ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

ISLAMICAREVOLUTION

PEMBEBASAN TANJUNGPINANG.

Tampilkan postingan dengan label KABAR GOLONGAN PUTIH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KABAR GOLONGAN PUTIH. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 Januari 2014

PEMILIKAN PRIBADI, PEMILIKAN NEGARA DAN PEMILIKAN UMUM

Di dalam sistem kapitalisme, pemilikan individu memperoleh jaminan yang sangat tinggi dari negara. Pemilikan negara biasanya digabungkan dengan harta-harta lain yang tidak dikelompokkan di dalam pemilikan individu. Selain itu, di dalam kapitalisme seluruh jenis barang/harta bisa dimiliki oleh individu. Bagaimana Islam mengatur kepemilikan?

Manusia memiliki naluri ingin memiliki sesuatu, termasuk harta kekayaan. Ini merupakan derivasi dari naluri mempertahankan diri (gharizatu al-baqa). Kecintaan kepada harta benda, seperti rumah yang indah, kendaraan yang bagus, buah-buahan atau pepohonan yang lebat dan banyak hasil panennya, perniagaan yang berhasil; semua itu diabadikan di dalam al-Quran:
Katakanlah: ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya, dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. (TQS. at-Taubah [9]: 24)

Bisa dibayangkan apabila masing-masing individu manusia memiliki aturan sendiri-sendiri untuk mensahkan cara apa saja untuk memperoleh harta kekayaan, dan jenis barang apa pun yang dia berhak kumpulkan. Kekacauan akan timbul jika tidak ada mekanisme yang mengatur tentang pemilikan masing-masing individu, cara mendapatkannya; cara mengelola/mengembangkan dan memanfaatkannya (tasharrufat); cara menjaga kepemilikan tersebut. Dalam tataran yang lebih luas, sangat berbahaya jika negara juga ikut-ikutan ambil bagian dalam kekacauan tersebut, dengan merampas begitu saja harta kekayaan milik individu dengan dalih untuk kepentingan nasional atau pembangunan. Bahkan bisa menjadi malapetaka jika negara atau individu berebut aset atau harta kekayaan yang melimpah ruah tersedia di alam begitu saja.
Islam memiliki mekanisme dan pengaturan dalam hal kepemilikan; juga memiliki mekanisme tentang barang-barang apa saja yang boleh dimiliki oleh individu, negara dan masyarakat; untuk perkara apa saja pemanfaatan harta kekayaan tersebut, dan sebagainya. Peraturan Islam itu dibuat oleh Allah Swt, Pemilik seluruh alam semesta, Zat Yang Maha Mengetahui dan Maha Adil, yang tidak memiliki kepentingan apapun di dalam pengaturan-Nya melainkan untuk kebaikan umat manusia, sebagai rahmat-Nya. Dialah yang memilah-milah jenis kepemilikan, dan benda-benda/harta kekayan apa saja yang bisa dimiliki dalam rangka menjaga eksistensi dan kemaslahatan umat manusia seluruhnya; bukan hanya ditujukan bagi segelintir orang-orang tertentu saja.
Islam membagi jenis-jenis kepemilikan itu ke dalam tiga macam:
1. Kepemilikan individu.
2. Kepemilikan umum (masyarakat kaum Muslim).
3. Kepemilikan negara.
Kepemilikan individu adalah hukum syara yang berlaku bagi zat (benda) maupun jasa (manfaat) tertentu, yang memberikan kemungkinan bagi siapa saja untuk mendapatkannya atau memanfaatkannya, serta memperoleh kompensasi –baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain, seperrti disewa; atau karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya, seperti dibeli- dari barang tersebut1. Jadi, kepemilikan merupakan ijin dari Syâri untuk memanfaatkan barang-barang maupun jasa yang telah ditentukan oleh Syâri itu sendiri sebab-sebab kepemilikannya. Ijin (kebolehan) tersebut bukan dilihat dari sisi zat (barang/jasa-nya itu sendiri), atau adanya manfaat pada barang atau jasa tersebut, melainkan dari aturan Syâri (menyangkut halal dan haram). Oleh karena itu Islam mengharamkan perolehan harta/jasa melalui pelacuran, meskipun para pelakunya sama-sama rela dan berbuat atas kemauan sendiri.
Pembatasan kepemilikan ini sangat penting agar tidak terjadi kekacauan di dalam kehidupan umat manusia. Islam menjelaskan prinsip-prinsip tersebut antara lain2:
1. Dengan cara membatasi kepemilikan, dari sisi cara-cara untuk mendapatkannya dan pengembangan harta/jasa.
2. Dengan cara menentukan mekanisme pengelolaannya.
3. Dengan cara menempatkan tanah-tanah kharaj (tanah-tanah dimana penduduk negeri itu bergabung dengan negara Khilafah melalui peperangan) bukan sebagai milik individu.
4. Dengan cara menjadikan hak milik individu sebagai milik umum secara paksa, dalam kondisi-kondisi tertentu (misalnya untuk kasus-kasus tanah mawat yang tidak digarap selama tiga tahun).
5. Dengan cara membantu individu-individu yang memiliki keterbatasan, sehingga bisa memenuhi kebutuhannya.

