Sekitar abad
ke V SM, jauh sebelum kelahiran 'Tuhan orang-orang Kristen' - Yesus dari
Nazareth, di Yunani telah muncul kota-kota yang dalam sejarah pemikiran politik
barat dikenal sebagai negara-negara kota (City States). Negara-negara kota
Yunani klasik berbeda dengan bentuk negara-negara modern dewasa ini, baik
dilihat dari segi luas wilayah, struktur sosial, jumlah penduduk maupun
lembaga-lembaga politiknya. Luas wilayah kekuasaan negara kota Yunani umumnya
tidak lebih dari luas 'negara baru' Timor Timur yang dulu pernah menjadi salah
satu propinsi Indonesia. Jumlah penduduknya menurut Herodotus dan Aristophanes,
sekitar tiga puluh ribu orang. Karena itu komunikasi politik tidak terlalu
sukar dilakukan dalam negara kota tersebut dan sistem Demokrasi Langsung bisa
dilaksanakan secara baik di negara-negara kota itu. Sebaliknya dalam konteks
negara-negara modern dewasa ini, penerapan Demokrasi Langsung tidak mungkin
dilaksanakan. Jumlah penduduk yang relatif besar dan struktur sosial politik
yang kompleks di negara-negara modern hanya memungkinkan diterapkannya
Demokrasi melalui sistem Perwakilan.
Negara kota
Yunani dengan Athena sebagai ibu kotanya memiliki struktur masyarakat berkelas
yang terdiri atas kelas warganegara (citizen), imigran atau pedagang asing, dan
budak yang diperoleh melalui perdagangan maupun peperangan. Warganegara yang
merupakan minoritas diangkat sebagai elite sosial politik dengan hak-hak istimewa
(previllage), memiliki waktu luang (leisure time) dan kesempatan luas terlibat
dalam kegiatan politik negara kota. Status mereka begitu kukuh karena mereka
merupakan bagian penting mekanisme kenegaraan. Sedangkan bagian terbesar
(mayoritas) penduduk negara adalah pedagang-pedagang asing yang berasal dari
kawasan luar Yunani dan budak-budak belian, mereka ini tidak memiliki hak-hak
istimewa seperti halnya kaum warganegara.
Dimasa
kepemimpinan Pericles - seorang bangsawan Yunani, Athena berhasil mengalami
masa kejayaannya, negarawan ini berhasil membangun sistem pemerintahan
Demokratis yang dinamakan 'Athenian Democratia'. Demokrasi dalam perspektif
Pericles, seperti ditulis Roy C. Macridis dalam buku karangan Eep Saefullah
Fatah berjudul 'Prospek Demokrasi di Indonesia', memiliki beberapa kriteria:
1. pemerintahan oleh rakyat dengan
partisipasi rakyat secara penuh dan langsung,
2. kesamaan di depan hukum,
3. pluralisme, penghargaan atas
semua bakat, minta, keinginan, dan pandangan, serta
4. penghargaan terhadap suatu
pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan mengekspresikan kepribadian
individual.
Penulis
ingin menyimpang sedikit dari topik, khusus untuk menjelaskan tentang
Pluralisme. Mengenai 'musang berbulu ayam' ini penulis ingin mengutip tulisan
Adian Husaini di kolom opini Hidayatullah.com dengan judul 'Kerancuan Istilah
dan Tragedi Umat'. Beliau merupakah salah seorang intelektual muda Islam yang
sedang mengambil S3 di Malaysia dan tulisannya ini penting untuk dicermati,
beliau menulis: Sesuai dengan judul berita di The Jakarta Post, bahwa 'Muslim
Voters Favor Pluralism', maka perlu diklarifikasi, apakah yang dimaksud dengan
'Pluralism' pada kalimat tersebut? Pluralisme adalah sebuah paham, sebuah isme.
Paham tentang yang plural. 'Pluralisme' berbeda dengan 'pluralitas', seperti
halnya 'Komunisme' berbeda dengan 'komunitas'. Pluralisme bukanlah istilah yang
bebas nilai, tetapi merupakan satu istilah yang memiliki akar filsafat dan
teologi dalam sejarah peradaban Barat. Istilah ini sarat dengan muatan keagamaan...
Berbagai artikel di media massa memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud
dengan 'Pluralisme', khususnya di bidang teologi. Harian Republika, misalnya,
pada 24 Juni 2001 memuat satu artikel yang mendefinisikan 'teologi pluralis',
adalah teologi yang melihat agama-agama lain dibanding dengan agama-agama
sendiri, dalam rumusan: Other religions are equally valid ways to the same
truth (John Hick); Other religions speak of different but equally valid
truths (John B Cobb Jr); Each religion expresses an important part of
the truth (Raimundo Panikkar); atau setiap agama sebenarnya
meng-ekspresikan adanya The One in the many (Sayyed Hossein Nasr).
