Minggu, 01 Desember 2013

Don't forget the struggle

(diambil dari wake up zine edisi 2)

Don't forget the struggle
Don't forget the streets
Don't forget your roots
And don't sell out!


Kalau kamu adalah seorang skinhead atau punk, tentu kamu sudah tidak asing lagi
dengan lirik lagu Warzone di atas. Lagu di atas judulnya “Don't Forget The Struggle,
Don't Forget The Streets”. Biasanya lagu tersebut sering digunakan untuk menasihati teman-teman di scene (komunitas) yang sudah mulai lupa dengan “roots”nya dan sudah mulai ada kecenderungan untuk bekerja-sama dengan media-media besar (sell out!).

Istilahnya, lagu tersebut sudah menjadi semacam reminder bagi semua orang yang
berkecimpung di dalam lingkaran komunitas DIY (Do It Yourself), bahwa jangan sampai deh
kita lupa dari mana kita berasal dan jangan sampai juga kita menjual idealisme kita kepada
korporasi-korporasi besar—seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa band-band
underground (aduh, males banget saya menyebut kata ini) lokal—hanya demi mendapatkan
secuil popularitas yang akan cepat sekali memudar.
Di tulisan ini tentu saja saya tidak akan membahas panjang-lebar tentang scene,
skinhead, punk, dan DIY. Sebab, selain karena saya memang sudah memutuskan untuk
keluar dari “lingkaran” tersebut, saya juga memang tidak begitu paham dengan semua itu.

Di tulisan ini saya hanya ingin memaknai dua baris terakhir dari lirik Warzone tersebut, yaitu: Don't forget your roots, and don't sell out!
Jika saya seorang skinhead, mendengar dua kalimat itu tentu roots yang dimaksud
adalah rootsnya skinhead, yaitu kelas pekerja. Working class protest: nothing more, nothing
less! Jika saya seorang punk, mendengar kata “don't sell out” itu tentu maksudnya adalah
jangan pernah mau jadi pelacur-pelacur kapitalis dan jangan pernah mau berjabat tangan
dengan record-record majorlabel seperti Musica, BMG Indonesia, Indosemar Sakti, Aquarius,
EMI, dan lain semacamnya. Mereka (majorlabel) tidak tahu apa-apa tentang punk, yang
mereka tahu cuma bisnis. Itu sebabnya kita harus melakukan semua itu dengan do it yourself.
Makanya, ayo kita bikin musik keras-keras, bikin lirik yang kasar-kasar, biar tidak ada
majorlabel yang tertarik dengan karya-karya kita, dan kita bisa bebas melakukan apa pun
yang kita inginkan! Dan seterusnya..

Namun, sayangnya saya bukanlah skinhead dan saya juga sudah bukan lagi seorang
punk. Saya adalah seorang muslim. Nah, bagaimana jika kalimat “Don't forget your roots,
and don't sell out!” itu saya bahas melalui perspektif Islam? Saya rasa, di sinilah inti tulisan
yang ingin saya bahas.

Don't forget your roots! Oke, saya tidak akan melupakan roots saya. Namun, di manakah
roots saya? Dari manakah saya berasal? Lebih jelasnya, oleh siapa saya diciptakan?
Apakah saya ada dengan sendirinya, muncul dari dalam air, kemudian menjadi dinosaurus,
menjadi buaya, menjadi kera, setelah itu baru menjadi seorang editor picisan? Tentu saja
tidak. Saya bukan penganut Darwin si pelopor manusia kera itu, sebab teori evolusi ala
Darwin itu memang masih spekulasi dan tidak terbukti secara empirik. Lantas, dari manakah
saya berasal? Saya berasal dari rahim ibu saya dan ibu saya juga berasal dari rahim ibunya
dan ibunya ibu saya juga berasal dari rahim ibunya juga dan begitu seterusnya sampai
akhirnya mentok di dua manusia pertama yang bernama Adam dan Hawa. Di sinilah saya
berjumpa jalan buntu. Lantas, dari manakah Adam dan Hawa berasal? Di sini saya pun
sepakat untuk mengatakan bahwa ternyata kita tidak muncul dengan sendirinya dan tidak
berasal dari hasil evolusi jangka panjang, tapi semua ini terjadi karena pastilah ada
penciptanya.

“Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: 'Jadilah'
(seorang manusia), maka jadilah ia.” (QS Ali Imran [3]: 59).
“Allah pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu,
maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: 'Jadilah', maka jadilah ia” (QS Al-
Baqarah [2]: 117)

Tentu saja saya tidak akan bertanya, “Lantas, siapakah yang menciptakan Allah Swt.?”.
Sebab, pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang sudah salah sejak awalnya.
Pertanyaan paradoks yang tak perlu dijawab. Lagipula, bukankah Allah sudah memberikan
penjelasan kepada kita?

“...Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang
setara dengan Dia.” (QS Al-Ikhlas [112]: 3-4)
Ya, akhirnya saya tahu bahwa saya berasal dari Allah Swt. Sebagai seorang yang
merasa diciptakan, tentu saja saya tidak ingin menjadi seorang pembangkang terhadap
Pencipta saya. Saya adalah hamba yang lemah, yang menciptakan diri sendiri saja saya
tidak mampu.

Islam. Ya, itulah roots saya. Bukan Indonesia, bukan punk, bukan skinhead, bukan
Anarki, dan tentu saja bukan betawi.
Don't sell out! Ya, tentu saja. Saya tidak akan pernah menjual keimanan saya dengan
pemahaman mana pun! “Seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan
bulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan urusan ini, niscaya aku takkan
meninggalkannya hingga Allah memenangkannya, atau aku binasa.” Begitulah yang
diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw. ketika beliau ditawarkan materi dan kekuasaan oleh
para petinggi Quraisy agar ia meninggalkan dakwah tauhidnya. Mantap! Seperti itulah
makna don't sell out yang sempurna!

Seorang muslim memang wajib menjaga keimanannya. Jangan gadaikan keimanan kita
dengan pemikiran mana pun. Kapitalisme dan turunannya, komunisme dan segala
variannya, anarkisme dan berbagai macam modelnya, dan lain sebagainya. Tidak perlu juga
kita tambahi embel-embel semacam: Islam Komunis, Islam Anarki, atau Islam Demokratis,
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh orang-orang Islam yang tidak percaya bahwa
agamanya (Islam) adalah agama yang sudah sempurna, dan tidak perlu lagi ditambal sulam
dengan pemahaman lain yang cuma berasal dari tempurung kepala manusia.
Itulah makna “Don't forget your roots, and don't sell out!” di mata saya sebagai seorang
muslim.
Bagaimana dengan kamu? [] (Rex).

0 komentar:

Posting Komentar