Melalui kajian terhadap hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan kepemilikan individu ini, maka seseorang bisa mendapatkan harta/jasa dan menjadi miliknya melalui beberapa sebab, yaitu:
1. Bekerja (dengan segala macam jenisnya yang dihalalkan).
2. Warisan (yang diatur melalui hukum-hukum tentang waris).
3. Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup (dalam situasi darurat, dengan syarat-syarat tertentu).
4. Pemberian negara kepada rakyat.
5. Harta yang diperoleh tanpa mengeluarkan harta (sebagai kompensasi) atau tenaga apa pun (seperti memperolehnya melalui mahar).
Berdasarkan hal ini, seorang individu tidak dibatasi dengan batasan maksimal untuk memiliki harta, juga tidak dibatasi untuk mendapatkan jenis harta. Selama jenisnya dihalalkan, seperti rumah, pesawat terbang, mobil, pabrik, kuda, unggas, buah-buahan, tanaman bunga, dan lain-lain, maka dibolehkan memilikinya tanpa batas.
Harta milik umum adalah harta yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Syâri bagi kaum Muslim, dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama kaum Muslim. Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari harta tersebut, akan tetapi mereka dilarang untuk memilikinya secara pribadi3.
Jenis-jenis harta ini dikelompokkan kepada tiga jenis, yaitu:
1. Sarana-sarana umum yang diperlukan oleh seluruh kaum Muslim sehari-hari (seperti sumber-sumber air yang depositnya banyak beserta pemanfaatan, baik untuk dam maupun PLTA, pengairan, PAM dan-lain-lain; padang penggembalaan –yakni padang rumput-; tenaga listrik beserta jaringannya)
2. Harta yang kondisi asalnya terhalang bagi individu tertentu untuk memilikinya (seperti padang Arafah, Mina; lautan, teluk, selat, danau, sungai, terusan; masjid, lapangan umum).
3. Barang tambang (sumber alam) yang jumlahnya tidak terbatas (seperti tambang minyak, emas, tembaga, nikel, timah, batubara, perak, dan sejenisnya)4.
Dasar pijakan dari pemilikan umum dan jenis-jenis hartanya dikembalikan kepada sabda Rasulullah saw:
Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.
Terdapat juga hadits lain diriwayatkan melalui Abidh bin Hamal al-Mazani:
Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, salah seorang laki-laki yang ada di dalam majlis berkata, ‘Apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu (bagi kami) laksana (memberikan) air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda: ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya’.

Sedangkan kepemilikan negara adalah sesuatu yangn juga termasuk ke dalam milik perorangan, seperti tanah, bangunan dan barang-barang yang dapat dipindahkan. Akan tetapi, jika berhubungan dengan hak kaum Muslim, maka pengaturannya menjadi tugas negara5. Pengaturannya diserahkan kepada Khalifah, karena dialah yang memiliki wewenang dalam mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan hak seluruh kaum Muslim.
Jenis-jenis pemilikan negara mencakup: padang pasir, gunung, pantai dan tanah mawat yang tidak ada pemiliknya; rawa-rawa dan endapan sungai; ash-shawafi (tanah-tanah yang negerinya ditaklukkan oleh negara Khilafah, baik milik penguasa, para panglima perang, tanah milik musuh yang terbunuh dalam peperangan, atau tanah yang ditinggal lari oleh pemiliknya karena negerinya ditaklukkan; temasuk bangunannya); istana, balairung, bangunan-bangunan instansi negara yang ditaklukkan, termasuk di dalamnya museum, lembaga pendidikan negara, pembaga penelitian, pabrik-pabrik dan industri milik negara yang ditaklukkan; dan sejenisnya. Semua itu adalah hak milik negara Khilafah.
Setiap jenis kepemilikan (baik itu pemilikan individu, umum, dan negara) memiliki tata cara pengaturan dan cara-cara penggunaan atas harta milik masing-masing jenis. Seorang Khalifah, tidak bisa menggunakan begitu saja harta milik umum (dari hasil penjualan minyak dan gas misalnya) untuk kepentingan individu dan negara. Atau seorang Khalifah –dengan dalih- kemaslahatan umat mengambil alih bangunan atau tanah milik individu rakyat dan menjadikannya milik negara. Kasus seperti ini tidak akan dijumpai di dalam negara Khilafah.
Pendek kata, pengaturan tentang pemilikan, cara-cara perolehannya, pemanfaatan/penggunaannya, dan distribusinya (jika menyangkut pemilikan negara dan umum) ditentukan oleh syariat Islam secara detail. Hal ini untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera dan tentram bagi seluruh umat manusia.