Intinya, dalam semangat Pluralisme, anda tidak boleh meyakini, hanya agama anda
saja yang benar. Semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan,
sebagai jalan kebenaran dan keselamatan. Dalam sebuah seminar di Universitas
Paramadina, saya katakan, bahwa "Sebagai Muslim, saya tentu meyakini Islam
sebagai satu-satunya agama yang benar". Ketika itu, seorang doktor dan
dosen di Paramadina menyatakan, bahwa keyakinan seperti itu dia miliki 20 tahun
yang lalu. Para penganjur Pluralisme menyatakan, bahwa sudah saatnya kaum
Muslim meninggalkan klaim, bahwa Islam adalah satu-satunya kebenaran dan jalan
keselamatan. Jadi, istilah Pluralisme sebenarnya memiliki akar filosofis dan
teologis yang mendalam, khususnya dalam tradisi Kristen.
Istilah ini sudah
'mapan' dalam dunia teologi dan dialog antar agama. Benarkah sebagian besar
kaum Muslim sudah menerima paham Pluralisme?... Sebenarnya lebih tepat jika
digunakan istilah 'pluralitas', yakni sikap menghargai dan toleran terhadap
agama lain, tanpa meninggalkan keyakinan teologisnya. Pada level ini pun,
Indonesia jauh lebih maju ketimbang Barat. Di negeri yang mayoritas Muslim,
kaum minoritas mendapatkan hak sosial, ekonomi, politik yang tinggi. Mereka
dapat menjadi menteri dan pejabat-pejabat tinggi negara lainnya - sesuatu yang
masih menjadi mimpi bagi Muslim di Barat, meskipun Islam telah menjadi agama
kedua terbesar di beberapa negara Barat. Melalui catatan ini kita mengimbau,
seyogyanya kaum Muslim, terutama kalangan media Islam, lebih kritis dalam
menggunakan dan menyebarkan istilah-istilah yang dapat menimbulkan kesalahan
persepsi atau bahkan penggelinciran aqidah.
Penulis
merasa perlu menjelaskan tentang pluralisme ini terutama kepada sesama Muslim,
agar kita tidak terjebak kedalam jargon-jargon kamuflase yang digunakan oleh
kelompok orientalis atau orang-orang yang sudah terpengaruh dengan mereka, yang
bertujuan untuk mengikis secara perlahan-lahan aqidah umat Islam. Keyakinan
kita akan kebenaran Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai
oleh Tuhan serta merupakan satu-satunya jalan agar selamat hidup di dunia dan
di akhirat tentunya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sesungguhnya Allah Ta'ala
telah berfirman:
…Pada
hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.. (Qs.
al-Maa’idah [5]: 3).
Sekarang
mari kita kembali ke topik Demokrasi klasik. Perlu dicatat bahwa keempat
perspektif Pericles tentang Demokrasi di atas merupakan cikal bakal sistem Demokrasi
dan dianut secara fundamental oleh tokoh-tokoh Demokrasi berikutnya. Jika anda
meyakini Demokrasi sebagai 'nilai-nilai yang dapat memanusiakan manusia' maka
mau tidak mau anda harus menerima keempat perspektif tersebut. Dalam
pemerintahan negara Athena, Pericles menerapkan prinsip-prinsip Demokrasi yang
terlihat dari sistem pemerintahannya yang dikuasai atau diperintah oleh banyak
orang dan bukan diperintah oleh segelintir warganegara (Oligarchy atau Tyrani).
Pericles menganggap pemerintahan segelintir orang akan mudah menimbulkan
penyimpangan kekuasaan (abuse of power) karena tidak adanya kontrol terhadap
penguasa negara. Semua warganegara dianggap memiliki hak dan kewajiban yang
sama di mata hukum dan tidak boleh ada diskriminasi dalam proses perumusan
kebijakan negara. Karena itu, dalam perdebatan merumuskan kebijakan negara
tidak ada pengecualian hak berbicara, apakah seseorang berasal dari kelas
bangsawan ataukah rakyat jelata, miskin ataupun kaya. Yang menjadi tolak
ukurnya adalah seberapa besar reputasi dan prestasi yang dimilikinya. Inilah
prinsip Demokrasi yang dalam konteks dunia modern dinamakan Egalitarianisme
Politik.
