak harus selaras dengan pengalaman. Melalui pergaulan dan komunikasi, orang dapat mencapai kebenaran karena ia memiliki kecenderungan alami ke arah kebenaran. Karena itu, Kerlinger yang mengutip Peirce menegaskan, tidak menutup kemungkinan adanya pengetahuan teoretis yang berbeda sebagai hasil dari perbedaan penalaran yang dilakukan oleh orang yang berbeda.[15]

Proses berpikir berusaha untuk mencapai kesimpulan dalam bentuk knowledge. Menurut MM Ismail,[16] kesimpulan dari proses berpikir sering terkait dengan ada atau tidak adanya sesuatu, dan hal ini  bersifat pasti; tidak mungkin mengandung faktor kesalahan. Alat indera manusia tidak mungkin salah dalam menentukan eksistensi (keberadaan) sesuatu yang bersifat nyata. Kesalahan yang mungkin terjadi dalam proses berpikir hanyalah dalam menentukan esensi (hakikat) sesuatu akibat ‘kesalahan’ penginderaan. Misal: fatamorgana sering disangka air; benda lurus dalam wadah berair tampak bengkok. Namun, ‘kesalahan’ dalam mengindera esensi fakta-fakta ini tidak menafikan kebenaran tentang eksistensi-nya. Fatamorgana tersebut tetaplah bisa dipastikan keberadaannya. Demikian pula benda lurus yang dimasukkan ke dalam wadah berair. Dengan demikian, kesimpulan tentang eksistensi sesuatu pada dasarnya bersifat pasti.

Siapapun yang mengamati realitas yang ada akan sampai pada kesimpulan tentang eksistensi (keberadaan) sang Pencipta, Allah SWT. Ini bersifat pasti. Memahami Allah SWT dengan menggunakan metode ‘aqliyyah akan menghasilkan kesimpulan yang pasti tentang keberadaan-Nya; keberadaan-Nya tidak mungkin salah.

Apabila kesimpulan dari proses berpikir, lanjut MM Ismail, berkaitan dengan esensi (hakikat), fenomena atau sifat sesuatu, maka kesimpulan tersebut tidak bersifat pasti dan mengandung kemungkinan terjadinya kesalahan. Sebab, kesimpulan tersebut diambil berdasarkan informasi yang diperoleh atau interpretasi terhadap fakta yang terindera melalui informasi yang telah ada, namun informasi tersebut mungkin mengandung unsur kesalahan. Hanya saja, hasil pemikiran tersebut dianggap benar sampai terbukti kesalahannya. Jika terbukti salah, maka sejak saat itu kesimpulan dianggap salah, peneliti menggunakan kesimpulan baru yang lebih sahih.

Dengan demikian, knowledge sebagai kesimpulan dari proses berpikir bersifat relatif, memungkinkan di dalamnya terjadi kesalahan. Relativitas yang dimaksud bersifat kontinum, yakni suatu garis yang tidak memiliki batasan yang tegas. Pada titik terendah, ketidakpastian cenderung lebih tinggi sehingga probabilitas error cukup besar; sedangkan pada titik lain, kepastian yang lebih menonjol, bahkan tidak mungkin terjadinya kesalahan. Demikiian juga kesimpulan tersebut dipengaruhi oleh keyakinan ata agama yang tidak sesuai dengan Islam.

Pemahaman terhadap hakikat atau makna yang terkandung dalam ayat al-Quran dapat ditempatkan dalam perspektif ini. Memahami ayat-ayat yang bersifat zhanny memungkinkan terjadinya kesalahan. Jika seseorang berijtihad dan benar, maka ia memperoleh dua pahala, yakni pahala benar dan pahala ijtihad. Jika seseorang berijtihad dan salah, maka ia memperoleh satu pahala, yakni pahala ijtihad. Sebaliknya, pemahaman terhadap ayat yang qath’i ats-tsubut bersifat pasti, tidak mungkin salah. Kewajiban salat, zakat, puasa dan menurut aurat serta batasan aurat masuk kategori terakhir.

Demikilanlah pengetahuan merupakan hasil dari proses berpikir yang sarat dengan nilai. Pengetahuan merupakan produk dari konteksnya. Mulyanto menjelaskan bahwa ilmu merupakan produk dari konteks sosio-kultural dan kepercayaan. Jika lingkungan atau keyakinan umum bersifat ateis, maka pengetahuan atau ilmu pengetahuan yang dihasilkan bersifat materialis. Jika ilmu dihasilkan dari proses berpikir yang sarat dengan nuansa akidah, maka ilmu (knowledge) akan sarat dengan nilai-nilai keimanan. Karena itu, dalam konteks ini Mulyanto mengingatkan perlunya mengkritisi konteks kelahiran ilmu. Teori-teori fisika mengenai kekebalan energy—yang meyakini materi sebagai sesuatu yang kekal dan menolak proses penciptaan—lahir  dalam konteks masyarakat ateis.[17] Walhasil, teori-teori ilmiah dalam konteks ini ternyata tidak lepas dari nilai yang menjadi keyakinan seseorag pada saat perumusan teori; dan keyakinan tersebut seringkali bertolak belakang dengan Islam.

Dalam konteks ini gagasan Islamisasi sains sangat relevan dan diperlukan, dengan melakukan langkah-langkah untuk mengoreksi atau mengganti teori-teori yang bertentangan dengan Islam.


[1] Pervez Hoodbhoy, Islam and Science, Religious Ortodoxy and The Beattle for Rationality, edisi Indonesia terjemahan Saria Meutia (Bandung: Mizan, 1996) hal. 38-39
[2] Taqyuddin An-Nabhani, At-Tafkir, cetakan pertama  (Hizbut Tahrir, 1973) hal. 27-39
[3]Hoodbhoy, Op.Cit. hal. 124
[4]Lihat Taqyuddin An-Nabhani, Op.Cit. hal. 28
[5] MM Ismail, Al-Fikru al-Islamy (Beirut: Maktab al-Wa’ie, 1958) hal. 88
[6] Kunczik, Michael, Communication and Social Change (Bon: Friedrich-Ebert-Stiftung, 1986) hal. 59
[7] MM Ismail, Op.Cit. hal. 88
[8] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revelution, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terjemahan Tjun Surjaman (Bandung Remaja Rosdakarya, 2002) hal. 10-11; Lihat juga Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan Etika ( Jakarta: Teraju, 2004), h. 11.
[9] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Gramedia, 1988), hal. 22
[10] Ibid, hal.  24.
[11] Jujun S. Suriasumantri, “Mencari Alternatif Pengetahuan Baru”, dalam A.M. Saefuddin et.al., Desekularisasi Pemikiran (Bandung: Mizan, 1991) hal. 14.
[12] Lihat Anonim, “Epistemology,” Wikipedia, the Free Encyiclopedia dalam http:// en.wikipedia.org/wiki/Epistemology, dikunjungi tanggal 2 September 2005.
[13] Edwards, Paul (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, Vol. V, edisi 2 (New York: Collie McMillan Publishing Company, 1972) hal. 187
[14] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Cetakan ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) hal. 4
[15] Kerlinger, Fred N., Azas-Azas Penelitian Behavioral, terjemahan Landung R. Simatupang (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992) hal. 8-9
[16] MM Ismail, Op.Cit. hal. 143-144
[17] Mulyanto, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” dalam Moeflich Hasbullah (ed.), Gagasan dan Pedebatan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Cidesindo, 2000) hal. 18-19.

0 komentar:

Posting Komentar