Rabu, 18 Desember 2013

Golput Haram, Antara Fatwa dan Kepentingan Politik

Oleh: Rizqi Awal, Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia Jawa Barat, Pengamat di Lembaga Analisis Politik Indonesia
diambil dari http://www.islampos.com/golput-haram-antara-fatwa-dan-kepentingan-politik-90454/

DI antara point-point dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang tidak menggunakan hak pilih di dalam Pemilihan Umum :
Salah satu dari dua rekomendasinya :
“Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar.”

Butir-butir yang menjadi landasan rekomendasi tersebut :
butir ke-4 : Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (shidiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat islam hukumnya adalah wajib.
butir ke-5 : Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
butir ke-1 : Pemilihan Umum dalam pandangan islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

Dan jika kita perhatikan dari point-point di atas tampak MUI begitu bijaksana dan sangat berhati-hati. Hal itu terlihat dari adanya tiga hukum yang terkait dengan penggunaan hak pilih didalam pemilihan umum :
  1. Dianjurkan (mandub atau sunnah) yang ada didalam rekomendasi.
  2. Wajib yang ada didalam butir ke-4.
  3. Haram namun dengan persyaratan yaitu, haram golput selama ada calon yang memenuhi syarat, pada butir ke-5.
Didalam butir ke-5 tidak ada penjelasan rinci tentang kata-kata ‘memenuhi syarat’, apakah yang dimaksud syarat-syarat yang disebutkan didalam butir ke-1 atau butir ke-4 atau kedua-duanya.

Isi butir ke-5 “….. atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.” dan jika menggunakan pemahaman berbalik maka bisa diartikan dengan “…. atau tidak memilih sama sekali (golput) ketika tidak ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah tidak haram”
Kemudian dalam Rekomendasinya MUI menganjurkan umat islam untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar. Kata-kata ‘menganjurkan’ berbeda dengan ‘mewajibkan’ begitu pula didalam konsekuensi hukumnya. Artinya seorang muslim yang melakukan perintah tersebut akan mendapatkan pujian dan pahala dari Allah swt dan jika ia tidak melakukannya maka ia tidaklah tercela dan tidak juga mendapatkan dosa dari-Nya.

Dari butir ke-5 dan rekomendasi tersebut tampak tidak ada pengharaman GOLPUT oleh MUI secara mutlak namun demikian MUI menganjurkan agar umat islam memilih orang-orang yang mengemban amar ma’ruf nahi munkar.

Kemudian ukuran apakah seorang calon pemimpin atau wakil rakyat memenuhi syarat-syarat di atas atau tidak, siap mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar atau tidak akan berpulang kepada pengetahuan dan pemahaman setiap pemilih yang memungkinkan terjadinya perbedaan diantara mereka. Bisa saja seorang pemilih melihat seorang calon pemimpin atau wakil rakyat telah memenuhi syarat namun tidak menurut yang lainnya. Bisa saja seorang pemilih melihat seorang calon dapat mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar namun tidak menurut yang lainnya.