Pericles
juga membangun rasa pengabdian, kebanggaan diri dan rasa memiliki warganegara
terhadap negara Athena. Sehingga sebagai warganegara, Athena merupakan pusat
tata nilai, kebanggaan dan kehidupan mereka. Negara menjadi pusat KEHIDUPAN,
SENI dan AGAMA. Semua ritual-ritual keagamaan dianggap sebagai ritus negara
kota. Disini terlihat betapa ia begitu mengagungkan negara dan menjadikannya
sebagai berhala. Selain itu segala perbuatan yang memberikan nilai kebesaran
dan keagungan bagi negara Athena merupakan suatu bentuk ritus Heroisme politik
tertinggi warganegara. Ritus semacam itu pernah ditekankan Pericles dalam
pidato pemakaman prajuritnya yang gugur melawan tentara Sparta, "Saya
mengharap saudara setiap hari memusatkan perhatian saudara kepada keagungan
negara (Athena), sampai saudara diliputi rasa cinta terhadapnya, dan jikalau
saudara terpesona karena keagungan itu, saudara akan menginsyafi, bahwa negara
ini telah didirikan oleh orang-orang yang tahu akan kewajibannya dan memiliki
tekad untuk berbuat demikian, yang tidak pernah mengenal takut dalam
pertempuran-pertempuran, dan yang jika mereka gugur dalam suatu usaha tidak
akan mengorbankan kehormatan negaranya, tetapi dengan sukarela akan
mengorbankan jiwanya sebagai persembahan yang termulia kepada negaranya".
Menurut Ernest Renan, seorang filosof Perancis dari abad XIX dalam bukunya yang
berjudul 'Apakah Bangsa Itu?', ritus Heroisme Pericles merupakan suatu bentuk
'Nasionalisme Primitif' yang kemudian menjadi cikal bakal Nasionalisme barat
saat ini. Bahkan, menurut penulis hal tersebut sudah mewarnai secara akut
Nasionalisme negara-negara di dunia, termasuk negara-negara yang penduduknya
mayoritas Islam.
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa gagasan barat mengenai negara, kekuasaan,
keadilan dan Demokrasi secara genealogis historis-intelektual berakar pada
tradisi politik negara-negara kota di zaman peradaban Yunani klasik itu.
Disinilah makna pentingnya memahami pemikiran tentang negara-negara kota.
Abad
pencerahan (abad XVIII) merupakan masa dimana gagasan-gagasan Demokrasi menjadi
perhatian khusus banyak pemikir seperti Rousseau, John Locke, Voltaire,
Montesquieu, dan lain-lain. Mereka inilah sebagian dari para perintis
gagasan-gagasan Demokrasi barat yang dianut dewasa ini. Rousseau dan John Locke
merumuskan teori Kontrak Sosial, sedangkan Montesquieu merumuskan teori Trias
Politica.
Gagasan
dasar teori Kontrak Sosial adalah: Pertama, kedaulatan negara bukanlah
sesuatu yang diberikan begitu saja (taken for granted) atau berasal dari Tuhan
(not derived from God). Kedaulatan
merupakan sebuah produk proses perjanjian sosial antara individu dalam
masyarakat, yang tidak ada sangkut pautnya dengan pendelegasian kekuasaan
ataupun berasal dari Tuhan kepada seorang penguasa tertentu. Maka pada
dasarnya teori Kontrak Sosial merupakan suatu teori politik yang sepenuhnya
bersifat Sekuler dan sangat bertentangan dengan manhaj Islam (ketentuan dan
kebiasaan dalam Islam). Padahal Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an:
Allah,
tidak ada Tuhan (Yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Hidup Kekal lagi
terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur.
Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at
di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka
dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah
melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi (kekuasaan) Allah meliputi langit dan
bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar. (Qs. al-Baqarah [2]: 255).
Dan Dialah
Yang Berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana
lagi Maha Mengetahui. (Qs. al-An'aam: 18).
Kedua,
bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam yang mengandung
prisip-prinsip keadilan yang universal; artinya berlaku sepanjang waktu dan
untuk semua manusia, apakah dia raja, bangsawan atau rakyat jelata. Hukum ini
dinamakan Hukum Alam (natural law). Ketiga, karena kekuasaan atau
kedaulatan negara berasal dari rakyat maka harus ada jaminan hak-hak individu
dalam masyarakat. Hak tersebut antara lain hak-hak sipil dan hak-hak politik.
Hak-hak sipil adalah hak untuk hidup, hak memperoleh pendidikan, hak untuk
memiliki harta benda, hak untuk berusaha, hak untuk mengeluarkan pendapat
secara lisan maupun tulisan, hak atas kebebasan beragama dan lain-lain.
Sedangkan hak-hak politik seperti kebebasan untuk berpartisipasi politik, hak
untuk aktif melakukan kritik terhadap pemerintahan dan lain-lain. Keempat,
perlunya kontrol kekuasaan agar penguasa negara tidak melakukan penyalahgunaan
kekuasaan.
Dilain pihak
teori Trias Politica yang dikembangkan oleh Montesquieu telah memberikan sebuah
sumbangan besar bagi perkembangan gagasan Demokrasi. Pada prinsipnya teori ini
menghendaki adanya pemisahan kekuasaan negara. Kekuasaan negara tidak boleh
tersentralisasi pada seorang penguasa yang berarti kekuasaan tidak boleh
bersifat personal atau dikuasai oleh sebuah lembaga politik tertentu saja.
Montesquieu kemudian merumuskan tiga tipologi lembaga kekuasaan negara, yaitu
lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Masing-masing lembaga ini memiliki
peran dan fungsinya sendiri-sendiri. Secara teoritis, lembaga legislatif
diharapkan dapat melakukan kontrol politik terhadap kekuasaan eksekutif bila
menyimpang dari perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh lembaga ini.
Montesquieu berpendapat bahwa lembaga atau kekuasaan legislatif adalah lembaga
yang tugas utamanya merumuskan undang-undang atau peraturan-peraturan negara.
Lembaga legislatif merupakan refleksi kedaulatan rakyat, yang menarik adalah
rakyat yang dimaksud Montesquieu disini adalah berupa dewan rakyat dan bukan
orang-orang yang mewakili rakyat seperti sekarang ini.
Dewan rakyat
dalam pemahaman Montesquieu adalah semacam dewan yang terdapat di zaman Yunani
dan Romawi kuno, yang anggotanya merupakan mediator rakyat dan penguasa,
menjadi komunikator dan agregator aspirasi dan kepentingan rakyat banyak.
Lembaga legislatif atau dewan perwakilan rakyat menjadi cermin kedaulatan
rakyat. Dengan demikian lembaga perwakilan rakyat itu memiliki peranan
strategis dalam teori kekuasaan Trias Politica. Teori Montesquieu ini dianut
oleh sebagian besar negara barat seperti AS, Inggris, Perancis, dan
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Para perumus UUD AS sangat
dipengaruhi oleh Montesquieu, maka tidak terlalu mengejutkan jika sistem
pemerintahan negara itu sangat kental diwarnai oleh gagasan-gagasannya.
Montesquieu sendiri dikenal sebagai penganut Sekulerisme sejati, ia bahkan
mengkritik dan menyindir Paus sebagai tukang sulap. Di dalam karyanya
'Surat-Surat Persia' (The Persian Letters) ia menyatakan bahwa Paus telah
menyulap apa yang sebenarnya salah menjadi benar, seperti menuntut orang-orang
untuk percaya pada doktrin Trinitas bahwa Tuhan terdiri dari tiga oknum tetapi
tetap satu, dan bahwa roti dan anggur yang diminum dalam acara pembabtisan
bukan roti dan anggur melainkan tubuh dan darah Yesus.
Dari
penjelasan panjang di atas dapat ditarik sebuah benang merah tentang Demokrasi.
Bahwa di dalam sistem Demokrasi kekuasaan negara
sepenuhnya adalah milik rakyat, suara rakyat adalah suara Tuhan, rakyatlah
pemegang supremasi kekuasaan tertinggi, dan lembaga legislatif atau Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan cermin atau wujud dari kekuasaan rakyat
tersebut. DPR memiliki tugas utama menyusun dan menetapkan undang-undang atau
peraturan-peraturan negara. Undang-undang dan peraturan-peraturan negara atau
ketetapan-ketetapan hukum yang dihasilkan oleh lembaga perwakilan rakyat
tersebut kemudian digunakan oleh penguasa politik untuk mengatur semua
sendi-sendi kehidupan warganegara dan secara umum semua manusia yang hidup di
dalam negara.
Dengan kata lain, sistem Demokrasi menganggap
bahwa penetapan hukum menjadi milik rakyat dan bukan milik Allah. Berangkat
dari benang merah inilah, untuk selanjutnya pembahasan akan difokuskan pada
Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan aktualisasi sistem Demokrasi, untuk
mengungkap kesalahan fatal sistem Demokrasi ditinjau dari perspektif Islam
yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah.
(diambil dari Tulisan Menggugat
Thagut Demokrasi Oleh:
Zulfadhli)