Golput Haram, Di Sistem yang Kufur 

Al-Syaikh Muhammad Syakir al-Syariif dalam kitab Haqiiqatud Diimuqraathiyyah mengemukakan:
“Lantas apa yang dijelaskan berbagai referensi tentang asal kata ini dan hakikat pengertiannya? Sungguh definisi yang dijelaskan dalam kamus-kamus dan penjelasan para penulis (buku tentang demokrasi) saling menguatkan….. Bahwa, demokrasi adalah kata yang berasal dari Yunani, terdiri dari dua kata, yang satu sama lain saling terkait.”
Makna demikian, sebenarnya ditemukan secara gamblangan tentang Demokrasi itu sendiri. Dimana pijakan hukum bukan bertitik tolak pada Al-Quran dan As-Sunnah, tetapi kesepakatan masyarakatnya. Sementara Pemimpinnya menjalankan apa yang telah disepakati bersama.
Padahal jelas kita ketahui bahwa,
“…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al-An’aam [6]: 57)
Dan juga pada ayat:
“…Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maa’idah [5]: 44)
Ini sangat kontradiktif dengan maksud dan tujuan Demokrasi. Seringkali diantara mereka yang menghalalkan Demokrasi, seringkali mengambil Demokrasi sebagai jalan untuk mencapai tujuan. Padahal kita ketahui bersama bahwa Demokrasi tidak lebih sebagai perantara menegakkan hukum manusia, sehingga penerapan syariat islam sebagai tujuan perjalanan politik sebenarnya hanyalah barang jualan saja. Sementara saat mendudukkan jabatan, sebenarnya hukum yang dijalankan bukanlah islam.
Muhammad Asad dalam kitab Minhaj Al-Islam fi Al-Hukm (hlm. 52) mengungkapkan: “Adalah merupakan penyesatan yang sangat luar biasa, jika ada orang yang mencoba menerapkan istilah-istilah yang tidak ada hubungannya dengan Islam (diterapkan) pada pemikiran dan peraturan/sistem Islam.”
Fatwa Golput haram sementara sistemnya hari ini adalah kekuasaan yang tidak bertitik tolak dengan islam, maka ini tak bisa diterapkan. Sementara, seruan golput itu haram, adalah tugasnya untuk mencari pemimpin yang taat kepada Allah dan Rasul. Sementara Presiden hari ini, harus taat pada UUD 1945 yang sebenarnya pijakannya bukan berasal dari islam.

Kepentingan Politik di Balik Golput Haram

Meskipun fatwa ini telah beredar semenjak tahun 2009. Nyatanya fatwa ini memang populis, tetapi bagi masyarakat fatwa ini sangat berbau politis. Kenapa demikian?
Berapa sebenarnya jumlah Golput pada Pemilu 2009 ? (berdasarkan dataPemilu Legislatif). Dari 171.265.442 pemilih, hanya 104.099.785 suara yang sah ! Suara yang tidak sah sebesar 17.488.581 (sebagian tentunya juga Golput). Jumlahnya suara yang tidak memilih paling sedikit 49.677.776 ~ 29,006 persen.
Lahirnya fatwa haram itu, bisa jadi merupakan tekanan politik kala itu. Karena masyarakat telah menilai bahwa tidak ada yang penting menurut mereka untuk melakukan pemilihan. Bahkan, masyarakat sepertinya tidak merasa “harus” memilih. Sebab masyarakat hari ini telah dewasa dan mengerti tentang makna pemilihan.
Ini kelak bisa menjadi tedensius sendiri buat MUI. Sebab di fatwa ini bisa membahayakan kepada ummat. Seolah-olah semua fatwa MUI penuh dengan kepentingan. Sementara bagi saya, masyarakat harus bijak melihat fatwa MUI itu sendiri. Apalagi di tahun 2014, sepertinya kepercayaan publik kepada pemilihan legislatif dan eksekutif sepertinya semakin menghilang. Jejak caleg yang penuh masalah, Partai-partai di masa lalu, ternyata tetap saja melakukan Korup, meskipun itu berasal dari partai berbasiskan islam sekalipun.
Pertanyaanya, bisakah Golput melahirkan tekanan kepada publik? Tentu bisa. Kepemimpinan yang tidak memiliki legitimasi kuat dari masyarakat adalah kepemimpinan yang tak lagi dipercaya oleh masyarakat. Maka, tekanan perubahan amandemen undang-undang secara mendasar dan pergantian kepemimpinan begitu kuat. Begitulah proses yang dialami Indonesia selama 2 kali rezim kekuasaan. Soekarno dan Soeharto. Bukan dorongan dari dalam, tetapi dorongan masyarakat luaslah yang telah mengubah paradigma politik di suatu negeri. []